Dave duduk termenung di kantornya. Entah apa yang di pikirkan lelaki itu, hingga kedatangan Fabio tidak di gubrisnya.
Fabio yang menyadari tatapan kosong Dave, lantas berjalan mendekatinya. Ia mengambil pulpen yang tergeletak di depan Dave dan tersenyum jahil.
Tuk... Tuk... Tuk...
Suara ketukan ujung pulpen yang beradu dengan meja, membuatnya tersadar dari lamunan.
"Ngapain sih lo? Bikin kaget orang saja," dumel Dave seraya melirik tajam Fabio.
Fabio terkekeh kecil sambil mengembalikan pulpen ke tempatnya.
"Siapa suruh bengong di jam segini? Mau makan gaji buta loh," sindir Fabio seraya berjalan dan duduk di sofa.
"Bukan urusan lo."
"Iya sih, tapi aneh saja liatnya. Muka kusut begitu kaya banyak beban hidup saja," ledek Fabio sambil terkekeh pelan.
Dave mengendus sebal mend
"Nama lengkapnya Alexander Catalano, memiliki hutang lima juta dollar karena gaya hidupnya yang suka berjudi. Punya berbagai nama samaran untuk menyamar karena sering dikejar-kejar renternir. Terkenal bad boys di kalangan wanita-wanita penghibur club malam. Catatan kriminal tidak ada, tapi semua hutangnya itu hasil pinjaman dari seorang lelaki bernama Emilio." "Jadi dia buronannya Emilo? Menarik sekali," ujar Dave seraya mengulum senyum. "Iya." "Kalau yang ini?" tanya Dave seraya menunjuk ke kertas yang di gengamnya. "Saat mencoba mencari latar belakang Emilio, gua nggak sengaja menemukan rekening ganda miliknya. Setelah di kaji lebih dalam ada beberapa transferan mencurigakan di rekening tabungan itu. Jumlahnya sangat besar dan membuat gua penasaran—" Fabio menunjuk ke sebuah list di kertas yang ada dihadapan Dave. "Sejumlah jutaan dollar telah d
Dave berjalan dengan tergesa-gesa hendak menuju ke mobilnya yang terparkir di basement bawah apartemennya. Saat sudah sampai di dalam mobil, ia membanting setirnya dengan keras. "Argh..." Ia lantas mencari ponselnya sembari keluar mobil. "Hallo, Dewi. Terima kasih untuk informasinya. Sorry tadi buru-buru saya tutup teleponnya." "Enggak apa-apa, Pak Dave. Ngomong-ngomong tidak terjadi sesuatu 'kan dengan istri anda?" "Untungnya nggak ada apa-apa." "Kalau Pak Alex bagaimana?" tanya Dewi terdengar cemas. Dave seketika tersenyum miring dengan ujung bibir tertarik keatas sebelah. "Kalau kau penasaran coba kau temui langsung saja di rumahnya. Hati-hati, dia sedang dalam pengaruh obat." Setelah menutup teleponnya, Dave kembali memainkan ponselnya untuk menghubungi orang lain.
Rachel terbangun kala senja datang menyapa. Ia mengejapkan mata berulang kali saat melihat sosok lelaki yang duduk bersandar di sebelah tempat tidurnya. Lelaki yang memiliki rahang tegas dengan bulu-bulu halus tumbuh di sepanjang dagu dan atas mulut ini tidak lain ialah suaminya, Dave. Dave yang tengah sibuk bermain dengan ponselnya itu tidak menyadari kalau Rachel telah sadar dan kini tengah menatap wajahnya dengan kening berkerut. "Kenapa kau bisa ada di kamarku?" tanya Rachel seketika. Dave menoleh setelah mendengar suara Rachel. "Eoh. Kau sudah bangun." "Aku tanya sekali lagi, sedang apa kau di kamarku sekarang?" tanya Rachel seraya menatap tajam Dave. "Saya hanya menemanimu yang tidur sambil menangis." "Aku tidak butuh di temani olehmu. Pergi sana," usir Rachel seraya mendorong pundak Dave.
