Dave merasa risih dengan tatapan Rachel. Ia lantas mengalihkan perhatian dengan melihat ke jalan raya.
"Kenapa malah ngeliatin saya begitu? Ayo, pilih mau makan dimana? Mumpung kita lagi lewat banyak resto nih."
Mengikuti gerakan suaminya, Rachel lalu menengok ke sekelilingnya. Mobil yang mereka tumpangi itu sedang melintas di sekitar area tempat makan. Namun anehnya, tidak satupun rumah makan yang dapat mengugah napsu makan Rachel.
"Mau makan seafood?" tawar Dave seraya menunjuk restoran seafood yang ada di depan persimpangan jalan.
Rachel mengeleng pelan. Ia sedang tidak berselera menyantap makanan resto.
"Aku nggak mau makan seafood, Dave. Pengen makan di rumah saja," tolak Rachel secara halus.
Dave mendesah pelan, kemudian mengangguk paham. Ia lantas melajukan mobilnya dengan cepat menuju apartement mereka.
Begitu sampai di dalam, Rac
Rachel melihat seorang lelaki berjas putih berdiri di sudut ranjang kamar Dave. Lelaki itu tersenyum ramah kepadanya. "Selamat malam. Perkenalkan saya Vincent. Saya dokter pribadi yang biasa di panggil oleh keluarga Senkevich." Rachel membalas datar senyuman dokter Vincent. Dahinya sedikit mengerut ketika bertatapan langsung dengan lelaki berkulit seputih susu yang memiliki wajah cerah seterang mentari dengan senyum merekah bagai sinar rembulan. Rachel merasa baru pertama kali melihat dan mendengar namanya. Matanya berkelebat kala dirinya mendadak teringat akan cerita Dave tempo hari. Dave pernah bercerita kalau ada salah satu sepupunya yang seorang dokter sudah kembali dari luar negeri. Sepupunya itu juga tidak dapat hadir di acara pernikahan mereka karena keberadaannya di luar negeri untuk urusan penting terkait pekerjaannya. Jika di hubungkan dengan cerita Dave, kemungkinan bes
Hati Dave serasa tercubit takkala melihat pemandangan dua orang berbeda jenis kelamin yang ada di hadapannya. Belum lagi senyum manis yang di tujukan Rachel saat memandang Vincent, menyiratkan kekaguman di wajahnya. Namun Dave tidak bisa berbuat apapun manakala ia ingat kedatangan Vincent ke apartemennya tidak lain karena panggilan darinya. Setelah memastikan semua alat kedokteran yang di bawanya masuk semua ke dalam tas, Vincent kembali menegakkan pungungnya. Mengangguk singkat pada Rachel sembari tersenyum tipis. "Mungkin kita baru pertama kali bertemu, tapi ke depannya Bu Rachel mungkin akan sering menemui saya. Kebetulan saya dokter spesialis kandungan. Jadi jangan bosan ya," ujarnya seraya berjalan ke pintu. "Jangan terlalu percaya diri. Yang mau pakai lo lagi tuh siapa?—" Dave berjalan mendekati Vincent. "Sudah sana buruan pergi. Istri gua mau istrirah
"Harus diakui kalau saya lebih peduli padamu sekarang ini tidak lain karena kehamilanmu itu. Sebagai suamimu yang sah, saya ingin ada dan bertanggung jawab atas kalian. Apa menurutmu itu salah?" Rachel menatap ke dalam manik grey mata Dave yang kini nampak sendu. Tatapan Dave yang terlihat tulus di matanya saat ini, seketika meluluhkan hati Rachel. "Kamu mungkin tidak ingin hamil, tapi jangan pernah berpikir menggugurkannya. Saya tidak akan diam saja kalau kamu berani berbuat begitu." Rachel seketika terbelalak. "Yang mau menggugurkan bayi ini tuh siapa?" geram Rachel. Dave mengejapkan mata berulang kali. Ia seketika sadar telah salah berucap pada istrinya. "Kamu salah paham, Dave. Aku memang kaget setengah mati pas sepupu kamu bilang kalau aku hamil. Tapi sedikitpun aku nggak ada niatan—" Rachel membuang muka se
