Kate menghela napas pelan setelah mendengar pengakuan jujur Rachel.
"Anak mamah yang satu itu memang garing, Sayang. Mungkin karena kurang suka bercanda juga. Tapi dia sebenarnya orangnya apa adanya, Hel. Bahkan cenderung tidak bisa berpura-pura."
Kate mendadak mengulas senyum lembut.
"Kamu takut suamimu itu tidak menyayangimu?"
Rachel mengangguk pelan.
"Tenanglah, Rachel. Sebagai wanita yang melahirkan dan membesarkan Dave, mamah tahu anak itu sangat sayang sama kamu. Buktinya dia sampai rela gantiin pak Jiman jadi supir papah."
"Maksud mamah?"
"Dave tadi minta pak Jiman buat antar kamu pergi. Bahkan dia sampai kirim pesan ke mamah segala buat memastikan kamu berangkat kerjanya nggak sendirian," sambung Kate seraya memperlihatkan pesan singkat Dave di ponselnya.
Rachel seketika menundukkan kepal
Melihat istrinya diam saja, Dave jadi ikut terdiam. Mata keduanya saling berpandangan untuk beberapa saat."Rachel sudah makan siang?" tanya Dave tiba-tiba."Ini baru mau makan siang."Dave mengangguk paham."Saya tutup teleponnya dulu ya.""Kenapa buru-buru pengen tutup teleponnya sih? Kamu males ngobrol sama aku ya."Mendengar nada merajuk sang istri, membuat Dave terkekeh pelan."Bukan begitu. Saya juga belum makan siang, Hel. Nanti kita sambung lagi kalau sudah selesai makan saja ya.""Oh kirain.""Kirain apa?" sela Dave dengan cepat."Enggak apa-apa," elak Rachel sembari mengeleng."Jangan lupa makan siang ya."Rachel terlihat mengangguk patuh sebelum panggilan telepon itu terputus. Ia lalu mengambil napas panjang dan membua
"Gua heran sama lo. Apa yang sebenarnya lo lihat dari seorang Alex untuk mengurusi perusahaan cabang lo itu?" tanya Dave tanpa basa-basi.Emilio seketika tersenyum simpul."Lo sendiri, kenapa tertarik sekali dengan tameng gua yang satu itu? Apa Alex mengusik kehidupan pernikahan lo lagi?" tebak Emilio.Dave tidak terkejut saat Emilio mengetahui permasalahan rumah tangganya. Walau ia tidak cerita pun, Emilio yang terkenal lihai dan cerdik pasti telah mencari tahu tentang dirinya sebelum mereka bertemu hari ini. Terlebih pertemuan mereka beberapa hari yang lalu juga membahas tentang Alex."Sejauh mana lo mencari tahu tentang masalah gua? Mau berniat ikut campur?"Emilio kembali terkekeh pelan."Lo tenang saja. Gua bukan tipe orang semacam itu. Terlibat dalam urusan rumah tangga orang bukan style gua banget.""Baguslah kalau begitu," ucap Da
Dave terkekeh pelan menanggapi pertanyaan Rachel."Dia tidak punya pilihan lain selain menikahi wanita itu. Rumor tentang kehamilan Dewi mulai tersebar luas di kantormu."Rachel hanya mengangguk. Matanya nampak tertuju ke sebuah kartu undangan berwarna pink di tangannya. Entah apa yang tengah di pikirkan wanita itu hingga tak menyadari gerakan Dave yang semakin menempel padanya.Dave menyadarkan dagunya di atas salah satu bahu Rachel. Menghirup aroma lavender yang memberi ketenangan baginya. Hembusan napasnya yang mendadak menganggu Rachel yang tengah melamun."Geli, Dave. Kamu lagi ngapain sih?"Rachel merasakan ujung hidung Dave yang menyentuh permukaan kulitnya. Saat ia mencoba melepaskan tangan Dave, lelaki itu malah semakin mengeratkan pelukannya."Satu-satunya tikus liar yang menganggu hubungan kita sudah pergi. Apa kita harus merayakannya sekarang?"