Rachel tergopoh-gopoh menghampiri Dave yang terus memanggil namanya. "Ada apa sih, Dave?" Begitu Rachel sampai di sampingnya, Dave lantas menyodorkan sebuket bunga mawar merah dengan wajah masam. "Bunga dari siapa ini, Dave?" tanya Rachel sambil mengamati buket itu. Rachel lantas meneliti setiap tangkai bunganya. Ia berharap dapat menemukan secarik kertas di dalam kumpulan bunga-bunga yang di genggamnya. "Tidak ada kartu ucapannya, Dave. Kira-kira dari siapa ya?" gumamnya Rachel makin penasaran. Rachel menoleh ketika mendapati Dave tidak menanggapi perkataannya. Melihat wajah lelaki itu yang membuang mukanya, membuat Rachel menghela napas. "Berikan kepadaku, Dave!" "Apa?" Rachel mengulurkan telapak tangannya sembari matanya melirik-lirik ke belakang punggu
Pada akhirnya Rachel mengabaikan perkataan Dave dan tetap memilih pergi bekerja. Perkataan Rachel pagi itu sangat berpengaruh pada suasana hati Dave seharian ini. Lelaki pirang itu jadi uring-uringan. Saat ada kesalahan sedikit saja yang dilakukan karyawannya, Dave akan langsung marah dan membuat seisi kantor menjadi tegang. Pikirannya saat ini sedang tidak fokus. Berulang kali ia salah dalam mengerjakan sesuatu di layar komputernya. "Argh..." Dave meremas-remas kertas yang ada di dekatnya sambil berteriak frustasi. "Ada apa denganku hari ini?" gumam Dave tanpa sadar. "Harusnya gua yang tanya itu ke lo sekarang, tapi udah ke duluan." Sebuah suara tiba-tiba menginterupsinya, membuat Dave menoleh dengan cepat. Dari arah pintu, Fabio terlihat berdiri di selaan pintu yang sedikit terbuka. Hanya kepalanya yang julur ke dalam ruan
Fabio tersenyum kecil menyadari kerisauan hati Dave. Kerisauan yang sebenarnya tidak perlu terjadi kalau saja Dave menyadari isi hatiya sendiri. Lelaki yang sudah lama mengenal Dave itu hanya bisa memberi saran sambil menepuk pundaknya pelan. "Menunjukkan kepedulian dan perhatian yang besar ke wanita nggak bakal buat lelaki jadi keliatan lemah, Bro. Justru malah sebaliknya." Dave mencerna perkataan Fabio sembari memandangi layar ponselnya. Nampak terlihat kontak Dewi di layarnya yang menyala. Jempol tangannya yang hendak menekan tombol pesan itu pun berhenti untuk beberapa saat. "Baiklah," ucap Dave sambil menghela napas. Dengan gerakan cepat ujung jari Dave beralih. Menekan tombol back lalu bergerak mencari kontak nama lain yang tersimpan di ponselnya. ☆☆☆ Rachel mengambil napas panjang dan membuangnya perlahan sambil memegang ujung tali ta
"Mbak nggak perlu berpura-pura kaget begitu. Saya tahu semuanya, Mbak. Semuanya yang terjadi di kantor kita," ungkap Dewi tiba-tiba. Senyum di bibir Rachel seketika memudar. Kini matanya tengah tertuju pada wajah Dewi, sembari menerka-nerka kemungkinan apa saja yang telah di ketahui Dewi. "Memangnya apa saja yang telah terjadi di kantor kita?" tanya Rachel berlagak biasa saja. Rachel menutupi kegugupanya dengan gurauan yang di lontarkannya. Dewi seketika berdecak pelan. Ia menyadari tatapan mata Rachel yang nampak waspada. "Saya tahu mbak Rachel sudah bersuami. Dulu saya pikir nggak mungkin mbak ada hubungan sama Pak Alex. Tapi kemarin saya tersadar akan sesuatu hal, " ucap Dewi sembari tersenyum tipis. Dewi mengeleng beberapa kali sambil menghela napas panjang. Tatapan matanya yang tidak lepas dari wajah Rachel, makin membuat Rachel was-was
