Mata Hazel Rachel kini tengah memandangi wajah Alex. Sikap Alex yang kerap merajuk inilah yang membuat Rachel sulit mengungkapkan kenyataan pahit padanya.
Bertahun-tahun mengenal Alex, membuat Rachel memahaminya lebih dari siapapun. Di mata Rachel, Alex tak ubahnya lelaki rapuh yang berusaha kuat di depan orang lain. Dan hanya kepada dirinya Alex menunjukkan sisi lemahnya itu.
Banyak hal telah mereka lalui bersama menyadarkan Rachel bahwa Alex membutuhkan kasih sayang. Andai saja ada wanita lain selain dirinya yang dekat dengan Alex, mungkin Rachel tidak akan sesulit ini melepasnya pergi.
Setidaknya Rachel bisa menjadi pendengar yang baik untuknya saat ini. Walau raganya sudah jadi milik Dave sepenuhnya.
Perlahan ia menyentuh pundak Alex.
"Jangan begitu, Lex."
Mendengar suara lembut Rachel, Alex pun menoleh.
<Lima jam sebelumnya... Dewi tengah berada di ruangan Alex. "Ada lagi yang harus saya tanda tangani?" tanyanya saat tengah membubuhkan tanda tangan terakhirnya. Karena terlalu sibuk memandangi wajah bosnya dengan tatapan penuh kekaguman, membuat Dewi tidak mendengar pertanyaan Alex. Merasa tidak ada jawaban, membuat Alex menoleh. Hal ini sontak malah membuat Dewi menahan napas karena ditatap langsung oleh atasan yang di kaguminya. "Dewi..." Panggilan bernada tegas yang keluar dari mulut Alex, seketika membuyarkan lamunan Dewi dan mengembalikan kinerja otaknya yang sempat tersendat. "Eh, iya. Kebetulan hanya Itu saja, Pak." Dewi menjawab sambil tersenyum-senyum malu. Namun Alex hanya mengangguk pelan dan malah menatap ke arah lain. "Bisakah saya titip ini untuk kau berikan ke mejan
Suasana di dalam mobil semakin terasa hening saat tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut keduanya. Dave merasakan ada sesuatu yang aneh, namun ia tidak tau keanehan apa yang dirasakannya. Hingga tiba-tiba... "Panas banget," kata Rachel sambil menyeka dahinya. "Panas? Coba aku gedein dulu volume AC-nya—" Dave membesarkan volume AC mobil hingga batas maksimal. Volume AC sudah paling besar ini," kata Dave yang saat ini kembali fokus menyetir. "Iya, tapi masih panas, Dave. Coba aku lihat–" Tangan Rachel tergerak memegang tombol pengatur suhu ruangan di mobil itu. "Sudah mentok ya," gumamnya pelan. Sambil menyetir mobil, Dave nampak berpikir keras melihat Rachel terus mengeluh kepanasan. Padahal dirinya sendiri sudah sangat kedinginan akibat volume AC yang di setel maksimal oleh Rachel. &n
Rachel mengejapkan mata berulang kali, berusaha mencerna apa yang barusan di keluhkan Dave sambil mengingat-ingat kejadian semalam. "Jadi pakaian ini kau yang memakaikannya?" tanya Rachel dengan tatapan horor. "Kalau bukanku, terus menurutmu siapa?" kata Dave malah bertanya balik. Dengan geram Rachel memukul Dave dengan bantal yang ada disekitarnya. "Sakit, Hel. Apa-apan sih? Main gebuk-gebuk saja," keluh Dave sambil menghalau bantal yang mendarat di pipinya. "Kenapa kau membuka bajuku tanpa izin?" "Memangnya tidak boleh kalau saya ingin membantu istri sendiri? Ada-ada saja kau ini." "Aku tau otakmu itu cabul tapi jangan seperti itu juga," keluh Rachel memberengut kesal. "Jadi kau lebih memilih tidur dengan pakaian kotormu itu—" Dave tidak terima dengan perkataan Rach
Rachel terlihat tengah berpikir serius. Ia berusaha mengingat-ingat kejadian semalam. "Ehm... Kau ingat 'kan saat ku beri pesan kalau akan pulang terlambat?" Dave mengangguk pelan. "Kemarin aku di minta untuk menyelesaikan rekap laporan. Katanya harus selesai hari itu juga, karena akan digunakan untuk bahan meeting hari ini. Aku langsung menghubungimu setelahnya," tutur Rachel menjelaskan. Dave terbelalak kaget mendengarnya penuturan Rachel, seketika tangannya terkepal. "Jadi kau di kantor berduaan dengannya? tanya Dave dengan nada meninggi. "Tidak. Aku mengerjakan itu di mejaku sendiri. Sedangkan Alex ada di ruangannya," jawab Rachel dengan cepat. Entah mengapa Rachel tidak ingin Dave salah paham. Namun tiba-tiba ia teringat akan minuman yang diberikan Alex. "Mungkinkah karena minuman itu?
