Entah sudah berapa kali Rachel mengetuk pintu. Berharap Dave membukakannya dengan cepat. Ketukannya di pintu perlahan mulai melemah seiring dengan rasa dingin yang menjalar di tubuhnya.
"Dave, ku mohon buka pintunya. Disini dingin sekali. Nanti kalau aku masuk angin, lalu sakit bagaimana? Pikirkanlah siapa nantinya yang akan memasakkanmu makanan," bujuk Rachel tanpa henti.Ceklek...Dave membuka pintu kamar mandi. Lalu menarik paksa Rachel keluar. Tubuhnya yang kedinginan seketika jatuh tersungkur di antara kaki Dave. Dave memegangi pundak Rachel dengan kedua tangannya. Rachel dapat berdiri kembali dengan tegak akibat cengkraman kuat di pundaknya."Kau yang memaksaku untuk melakukan ini. Tidak seharusnya seorang wanita yang sudah menikah pulang berduaan dengan lelaki yang bukan suaminya, kecuali keluarganya. Tidak sepantasnya, wanita yang sudah menikah berciuman dengan lelaki selain suami dan anaknya. Tidak sehaDave benar-benar menumpahkan semua perasaannya malam itu. Amarah, kekecewaan dan kekesalannya pada Rachel bercampur dengan kenikmatan merasakan tubuh bagian bawahnya yang menyatu sempurna dengan milik Rachel. "Selama kita masih terikat pernikahan. Kau hanya akan jadi milikku seorang. Mengerti?" tegas Dave terdengar mengintimidasi. Rachel tidak menjawab. Ia sendiri sibuk menyeimbangkan goyangan Dave yang semakin cepat. "Kau dengar itu 'kan, Rachel?" Dave menarik rambut Rachel, menuntut jawaban dari pertanyaannya. Rachel mengangguk saja sembari meringis kecil saat rambutnya di tarik. Helaian rambut Rachel seketika terkumpul jadi satu di tangan Dave. Rachel terpaksa mendongakkan kepalanya saat tangan Dave semakin kencang menarik rambutnya. "Jangan tarik rambutku, Dave. Iya. Maaf. Aku janji tidak akan mengulangi lagi," ucap Rachel terdengar bersungguh
"Aku ingin tetap bekerja bukan karena Alex, tapi untuk diriku sendiri. Kalaupun tidak ada Alex sekalipun di perusahaan itu, aku tetap ingin terus bekerja disana. Maaf untuk kali ini aku tidak bisa pergi begitu saja. Kalau ku lakukan hal itu, sama saja dengan mempertaruhkan kredibilitas ku dalam bekerja. Orang akan mencap diriku amatiran dan aku tidak ingin mendengar perkataan seperti itu." Walau kedua mata Dave tertutup rapat, lelaki itu tidak benar-benar tertidur. Ia memejamkan matanya hanya untuk menetralkan gejolak hatinya akibat gesekan kulit Rachel yang bersentuhan dengannya. Kedua telinganya mendengar sepenuhnya dengan jelas setiap perkataan yang terucap dari bibir Rachel. Ia mendesah pelan setelah Rachel selesai mengungkapkan alasan yang agar dirinya menarik perkataannya yang sebelumnya telah melarang Rachel bekerja. "Saya mengerti dan paham betul maksud perkatanmu. Itu pemikiran yang bagus sebagai seo
Semenjak percakapaan mereka di pagi hari itu, sikap Dave kepada Rachel pun berubah. Ia masih suka mengatur dan memberi perintah layaknya raja. Namun Rachel merasa Dave lebih sering mengajaknya berbicara daripada sebelumnya. Pada akhirnya Dave mengizinkan Rachel bekerja. Namun ia memaksa Rachel agar mau di antar jemput olehnya ke kantor. Pulang pergi dengan Dave merupakan salah satu syarat yang di mintanya kalau Rachel masih ingin bekerja di perusahaan Alex. Selain itu Dave memberikan syarat lain yang harus di patuhi Rachel. Ia mewajibkan Rachel untuk menghubungi dan memberikan selca —yang merupakan akronim dari self camera— saat jam makan siang. Kalau Rachel tidak patuh sekali saja, Dave akan marah dan mengancam akan menghukumnya. Pernah suatu ketika, Rachel benar-benar lupa menghubungi Dave akibat sibuknya pekerjaan. Ia juga tidak mengirimkan selca saat jam istirahat. Bagaimana bisa be