Hangatnya matahari pagi, membangunkan Dave dari peraduaannya. Semangat yang mengairahkan harinya pagi ini, membuat Dave bersenandung kecil sejak dari bangun dari tempat tidur sampai selesai berpakaian rapi. Suasana hati yang tengah bahagia nampak jelas di wajahnya yang secerah mentari. Senyumnya mengembang kala melihat Rachel begitu membuka pintu kamar. "Eoh. Baru mau aku bangunkan. Sudah rapi dan wangi saja kamu," ujar Rachel saat melihat penampilan Dave yang menyegarkan mata. Dave hanya tertawa kecil sambil mengusap rambutnya kala mendengar pujian kecil dari istrinya. Ia ingin mengajak Rachel bicara sedikit lama. Namun saat melihat Rachel nampak buru-buru berlalu dari hadapannya, Dave lebih memilih mengekor di belakang. Rachel kini tengah sibuk meracik bahan makanan di dapur untuk sarapan mereka berdua. "Bikin sarapan yang simpel aja, Hel. Inget kata dokter, kamu ngga
Namun semua itu hanyalah angan Rachel yang sekelebat terlintas dalam benaknya. Nyatanya ia hanya memasang tampang sendu sambil mengusap perutnya yang masih rata."Maaf, tapi sepertinya kita harus mengakhiri keributan ini. Saya hanya tidak ingin anak saya merasa tidak nyaman karena ibunya berdebat dengan sesama rekan kerjanya.""Anak? Anak siapa yang mbak maksud?" gumam Dewi nampak bingung.Dewi sontak menutup mulutnya saat menyadari maksud gerakan tangan Rachel."Mbak lagi hamil?" tanya Dewi memastikan."Betul sekali."Rachel mengangguk. Melihat keterkejutan di wajah Dewi, ia pun mengulas senyum tipis."Jadi menurut mbak apa saya masih bisa mencari perhatian dalam kondisi berbadan dua begini? Tidak, Mbak. Saya akan lebih memilih berada di sisi bapaknya anak ini," tutur Rachel dengan wajah penuh keyakinan."Oh. J
Rachel seketika terdiam membisu. Ia tidak menyangka Alex akan berkata seperti itu. Sejenak ia meragu. Apakah mungkin anak yang di kandung ini bukan anaknya Dave, melainkan anaknya Alex. Rachel mengeleng pelan. Menghapus keraguan dalam benaknya. Ia lebih yakin jika Dave-lah ayah dari anaknya. "Tentu. Jangan asal bicara kamu, Lex. Kamu tidak mungkin ayahnya," kekeh Rachel sambil mengelus perutnya. "Apanya yang tidak mungkin?—" Alex mendadak tersenyum miring. "Kau lupa atau pura-pura lupa kebersamaan kita sebulan yang lalu? Tidak mungkin bukan kamu melupakan kenangan bersejarah kita waktu itu?" Rachel mendadak bungkam. Kenangan yang tidak ingin diingatnya dan telah terhapus dalam memorinya seketika kembali muncul. "Kenangan? Kau tidak pantas menyebutkan kenangan. Bagiku kesalahan yang kita perbuat waktu itu bagaikan mimpi
"Kamu bilang apa tadi?"Dave bukannya tidak mendengar perkataan Rachel, tapi ia hanya ingin memastikan pendengarannya salah dan tidak berfungsi saat ini."Ceraikan aku secepatnya, Dave."Tak ada angin maupun hujan, tiba-tiba saja Rachel meminta cerai pada suaminya. Dave seketika mengernyitkan dahi, menatap Rachel bingung."Kamu bercanda ya? Ini nggak lucu, Hel.""Apa perkataanku ini terdengar gurauan bagimu?"Mendengar nada suara istrinya yang terdengar serius, Dave kini benar-benar yakin kalau istrinya sedang tidak bercanda. Otaknya seketika berpikir keras. Kesalahan apa yang telah diperbuatnya hingga Rachel tiba-tiba meminta cerai.Melihat suaminya diam saja, Rachel kembali melanjutkan perkataannya."Aku sudah memikirkan ini sejak lama. Kita seharusnya memang sudah berpisah dari beberapa bulan yang lalu