Rachel merasa aneh mendengar suara tawa Alex yang seperti sedang menertawakannya. "Kenapa kamu tertawa, Lex? Apa ini terdengar lucu bagimu?" Setelah puas tertawa, Alex kembali memasang tampang serius. "Tidak. Harusnya tidak secepat ini kau tahu, Hel. Disaat aku belum berhasil mewujudkan rencanaku—" Alex mendesah pelan. "Ah, sudahlah. Karena kau sudah tau sekarang. Mari kita wujudkan saja," ajak Alex dengan tatapan sensual. "Kau sudah gila," teriak Rachel seraya melotot ke arah Alex. "Yeah. Aku memang sudah gila. Gila karena terlalu menginginkanmu. Apa kau tahu? Dari awal kita berpacaran, setiap malam aku selalu memimpikanmu. Aku ingin kamu jadi orang pertama yang ku lihat saat terbangun di pagi hari. Tapi kamu selalu menolak ajakan tidur bersama dan malah mengajukan syarat pernikahan. Padahal kamu tahu sendiri, saat it
Rachel menatap waspada sembari kedua kakinya melangkah mundur, menjauhi Alex. "Jangan dekat-dekat," teriak Rachel ke Alex. "Kenapa aku tidak boleh mendekat?" tanya Alex sembari mengangkat sebelah alisnya. Bukannya takut, Alex malah lebih mendekatkan dirinya ke Rachel. Menarik sebelah ujung bibirnya ke atas sambil menatap Rachel penuh hasrat. "Ayolah! Aku hanya ingin membawamu ke tempat tidurku. Setelah itu kita akan bercinta sampai kamu terlalu lelah untuk melakukan banyak hal. Atau sampai kamu tidak dapat memikirkan siapa pun selain sentuhan tanganku dan belaian bibirku. Kamu mungkin akan memanggil namaku dalam mimpimu dan meraihku dalam tidurmu." Alex berbicara dengan sangat gamblang. Seakan semua itu sudah menjadi hal lumrah baginya. Tapi tidak bagi Rachel. Ia justru merasa jijik mendengar tiap kata demi kata yang keluar dari bibir lelaki itu.