"Dave. Tunggu aku," teriak Rachel saat melihat Dave telah berjalan menjauhinya. Dave terus melangkahkan kakinya. Ia tidak menghiraukan teriakan Rachel yang memintanya untuk menunggu. Rachel berlari-lari kecil mengejar Dave yang berjalan semakin menjauh. Ia nampak kesulitan berlari akibat sepatu heels yang tengah dikenakannya. Dave tidak menoleh sedikit pun dan memasukki apartement lebih dulu tanpa menunggu Rachel yang tertinggal jauh di belakangnya. Saat Rachel sudah di dalam rumah, ia lantas berjalan menghampiri Dave. Tapi Dave malah berjalan masuk ke kamarnya sembari melonggarkan dasi yang melilit lehernya. Mau tidak mau Rachel mengikuti Dave sampai ke dalam kamar. "Aku tidak berbohong, Dave. Sungguh aku tidak mendengar panggilan teleponmu," tutur Rachel mencoba menjelaskan kejadian yang sebenarnya. "Kenapa bisa tida
Mata keduanya saling terkunci dengan napas yang memburu. Saling menghirup oksigen sebanyak mungkin yang mereka bisa. "Kau sudah tahu bukan kalau saya tidak suka penolakan? Maka dari itu, saya akan minta persetujuan darimu dulu sebelum melanjutkannya," ucap Dave dengan cepat. Walau gairahnya sedang berada di puncak dan sulit di padamkan, namun Dave tidak mau melakukannya tanpa izin dari Rachel. Ia melakukan hal itu untuk melindungi harga dirinya dari penolakan Rachel tempo hari. Serta menjauhkan rasa bersalah yang mungkin akan dirasakannya. Yang jelas Dave tidak ingin di salahkan apalagi sampai ada yang beranggapan dirinya telah melakukan pelecehan terhadap wanita. Sesuatu tindakan yang tak ada ubahnya, bagai binatang yang tak punya etika. Rachel membatin dalam hati. Meminta izin? Sesuatu yang sangat aneh di dengar Rachel keluar dari mulut lelaki itu, membuatnya terdiam
"Siapa suruh bengong? Bukannya makan malah melamun," omel Dave sembari mengeleng pelan. "Ini juga lagi mau makan. Belum juga makan udah bawel saja kamu," keluh Rachel sambil mengerucutkan bibirnya. "Saya mau tidur ya. Bukan mau dengar keluhanmu," ujar Dave memperingatkan. Bibir memberengut dengan lengkungan ke bawah nampak jelas di wajah Rachel yang mendadak kesal setelah mendengar omelan Dave. Tubuh Dave yang kini tengah memunggungi Rachel, membuat lelaki itu tidak menyadari perubahan raut wajah istrinya. "Keluar sana! Kalau cuma mau mengeluh, jangan di sini. Di luar saja sana," usir Dave sembari menguap lebar-lebar. Rachel sudah tidak tahan lagi. Matanya seketika melotot dengan kepalan tangan terayun di atas kepala Dave. Sebelum kepalan tangan itu benar-benar mengenai kepala lelaki pirang di hadapan
Mata Hazel Rachel kini tengah memandangi wajah Alex. Sikap Alex yang kerap merajuk inilah yang membuat Rachel sulit mengungkapkan kenyataan pahit padanya. Bertahun-tahun mengenal Alex, membuat Rachel memahaminya lebih dari siapapun. Di mata Rachel, Alex tak ubahnya lelaki rapuh yang berusaha kuat di depan orang lain. Dan hanya kepada dirinya Alex menunjukkan sisi lemahnya itu. Banyak hal telah mereka lalui bersama menyadarkan Rachel bahwa Alex membutuhkan kasih sayang. Andai saja ada wanita lain selain dirinya yang dekat dengan Alex, mungkin Rachel tidak akan sesulit ini melepasnya pergi. Setidaknya Rachel bisa menjadi pendengar yang baik untuknya saat ini. Walau raganya sudah jadi milik Dave sepenuhnya. Perlahan ia menyentuh pundak Alex. "Jangan begitu, Lex." Mendengar suara lembut Rachel, Alex pun menoleh.