Mata Alex seketika berkilat seakan tengah terbakar dengan amarah. Rachel lantas menutup kedua matanya saat telapak tangan Alex beranyun hendak menyentuh wajanya. Namun sedetik kemudian ia malah merasakan sapuan lembut di bibirnya. Sesuatu yang kenyal membasahi permukaan bibirnya.. Saat Rachel membuka kedua matanya, ia terkejut melihat wajah Alex berada tepat di depan wajahnya. Alex mendekatkan wajahnya, hendak mencium bibir Rachel. "Hentikan, Lex. Aku mau pulang." Rachel mengeleng, menghindari serangan bertubi-tubi Alex. Ia mencoba mendorong Alex. Namun tenaga Rachel kalah jauh. Terlebih Alex yang menarik pinggangnya. Tubuh keduanya semakin menempel hingga hanya pakaian keduanya saja yang jadi penghalang jarak mereka. Rachel mendongak, tersentak ketika menyadari tubuh bagian bawah Alex menegang. "Kau bisa merasakan bukan? Tubuhku selalu siap
Rachel menatap lama ke sebuah tanggal pada kalender yang tengah di pegangnya. Ia baru sadar kalau bulan ini dirinya belum juga kedatangan tamu bulan. Pembalutnya yang tersimpan di box penyimpanan masih utuh. Meski sudah pernah mengandung Darrel, tetap saja kali ini dia kecolongan. "Bodoh. Kenapa kamu baru menyadarinya sekarang setelah dua bulan berlalu?" umpatnya pada diri sendiri. Rachel yakin dirinya hamil, tapi ingin memastikannya dulu sebelum memberitahukan kabar bahagia ini pada sang suami. Pagi-pagi sekali Rachel pergi ke apotek dekat rumah untuk membeli alat tes kehamilan. Begitu sampai di rumah, Dave memarahi Rachel karena pergi tanpa izin. "Darimana saja kamu? Kenapa pergi tanpa membangunkanku dulu?" cecar Dave begitu Rachel kembali. "Aku hanya pergi ke apotek dekat sini," jawab Rachel santai. "Kamu sakit?" Dave mendekat. Di sentuhnya kening dan leher istrinya bergantian dengan punggung tangannya.&nbs
Dewi yang tengah mengatur laju napasnya yang masih memburu, seketika terlonjak kaget. Ia mendongak, menatap Alex yang kini sudah terbaring di sampingnya dengan mata terpejam.Dewi mengumpat melalui tatapan matanya. Ia tidak menyangka Alex malah menyebut wanita lain saat bercinta dengannya."Jadi yang kau bayangkan saat bercinta denganku tadi itu Rachel," desis Dewi nampak tersinggung.Percuma saja Dewi berbicara, Alex sepertinya tidak mendengarkannya. Napasnya yang teratur diiringin suara dengkuran halus yang keluar dari mulut Alex, menandakan lelaki itu sudah tertidur nyenyak.Kekagumannya pada sang bos membuatnya lupa diri, berharap suatu saat Alex dapat melihat cintanya yang teramat besar. Logikanya seakan hilang, tergantikan akan keinginannya untuk memiliki Alex seutuhnya.Kini Dewi hanya bisa menyesal dan terus menyalahkan diri sendiri. Tindakan bodohnya waktu itu ternyata membuahkan hasil hingga dirinya sekarang berakhir terkurung dalam