Dave duduk termenung di kantornya. Entah apa yang di pikirkan lelaki itu, hingga kedatangan Fabio tidak di gubrisnya. Fabio yang menyadari tatapan kosong Dave, lantas berjalan mendekatinya. Ia mengambil pulpen yang tergeletak di depan Dave dan tersenyum jahil. Tuk... Tuk... Tuk... Suara ketukan ujung pulpen yang beradu dengan meja, membuatnya tersadar dari lamunan. "Ngapain sih lo? Bikin kaget orang saja," dumel Dave seraya melirik tajam Fabio. Fabio terkekeh kecil sambil mengembalikan pulpen ke tempatnya. "Siapa suruh bengong di jam segini? Mau makan gaji buta loh," sindir Fabio seraya berjalan dan duduk di sofa. "Bukan urusan lo." "Iya sih, tapi aneh saja liatnya. Muka kusut begitu kaya banyak beban hidup saja," ledek Fabio sambil terkekeh pelan. Dave mengendus sebal mend
"Nama lengkapnya Alexander Catalano, memiliki hutang lima juta dollar karena gaya hidupnya yang suka berjudi. Punya berbagai nama samaran untuk menyamar karena sering dikejar-kejar renternir. Terkenal bad boys di kalangan wanita-wanita penghibur club malam. Catatan kriminal tidak ada, tapi semua hutangnya itu hasil pinjaman dari seorang lelaki bernama Emilio." "Jadi dia buronannya Emilo? Menarik sekali," ujar Dave seraya mengulum senyum. "Iya." "Kalau yang ini?" tanya Dave seraya menunjuk ke kertas yang di gengamnya. "Saat mencoba mencari latar belakang Emilio, gua nggak sengaja menemukan rekening ganda miliknya. Setelah di kaji lebih dalam ada beberapa transferan mencurigakan di rekening tabungan itu. Jumlahnya sangat besar dan membuat gua penasaran—" Fabio menunjuk ke sebuah list di kertas yang ada dihadapan Dave. "Sejumlah jutaan dollar telah d
Rachel menatap lama ke sebuah tanggal pada kalender yang tengah di pegangnya. Ia baru sadar kalau bulan ini dirinya belum juga kedatangan tamu bulan. Pembalutnya yang tersimpan di box penyimpanan masih utuh. Meski sudah pernah mengandung Darrel, tetap saja kali ini dia kecolongan. "Bodoh. Kenapa kamu baru menyadarinya sekarang setelah dua bulan berlalu?" umpatnya pada diri sendiri. Rachel yakin dirinya hamil, tapi ingin memastikannya dulu sebelum memberitahukan kabar bahagia ini pada sang suami. Pagi-pagi sekali Rachel pergi ke apotek dekat rumah untuk membeli alat tes kehamilan. Begitu sampai di rumah, Dave memarahi Rachel karena pergi tanpa izin. "Darimana saja kamu? Kenapa pergi tanpa membangunkanku dulu?" cecar Dave begitu Rachel kembali. "Aku hanya pergi ke apotek dekat sini," jawab Rachel santai. "Kamu sakit?" Dave mendekat. Di sentuhnya kening dan leher istrinya bergantian dengan punggung tangannya.&nbs
Dewi yang tengah mengatur laju napasnya yang masih memburu, seketika terlonjak kaget. Ia mendongak, menatap Alex yang kini sudah terbaring di sampingnya dengan mata terpejam.Dewi mengumpat melalui tatapan matanya. Ia tidak menyangka Alex malah menyebut wanita lain saat bercinta dengannya."Jadi yang kau bayangkan saat bercinta denganku tadi itu Rachel," desis Dewi nampak tersinggung.Percuma saja Dewi berbicara, Alex sepertinya tidak mendengarkannya. Napasnya yang teratur diiringin suara dengkuran halus yang keluar dari mulut Alex, menandakan lelaki itu sudah tertidur nyenyak.Kekagumannya pada sang bos membuatnya lupa diri, berharap suatu saat Alex dapat melihat cintanya yang teramat besar. Logikanya seakan hilang, tergantikan akan keinginannya untuk memiliki Alex seutuhnya.Kini Dewi hanya bisa menyesal dan terus menyalahkan diri sendiri. Tindakan bodohnya waktu itu ternyata membuahkan hasil hingga dirinya sekarang berakhir terkurung dalam
