Dave semakin tidak mengerti dengan sikap Rachel yang nampak berbeda dari biasanya. Tatapannya kini terpaku sepenuhnya ke arah Rachel. Menunggu wanita itu menjelaskan maksud dari perkataannya barusan.
"Apa kamu ingat tanggal kita menikah?" tanya Rachel terdengar serius.
"Ada apa memangnya?"
Dave malah bertanya balik ke Rachel. Pertanyaan itu membuat Rachel menghela napas.
"Sadarkah kamu, ini sudah bulan ke berapa dari kita menikah?"
Dave seketika memutar bola matanya. Ia sendiri juga tidak menyadari waktu berlalu begitu saja dengan cepat. Hingga tak terasa pernikahan mereka sudah berjalan selama 3 bulan lamanya. Dan selama itu pula Dave berusaha menyesuaikan diri, hingga tanpa sadar dirinya sudah mulai terbiasa tinggal bersama Rachel.
"Tiga bulan," jawab Dave terdengar santai.
"Lantas mau sampai berapa bulan lagi kita h
Rachel hanya mengangkat bahunya sambil memandang Dave seolah mengisyaratkan kalau dirinya tidak tahu. Walaupun dengan agak terpaksa, Dave tetap mengangkat panggilan telepon dari Kate. "Hallo, Mah." "Dave, kamu udah lupa kalau masih punya orang tua ya?" cicit Kate berbicara dengan nyaring. "Mamah ngomong apa sih? Dave gak ngerti." "Habisnya kamu nggak pernah kemari lagi. Katanya bakal sering berkunjung, tapi apa nyatanya? Tahu bakal begini, mamah nggak bakal izinkan kamu tinggal di apertement deh." Dave hanya mengeleng frustasi mendengar keluhan Kate. "Mah... Bukannya Dave tidak mau kesana, tapi akhir-akhir ini Dave sibuk sama kerjaan di kantor. Mamah malah tambah bikin pusing Dave kalau ngomongnya begitu," keluh Dave sambil memijat pelipisnya. "Halah... Alasan saja kamu." "Benera
Perlahan Dave menghentikan tawanya, saat menyadari wajah Rachel mulai merengut."Lainkali jangan membuatku kesal dengan perkataan seperti tadi. Emosiku pasti akan langsung terpancing kalau ada yang menyinggungku dengan sengaja—"Telapak tangan Dave tanpa sadar bergerak mengusap rambut Rachel dengan lembut."Saya memberitahukan kelemahanku ini agar kamu bisa lebih berhati-hati. Jadi jangan di ulangi lagi ya," tegur Dave sembari mengulas senyum.Rachel seketika terdiam membeku ditempatnya. Entah karena usapan lembut tangan Dave di kepalanya atau karena perkataan Dave yang secara tidak sadar membuka diri."Kenapa tidak di jawab? Tidak dengar ya? Apa perlu saya ulangi lagi?"Pertanyaan beruntun Dave, seketika menyadarkan Rachel dari lamunannya. Sontak Rachel mengeleng pelan, membuat Dave mengangkat sebelah alisnya."Eh? Aku dengar
"Kamu mau ngomong apa sih? Itu apanya? Kenapa?" cecar Rachel mulai tak nyaman dengan tatapan Dave.Dave terlihat salah tingkah. Mengusap ujung rambut depannya sembari tersenyum tipis."Kamu pakai riasan ya?""Iya. Ketebelan ya?" tanya Rachel seraya melihat kaca spion mobil."Enggak. Cantik kok," balas Dave pelan."Hah?"Dengan cepat kepala Dave beralih memandang lurus ke depan, mengabaikan Rachel yang tengah menatapnya heran."Sudah ayo, cepat pakai selt belt-nya. Kita harus sampai di sana sebelum jam makan makan," tegur Dave sambil menyalakan mobilnya."Memangnya kenapa kalau kita sampai ke sananya agak malam?" tanya Rachel sambil memakai sabuk pengaman."Ya, enggak enak saja kalau datang ke malaman. Mamah pasti inginnya kita ikut makan malam bersamanya."Rachel hanya mengang