Dave mengambil ponsel dari saku celananya. Menekan-nekan layar kemudian mendekatkan telepon ke telinga seperti tengah menghubungi seseorang. Di lain tempat, seorang wanita tengah mengulas senyum manis saat melihat tamu yang datang. "Pesanan atas nama Dewi," ujar pengantar paket sambil membaca tulisan stiker pada kotak yang ada di tangannya. "Iya, saya Dewi." Dewi yang sudah menunggu lama itu, lantas menyambar kotak makanan. Kemudian membawa masuk ke dalam rumah. Wajahnya terlihat sudah tidak sabar untuk mencicipi makanan yang di belinya. Tangan Dewi perlahan bergerak menyendokkan makanan sambil membuka mulutnya lebar-lebar. Ketika sendok sudah di depan mulutnya, tiba-tiba saja perutnya terasa mual. Seperti ingin memuntahkan sesuatu di dalam perutnya. Wanita itu lantas bangkit dari tempat duduknya. Dan tepat saat itu ponselnya tiba- tiba berb
Rachel menatap lama ke sebuah tanggal pada kalender yang tengah di pegangnya. Ia baru sadar kalau bulan ini dirinya belum juga kedatangan tamu bulan. Pembalutnya yang tersimpan di box penyimpanan masih utuh. Meski sudah pernah mengandung Darrel, tetap saja kali ini dia kecolongan. "Bodoh. Kenapa kamu baru menyadarinya sekarang setelah dua bulan berlalu?" umpatnya pada diri sendiri. Rachel yakin dirinya hamil, tapi ingin memastikannya dulu sebelum memberitahukan kabar bahagia ini pada sang suami. Pagi-pagi sekali Rachel pergi ke apotek dekat rumah untuk membeli alat tes kehamilan. Begitu sampai di rumah, Dave memarahi Rachel karena pergi tanpa izin. "Darimana saja kamu? Kenapa pergi tanpa membangunkanku dulu?" cecar Dave begitu Rachel kembali. "Aku hanya pergi ke apotek dekat sini," jawab Rachel santai. "Kamu sakit?" Dave mendekat. Di sentuhnya kening dan leher istrinya bergantian dengan punggung tangannya.&nbs
Dewi yang tengah mengatur laju napasnya yang masih memburu, seketika terlonjak kaget. Ia mendongak, menatap Alex yang kini sudah terbaring di sampingnya dengan mata terpejam.Dewi mengumpat melalui tatapan matanya. Ia tidak menyangka Alex malah menyebut wanita lain saat bercinta dengannya."Jadi yang kau bayangkan saat bercinta denganku tadi itu Rachel," desis Dewi nampak tersinggung.Percuma saja Dewi berbicara, Alex sepertinya tidak mendengarkannya. Napasnya yang teratur diiringin suara dengkuran halus yang keluar dari mulut Alex, menandakan lelaki itu sudah tertidur nyenyak.Kekagumannya pada sang bos membuatnya lupa diri, berharap suatu saat Alex dapat melihat cintanya yang teramat besar. Logikanya seakan hilang, tergantikan akan keinginannya untuk memiliki Alex seutuhnya.Kini Dewi hanya bisa menyesal dan terus menyalahkan diri sendiri. Tindakan bodohnya waktu itu ternyata membuahkan hasil hingga dirinya sekarang berakhir terkurung dalam
