Pada akhirnya Rachel mengabaikan perkataan Dave dan tetap memilih pergi bekerja.
Perkataan Rachel pagi itu sangat berpengaruh pada suasana hati Dave seharian ini. Lelaki pirang itu jadi uring-uringan. Saat ada kesalahan sedikit saja yang dilakukan karyawannya, Dave akan langsung marah dan membuat seisi kantor menjadi tegang.
Pikirannya saat ini sedang tidak fokus. Berulang kali ia salah dalam mengerjakan sesuatu di layar komputernya.
"Argh..."
Dave meremas-remas kertas yang ada di dekatnya sambil berteriak frustasi.
"Ada apa denganku hari ini?" gumam Dave tanpa sadar.
"Harusnya gua yang tanya itu ke lo sekarang, tapi udah ke duluan."
Sebuah suara tiba-tiba menginterupsinya, membuat Dave menoleh dengan cepat. Dari arah pintu, Fabio terlihat berdiri di selaan pintu yang sedikit terbuka. Hanya kepalanya yang julur ke dalam ruan
Fabio tersenyum kecil menyadari kerisauan hati Dave. Kerisauan yang sebenarnya tidak perlu terjadi kalau saja Dave menyadari isi hatiya sendiri. Lelaki yang sudah lama mengenal Dave itu hanya bisa memberi saran sambil menepuk pundaknya pelan. "Menunjukkan kepedulian dan perhatian yang besar ke wanita nggak bakal buat lelaki jadi keliatan lemah, Bro. Justru malah sebaliknya." Dave mencerna perkataan Fabio sembari memandangi layar ponselnya. Nampak terlihat kontak Dewi di layarnya yang menyala. Jempol tangannya yang hendak menekan tombol pesan itu pun berhenti untuk beberapa saat. "Baiklah," ucap Dave sambil menghela napas. Dengan gerakan cepat ujung jari Dave beralih. Menekan tombol back lalu bergerak mencari kontak nama lain yang tersimpan di ponselnya. ☆☆☆ Rachel mengambil napas panjang dan membuangnya perlahan sambil memegang ujung tali ta
"Mbak nggak perlu berpura-pura kaget begitu. Saya tahu semuanya, Mbak. Semuanya yang terjadi di kantor kita," ungkap Dewi tiba-tiba. Senyum di bibir Rachel seketika memudar. Kini matanya tengah tertuju pada wajah Dewi, sembari menerka-nerka kemungkinan apa saja yang telah di ketahui Dewi. "Memangnya apa saja yang telah terjadi di kantor kita?" tanya Rachel berlagak biasa saja. Rachel menutupi kegugupanya dengan gurauan yang di lontarkannya. Dewi seketika berdecak pelan. Ia menyadari tatapan mata Rachel yang nampak waspada. "Saya tahu mbak Rachel sudah bersuami. Dulu saya pikir nggak mungkin mbak ada hubungan sama Pak Alex. Tapi kemarin saya tersadar akan sesuatu hal, " ucap Dewi sembari tersenyum tipis. Dewi mengeleng beberapa kali sambil menghela napas panjang. Tatapan matanya yang tidak lepas dari wajah Rachel, makin membuat Rachel was-was
Mata Alex seketika berkilat seakan tengah terbakar dengan amarah. Rachel lantas menutup kedua matanya saat telapak tangan Alex beranyun hendak menyentuh wajanya. Namun sedetik kemudian ia malah merasakan sapuan lembut di bibirnya. Sesuatu yang kenyal membasahi permukaan bibirnya.. Saat Rachel membuka kedua matanya, ia terkejut melihat wajah Alex berada tepat di depan wajahnya. Alex mendekatkan wajahnya, hendak mencium bibir Rachel. "Hentikan, Lex. Aku mau pulang." Rachel mengeleng, menghindari serangan bertubi-tubi Alex. Ia mencoba mendorong Alex. Namun tenaga Rachel kalah jauh. Terlebih Alex yang menarik pinggangnya. Tubuh keduanya semakin menempel hingga hanya pakaian keduanya saja yang jadi penghalang jarak mereka. Rachel mendongak, tersentak ketika menyadari tubuh bagian bawah Alex menegang. "Kau bisa merasakan bukan? Tubuhku selalu siap