Trauma itu akan tetap ada. Bahkan setelah berbulan-bulan lamanya Alex tak lagi mengusik rumah tangga Rachel. Wanita itu terkadang masih di dera ketakutan yang sama. Takut jika suatu hari nanti Alex datang menemui Rachel di saat lelaki itu sedang tidak waras seperti waktu itu. Bayang-bayang masa lalu dimana wanita itu mendapat perlakuan tidak menyenangkan kembali melintas seketika. Saat itu Rachel sedang bersembunyi dari kejaran Alex. Lelaki itu terlihat seperti orang gila setelah Rachel dengan tegas berterus terang ingin memutus hubungan dengannya. Wanita itu awalnya mengira dapat terbebas setelah bersembunyi. Namun Alex rupanya menemukan tempat persembunyian Rachel. "Lex, aku mau pulang. Kita bicara besok lagi ya. Sampai ketemu besok," ujar Rachel berbicara setenang mungkin. Melihat mata Alex yang mengelap seperti bukan dirinya, Rachel segera bergegas pergi. Namun wanita itu terlambat. Alex tiba-tiba meraih pergelangan tangan Rachel, menariknya
Dave menatap wajah Rachel lekat. "Kamu pernah bilang nggak sabar mau lihat anak kamu. Tapi kenapa begitu Darrel lahir, kamu jadi cuek begini?" Wajah Dave yang semula tanpa ekspresi kini malah tersenyum miring. "Anak saya? Apa kamu yakin kalau Darrel itu anak saya?" Rachel tersentak dengan pertanyaan Dave. Ia tidak menyangka Dave akan meragukan keberadaan Darrel. "Apa maksudmu, Dave?" Dave memandang wajah Rachel dengan tatapan yang sulit di artikan. "Waktu saya ke kantor kamu buat kasih surat pengunduran diri itu, Alex sempat berkata sesuatu ke saya. Soal anak itu—" Rachel seketika merasa was-was sekaligus penasaran dengan apa yang di katakan Alex ke Dave. "Lelaki itu bilang kalian berdua pernah berhubungan badan di belakang saya. Benar begitu?" tanya Dave nampak tenang. "Dave... Aku bisa jelaskan semuanya ke kamu." Sudut bibir Dave seketika tertarik ke atas. "Jadi tangis kesedihan s
Damian dan Kate terlihat terkejut setelah mendengar penuturan Cindy. Mereka tidak habis pikir dengan kelakuan anak lelakinya yang hingga kini belum terlihat juga batang hidungnya."Anak itu ya benar-benar kelakuannya. Awas saja nanti kalau sudah datang. Papah pukul kepalanya. Biar tahu rasa," sungut Damian seraya mengeleng kesal."Padahal sudah sering mamah kasih tahu. Kejadian juga. Istrinya mau lahiran, malah pergi kemana lagi tuh anak."Kate juga ikut meruntuki dengan berbagai caci maki yang ditujukan untuk Dave."Sudahlah, Pah, Mah. Mengomelnya nanti saja pas kak Dave sudah ada. Lebih baik sekarang kita berdoa semoga persalinan kak Rachel diberi kelancaran," saran Cindy menengahi.Damian dan Kate saling berpandangan untuk beberapa saat. Kemudian mengangguk. Kini mereka sudah lebih tenang. Walaupun sesekali Damian terlihat mondar-mandir di depan ruang bersalin. Sedangkan. Cindy dan Kate yang duduk bersebelahan terlihat saling menguatkan se