Lima jam sebelumnya... Dewi tengah berada di ruangan Alex. "Ada lagi yang harus saya tanda tangani?" tanyanya saat tengah membubuhkan tanda tangan terakhirnya. Karena terlalu sibuk memandangi wajah bosnya dengan tatapan penuh kekaguman, membuat Dewi tidak mendengar pertanyaan Alex. Merasa tidak ada jawaban, membuat Alex menoleh. Hal ini sontak malah membuat Dewi menahan napas karena ditatap langsung oleh atasan yang di kaguminya. "Dewi..." Panggilan bernada tegas yang keluar dari mulut Alex, seketika membuyarkan lamunan Dewi dan mengembalikan kinerja otaknya yang sempat tersendat. "Eh, iya. Kebetulan hanya Itu saja, Pak." Dewi menjawab sambil tersenyum-senyum malu. Namun Alex hanya mengangguk pelan dan malah menatap ke arah lain. "Bisakah saya titip ini untuk kau berikan ke mejan
Rachel menatap lama ke sebuah tanggal pada kalender yang tengah di pegangnya. Ia baru sadar kalau bulan ini dirinya belum juga kedatangan tamu bulan. Pembalutnya yang tersimpan di box penyimpanan masih utuh. Meski sudah pernah mengandung Darrel, tetap saja kali ini dia kecolongan. "Bodoh. Kenapa kamu baru menyadarinya sekarang setelah dua bulan berlalu?" umpatnya pada diri sendiri. Rachel yakin dirinya hamil, tapi ingin memastikannya dulu sebelum memberitahukan kabar bahagia ini pada sang suami. Pagi-pagi sekali Rachel pergi ke apotek dekat rumah untuk membeli alat tes kehamilan. Begitu sampai di rumah, Dave memarahi Rachel karena pergi tanpa izin. "Darimana saja kamu? Kenapa pergi tanpa membangunkanku dulu?" cecar Dave begitu Rachel kembali. "Aku hanya pergi ke apotek dekat sini," jawab Rachel santai. "Kamu sakit?" Dave mendekat. Di sentuhnya kening dan leher istrinya bergantian dengan punggung tangannya.&nbs
Dewi yang tengah mengatur laju napasnya yang masih memburu, seketika terlonjak kaget. Ia mendongak, menatap Alex yang kini sudah terbaring di sampingnya dengan mata terpejam.Dewi mengumpat melalui tatapan matanya. Ia tidak menyangka Alex malah menyebut wanita lain saat bercinta dengannya."Jadi yang kau bayangkan saat bercinta denganku tadi itu Rachel," desis Dewi nampak tersinggung.Percuma saja Dewi berbicara, Alex sepertinya tidak mendengarkannya. Napasnya yang teratur diiringin suara dengkuran halus yang keluar dari mulut Alex, menandakan lelaki itu sudah tertidur nyenyak.Kekagumannya pada sang bos membuatnya lupa diri, berharap suatu saat Alex dapat melihat cintanya yang teramat besar. Logikanya seakan hilang, tergantikan akan keinginannya untuk memiliki Alex seutuhnya.Kini Dewi hanya bisa menyesal dan terus menyalahkan diri sendiri. Tindakan bodohnya waktu itu ternyata membuahkan hasil hingga dirinya sekarang berakhir terkurung dalam
