"Bu Anita harus dirawat. Kondisinya sangat lemah." Indra hanya mengangguk mendengar ucapan dokter yang memeriksa istrinya. Sementara dua orang perawat sedang memeriksakan selang infus pada salah satu lengan Anita. Indra menghubungi salah satu asistennya di kantor untuk mengurus administrasi rumah sakit. Ia juga meminta salah satu ARTnya untuk membawakan perlengkapan Anita. Brankar yang ditiduri Anita mulai di dorong menuju ruang perawatan. Indra meminta secepatnya istrinya itu dipindahkan ke ruang VVIP. Saat ini pikirannya tak lepas pada Aina. Ia mengkhawatirkn istri mudanya itu. Pria paruh baya itu semakin khawatir karena Aina tidak mengangkat panggilannya, juga tak membalas pesannya. "Maasss, Kamu di sini aja, ya! Aku nggak mau ditinggal lagi." Anita memohon dengan suara lemah. Indra tak menjawab. Ia pura-pura sibuk dengan ponselnya. Sesekali memeriksa tetesan cairan selang infus yang menggantung pada tiang infus. "Permisi, ini makanan untuk Bu Anita!" Seorang petugas pantry m
"Astaga ..., kenapa sakit sekali? Ya Tuhan." Aina menyeret kakinya menuju kamar. Keringat dingin mulai membasahi keningnya. Satu tangannya memegang perut. Beberapa jam yang lalu di unit apartemen, Aina kebingungan hendak menghubungi siapa. Ia tidak mungkin egois untuk menghubungi Indra yang sedang membawa Anita ke rumah sakit. Aina perlahan duduk di tengah ranjang sambil mengusap perutnya. Wanita cantik itu khawatir dengan kehamilannya. Mengalami dua kali keguguran membuatnya lebih waspada dengan kehamilannya yang sekarang. "Siapa yang bisa menolongku? Paul? Tidak. Aku tidak mungkin minta tolong dia." Wanita itu terus membuka kontak nama di ponselnya. Hatinya mencelos, ternyata selama ini ia tidak punya banyak teman baik. Tiba-tiba jarinya terhenti saat melihat kontak nama Maira di ponselnya. Ia melihat riwayat percakapan yang sudah lama dan belum dihapus. Beberapa kali ia meneror Maira dengan mengirim video-video mesranya dengan Raka dulu. Namun Maira tidak pernah membalas apapun
"Tuan mana, mbak?" Maira bergegas turun dari mobil dan setengah berlari masuk ke rumah. "Non ditunggu Tuan sejak tadi. Sekarang Tuan ada di ruang tengah bersama Kaisar." Maira bergegas melangkah menghampiri suami dan putranya. "Mamaaa ... !" Kaisar berteriak kegirangan saat melihat Maira. "Sayang, Kamu nggak apa-apa?" Rein sontak bertanya saat melihat kedatangan istrinya. Maira membungkuk mencium pipi Kaisar yang menghampirinya dengan berlari. Kemudian Rein pun ikut mendekat. "Maafin Aku, Rein. Tadi Aku ..."" "Ayo ... sini duduk dulu." Rein meraih lengan istrinya dan membawanya ke sofa. Sementara Kaisar sudah lebih dulu melompat-lompat di sekitar mama dan daddynya "Yang penting Aku senang kamu nggak apa-apa. Kamu dan Pak Pardi tidak bisa dihubungi." Maira bernapas lega. Rein bukan tipe suami yang mudah marah atau emosi. Tadinya Ia pikir Rein kecewa karena ia tidak menepati janji. Namun ternyata Rein justru mengkhawatirkan dirinya. "Terimakasih atas pengertianmu, Rein. Acara
" B-bapak Boy Azka?" Mata Rein dan Maira membelalak. Sepasang suami istri itu terkejut melihat ada pejabat negara yang belakangan mereka kenal sebagai orang tua kandung Syafa itu berada di tengah tengah pengusaha. "Silakan bergabung dengan Kami, Tuan Rein!" Boy Azka berdiri mempersilakan Rein dan Maira untuk duduk di dua kursi yang kosong. Sementara seorang wanita cantik duduk tepat di samping Boy Azka. Rein merasa canggung dengan sikap Boy Azka yang dia anggap berlebihan. "Apa kabar, Pak Boy?" Rein menyalami Boy Azka. Sementara Maira menangkupkan kedua tangannya di depan dada sambil mengangguk pada Boy Azka dan wanita di sebelahnya. "Oh ya, kenalkan ini istri Saya, Firda." Rein dan Maira mengangguk seraya tersenyum ramah. Mereka mulai berbincang. "Tuan Rein, Saya mau Anda bisa membantu Saya untuk mengelola perusahaan." Setelah sedikit berbasa basi, Boy Azka mulai pada pembicaraan serius. "Perusahaan? Maaf, bukankah Bapak bekerja di pemerintahan?" sanggah Rein hati-hati. B