Suara gemericik air menandakan ada seseorang yang tengah mandi di dalam kamar pribadi Dave. Tidak berselang lama, Dave keluar dengan handuk yang membelit tubuhnya. Ekor matanya melihat seseorang terbating di sofa, membuat tubuhnya tertarik untuk mendekat.Orang yang terbaring itu tidak lain Rachel, istrinya sendiri.Ia melihat Rachel terbaring di sofa dengan kaki dan tangan yang terlentang."Kenapa malah tidur di sofa?" gumam Dave pelan.Dave hendak memindahkan tubuh Rachel dan membawanya ke atas ranjang. Namun mata Rachel seketika terbuka saat Dave mengangkatnya.Kedua mata mereka saling bertemu pandang. Dave yang terkejut saat melihat mata Rachel hingga tidak sengaja menjatuhkan Rachel kembali ke sofa."Aduh... Duh... Pinggangku," rintih Rachel seketika.Dave mengejapkan kedua matanya berulang kali, masih berusaha menetralkan diri dari
Dave hanya bisa merengut sambil mengerucutkan bibirnya. Ia akan selalu kalah kalau Rachel sudah bicara tentang surat perceraian mereka."Saya sudah bilang berkali-kali bukan? Jangan bahas masalah perceraian dulu untuk saat ini. Beri saya waktu untuk..."Rachel tiba-tiba membungkam mulut Dave dengan kecupan kilat. Hanya sekilas namun mampu membuat Dave terdiam membisu."Kamu juga... Jangan paksa aku buat berhenti kerja terus," tegur Rachel sambil tersenyum lembut.Dave memandang sendu wajah Rachel. Sejujurnya ia hanya takut Rachel menderita jika masih bekerja di perusahaan yang dikelola oleh Alex. Namun ia belum bisa bercerita pada Rachel akibat bukti yang belum kuat."Jangan menatap aku begitu, Dave. Aku cuma mau pergi kerja, bukan mau pergi berperang."Kamu memang mau pergi perang," gumam Dave pelan.Rachel yang sedang mengunyah makannya
Suara tegas berserta tatapan tajam yang di perlihatkan Alex, seketika menyadarkan Dewi. "Eh? Baik, Pak. Segera saya siapkan." Dengan langkah kaki yang tergopoh-gopoh, setengah berlari Dewi menuju ke pantry untuk membuat teh hangat. Alex merebahkan Rachel di sofa yang ada di ruang kerjanya. Ia kemudian mengambil minyak angin di laci penyimpanannya dan berjalan mendekati Rachel. "Sudah ku duga. Lelaki itu pasti tidak menjagamu dengan baik selama aku pergi," gerutu Alex sambil membuka tutup minyak angin itu. Alex mendekat minyak angin itu ke hidung Rachel agar ia segera tersadar dari pingsannya. "Sudah ku bilang tinggalkan lelaki itu, tapi kamu tidak nurut. Sekarang malah jadi sakit begini," gerutu Alex dengan wajah sendu. Alex mengamati wajah Rachel yang beberapa pekan tidak di lihatnya. Sorot matanya nampak sangat merindu. Ta
Dave tersentak mendengar suara Fabio. Namun buru-buru memasang wajah datar kala Fabio berjalan ke arahnya."Bisa saja lo kalau ngomong," ucap Dave santai.Tanpa banyak bertanya, Dave mengambil map yang di bawa Fabio dan langsung menandatangani kertas yang ada di map tersebut."Oiya, hampir saja gua lupa. Alex balik dari luar negeri hari ini," ujar Fabio begitu Dave memberikan map yang telah ditanda tanganinya."Benarkah? Kalau begitu gua harus kasih tahu Rachel sekarang juga," ujar Dave seraya mengambil ponselnya dengan cepat.Fabio hanya memperhatikan gerak-gerik Dave yang nampak gelisah saat mencoba menelepon Rachel."Kenapa nggak di angkat-angkat teleponnya? Mana dia lagi sakit pula," gumam Dave sambil mengigit ujung kukunya."Sakit?" Fabio mendadak tersentak mendengarnya."Hmm. Badannya agak panas tadi pagi.