Trauma itu akan tetap ada. Bahkan setelah berbulan-bulan lamanya Alex tak lagi mengusik rumah tangga Rachel. Wanita itu terkadang masih di dera ketakutan yang sama. Takut jika suatu hari nanti Alex datang menemui Rachel di saat lelaki itu sedang tidak waras seperti waktu itu. Bayang-bayang masa lalu dimana wanita itu mendapat perlakuan tidak menyenangkan kembali melintas seketika. Saat itu Rachel sedang bersembunyi dari kejaran Alex. Lelaki itu terlihat seperti orang gila setelah Rachel dengan tegas berterus terang ingin memutus hubungan dengannya. Wanita itu awalnya mengira dapat terbebas setelah bersembunyi. Namun Alex rupanya menemukan tempat persembunyian Rachel. "Lex, aku mau pulang. Kita bicara besok lagi ya. Sampai ketemu besok," ujar Rachel berbicara setenang mungkin. Melihat mata Alex yang mengelap seperti bukan dirinya, Rachel segera bergegas pergi. Namun wanita itu terlambat. Alex tiba-tiba meraih pergelangan tangan Rachel, menariknya
Dave menatap wajah Rachel lekat. "Kamu pernah bilang nggak sabar mau lihat anak kamu. Tapi kenapa begitu Darrel lahir, kamu jadi cuek begini?" Wajah Dave yang semula tanpa ekspresi kini malah tersenyum miring. "Anak saya? Apa kamu yakin kalau Darrel itu anak saya?" Rachel tersentak dengan pertanyaan Dave. Ia tidak menyangka Dave akan meragukan keberadaan Darrel. "Apa maksudmu, Dave?" Dave memandang wajah Rachel dengan tatapan yang sulit di artikan. "Waktu saya ke kantor kamu buat kasih surat pengunduran diri itu, Alex sempat berkata sesuatu ke saya. Soal anak itu—" Rachel seketika merasa was-was sekaligus penasaran dengan apa yang di katakan Alex ke Dave. "Lelaki itu bilang kalian berdua pernah berhubungan badan di belakang saya. Benar begitu?" tanya Dave nampak tenang. "Dave... Aku bisa jelaskan semuanya ke kamu." Sudut bibir Dave seketika tertarik ke atas. "Jadi tangis kesedihan s
Damian dan Kate terlihat terkejut setelah mendengar penuturan Cindy. Mereka tidak habis pikir dengan kelakuan anak lelakinya yang hingga kini belum terlihat juga batang hidungnya."Anak itu ya benar-benar kelakuannya. Awas saja nanti kalau sudah datang. Papah pukul kepalanya. Biar tahu rasa," sungut Damian seraya mengeleng kesal."Padahal sudah sering mamah kasih tahu. Kejadian juga. Istrinya mau lahiran, malah pergi kemana lagi tuh anak."Kate juga ikut meruntuki dengan berbagai caci maki yang ditujukan untuk Dave."Sudahlah, Pah, Mah. Mengomelnya nanti saja pas kak Dave sudah ada. Lebih baik sekarang kita berdoa semoga persalinan kak Rachel diberi kelancaran," saran Cindy menengahi.Damian dan Kate saling berpandangan untuk beberapa saat. Kemudian mengangguk. Kini mereka sudah lebih tenang. Walaupun sesekali Damian terlihat mondar-mandir di depan ruang bersalin. Sedangkan. Cindy dan Kate yang duduk bersebelahan terlihat saling menguatkan se
Entah sengaja atau tidak, Dave dengan polosnya malah bertanya pertanyaan yang membuat mamahnya semakin jengkel mendengarnya."Benar-benar ini anak ya," geram Kate sembari meremas ponsel Rachel.Tidak ingin keributan semakin meluas, Rachel pun berusaha menenangkan mertuanya."Sudahlah, Mah. Tidak apa-apa. Mamah tidak perlu cemas. Kata dokter masih seminggu lagi. Lagipula masih ada Dave yang bakal selalu jagain Rachel. Ya kan, Dave?""Hmm..."Dave berdeham sekenanya. Lelaki itu mengiyakan saja perkataan Rachel agar dapat terbebas dari amukan mamahnya.☆☆☆Rachel melirik ke arah jam di dinding yang saat ini menunjukkan pukul empat sore. Melihat hari sudah mulai senja, ia lantas bergegas menuju dapur untuk menyiapkan makan malam.Walau gerakannya sudah tidak bisa segesit dulu lagi, namun ia tidak terlihat mengeluh. Wanita itu malah akan bosan kalau hanya duduk-duduk bersantai, menunggu suami pulang kerja. Untuk itu Rach
