Dave terkekeh pelan menanggapi pertanyaan Rachel.
"Dia tidak punya pilihan lain selain menikahi wanita itu. Rumor tentang kehamilan Dewi mulai tersebar luas di kantormu."
Rachel hanya mengangguk. Matanya nampak tertuju ke sebuah kartu undangan berwarna pink di tangannya. Entah apa yang tengah di pikirkan wanita itu hingga tak menyadari gerakan Dave yang semakin menempel padanya.
Dave menyadarkan dagunya di atas salah satu bahu Rachel. Menghirup aroma lavender yang memberi ketenangan baginya. Hembusan napasnya yang mendadak menganggu Rachel yang tengah melamun.
"Geli, Dave. Kamu lagi ngapain sih?"
Rachel merasakan ujung hidung Dave yang menyentuh permukaan kulitnya. Saat ia mencoba melepaskan tangan Dave, lelaki itu malah semakin mengeratkan pelukannya.
"Satu-satunya tikus liar yang menganggu hubungan kita sudah pergi. Apa kita harus merayakannya sekarang?"
"Dave... Tunggu... Kakiku sakit kalau berlarian begini," teriak Rachel yang masih berusaha mengejar Dave. Dave mendadak menghentikan langkah kakinya. Kemudian berbalik badan, sedikit meringis menatap Rachel yang berlari kecil untuk mendekatinya. "Jangan lari-larian begitu, Hel. Kamu tidak ingat kalau lagi hamil," protes Dave sambil mengeleng. "Habis kamu jalannya cepat sekali. Aku 'kan takut kamu tinggal. Nanti bisa-bisa aku malah nggak jadi pergi ke pesta," ucap Rachel sambil mengerucutkan bibirnya. "Ya, tuhan... Pikiran darimana lagi itu? Kalau saya berniat pergi sendiri, sudah dari tadi saya jalan." Dave memijat tengkuk kepalanya yang mendadak terasa tegang. "Mungkin saja kamu punya pikiran begitu karena kesal nunggu aku dandan dari tadi," ucap Rachel asal bicara. "Untuk apa saya repot tunggu kamu berjam-jam dandan
Dave mendongak. Melihat wajah sang istri yang seperti menahan sakit sambil mengelus perutnya, membuatnya bingung. "Perutmu kenapa, Hel?" tanya Dave terdengar cemas. Rachel mengeleng pelan sembari memaksakan senyumnya. "Enggak apa-apa, Dave. Hanya sedikit tegang saja tadi." "Benar enggak apa-apa? Perlu kita ke dokter sekarang?" "Enggak usah, Dave. Sekarang sudah nggak apa-apa kok," tolak Rachel seraya mengeleng pelan. Dada Rachel mendadak bergemuruh saat melihat wajah suaminya yang tengah menatap matanya lekat. Tatapan mata teduh bercampur rasa khawatir makin membuat kadar ketampanannya bertambah di mata Rachel. Dan ketika Dave duduk di sofa sebelahnya, Rachel malah bangkit berdiri. "Aku mau istirahat dulu di kamar sekalian ganti baju," ucap Rachel seraya ngacir ke kamarnya. Dave hanya memandang tanpa ekspresi kala melihat Rachel yang terlihat salah tingkah di depannya. Tidak berselang l
Dave terdiam, mencerna pertanyaan Rachel yang tidak biasa baginya. Ia sadar mereka berdua belum pernah berhubungan intim lagi semenjak hari itu. Terlebih kondisi Rachel yang pernah hampir keguguran, membuat Dave terlalu takut untuk menyentuhnya."Sudah sana ganti bajumu. Habis itu buatkan makanan. Saya lapar," ujar Dave sembari bangkit dari tempat duduknya.Dave melengang pergi masuk ke kamar dengan cepat. Tidak menghiraukan tatapan mata Rachel yang memandanginya dengan penuh tanda tanya. Wanita hazel itu menyadari suaminya sedang menghindarinya.Selesai memasak, Rachel memanggil Dave bermaksud mengajaknya makan bersama. Merasa tidak ada sahutan dari lelaki itu, ia pun berjalan menghampirinya yang sejak pulang dari pesta tadi belum keluar kamar."Dave..."Lelaki yang di panggil berulang kali itu nampak duduk terdiam di dalam kamar. Tatapan matanya seperti menyiratkan banyak hal.Rachel mengangkat sebelah alisnya kala melihat suaminya d
Dave malah bertanya balik seakan lupa dengan ucapannya sendiri. Tangan Dave perlahan menyentuh rambut Rachel yang menutupi wajahnya, menarik ke belakang telinga. Rachel menghela napas pelan. "Sampai curiga. Kamu bilang tadi mencurigai sesuatu." "Curiga kenapa?" Dave malah balik bertanya dengan memasang tampang polos. "Mana ku tahu. Kamu 'kan belum bilang apa-apa tadi," ketus Rachel terdengar kesal. "Masa sih?" Entah mengapa Rachel malah tambah kesal melihat tingkah Dave yang terus mengodanya. "Kalau nggak mau cerita, ya sudah nggak usah cerita." Melihat Rachel kembali mengerucutkan bibirnya, sontak Dave tertawa terbahak-bahak. "Oke. Saya akan ceritakan semuanya, tapi senyum dulu. Jangan cemberut begitu," pinta Dave seraya menghentikan tawanya. Pada akhirnya Dave mengalah. Ia tidak ingin memaksa dan malah jadi bertengkar dengan Rachel. "Saya sangat mengenal Emilio. Dia bukanlah orang y