"Dave... Tunggu... Kakiku sakit kalau berlarian begini," teriak Rachel yang masih berusaha mengejar Dave. Dave mendadak menghentikan langkah kakinya. Kemudian berbalik badan, sedikit meringis menatap Rachel yang berlari kecil untuk mendekatinya. "Jangan lari-larian begitu, Hel. Kamu tidak ingat kalau lagi hamil," protes Dave sambil mengeleng. "Habis kamu jalannya cepat sekali. Aku 'kan takut kamu tinggal. Nanti bisa-bisa aku malah nggak jadi pergi ke pesta," ucap Rachel sambil mengerucutkan bibirnya. "Ya, tuhan... Pikiran darimana lagi itu? Kalau saya berniat pergi sendiri, sudah dari tadi saya jalan." Dave memijat tengkuk kepalanya yang mendadak terasa tegang. "Mungkin saja kamu punya pikiran begitu karena kesal nunggu aku dandan dari tadi," ucap Rachel asal bicara. "Untuk apa saya repot tunggu kamu berjam-jam dandan
Dave mendongak. Melihat wajah sang istri yang seperti menahan sakit sambil mengelus perutnya, membuatnya bingung. "Perutmu kenapa, Hel?" tanya Dave terdengar cemas. Rachel mengeleng pelan sembari memaksakan senyumnya. "Enggak apa-apa, Dave. Hanya sedikit tegang saja tadi." "Benar enggak apa-apa? Perlu kita ke dokter sekarang?" "Enggak usah, Dave. Sekarang sudah nggak apa-apa kok," tolak Rachel seraya mengeleng pelan. Dada Rachel mendadak bergemuruh saat melihat wajah suaminya yang tengah menatap matanya lekat. Tatapan mata teduh bercampur rasa khawatir makin membuat kadar ketampanannya bertambah di mata Rachel. Dan ketika Dave duduk di sofa sebelahnya, Rachel malah bangkit berdiri. "Aku mau istirahat dulu di kamar sekalian ganti baju," ucap Rachel seraya ngacir ke kamarnya. Dave hanya memandang tanpa ekspresi kala melihat Rachel yang terlihat salah tingkah di depannya. Tidak berselang l
Dave terdiam, mencerna pertanyaan Rachel yang tidak biasa baginya. Ia sadar mereka berdua belum pernah berhubungan intim lagi semenjak hari itu. Terlebih kondisi Rachel yang pernah hampir keguguran, membuat Dave terlalu takut untuk menyentuhnya."Sudah sana ganti bajumu. Habis itu buatkan makanan. Saya lapar," ujar Dave sembari bangkit dari tempat duduknya.Dave melengang pergi masuk ke kamar dengan cepat. Tidak menghiraukan tatapan mata Rachel yang memandanginya dengan penuh tanda tanya. Wanita hazel itu menyadari suaminya sedang menghindarinya.Selesai memasak, Rachel memanggil Dave bermaksud mengajaknya makan bersama. Merasa tidak ada sahutan dari lelaki itu, ia pun berjalan menghampirinya yang sejak pulang dari pesta tadi belum keluar kamar."Dave..."Lelaki yang di panggil berulang kali itu nampak duduk terdiam di dalam kamar. Tatapan matanya seperti menyiratkan banyak hal.Rachel mengangkat sebelah alisnya kala melihat suaminya d
Dave malah bertanya balik seakan lupa dengan ucapannya sendiri. Tangan Dave perlahan menyentuh rambut Rachel yang menutupi wajahnya, menarik ke belakang telinga. Rachel menghela napas pelan. "Sampai curiga. Kamu bilang tadi mencurigai sesuatu." "Curiga kenapa?" Dave malah balik bertanya dengan memasang tampang polos. "Mana ku tahu. Kamu 'kan belum bilang apa-apa tadi," ketus Rachel terdengar kesal. "Masa sih?" Entah mengapa Rachel malah tambah kesal melihat tingkah Dave yang terus mengodanya. "Kalau nggak mau cerita, ya sudah nggak usah cerita." Melihat Rachel kembali mengerucutkan bibirnya, sontak Dave tertawa terbahak-bahak. "Oke. Saya akan ceritakan semuanya, tapi senyum dulu. Jangan cemberut begitu," pinta Dave seraya menghentikan tawanya. Pada akhirnya Dave mengalah. Ia tidak ingin memaksa dan malah jadi bertengkar dengan Rachel. "Saya sangat mengenal Emilio. Dia bukanlah orang y