Entah sengaja atau tidak, Dave dengan polosnya malah bertanya pertanyaan yang membuat mamahnya semakin jengkel mendengarnya."Benar-benar ini anak ya," geram Kate sembari meremas ponsel Rachel.Tidak ingin keributan semakin meluas, Rachel pun berusaha menenangkan mertuanya."Sudahlah, Mah. Tidak apa-apa. Mamah tidak perlu cemas. Kata dokter masih seminggu lagi. Lagipula masih ada Dave yang bakal selalu jagain Rachel. Ya kan, Dave?""Hmm..."Dave berdeham sekenanya. Lelaki itu mengiyakan saja perkataan Rachel agar dapat terbebas dari amukan mamahnya.☆☆☆Rachel melirik ke arah jam di dinding yang saat ini menunjukkan pukul empat sore. Melihat hari sudah mulai senja, ia lantas bergegas menuju dapur untuk menyiapkan makan malam.Walau gerakannya sudah tidak bisa segesit dulu lagi, namun ia tidak terlihat mengeluh. Wanita itu malah akan bosan kalau hanya duduk-duduk bersantai, menunggu suami pulang kerja. Untuk itu Rach
Setelah Dave berhasil melepaskan diri, lelaki itu malah bangkit dan berjalan ke luar kamar. Mata Rachel kembali berkaca-kaca ketika melihat bayang-bayang yang perlahan menghilang dari balik pintu. Rachel kembali merasa sedih saat menyadari suaminya sudah tidak tertarik lagi padanya. Semenjak kejadian malam itu, Dave benar-benar menghentikan frekuensi hubungan intim mereka. Entah mengapa lelaki itu jadi kehilangan gairahnya, seperti malam ini. Andai saja wanita itu tahu. Dave sebenarnya hampir menyentuh Rachel kembali malam ini, tapi gairah Dave mendadak padam ketika terbayang Rachel pernah di sentuh lelaki lain saat masih berstatus sebagai istrinya. Andai lelaki itu tidak teringat kata-kata Alex tempo hari, mungkin mereka tidak akan tidur di ranjang yang terpisah malam ini. ☆☆☆ Seorang lelaki berambut pirang nampak tengah berjalan memasuki kawasan poliklinik ibu dan anak di sebuah rumah sakit. Langkah kakinya mendadak berhenti saat melihat peman
Rachel tiba-tiba kembali menyinggung nama Alex saat mereka tengah makan bersama. Dave yang tengah menyendokkan makanan ke mulutnya, jadi berhenti begitu nama lelaki itu disebut. Selera makannya mendadak hilang entah kemana."Bukankah saya sudah cerita ya? Tidak dengar? Waktu itu telingamu kemana saat saya sedang bicara," ketus Dave menahan kesal.Mata hazel wanita itu mendadak berkaca-kaca mendengar nada tidak bersahabat yang keluar dari mulut suaminya."Aku tidak tahu apa saja yang Alex katakan padamu. Tapi kumohon jangan percaya apapun yang di ucapkannya. Dia itu," lirih Rachel menahan isak tangis yang ingin keluar.Suara sendok yang beradu dengan piring seketika membungkam mulut Rachel. Wanita itu berjingkat kaget mendengar suara bunyi sendok yang di lempar Dave. Entah di sengaja atau tidak, Dave tiba-tiba menaruh sendok makannya dengan kasar."Alex lagi. Alex lagi. Apa kamu tidak bisa membicarakan hal lain selain lelaki itu, Hah?"
Rachel membuka matanya, merasakan sebuah tendangan kuat di perutnya. Sontak ia mendongak sembari mengusap-usap perut besarnya."Kenapa, Sayang? Sudah lapar ya. Tunggu sebentar ya, Sayang. Kita makan sama-sama setelah menunggu papa pulang ya. Mama yakin papamu pasti sebentar lagi pulang," gumam Rachel seakan tengah berbicara dengan anak yang di kandungnya.Bayi di perutnya semakin aktif saja bergerak setiap harinya. Rachel memakan beberapa keping biskut dicampur dengan susu untuk menganjal rasa lapar. Ia tidak ingin anaknya ikut kelaparan menunggu suaminya yang tak kunjung pulang.Keinginan Rachel yang ingin makan malam bersama Dave yang menjadikan alasan wanita hamil itu tetap duduk setia di depan meja makan saat ini. Berulang kali ia menghela napas panjang setelah menyadari Dave belum juga pulang padahal hari sudah mulai petang."Sepertinya hari ini Dave lembur lagi," desah Rachel sembari menatap jam dinding.Hubungan Dave dan Rachel semakin