Dave merasa risih dengan tatapan Rachel. Ia lantas mengalihkan perhatian dengan melihat ke jalan raya."Kenapa malah ngeliatin saya begitu? Ayo, pilih mau makan dimana? Mumpung kita lagi lewat banyak resto nih."Mengikuti gerakan suaminya, Rachel lalu menengok ke sekelilingnya. Mobil yang mereka tumpangi itu sedang melintas di sekitar area tempat makan. Namun anehnya, tidak satupun rumah makan yang dapat mengugah napsu makan Rachel."Mau makan seafood?" tawar Dave seraya menunjuk restoran seafood yang ada di depan persimpangan jalan.Rachel mengeleng pelan. Ia sedang tidak berselera menyantap makanan resto."Aku nggak mau makan seafood, Dave. Pengen makan di rumah saja," tolak Rachel secara halus.Dave mendesah pelan, kemudian mengangguk paham. Ia lantas melajukan mobilnya dengan cepat menuju apartement mereka.Begitu sampai di dalam, Rac
Rachel menatap lama ke sebuah tanggal pada kalender yang tengah di pegangnya. Ia baru sadar kalau bulan ini dirinya belum juga kedatangan tamu bulan. Pembalutnya yang tersimpan di box penyimpanan masih utuh. Meski sudah pernah mengandung Darrel, tetap saja kali ini dia kecolongan. "Bodoh. Kenapa kamu baru menyadarinya sekarang setelah dua bulan berlalu?" umpatnya pada diri sendiri. Rachel yakin dirinya hamil, tapi ingin memastikannya dulu sebelum memberitahukan kabar bahagia ini pada sang suami. Pagi-pagi sekali Rachel pergi ke apotek dekat rumah untuk membeli alat tes kehamilan. Begitu sampai di rumah, Dave memarahi Rachel karena pergi tanpa izin. "Darimana saja kamu? Kenapa pergi tanpa membangunkanku dulu?" cecar Dave begitu Rachel kembali. "Aku hanya pergi ke apotek dekat sini," jawab Rachel santai. "Kamu sakit?" Dave mendekat. Di sentuhnya kening dan leher istrinya bergantian dengan punggung tangannya.&nbs
Dewi yang tengah mengatur laju napasnya yang masih memburu, seketika terlonjak kaget. Ia mendongak, menatap Alex yang kini sudah terbaring di sampingnya dengan mata terpejam.Dewi mengumpat melalui tatapan matanya. Ia tidak menyangka Alex malah menyebut wanita lain saat bercinta dengannya."Jadi yang kau bayangkan saat bercinta denganku tadi itu Rachel," desis Dewi nampak tersinggung.Percuma saja Dewi berbicara, Alex sepertinya tidak mendengarkannya. Napasnya yang teratur diiringin suara dengkuran halus yang keluar dari mulut Alex, menandakan lelaki itu sudah tertidur nyenyak.Kekagumannya pada sang bos membuatnya lupa diri, berharap suatu saat Alex dapat melihat cintanya yang teramat besar. Logikanya seakan hilang, tergantikan akan keinginannya untuk memiliki Alex seutuhnya.Kini Dewi hanya bisa menyesal dan terus menyalahkan diri sendiri. Tindakan bodohnya waktu itu ternyata membuahkan hasil hingga dirinya sekarang berakhir terkurung dalam