"Kak Paul ..., Ayo dooong! Udah siang ini ...!" Syafa berteriak melihat Paul masih sibuk menerima panggilan telepon di ruang tengah. "Ck, siapa sih yang telepon pagi-pagi?" gerutu Syafa sambil menghentakkan kakinya. Ia khawatir akan terlambat, karena hari ini adalah hari pertama ia kuliah. Sejak tadi gadis itu sudah siap, namun suaminya masih saja bicara di ponselnya dengan seseorang. Paul memberi kode pada Syafa untuk menunggu sebentar. Syafa yang tidak sabar justru menghampiri dan duduk di samping suaminya. "Siapa, sih?" desisnya lagi sambil mempertajam pendengarannya. Ia penasaran, karena Paul bicara sangat serius dan terkesan dekat dengan lawan bicaranya. "Sebaiknya kamu istirahat saja dulu, Aina. Utamakan kesehatan janinmu. Untuk acara syukuran, bisa kita jadwalkan ulang nanti." Hati Syafa langsung memanas mendengar nama Aina yang disebut oleh Paul. Wajahnya langsung cemberut. Setelah menutup panggilan dari Aina, Paul menoleh pada Syafa yang duduk di sampingnya. Ia semakin
"Ayoo, Bun, Bumi aja yang antar Bunda. Kasian Syafa, Bun!" Pria muda dengan rambut sedikit panjang itu terus mengikuti Firda dan berusaha membujuk. "Kalau Kamu kasian sama gadis itu, ya udah antar aja sana!"ketus Firda sambil membuka ponselnya. "Bumiii .., Aku aja yang naik taksi. Aku bisa, kok." Tiba-tiba Syafa keluar dari mobil dan berteriak. Terlihat ia berusaha sedang menghapus air mata dengan punggung tangannya. "Tuh kan, Bun. Syafa jadi merasa nggak enak." Firda hanya diam. Tak menggubris ucapan putranya. Sesekali ia melihat ke pintu gerbang. "Syafaaa, tunggu sebentar!" balas Bumi. Ia memutuskan untuk menyusul Syafa. Karena ia melihat Firda sudah memesan taksi online lewat aplikasi. Syafa berhenti ketika Bumi menarik tangannya. "Pulang sama Gue aja! Bisa dimarahin Ayah nanti kalau Lo pulang naik taksi!" "Tante Firda gimana?" Wajah Syafa terlihat merasa bersalah. "Bunda udah pesan taksi online. Nggak usah Lo pikirin!" Bumi sama sekali tak.melepaskan cengkraman tangannya
"Daddy ...., Daddy ...!" Suara Kaisar terdengar lantang. Bocah balita itu berlari ke dalam rumah menuju kamar Rein dan Maira. "Mama ... Daddy ..., ada dedek bayi." Rein dan Maira saling menoleh. Mereka terpaksa menghentikan aktivitas di pagi itu. Karena hari libur, Sejak subuh tadi keduanya belum keluar kamar. Mereka memilih untuk memanfaatkan kebersamaan mereka dengan saling melepas rindu. Beberapa hari ini Rein sering ke Bandung bersama Paul. "Sayang, Kaisar ternyata sudah bangun." Rein melepaskan pagutannya pada bibir Maira. Napas keduanya masih tersengal. Mereka baru saja ingin melanjutkan ke ronde kedua, setelah pertempuran pertama di bathub, saat mandi satu jam yang lalu. Sepasang suami istri itu bergegas memakai pakaian mereka. Rein yang lebih dulu selesai, segera beranjak dan menghampiri putra sambungnya. "Hai, jagoan! Ada apa?" Pria bule dengan jambang tebal itu berlutut di depan putranya. "Ada dede bayi, Daddy. Aku mau. Aku mau dede bayi." Rein mengerutkan keningnya.
Sekitar belasan mobil mewah terparkir di sekitar rumah berlantai dua dengan gaya eropa itu. Para tamu semua berpakaian formil dan elegan. Hampir semuanya berpasang-pasangan. Seorang model cantik yang sudah tak asing bernama Lunaya juga hadir malam itu. Artis papan atas itu tampil sangat memukau. Hampir semua mata tertuju pada wajah dan tubuhnya yang tinggi diatas rata-rata. "Silakan masuk, Tuan dan Nyonya ...!" Rein dan Maira bergandengan tangan, mengangguk ramah pada para pria bersafari yang bertugas menerima.tamu. "Kita temui Pak Boy Azka dulu!" bisik Rein pada Maira. Pandangan keduanya mengitari ruangan besar yang telah disulap menjadi ruang pesta yang sangat berkelas. Alunan musik yang syahdu terdengar indah. "Itu di sana!" tunjuk Maira yang melihat Boy Azka.sedang berbincang dengan beberapa pengusaha. "Kita di sini saja dulu." Melihat banyak pria paruh baya yang merupakan pengusaha kaya, Rein menahan istrinya untuk tidak mendekat. Maira menurut. Ia berdiri di sebelah Rei