Sambil menunggu bab berikutnya, baca juga AIR MATA MADUKU dan KAYA SETELAH DIUSIR MERTUA. Makasih ...
"M-maaf, Bu. T-tapi.ini masih jam tujuh pagi." Aina membalas dengan gugup. Wanita itu melotot dan bicara dengan nada tinggi. "Apa? Jam segini kamu bilang masih pagi? Perempuan macam apa kalian. Ayo bangun! Tinggal di sini nggak gratis! Kalian harus kerja!" "Hah? Apa? Kerja?" protes Aina tentunya dalam hati. "Aina, siapa sih pagi-pagi begini sudah berisik. Ganggu orang tidur aja!" Yulia yang merasa sangat terganggu sontak bangkit dan melangkah ke pintu dengan wajah kesal. "Mami ... !" Panggil Aina berbisik sambil menggelengkan kepalanya pada sang Mami.. "Ibu dan anak sama saja..Pantas aja kalian jatuh miskin. Dasar pemalas!" Yulia terkejut melihat wanita cantik dengan tubuh tinggi semampai, dengan usia mungkin tak beda jauh darinya. Hanya saja kulit wanita itu sangat terawat. "Hei, kamu ini siapa, sih? Marah-marah nggak jelas!" Yulia maju dan berdiri tepat di depan wanita itu. "Mau tau siapa Aku? Aku adalah pemilik rumah ini! Paham kalian?" Yulia ternganga mendengarnya. "L
"Hallo, Paul! Kamu kapan pulang ke Bandung?" "Mama sudah sampai rumah? Sudah bertemu Aina?" tanya Paul antusias saat menerima panggilan dari Mamanya. "Sudah," sahut Laura singkat. "Trus gimana, Ma? Aina nggak Mama apa-apain, kan?" tanya pria bule itu sedikit curiga. Ia tau seperti apa Mamanya itu. Tawa renyah terdengar dari seberang sana. Namun itu justru membuat Paul semakin curiga. "Maaa, jangan bilang kalau Mama udah ngerjain Aina dan Maminya." Paul terus mencecar dengan pertanyaan-pertanyaan. Sementara Maminya hanya tertawa saja mendengarnya. "Sudah kamu nggak usah khawatir. Mereka baik-baik aja. Mama cuma kasih tau sedikit aturan di rumah ini. Agar mereka terbiasa jika nanti tinggal di sini," sahut Laura tenang.. "Oh gitu. Terimakasih Mama udah bisa menerima Aina dan Maminya tinggal di sana. Kerjaanku banyak banget di sini." Paul menjawab lega. Terdengar hembusan napas panjang Laura dari ponsel. "Andai dari dulu kamu mau melanjutkan bisnis papamu di Amerika, kamu tidak
"Ayah? Kapan Ayah datang?" Shinta terkejut saat baru saja tiba di teras. Pratama, Hafiz dan Hikmah sudah berada di terasnya. Ia heran pagi-pagi sekali mereka sudah berada di rumahnya. Semalam Shinta mengirim pesan pada Hafiz tentang keberadaan Bu Nuri di rumahnya. Ia menduga mereka datang pasti karena hal itu. Pratama memandang putrinya dengan tatapan merasa bersalah. Lalu pria paruh baya itu mendekat. "Sayang, maafkan Ayah!" Pratama sontak meraih putrinya ke dalam pelukannya. Suara Pratama bergetar. Seakan ada kesedihan dan penyesalan di sana.. Shinta kebingungan. Dalam hatinya bertanya-tanya, Ada apa sebenarnya? Apa yang sudah terjadi? Namun ia urung untuk bertanya. Shinta hanya menikmati pelukan sang Ayah yang rasanya sudah cukup lama tidak ia rasakan. Shinta pun rindu saat-saat seperti ini. Perselisihan dengan Pratama beberapa waktu lalu membuatnya seakan jauh dari Ayahnya. "Ayo kita masuk. Ayah pasti belum sarapan. Yuk Kak Hafiz, Hikmah!" ajak Shinta. Wanita cantik deng
" Sebentar, bagaimana jika nanti Ayah marah lagi? Kamu nggak apa-apa?"Tiba-tiba Rein berhenti dan meraih jemari Shinta. Shinta menoleh pada Rein. Mereka berdua saling tatap dalam beberapa detik. "Aku nggak apa-apa. Bukankah kamu bilang kita harus berjuang sama-sama?" Shinta berbicara pelan. Genggaman tangan Rein begitu erat. Seakan ingin saling memberi kekuatan. "Terima kasih, Sayang!" Rein mengecup singkat jemari Shinta. Hingga ada rona kemerahan di wajah cantik itu. "Yuk, ke dalam!" Perlahan Shinta melepaskan jemarinya dan melangkah lebih dulu menuju ruang makan. Rein tersenyum kagum pada Shinta. Walau wanita itu pernah menikah, tapi dia sangat pandai menjaga diri. Pria bule super tampan itu merasa gemas melihat Shinta kadang masih malu-malu seperti seorang remaja. Langkah mereka telah sampai di ruang makan yang cukup luas. "Ayah, Ibu, kak Hafiz dan Hikmah. Aku ngajak Rein sekalian sarapan di sini, ya!" "Ayo, Rein sini gabung!" sapa Hafiz Hangat. Hikmah ikut tersenyum pada S