Dengan langkah terseok-seok Rachel berlarian keluar menuju pos satpam. Sebuah mobil banteng ngamuk hitam terlihat terpakir tidak jauh dari pos satpam. Perlahan ia mendekati mobil itu. Saat jaraknya tinggal beberapa langkah kaki lagi, seorang lelaki keluar dari dalam mobil itu. Rachel mengenali sosok lelaki itu yang tidak lain ialah suaminya. "Dari mana saja kamu? Kenapa teleponku tidak satupun kau angkat?" sembur Dave begitu melihat wajah Rachel. "Dave..." Mata hazelnya sontak berkaca-kaca. Ia lantas mempercepat langkahnya. Kemudian berhamburan di pelukan Dave. Sontak tangan Dave reflek membalas pelukan Rachel. "Kenapa baru datang? Aku menunggumu sejak tadi," keluh Rachel sambil terisak kecil. "Saya juga maunya tepat waktu tapi, jalanan tadi macet." Dave terdiam membeku mendengar suara istrinya yang terdengar par
Dave semakin tidak mengerti dengan sikap Rachel yang nampak berbeda dari biasanya. Tatapannya kini terpaku sepenuhnya ke arah Rachel. Menunggu wanita itu menjelaskan maksud dari perkataannya barusan. "Apa kamu ingat tanggal kita menikah?" tanya Rachel terdengar serius. "Ada apa memangnya?" Dave malah bertanya balik ke Rachel. Pertanyaan itu membuat Rachel menghela napas. "Sadarkah kamu, ini sudah bulan ke berapa dari kita menikah?" Dave seketika memutar bola matanya. Ia sendiri juga tidak menyadari waktu berlalu begitu saja dengan cepat. Hingga tak terasa pernikahan mereka sudah berjalan selama 3 bulan lamanya. Dan selama itu pula Dave berusaha menyesuaikan diri, hingga tanpa sadar dirinya sudah mulai terbiasa tinggal bersama Rachel. "Tiga bulan," jawab Dave terdengar santai. "Lantas mau sampai berapa bulan lagi kita h
Rachel hanya mengangkat bahunya sambil memandang Dave seolah mengisyaratkan kalau dirinya tidak tahu. Walaupun dengan agak terpaksa, Dave tetap mengangkat panggilan telepon dari Kate. "Hallo, Mah." "Dave, kamu udah lupa kalau masih punya orang tua ya?" cicit Kate berbicara dengan nyaring. "Mamah ngomong apa sih? Dave gak ngerti." "Habisnya kamu nggak pernah kemari lagi. Katanya bakal sering berkunjung, tapi apa nyatanya? Tahu bakal begini, mamah nggak bakal izinkan kamu tinggal di apertement deh." Dave hanya mengeleng frustasi mendengar keluhan Kate. "Mah... Bukannya Dave tidak mau kesana, tapi akhir-akhir ini Dave sibuk sama kerjaan di kantor. Mamah malah tambah bikin pusing Dave kalau ngomongnya begitu," keluh Dave sambil memijat pelipisnya. "Halah... Alasan saja kamu." "Benera
Perlahan Dave menghentikan tawanya, saat menyadari wajah Rachel mulai merengut."Lainkali jangan membuatku kesal dengan perkataan seperti tadi. Emosiku pasti akan langsung terpancing kalau ada yang menyinggungku dengan sengaja—"Telapak tangan Dave tanpa sadar bergerak mengusap rambut Rachel dengan lembut."Saya memberitahukan kelemahanku ini agar kamu bisa lebih berhati-hati. Jadi jangan di ulangi lagi ya," tegur Dave sembari mengulas senyum.Rachel seketika terdiam membeku ditempatnya. Entah karena usapan lembut tangan Dave di kepalanya atau karena perkataan Dave yang secara tidak sadar membuka diri."Kenapa tidak di jawab? Tidak dengar ya? Apa perlu saya ulangi lagi?"Pertanyaan beruntun Dave, seketika menyadarkan Rachel dari lamunannya. Sontak Rachel mengeleng pelan, membuat Dave mengangkat sebelah alisnya."Eh? Aku dengar
"Kamu mau ngomong apa sih? Itu apanya? Kenapa?" cecar Rachel mulai tak nyaman dengan tatapan Dave.Dave terlihat salah tingkah. Mengusap ujung rambut depannya sembari tersenyum tipis."Kamu pakai riasan ya?""Iya. Ketebelan ya?" tanya Rachel seraya melihat kaca spion mobil."Enggak. Cantik kok," balas Dave pelan."Hah?"Dengan cepat kepala Dave beralih memandang lurus ke depan, mengabaikan Rachel yang tengah menatapnya heran."Sudah ayo, cepat pakai selt belt-nya. Kita harus sampai di sana sebelum jam makan makan," tegur Dave sambil menyalakan mobilnya."Memangnya kenapa kalau kita sampai ke sananya agak malam?" tanya Rachel sambil memakai sabuk pengaman."Ya, enggak enak saja kalau datang ke malaman. Mamah pasti inginnya kita ikut makan malam bersamanya."Rachel hanya mengang