Trauma itu akan tetap ada. Bahkan setelah berbulan-bulan lamanya Alex tak lagi mengusik rumah tangga Rachel. Wanita itu terkadang masih di dera ketakutan yang sama. Takut jika suatu hari nanti Alex datang menemui Rachel di saat lelaki itu sedang tidak waras seperti waktu itu. Bayang-bayang masa lalu dimana wanita itu mendapat perlakuan tidak menyenangkan kembali melintas seketika. Saat itu Rachel sedang bersembunyi dari kejaran Alex. Lelaki itu terlihat seperti orang gila setelah Rachel dengan tegas berterus terang ingin memutus hubungan dengannya. Wanita itu awalnya mengira dapat terbebas setelah bersembunyi. Namun Alex rupanya menemukan tempat persembunyian Rachel. "Lex, aku mau pulang. Kita bicara besok lagi ya. Sampai ketemu besok," ujar Rachel berbicara setenang mungkin. Melihat mata Alex yang mengelap seperti bukan dirinya, Rachel segera bergegas pergi. Namun wanita itu terlambat. Alex tiba-tiba meraih pergelangan tangan Rachel, menariknya
Dave menatap wajah Rachel lekat. "Kamu pernah bilang nggak sabar mau lihat anak kamu. Tapi kenapa begitu Darrel lahir, kamu jadi cuek begini?" Wajah Dave yang semula tanpa ekspresi kini malah tersenyum miring. "Anak saya? Apa kamu yakin kalau Darrel itu anak saya?" Rachel tersentak dengan pertanyaan Dave. Ia tidak menyangka Dave akan meragukan keberadaan Darrel. "Apa maksudmu, Dave?" Dave memandang wajah Rachel dengan tatapan yang sulit di artikan. "Waktu saya ke kantor kamu buat kasih surat pengunduran diri itu, Alex sempat berkata sesuatu ke saya. Soal anak itu—" Rachel seketika merasa was-was sekaligus penasaran dengan apa yang di katakan Alex ke Dave. "Lelaki itu bilang kalian berdua pernah berhubungan badan di belakang saya. Benar begitu?" tanya Dave nampak tenang. "Dave... Aku bisa jelaskan semuanya ke kamu." Sudut bibir Dave seketika tertarik ke atas. "Jadi tangis kesedihan s
Damian dan Kate terlihat terkejut setelah mendengar penuturan Cindy. Mereka tidak habis pikir dengan kelakuan anak lelakinya yang hingga kini belum terlihat juga batang hidungnya."Anak itu ya benar-benar kelakuannya. Awas saja nanti kalau sudah datang. Papah pukul kepalanya. Biar tahu rasa," sungut Damian seraya mengeleng kesal."Padahal sudah sering mamah kasih tahu. Kejadian juga. Istrinya mau lahiran, malah pergi kemana lagi tuh anak."Kate juga ikut meruntuki dengan berbagai caci maki yang ditujukan untuk Dave."Sudahlah, Pah, Mah. Mengomelnya nanti saja pas kak Dave sudah ada. Lebih baik sekarang kita berdoa semoga persalinan kak Rachel diberi kelancaran," saran Cindy menengahi.Damian dan Kate saling berpandangan untuk beberapa saat. Kemudian mengangguk. Kini mereka sudah lebih tenang. Walaupun sesekali Damian terlihat mondar-mandir di depan ruang bersalin. Sedangkan. Cindy dan Kate yang duduk bersebelahan terlihat saling menguatkan se
Entah sengaja atau tidak, Dave dengan polosnya malah bertanya pertanyaan yang membuat mamahnya semakin jengkel mendengarnya."Benar-benar ini anak ya," geram Kate sembari meremas ponsel Rachel.Tidak ingin keributan semakin meluas, Rachel pun berusaha menenangkan mertuanya."Sudahlah, Mah. Tidak apa-apa. Mamah tidak perlu cemas. Kata dokter masih seminggu lagi. Lagipula masih ada Dave yang bakal selalu jagain Rachel. Ya kan, Dave?""Hmm..."Dave berdeham sekenanya. Lelaki itu mengiyakan saja perkataan Rachel agar dapat terbebas dari amukan mamahnya.☆☆☆Rachel melirik ke arah jam di dinding yang saat ini menunjukkan pukul empat sore. Melihat hari sudah mulai senja, ia lantas bergegas menuju dapur untuk menyiapkan makan malam.Walau gerakannya sudah tidak bisa segesit dulu lagi, namun ia tidak terlihat mengeluh. Wanita itu malah akan bosan kalau hanya duduk-duduk bersantai, menunggu suami pulang kerja. Untuk itu Rach