Setelah Dave berhasil melepaskan diri, lelaki itu malah bangkit dan berjalan ke luar kamar. Mata Rachel kembali berkaca-kaca ketika melihat bayang-bayang yang perlahan menghilang dari balik pintu. Rachel kembali merasa sedih saat menyadari suaminya sudah tidak tertarik lagi padanya. Semenjak kejadian malam itu, Dave benar-benar menghentikan frekuensi hubungan intim mereka. Entah mengapa lelaki itu jadi kehilangan gairahnya, seperti malam ini. Andai saja wanita itu tahu. Dave sebenarnya hampir menyentuh Rachel kembali malam ini, tapi gairah Dave mendadak padam ketika terbayang Rachel pernah di sentuh lelaki lain saat masih berstatus sebagai istrinya. Andai lelaki itu tidak teringat kata-kata Alex tempo hari, mungkin mereka tidak akan tidur di ranjang yang terpisah malam ini. ☆☆☆ Seorang lelaki berambut pirang nampak tengah berjalan memasuki kawasan poliklinik ibu dan anak di sebuah rumah sakit. Langkah kakinya mendadak berhenti saat melihat peman
Rachel tiba-tiba kembali menyinggung nama Alex saat mereka tengah makan bersama. Dave yang tengah menyendokkan makanan ke mulutnya, jadi berhenti begitu nama lelaki itu disebut. Selera makannya mendadak hilang entah kemana."Bukankah saya sudah cerita ya? Tidak dengar? Waktu itu telingamu kemana saat saya sedang bicara," ketus Dave menahan kesal.Mata hazel wanita itu mendadak berkaca-kaca mendengar nada tidak bersahabat yang keluar dari mulut suaminya."Aku tidak tahu apa saja yang Alex katakan padamu. Tapi kumohon jangan percaya apapun yang di ucapkannya. Dia itu," lirih Rachel menahan isak tangis yang ingin keluar.Suara sendok yang beradu dengan piring seketika membungkam mulut Rachel. Wanita itu berjingkat kaget mendengar suara bunyi sendok yang di lempar Dave. Entah di sengaja atau tidak, Dave tiba-tiba menaruh sendok makannya dengan kasar."Alex lagi. Alex lagi. Apa kamu tidak bisa membicarakan hal lain selain lelaki itu, Hah?"
Rachel membuka matanya, merasakan sebuah tendangan kuat di perutnya. Sontak ia mendongak sembari mengusap-usap perut besarnya."Kenapa, Sayang? Sudah lapar ya. Tunggu sebentar ya, Sayang. Kita makan sama-sama setelah menunggu papa pulang ya. Mama yakin papamu pasti sebentar lagi pulang," gumam Rachel seakan tengah berbicara dengan anak yang di kandungnya.Bayi di perutnya semakin aktif saja bergerak setiap harinya. Rachel memakan beberapa keping biskut dicampur dengan susu untuk menganjal rasa lapar. Ia tidak ingin anaknya ikut kelaparan menunggu suaminya yang tak kunjung pulang.Keinginan Rachel yang ingin makan malam bersama Dave yang menjadikan alasan wanita hamil itu tetap duduk setia di depan meja makan saat ini. Berulang kali ia menghela napas panjang setelah menyadari Dave belum juga pulang padahal hari sudah mulai petang."Sepertinya hari ini Dave lembur lagi," desah Rachel sembari menatap jam dinding.Hubungan Dave dan Rachel semakin