Trauma itu akan tetap ada. Bahkan setelah berbulan-bulan lamanya Alex tak lagi mengusik rumah tangga Rachel. Wanita itu terkadang masih di dera ketakutan yang sama. Takut jika suatu hari nanti Alex datang menemui Rachel di saat lelaki itu sedang tidak waras seperti waktu itu. Bayang-bayang masa lalu dimana wanita itu mendapat perlakuan tidak menyenangkan kembali melintas seketika. Saat itu Rachel sedang bersembunyi dari kejaran Alex. Lelaki itu terlihat seperti orang gila setelah Rachel dengan tegas berterus terang ingin memutus hubungan dengannya. Wanita itu awalnya mengira dapat terbebas setelah bersembunyi. Namun Alex rupanya menemukan tempat persembunyian Rachel. "Lex, aku mau pulang. Kita bicara besok lagi ya. Sampai ketemu besok," ujar Rachel berbicara setenang mungkin. Melihat mata Alex yang mengelap seperti bukan dirinya, Rachel segera bergegas pergi. Namun wanita itu terlambat. Alex tiba-tiba meraih pergelangan tangan Rachel, menariknya
Dave menatap wajah Rachel lekat. "Kamu pernah bilang nggak sabar mau lihat anak kamu. Tapi kenapa begitu Darrel lahir, kamu jadi cuek begini?" Wajah Dave yang semula tanpa ekspresi kini malah tersenyum miring. "Anak saya? Apa kamu yakin kalau Darrel itu anak saya?" Rachel tersentak dengan pertanyaan Dave. Ia tidak menyangka Dave akan meragukan keberadaan Darrel. "Apa maksudmu, Dave?" Dave memandang wajah Rachel dengan tatapan yang sulit di artikan. "Waktu saya ke kantor kamu buat kasih surat pengunduran diri itu, Alex sempat berkata sesuatu ke saya. Soal anak itu—" Rachel seketika merasa was-was sekaligus penasaran dengan apa yang di katakan Alex ke Dave. "Lelaki itu bilang kalian berdua pernah berhubungan badan di belakang saya. Benar begitu?" tanya Dave nampak tenang. "Dave... Aku bisa jelaskan semuanya ke kamu." Sudut bibir Dave seketika tertarik ke atas. "Jadi tangis kesedihan s
Damian dan Kate terlihat terkejut setelah mendengar penuturan Cindy. Mereka tidak habis pikir dengan kelakuan anak lelakinya yang hingga kini belum terlihat juga batang hidungnya."Anak itu ya benar-benar kelakuannya. Awas saja nanti kalau sudah datang. Papah pukul kepalanya. Biar tahu rasa," sungut Damian seraya mengeleng kesal."Padahal sudah sering mamah kasih tahu. Kejadian juga. Istrinya mau lahiran, malah pergi kemana lagi tuh anak."Kate juga ikut meruntuki dengan berbagai caci maki yang ditujukan untuk Dave."Sudahlah, Pah, Mah. Mengomelnya nanti saja pas kak Dave sudah ada. Lebih baik sekarang kita berdoa semoga persalinan kak Rachel diberi kelancaran," saran Cindy menengahi.Damian dan Kate saling berpandangan untuk beberapa saat. Kemudian mengangguk. Kini mereka sudah lebih tenang. Walaupun sesekali Damian terlihat mondar-mandir di depan ruang bersalin. Sedangkan. Cindy dan Kate yang duduk bersebelahan terlihat saling menguatkan se
Entah sengaja atau tidak, Dave dengan polosnya malah bertanya pertanyaan yang membuat mamahnya semakin jengkel mendengarnya."Benar-benar ini anak ya," geram Kate sembari meremas ponsel Rachel.Tidak ingin keributan semakin meluas, Rachel pun berusaha menenangkan mertuanya."Sudahlah, Mah. Tidak apa-apa. Mamah tidak perlu cemas. Kata dokter masih seminggu lagi. Lagipula masih ada Dave yang bakal selalu jagain Rachel. Ya kan, Dave?""Hmm..."Dave berdeham sekenanya. Lelaki itu mengiyakan saja perkataan Rachel agar dapat terbebas dari amukan mamahnya.☆☆☆Rachel melirik ke arah jam di dinding yang saat ini menunjukkan pukul empat sore. Melihat hari sudah mulai senja, ia lantas bergegas menuju dapur untuk menyiapkan makan malam.Walau gerakannya sudah tidak bisa segesit dulu lagi, namun ia tidak terlihat mengeluh. Wanita itu malah akan bosan kalau hanya duduk-duduk bersantai, menunggu suami pulang kerja. Untuk itu Rach