Setelah Dave berhasil melepaskan diri, lelaki itu malah bangkit dan berjalan ke luar kamar. Mata Rachel kembali berkaca-kaca ketika melihat bayang-bayang yang perlahan menghilang dari balik pintu. Rachel kembali merasa sedih saat menyadari suaminya sudah tidak tertarik lagi padanya. Semenjak kejadian malam itu, Dave benar-benar menghentikan frekuensi hubungan intim mereka. Entah mengapa lelaki itu jadi kehilangan gairahnya, seperti malam ini. Andai saja wanita itu tahu. Dave sebenarnya hampir menyentuh Rachel kembali malam ini, tapi gairah Dave mendadak padam ketika terbayang Rachel pernah di sentuh lelaki lain saat masih berstatus sebagai istrinya. Andai lelaki itu tidak teringat kata-kata Alex tempo hari, mungkin mereka tidak akan tidur di ranjang yang terpisah malam ini. ☆☆☆ Seorang lelaki berambut pirang nampak tengah berjalan memasuki kawasan poliklinik ibu dan anak di sebuah rumah sakit. Langkah kakinya mendadak berhenti saat melihat peman
Rachel tiba-tiba kembali menyinggung nama Alex saat mereka tengah makan bersama. Dave yang tengah menyendokkan makanan ke mulutnya, jadi berhenti begitu nama lelaki itu disebut. Selera makannya mendadak hilang entah kemana."Bukankah saya sudah cerita ya? Tidak dengar? Waktu itu telingamu kemana saat saya sedang bicara," ketus Dave menahan kesal.Mata hazel wanita itu mendadak berkaca-kaca mendengar nada tidak bersahabat yang keluar dari mulut suaminya."Aku tidak tahu apa saja yang Alex katakan padamu. Tapi kumohon jangan percaya apapun yang di ucapkannya. Dia itu," lirih Rachel menahan isak tangis yang ingin keluar.Suara sendok yang beradu dengan piring seketika membungkam mulut Rachel. Wanita itu berjingkat kaget mendengar suara bunyi sendok yang di lempar Dave. Entah di sengaja atau tidak, Dave tiba-tiba menaruh sendok makannya dengan kasar."Alex lagi. Alex lagi. Apa kamu tidak bisa membicarakan hal lain selain lelaki itu, Hah?"
Rachel membuka matanya, merasakan sebuah tendangan kuat di perutnya. Sontak ia mendongak sembari mengusap-usap perut besarnya."Kenapa, Sayang? Sudah lapar ya. Tunggu sebentar ya, Sayang. Kita makan sama-sama setelah menunggu papa pulang ya. Mama yakin papamu pasti sebentar lagi pulang," gumam Rachel seakan tengah berbicara dengan anak yang di kandungnya.Bayi di perutnya semakin aktif saja bergerak setiap harinya. Rachel memakan beberapa keping biskut dicampur dengan susu untuk menganjal rasa lapar. Ia tidak ingin anaknya ikut kelaparan menunggu suaminya yang tak kunjung pulang.Keinginan Rachel yang ingin makan malam bersama Dave yang menjadikan alasan wanita hamil itu tetap duduk setia di depan meja makan saat ini. Berulang kali ia menghela napas panjang setelah menyadari Dave belum juga pulang padahal hari sudah mulai petang."Sepertinya hari ini Dave lembur lagi," desah Rachel sembari menatap jam dinding.Hubungan Dave dan Rachel semakin