Rachel menyadari sorot mata Dave yang nampak terluka dan penuh kebencian saat membahas tentang Alex. Mungkin memang sudah seharusnya bagi Rachel membuka hatinya untuk Dave dan menerimanya sebagai suami seutuhnya. Seketika ia sadar. Jika lelaki yang jadi suaminya bukan Dave, mungkin orang itu tidak akan mau menunggu selama ini. "Saya tidak bisa hidup bersama wanita yang pernah di miliki lelaki manapun. Itu prinsip saya. Kamu paham?" Rachel mengangguk patuh. Entah mengapa matanya mendadak berkaca-kaca saat bertemu pandang dengan manik grey lelaki itu. "Maaf ya, Dave. Aku mengaku salah dan nggak seharusnya minta cerai hanya karena menuruti permintaan konyol Alex waktu itu," sesal Rachel sambil mengusap tangan Dave. "Sudahlah, Hel. Jangan bahas hal itu lagi. Kamu tidak perlu meminta maaf begitu. Tidak ada yang salah diantara kita." Melihat matanya bergenang, Dave menangkup pipi Rachel dengan kedua tangannya. Mengusap lembut pip
Rachel menatap lama ke sebuah tanggal pada kalender yang tengah di pegangnya. Ia baru sadar kalau bulan ini dirinya belum juga kedatangan tamu bulan. Pembalutnya yang tersimpan di box penyimpanan masih utuh. Meski sudah pernah mengandung Darrel, tetap saja kali ini dia kecolongan. "Bodoh. Kenapa kamu baru menyadarinya sekarang setelah dua bulan berlalu?" umpatnya pada diri sendiri. Rachel yakin dirinya hamil, tapi ingin memastikannya dulu sebelum memberitahukan kabar bahagia ini pada sang suami. Pagi-pagi sekali Rachel pergi ke apotek dekat rumah untuk membeli alat tes kehamilan. Begitu sampai di rumah, Dave memarahi Rachel karena pergi tanpa izin. "Darimana saja kamu? Kenapa pergi tanpa membangunkanku dulu?" cecar Dave begitu Rachel kembali. "Aku hanya pergi ke apotek dekat sini," jawab Rachel santai. "Kamu sakit?" Dave mendekat. Di sentuhnya kening dan leher istrinya bergantian dengan punggung tangannya.&nbs
Dewi yang tengah mengatur laju napasnya yang masih memburu, seketika terlonjak kaget. Ia mendongak, menatap Alex yang kini sudah terbaring di sampingnya dengan mata terpejam.Dewi mengumpat melalui tatapan matanya. Ia tidak menyangka Alex malah menyebut wanita lain saat bercinta dengannya."Jadi yang kau bayangkan saat bercinta denganku tadi itu Rachel," desis Dewi nampak tersinggung.Percuma saja Dewi berbicara, Alex sepertinya tidak mendengarkannya. Napasnya yang teratur diiringin suara dengkuran halus yang keluar dari mulut Alex, menandakan lelaki itu sudah tertidur nyenyak.Kekagumannya pada sang bos membuatnya lupa diri, berharap suatu saat Alex dapat melihat cintanya yang teramat besar. Logikanya seakan hilang, tergantikan akan keinginannya untuk memiliki Alex seutuhnya.Kini Dewi hanya bisa menyesal dan terus menyalahkan diri sendiri. Tindakan bodohnya waktu itu ternyata membuahkan hasil hingga dirinya sekarang berakhir terkurung dalam