"Non ... Non Shinta! Ada ribut-ribut di luar, Non!" Seorang pelayan datang tergopoh-gopoh menghampiri Shinta yang berada di ruang kerjanya. "Ada apa? Ribut-ribut apa?" Wanita cantik yang sudah bersiap-siap hendak berangkat ke kantor itu tiba-tiba bangkit dari kursi kebesarannya.. Shinta sedang mempersiapkan bahan untuk rapat pagi ini. Karena Rein akan ikut serta dalam rapat, pria itu berjanji akan menjemputnya pagi ini. Sejak setengah jam yang lalu Shinta memutuskan menyelesaikan pekerjaannya sambil menunggu Rein. "Non, ada beberapa preman menyerobot hendak masuk. Mereka mencari Tuan Raka." Mang Ujang berlari ketakutan menghampiri Shinta. "Ya bilang aja kalau yang namanya Raka sudah nggak tinggal di sini!" ujar Shinta sedikit panik. Mendengar kata preman, dirinya mulai bergidik."Mereka tidak percaya, Non. Mereka bilang Tuan Raka memberi alamat ini pada mereka. Seketika wajah cantik itu menggelap. Shinta tidak habis pikir dengan mantan suaminya itu. "Ya sudah. Ayo kita temui m
"Ampun, Bos. Saya Sapto. Raka menghamili anak saya-Kayla. Saya sudah pernah menemui Raka di club. Tapi waktu itu dia terburu-buru dan memberikan alamat rumah ini pada Saya." Pria yang mengaku bernama Sapto itu bercerita dengan kepala tertunduk. Rein menghempas napas kasar. Dia menoleh pada Shinta. "Tapi Raka tidak ada di sini, Rein." ujar Shinta. Ia merasa tatapan Rein sedang menanyakan hal itu padanya. Rein kembali menoleh pada pria bernama Sapto itu. "Kamu dengar, kan? Raka sudah tidak tinggal.di sini lagi," ulang Rein tegas. Sapto terlihat sedih. "Lalu ke mana lagi Saya harus mencarinya, Bos?" Pria paruh baya itu terdengar putus asa. Mereka terdiam sesaat. "Bapak bisa mencari Raka di apartemennya atau tempat biasa mereka berkencan. Putri Bapak pasti tau." Shinta berusaha bicara dengan tenang. "Kayla tidak mau bicara. Ia tertekan. Kayla menyebut nama Raka berkali-kali." Wajah Sapto sedih. "Saya ... minta tolong ...!" lanjut Sapto lagi pelan. Rein dan Shinta saling memanda
"Nuri, ayolah, jangan diamkan Aku terus seperti ini!' Pratama terus membujuk istrinya tanpa lelah. Di rumah Shinta kemarin Hafiz berhasil membujuk ibunya untuk pulang ke rumah. Walau sebenarnya Nuri ingin Pratamalah yang seharusnya membujuk. Namun pria paruh baya itu tetap bersikukuh dengan gengsinya yang sangat tinggi. Pria paruh baya itu selalu menjaga harga dirinya, terutama di depan anak dan menantunya. Kalau bukan karena Hikmah hendak melahirkan, wanita itu juga tidak mau pulang ke Bogor. Apalagi Pratama nampak sama sekali tidak ingin menyelesaikan masalah mereka. Namun keesokan harinya, disaat anak dan menantunya pulang, Pratama mulai tidak betah menghadapi Nuri yang terus saja diam. Walau wanita itu tetap mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurus pratama dengan baik, tetap saja Pratama tidak merasa nyaman jika didiamkan lebih dari satu hari. "Nuri ..." Pratama bagai anak kecil yang terus mengikuti ibunya kemana pun wanita itu melangkah. "Seharusnya Aku tidak kembali ke ru
"Selamat pagi, Bu Shinta. Tadi ada seseorang yang mencari Ibu, tapi tidak menyebutkan namanya." Shinta baru saja tiba di lobby, ketika seorang resepsionis menghampirinya. Langkah Shinta terhenti. Rein yang melangkah di belakangnya mendengar jelas apa yang dikatakan oleh resepsionis itu. Pria itu pun perlahan berhenti tepat di sebelah Shinta. "Seseorang? Laki-laki atau perempuan?" Shinta menyipitkan matanya. "Laki-laki Bu. Bule, tampan, badannya tinggi besar seperti ... ehm, Tuan Rein," ujar wanita yang bertugas sebagai resepsionis itu malu-malu melirik pada Rein. Shinta mengulum senyum sambil melirik pada Rein yang pura-pura tidak mendengar. "Apa dia meninggalkan pesan?" tanya Shinta penasaran. "Tadi dia minta nomor ponsel Bu Shinta. Tapi saya tidak berani kasih." Shinta mengangguk. "Baiklah. Jika dia datang lagi, boleh beritahu saya!" ucap Shinta sambil melangkah menuju lift. "Ayo Rein. Kita langsung ke ruanganku!" Shinta bersiap melangkah hendak masuk ke dalam lift. Tiba-t