Trauma itu akan tetap ada. Bahkan setelah berbulan-bulan lamanya Alex tak lagi mengusik rumah tangga Rachel. Wanita itu terkadang masih di dera ketakutan yang sama. Takut jika suatu hari nanti Alex datang menemui Rachel di saat lelaki itu sedang tidak waras seperti waktu itu. Bayang-bayang masa lalu dimana wanita itu mendapat perlakuan tidak menyenangkan kembali melintas seketika. Saat itu Rachel sedang bersembunyi dari kejaran Alex. Lelaki itu terlihat seperti orang gila setelah Rachel dengan tegas berterus terang ingin memutus hubungan dengannya. Wanita itu awalnya mengira dapat terbebas setelah bersembunyi. Namun Alex rupanya menemukan tempat persembunyian Rachel. "Lex, aku mau pulang. Kita bicara besok lagi ya. Sampai ketemu besok," ujar Rachel berbicara setenang mungkin. Melihat mata Alex yang mengelap seperti bukan dirinya, Rachel segera bergegas pergi. Namun wanita itu terlambat. Alex tiba-tiba meraih pergelangan tangan Rachel, menariknya
Dave menatap wajah Rachel lekat. "Kamu pernah bilang nggak sabar mau lihat anak kamu. Tapi kenapa begitu Darrel lahir, kamu jadi cuek begini?" Wajah Dave yang semula tanpa ekspresi kini malah tersenyum miring. "Anak saya? Apa kamu yakin kalau Darrel itu anak saya?" Rachel tersentak dengan pertanyaan Dave. Ia tidak menyangka Dave akan meragukan keberadaan Darrel. "Apa maksudmu, Dave?" Dave memandang wajah Rachel dengan tatapan yang sulit di artikan. "Waktu saya ke kantor kamu buat kasih surat pengunduran diri itu, Alex sempat berkata sesuatu ke saya. Soal anak itu—" Rachel seketika merasa was-was sekaligus penasaran dengan apa yang di katakan Alex ke Dave. "Lelaki itu bilang kalian berdua pernah berhubungan badan di belakang saya. Benar begitu?" tanya Dave nampak tenang. "Dave... Aku bisa jelaskan semuanya ke kamu." Sudut bibir Dave seketika tertarik ke atas. "Jadi tangis kesedihan s
Damian dan Kate terlihat terkejut setelah mendengar penuturan Cindy. Mereka tidak habis pikir dengan kelakuan anak lelakinya yang hingga kini belum terlihat juga batang hidungnya."Anak itu ya benar-benar kelakuannya. Awas saja nanti kalau sudah datang. Papah pukul kepalanya. Biar tahu rasa," sungut Damian seraya mengeleng kesal."Padahal sudah sering mamah kasih tahu. Kejadian juga. Istrinya mau lahiran, malah pergi kemana lagi tuh anak."Kate juga ikut meruntuki dengan berbagai caci maki yang ditujukan untuk Dave."Sudahlah, Pah, Mah. Mengomelnya nanti saja pas kak Dave sudah ada. Lebih baik sekarang kita berdoa semoga persalinan kak Rachel diberi kelancaran," saran Cindy menengahi.Damian dan Kate saling berpandangan untuk beberapa saat. Kemudian mengangguk. Kini mereka sudah lebih tenang. Walaupun sesekali Damian terlihat mondar-mandir di depan ruang bersalin. Sedangkan. Cindy dan Kate yang duduk bersebelahan terlihat saling menguatkan se
Entah sengaja atau tidak, Dave dengan polosnya malah bertanya pertanyaan yang membuat mamahnya semakin jengkel mendengarnya."Benar-benar ini anak ya," geram Kate sembari meremas ponsel Rachel.Tidak ingin keributan semakin meluas, Rachel pun berusaha menenangkan mertuanya."Sudahlah, Mah. Tidak apa-apa. Mamah tidak perlu cemas. Kata dokter masih seminggu lagi. Lagipula masih ada Dave yang bakal selalu jagain Rachel. Ya kan, Dave?""Hmm..."Dave berdeham sekenanya. Lelaki itu mengiyakan saja perkataan Rachel agar dapat terbebas dari amukan mamahnya.☆☆☆Rachel melirik ke arah jam di dinding yang saat ini menunjukkan pukul empat sore. Melihat hari sudah mulai senja, ia lantas bergegas menuju dapur untuk menyiapkan makan malam.Walau gerakannya sudah tidak bisa segesit dulu lagi, namun ia tidak terlihat mengeluh. Wanita itu malah akan bosan kalau hanya duduk-duduk bersantai, menunggu suami pulang kerja. Untuk itu Rach