Rachel menyadari sorot mata Dave yang nampak terluka dan penuh kebencian saat membahas tentang Alex. Mungkin memang sudah seharusnya bagi Rachel membuka hatinya untuk Dave dan menerimanya sebagai suami seutuhnya. Seketika ia sadar. Jika lelaki yang jadi suaminya bukan Dave, mungkin orang itu tidak akan mau menunggu selama ini. "Saya tidak bisa hidup bersama wanita yang pernah di miliki lelaki manapun. Itu prinsip saya. Kamu paham?" Rachel mengangguk patuh. Entah mengapa matanya mendadak berkaca-kaca saat bertemu pandang dengan manik grey lelaki itu. "Maaf ya, Dave. Aku mengaku salah dan nggak seharusnya minta cerai hanya karena menuruti permintaan konyol Alex waktu itu," sesal Rachel sambil mengusap tangan Dave. "Sudahlah, Hel. Jangan bahas hal itu lagi. Kamu tidak perlu meminta maaf begitu. Tidak ada yang salah diantara kita." Melihat matanya bergenang, Dave menangkup pipi Rachel dengan kedua tangannya. Mengusap lembut pip
Dave terkekeh pelan mendengar sindiran Rachel yang terdengar agak kesal. "Galak banget bumil yang satu ini," gumam Dave sambil mencubit pelan pipi Rachel. Rachel melirik tajam ke arah Dave sembari mengusap-usap pipinya yang habis di cubit. "Saya dengar dan paham kode kamu dari tadi. Tapi jangan sekarang ya, Sayang." "Kenapa? Apa karena bentuk tubuhku yang sudah berubah?" tanya Rachel dengan nada menuduh. Rachel menuntut penjelasan Dave yang tidak pernah menyentuhnya lagi. Selama ini ia berpikir, perubahan bentuk tubuh akibat kehamilan telah membuatnya tidak menarik lagi di pandang mata. Pikiran buruk itu makin memperkuat dugaannya kala menyadari sikap Dave yang selalu menghindar untuk menyentuhnya. Dave terdiam. Dahinya mengkerut dengan alis mata yang terangkat sebelah. Ia tengah berusaha mencerna pertanyaan Rachel. "Kenapa sekarang malah diam? Benar bukan yang ku katakan barusan? Kamu jijik karena aku sekarang gendut dan
Dave mengeliat pelan kala sinar matahari menerpa wajah tampannya. Tangannya bergerak ke segala arah. Kemudian mendadak berhenti saat merasakan benda kenyal menyentuh telapak tangannya. Wajah Rachel yang terpejam jadi pemandangan pertama yang di lihat Dave kala ia membuka mata. Sedetik kemudian, sudut mulutnya terangkat, melengkung membentuk senyuman. Tangannya lantas beralih memeluk pinggang Rachel sembari bergerak lebih merapat ke arahnya. Di banding dengan awal-awal pernikahannya dulu, Dave kini sudah bisa menerima kehadiran Rachel yang tidur satu ranjang di apartemennya. Dave merasakan mata Rachel bergerak-gerak pelan. Perlahan kedua mata wanita itu terbuka. "Selamat pagi," sapa Dave sembari tersenyum lembut. Rachel ikut tersenyum membalas sapaan suaminya. "Bagaimana tidurmu tadi malam? Nyenyak?" Dave tertawa kecil mendengarnya. Lalu mengecup bibir Rachel dengan cepat. Semburat merah mendadak nampak di pipi istrinya.
Rachel terkikik pelan mendengar pertanyaan suaminya. Ia tidak menduga, Dave masih mengingat julukan yang pernah di berikan padanya. Julukan yang beberapa kali ia katakan di saat sedang kesal dengan tingkah menyebalkan lelaki itu. "Memang kamu si pirang rese. Rambutmu yang pirang di tambah kelakuanmu yang rese dan menyebalkan. Wajarlah kalau kamu ku panggil pirang rese," ledek Rachel menahan tawanya. "Mulai berani bertingkah kamu ya sekarang. Sudah tidak takut lagi rupanya. Mau tak jitak, hah?" Dave mendadak berkacah pinggang. Wajahnya sengaja ia buat segalak mungkin. Bukannya takut, Rachel malah tertawa melihat Dave yang terlihat berpura-pura marah. "Jangan di jitak, Dave. Nanti aku benjol. Kamu mau punya istri yang kepalanya benjol-benjol," kelit Rachel sembari nyengir polos. Dave menghela napas sebal sembari membuang muka. Malas menanggapi ucapan Rachel yang tidak masuk akal baginya. Menyadari wajah sang suami masih