Trauma itu akan tetap ada. Bahkan setelah berbulan-bulan lamanya Alex tak lagi mengusik rumah tangga Rachel. Wanita itu terkadang masih di dera ketakutan yang sama. Takut jika suatu hari nanti Alex datang menemui Rachel di saat lelaki itu sedang tidak waras seperti waktu itu. Bayang-bayang masa lalu dimana wanita itu mendapat perlakuan tidak menyenangkan kembali melintas seketika. Saat itu Rachel sedang bersembunyi dari kejaran Alex. Lelaki itu terlihat seperti orang gila setelah Rachel dengan tegas berterus terang ingin memutus hubungan dengannya. Wanita itu awalnya mengira dapat terbebas setelah bersembunyi. Namun Alex rupanya menemukan tempat persembunyian Rachel. "Lex, aku mau pulang. Kita bicara besok lagi ya. Sampai ketemu besok," ujar Rachel berbicara setenang mungkin. Melihat mata Alex yang mengelap seperti bukan dirinya, Rachel segera bergegas pergi. Namun wanita itu terlambat. Alex tiba-tiba meraih pergelangan tangan Rachel, menariknya
Dave menatap wajah Rachel lekat. "Kamu pernah bilang nggak sabar mau lihat anak kamu. Tapi kenapa begitu Darrel lahir, kamu jadi cuek begini?" Wajah Dave yang semula tanpa ekspresi kini malah tersenyum miring. "Anak saya? Apa kamu yakin kalau Darrel itu anak saya?" Rachel tersentak dengan pertanyaan Dave. Ia tidak menyangka Dave akan meragukan keberadaan Darrel. "Apa maksudmu, Dave?" Dave memandang wajah Rachel dengan tatapan yang sulit di artikan. "Waktu saya ke kantor kamu buat kasih surat pengunduran diri itu, Alex sempat berkata sesuatu ke saya. Soal anak itu—" Rachel seketika merasa was-was sekaligus penasaran dengan apa yang di katakan Alex ke Dave. "Lelaki itu bilang kalian berdua pernah berhubungan badan di belakang saya. Benar begitu?" tanya Dave nampak tenang. "Dave... Aku bisa jelaskan semuanya ke kamu." Sudut bibir Dave seketika tertarik ke atas. "Jadi tangis kesedihan s
Damian dan Kate terlihat terkejut setelah mendengar penuturan Cindy. Mereka tidak habis pikir dengan kelakuan anak lelakinya yang hingga kini belum terlihat juga batang hidungnya."Anak itu ya benar-benar kelakuannya. Awas saja nanti kalau sudah datang. Papah pukul kepalanya. Biar tahu rasa," sungut Damian seraya mengeleng kesal."Padahal sudah sering mamah kasih tahu. Kejadian juga. Istrinya mau lahiran, malah pergi kemana lagi tuh anak."Kate juga ikut meruntuki dengan berbagai caci maki yang ditujukan untuk Dave."Sudahlah, Pah, Mah. Mengomelnya nanti saja pas kak Dave sudah ada. Lebih baik sekarang kita berdoa semoga persalinan kak Rachel diberi kelancaran," saran Cindy menengahi.Damian dan Kate saling berpandangan untuk beberapa saat. Kemudian mengangguk. Kini mereka sudah lebih tenang. Walaupun sesekali Damian terlihat mondar-mandir di depan ruang bersalin. Sedangkan. Cindy dan Kate yang duduk bersebelahan terlihat saling menguatkan se
Entah sengaja atau tidak, Dave dengan polosnya malah bertanya pertanyaan yang membuat mamahnya semakin jengkel mendengarnya."Benar-benar ini anak ya," geram Kate sembari meremas ponsel Rachel.Tidak ingin keributan semakin meluas, Rachel pun berusaha menenangkan mertuanya."Sudahlah, Mah. Tidak apa-apa. Mamah tidak perlu cemas. Kata dokter masih seminggu lagi. Lagipula masih ada Dave yang bakal selalu jagain Rachel. Ya kan, Dave?""Hmm..."Dave berdeham sekenanya. Lelaki itu mengiyakan saja perkataan Rachel agar dapat terbebas dari amukan mamahnya.☆☆☆Rachel melirik ke arah jam di dinding yang saat ini menunjukkan pukul empat sore. Melihat hari sudah mulai senja, ia lantas bergegas menuju dapur untuk menyiapkan makan malam.Walau gerakannya sudah tidak bisa segesit dulu lagi, namun ia tidak terlihat mengeluh. Wanita itu malah akan bosan kalau hanya duduk-duduk bersantai, menunggu suami pulang kerja. Untuk itu Rach