Setelah Dave berhasil melepaskan diri, lelaki itu malah bangkit dan berjalan ke luar kamar. Mata Rachel kembali berkaca-kaca ketika melihat bayang-bayang yang perlahan menghilang dari balik pintu. Rachel kembali merasa sedih saat menyadari suaminya sudah tidak tertarik lagi padanya. Semenjak kejadian malam itu, Dave benar-benar menghentikan frekuensi hubungan intim mereka. Entah mengapa lelaki itu jadi kehilangan gairahnya, seperti malam ini. Andai saja wanita itu tahu. Dave sebenarnya hampir menyentuh Rachel kembali malam ini, tapi gairah Dave mendadak padam ketika terbayang Rachel pernah di sentuh lelaki lain saat masih berstatus sebagai istrinya. Andai lelaki itu tidak teringat kata-kata Alex tempo hari, mungkin mereka tidak akan tidur di ranjang yang terpisah malam ini. ☆☆☆ Seorang lelaki berambut pirang nampak tengah berjalan memasuki kawasan poliklinik ibu dan anak di sebuah rumah sakit. Langkah kakinya mendadak berhenti saat melihat peman
Rachel tiba-tiba kembali menyinggung nama Alex saat mereka tengah makan bersama. Dave yang tengah menyendokkan makanan ke mulutnya, jadi berhenti begitu nama lelaki itu disebut. Selera makannya mendadak hilang entah kemana."Bukankah saya sudah cerita ya? Tidak dengar? Waktu itu telingamu kemana saat saya sedang bicara," ketus Dave menahan kesal.Mata hazel wanita itu mendadak berkaca-kaca mendengar nada tidak bersahabat yang keluar dari mulut suaminya."Aku tidak tahu apa saja yang Alex katakan padamu. Tapi kumohon jangan percaya apapun yang di ucapkannya. Dia itu," lirih Rachel menahan isak tangis yang ingin keluar.Suara sendok yang beradu dengan piring seketika membungkam mulut Rachel. Wanita itu berjingkat kaget mendengar suara bunyi sendok yang di lempar Dave. Entah di sengaja atau tidak, Dave tiba-tiba menaruh sendok makannya dengan kasar."Alex lagi. Alex lagi. Apa kamu tidak bisa membicarakan hal lain selain lelaki itu, Hah?"
Rachel membuka matanya, merasakan sebuah tendangan kuat di perutnya. Sontak ia mendongak sembari mengusap-usap perut besarnya."Kenapa, Sayang? Sudah lapar ya. Tunggu sebentar ya, Sayang. Kita makan sama-sama setelah menunggu papa pulang ya. Mama yakin papamu pasti sebentar lagi pulang," gumam Rachel seakan tengah berbicara dengan anak yang di kandungnya.Bayi di perutnya semakin aktif saja bergerak setiap harinya. Rachel memakan beberapa keping biskut dicampur dengan susu untuk menganjal rasa lapar. Ia tidak ingin anaknya ikut kelaparan menunggu suaminya yang tak kunjung pulang.Keinginan Rachel yang ingin makan malam bersama Dave yang menjadikan alasan wanita hamil itu tetap duduk setia di depan meja makan saat ini. Berulang kali ia menghela napas panjang setelah menyadari Dave belum juga pulang padahal hari sudah mulai petang."Sepertinya hari ini Dave lembur lagi," desah Rachel sembari menatap jam dinding.Hubungan Dave dan Rachel semakin