"Siapa Dia?" Maira meraih lengan Syafa agar menjauh dari Bumi. "Adduh, Kak. Kaki Aku, Kaki Aku ..." Syafa nyaris terjatuh lagi saat hendak berpindah ke tangan Maira. Namun istri Rein itu tak sanggup menahan Syafa karena tubuh adik iparnya itu lebih tinggi darinya. "Awaas! Udah sama Gue aja jalannya. Bandel amat, sih? Memangnya ini cewek siapa? Ibulo?" Bumi melirik Maira dengam sudut matanya. "Ya sudah. Ayo ke mobilku!" Maira melangkah lebih dulu meninggalkan Syafa dan Bumi. "Dia Kakak ipar Aku. Namanya Kak Maira. Suaminya kembaran suami Aku." Syafa menjelaskan pada Bumi sambil melangkah pelan, menahan rasa ngilu pada kakinya. "Lo mau pulang bareng dia?" tanya Bumi seraya menunjuk Maira. "Iya. Aku mau jelasin siapa Kamu ke Kak Maira. Sepertinya dia salah paham, deh." Wajah Syafa gelisah. Ia khawatir jika Maira berprasangka buruk padanya. "Kamu bawa mobil Aku, Ya! Nanti tunggu Aku di rumah!" pinta Syafa. Bumi membantunya masuk ke.dalam mobil Maira. "Hati-hati!" pesan Bumi sebel
"A-apakah itu Syafa-anakku?" Boy bergegas keluar melihat siapa yang datang. Bumi perlahan mengikuti ayahnya menuju teras. Sementara Lintang dan Firda masih duduk di ruang tamu. "Bun, Bunda nggak apa-apa?" Lintang menatap Firda prihatin. Firda membalasnya dengan hembusan napas panjang. "Bunda nggak tau harus bagaimana. Ayahmu tidak bisa dibantah." Keduanya kembali memandang keluar dengan tatapan nanar. Ada rasa iri yang menggerrogoti jiwa keduanya, melihat begitu istimewanya Boy memperlakukan putri kesayangannya. Supir cafe yang mengantar Syafa membukakan pintu untuk Syafa. Wanita itu tampak mengangkat sedikit gaun panjangnya. Gadis cantik itu terlihat mempesona dengan gaun berwarna putih dengan model kerah sanghai. Rambut panjangnya digulung katas. Riasan natural ciri khas dari Syafa membuatnya terlihat semakin elegan. "Ayaah ..." Syafa menyapa Boy dengan nada manja. Boy merentangkan kedua tangan untuk mererima putri tercintanya agar masuk ke dalam pelukannya. "Selamat dat
"Jaga bicaramu, Lintang! ⁰ Boy menggebrak meja makan hingga sebagian makanan tumpah di atas meja. Syafa terkejut bukan main. Baru kali ini ia melihat Boy Azka semarah itu. Lintang menatap Syafa dengan tatapan sinis. Ia menganggap Syafa sebagai penyebab kekacauan di keluarganya. Tubuh Syafa gemetar. Hatinya nyeri dan sedih mendapatkan sikap Lintang yang sangat tidak menyukainya. Napas gadis itu mulai memburu. "Lintang, duduk!" Firda membelai lengan kokoh putra sulungnya. "Tapi, Bun ..." "Duduk, Lintang!" Suara Firda semakin tegas. Diam-diam ia melirik Syafa. Tubuh gadis itu bergetar ketakutan. Dua netranya telah mengembun. Entah kenapa Firda tidak tega melihatnya. "Maafkan Lintang, Mas. Duduklah kembali." Firda mencoba menenangkan suaminya. Boy Azka kembali duduk. Firda memberi isyarat pada pelayan agar segera membersihkan meja yang terkena tumpahan lauk. Dengan cekatan dua pelayan itu mengerjakannya lalu mengganti lauk yang tumpah dengan yang baru. Mereka kembali melanjutkan
"Makasih, Sayang. Akhirnya Aku akan jadi seorang ayah." Indra memeluk Aina setelah mereka kembali masuk ke dalam.mobil. Mereka baru saja memeriksakan kondisi Aina yang sudah telat datang bulan. Dokter menyatakan bahwa Aina telah hamil dua bulan. Aina merasa bahagia. Tentunya kini Ia jauh lebih unggul dari pada Anita. Wanita cantik itu terkikik geli menerima ciuman bertubi-tubi dari Indra. "Ooom ... udah doong. Geli, ah!" Desahan Aina membangkitkan sesuatu pada diri Indra. Namun saat ini ia harus menahan diri dulu. Kandungan Aina masih sangat muda. Lagi pula saat ini mereka sedang berada di dalam mobil. Indra melepaskan pelukannya dan mulai menyalakan mesin mobil. Laju mobil tidak cepat seperti biasanya. Ada yang harus ia jaga saat ini. Sesuatu yang sangat iatimewa dan ia tunggu-tunggu sejak lama dari Anita. Ia tak menyangka justru dari Ainalah ia mendapatkan keturunan. "Sekarang, kamu mau hadiah apa dariku? Mobil? apartemen? Rumah mewah? Atau travelling?" Indra menawarkan apapu