Setelah Dave berhasil melepaskan diri, lelaki itu malah bangkit dan berjalan ke luar kamar. Mata Rachel kembali berkaca-kaca ketika melihat bayang-bayang yang perlahan menghilang dari balik pintu. Rachel kembali merasa sedih saat menyadari suaminya sudah tidak tertarik lagi padanya. Semenjak kejadian malam itu, Dave benar-benar menghentikan frekuensi hubungan intim mereka. Entah mengapa lelaki itu jadi kehilangan gairahnya, seperti malam ini. Andai saja wanita itu tahu. Dave sebenarnya hampir menyentuh Rachel kembali malam ini, tapi gairah Dave mendadak padam ketika terbayang Rachel pernah di sentuh lelaki lain saat masih berstatus sebagai istrinya. Andai lelaki itu tidak teringat kata-kata Alex tempo hari, mungkin mereka tidak akan tidur di ranjang yang terpisah malam ini. ☆☆☆ Seorang lelaki berambut pirang nampak tengah berjalan memasuki kawasan poliklinik ibu dan anak di sebuah rumah sakit. Langkah kakinya mendadak berhenti saat melihat peman
Rachel tiba-tiba kembali menyinggung nama Alex saat mereka tengah makan bersama. Dave yang tengah menyendokkan makanan ke mulutnya, jadi berhenti begitu nama lelaki itu disebut. Selera makannya mendadak hilang entah kemana."Bukankah saya sudah cerita ya? Tidak dengar? Waktu itu telingamu kemana saat saya sedang bicara," ketus Dave menahan kesal.Mata hazel wanita itu mendadak berkaca-kaca mendengar nada tidak bersahabat yang keluar dari mulut suaminya."Aku tidak tahu apa saja yang Alex katakan padamu. Tapi kumohon jangan percaya apapun yang di ucapkannya. Dia itu," lirih Rachel menahan isak tangis yang ingin keluar.Suara sendok yang beradu dengan piring seketika membungkam mulut Rachel. Wanita itu berjingkat kaget mendengar suara bunyi sendok yang di lempar Dave. Entah di sengaja atau tidak, Dave tiba-tiba menaruh sendok makannya dengan kasar."Alex lagi. Alex lagi. Apa kamu tidak bisa membicarakan hal lain selain lelaki itu, Hah?"
Rachel membuka matanya, merasakan sebuah tendangan kuat di perutnya. Sontak ia mendongak sembari mengusap-usap perut besarnya."Kenapa, Sayang? Sudah lapar ya. Tunggu sebentar ya, Sayang. Kita makan sama-sama setelah menunggu papa pulang ya. Mama yakin papamu pasti sebentar lagi pulang," gumam Rachel seakan tengah berbicara dengan anak yang di kandungnya.Bayi di perutnya semakin aktif saja bergerak setiap harinya. Rachel memakan beberapa keping biskut dicampur dengan susu untuk menganjal rasa lapar. Ia tidak ingin anaknya ikut kelaparan menunggu suaminya yang tak kunjung pulang.Keinginan Rachel yang ingin makan malam bersama Dave yang menjadikan alasan wanita hamil itu tetap duduk setia di depan meja makan saat ini. Berulang kali ia menghela napas panjang setelah menyadari Dave belum juga pulang padahal hari sudah mulai petang."Sepertinya hari ini Dave lembur lagi," desah Rachel sembari menatap jam dinding.Hubungan Dave dan Rachel semakin