Setelah Dave berhasil melepaskan diri, lelaki itu malah bangkit dan berjalan ke luar kamar. Mata Rachel kembali berkaca-kaca ketika melihat bayang-bayang yang perlahan menghilang dari balik pintu. Rachel kembali merasa sedih saat menyadari suaminya sudah tidak tertarik lagi padanya. Semenjak kejadian malam itu, Dave benar-benar menghentikan frekuensi hubungan intim mereka. Entah mengapa lelaki itu jadi kehilangan gairahnya, seperti malam ini. Andai saja wanita itu tahu. Dave sebenarnya hampir menyentuh Rachel kembali malam ini, tapi gairah Dave mendadak padam ketika terbayang Rachel pernah di sentuh lelaki lain saat masih berstatus sebagai istrinya. Andai lelaki itu tidak teringat kata-kata Alex tempo hari, mungkin mereka tidak akan tidur di ranjang yang terpisah malam ini. ☆☆☆ Seorang lelaki berambut pirang nampak tengah berjalan memasuki kawasan poliklinik ibu dan anak di sebuah rumah sakit. Langkah kakinya mendadak berhenti saat melihat peman
Rachel tiba-tiba kembali menyinggung nama Alex saat mereka tengah makan bersama. Dave yang tengah menyendokkan makanan ke mulutnya, jadi berhenti begitu nama lelaki itu disebut. Selera makannya mendadak hilang entah kemana."Bukankah saya sudah cerita ya? Tidak dengar? Waktu itu telingamu kemana saat saya sedang bicara," ketus Dave menahan kesal.Mata hazel wanita itu mendadak berkaca-kaca mendengar nada tidak bersahabat yang keluar dari mulut suaminya."Aku tidak tahu apa saja yang Alex katakan padamu. Tapi kumohon jangan percaya apapun yang di ucapkannya. Dia itu," lirih Rachel menahan isak tangis yang ingin keluar.Suara sendok yang beradu dengan piring seketika membungkam mulut Rachel. Wanita itu berjingkat kaget mendengar suara bunyi sendok yang di lempar Dave. Entah di sengaja atau tidak, Dave tiba-tiba menaruh sendok makannya dengan kasar."Alex lagi. Alex lagi. Apa kamu tidak bisa membicarakan hal lain selain lelaki itu, Hah?"
Rachel membuka matanya, merasakan sebuah tendangan kuat di perutnya. Sontak ia mendongak sembari mengusap-usap perut besarnya."Kenapa, Sayang? Sudah lapar ya. Tunggu sebentar ya, Sayang. Kita makan sama-sama setelah menunggu papa pulang ya. Mama yakin papamu pasti sebentar lagi pulang," gumam Rachel seakan tengah berbicara dengan anak yang di kandungnya.Bayi di perutnya semakin aktif saja bergerak setiap harinya. Rachel memakan beberapa keping biskut dicampur dengan susu untuk menganjal rasa lapar. Ia tidak ingin anaknya ikut kelaparan menunggu suaminya yang tak kunjung pulang.Keinginan Rachel yang ingin makan malam bersama Dave yang menjadikan alasan wanita hamil itu tetap duduk setia di depan meja makan saat ini. Berulang kali ia menghela napas panjang setelah menyadari Dave belum juga pulang padahal hari sudah mulai petang."Sepertinya hari ini Dave lembur lagi," desah Rachel sembari menatap jam dinding.Hubungan Dave dan Rachel semakin