"Kenapa? Mbaknya terkagum-kagum ya, sama Aku?" Syafa yang semula terkejut melihat keberadaan Aina di ruangan Paul, secepat mungkin menguasai situasi. Ia tau Aina sedang terheran-heran melihat dirinya yang sudah tidak memakai kursi roda dan tampil lebih cantik. Syafa merasa puas melihat Aina ternganga, memandangnya dengan wajah kagum. Senyum kepuasan terukir dari wajah cantik gadis itu. "K-kamu ..." Aina spontan menunjuk ke arah Syafa. Paul melangkah menghampiri istrinya yang kini sedang tampil berbeda dari biasanya. Dengan gamis lengan panjang itu, Syafa terlihat lebih anggun dan dewasa. "Sayang, Kamu sudah pulang?" Tanpa canggung Paul mengecup lembut kening Syafa. Syafa mengangguk manja, lalu melingkarkan kedua tangannya pada perut suaminya. Aina sontak memalingkan wajahnya dari hadapan suami istri itu. "Ehm ... ehm ... Aku ke sini mau booking ruangan untuk acaraku. Apa bisa?'" Aina menjatuhkan tubuhnya di sofa sambil pura-pura merapikan rambutnya. "Bisa. Untuk tanggal berap
"Mau kemana, Mas? Aku masih sakit." Anita mencoba menahan Indra yang sudah terjaga sejak pagi. "Ke kantor. Malam ini Aku tidak pulang. Kamu nampaknya sudah sehat," Indra menjawab dengan dingin. Pria itu baru saja selesai mandi dan mengenakan pakaian kantornya. Anita menatap Indra penuh damba. Pria yang masih berstatus suaminya itu tampak jauh lebih tampan. Perutnya tak lagi buncit. Justru tubuhnya tampak semakin kekar dan berotot. Kulitnya lebih cerah dan tampan. Rambut Indra pun sudah tidak tipis dan rontok seperti dulu. Suaminya kini terlihat jauh lebih muda dan gagah. Namun sikap Indra justru semakin dingin padanya. Semalam pun ia tak berhasil merayu Indra agar mau menyentuhnya.. "Tinggallah di sini satu hari lagi, Mas. Aku tau kamu sudah punya seseorang di luar sana. Tapi Aku ini masih istrimu. Aku masih ingin merasakan cintamu." Anita bangkit dari ranjang dan berusaha memeluk suaminya dari belakang. Ia menggesekan bagian depan tubuhnya pada Indra. Biasanya Indra akan tergoda d
" I love you, baby!" Indra mengecup lembut puncak kepala Aina yang saat ini berada dalam dekapannya. Keringat masih membasahi tubuh mereka. Padahal Indra sudah menjaga ritme permainannya agar lebih pelan dan lembut. Ia tak ingin terjadi sesuatu pada calon bayinya. "Tidurlah, Aku disini!" Aina menikmati pelukan suaminya. Indra sangat memanjakannya. Apalagi sejak mengetahui kehamilannya. Indra semakin menuruti apapun keinginannya. Perlakuan Indra pada Aina begitu lembut dan penuh kasih sayang. Tak berselang lama keduanya teridur pulas, hingga terdengar suara bel dari pintu unit mereka. Aina perlahan bangkit dengan melepaskan diri dari lingkaran lengan kekar milik Indra. Suaminya itu masih tertudur pulas. Ia Meraih kimono lalu memakainya. Dengan rasa penasaran Aina melangkah keluar hendak melihat siapa yang datang. Setelah terdengar bunyi bel untuk kesekian kalinya, perlahan Aina membuka pintu. Namun saat pintu terbuka, betapa terkejutnya ia melihat siapa yang datang "Cari siap
"Bu Anita harus dirawat. Kondisinya sangat lemah." Indra hanya mengangguk mendengar ucapan dokter yang memeriksa istrinya. Sementara dua orang perawat sedang memeriksakan selang infus pada salah satu lengan Anita. Indra menghubungi salah satu asistennya di kantor untuk mengurus administrasi rumah sakit. Ia juga meminta salah satu ARTnya untuk membawakan perlengkapan Anita. Brankar yang ditiduri Anita mulai di dorong menuju ruang perawatan. Indra meminta secepatnya istrinya itu dipindahkan ke ruang VVIP. Saat ini pikirannya tak lepas pada Aina. Ia mengkhawatirkn istri mudanya itu. Pria paruh baya itu semakin khawatir karena Aina tidak mengangkat panggilannya, juga tak membalas pesannya. "Maasss, Kamu di sini aja, ya! Aku nggak mau ditinggal lagi." Anita memohon dengan suara lemah. Indra tak menjawab. Ia pura-pura sibuk dengan ponselnya. Sesekali memeriksa tetesan cairan selang infus yang menggantung pada tiang infus. "Permisi, ini makanan untuk Bu Anita!" Seorang petugas pantry m