Meja makan sudah dipenuhi oleh beberapa macam makanan. Tersusun rapi dan Pak Rido, lelaki paruh baya itu masih terlihat sibuk menata dengan baik.
Amala sendiri kini membeku. Diam tidak berkutik namun heran mengapa Pak Rido memperlakukannya seperti papanya memperlakukan dia dulu. Kenapa mirip sekali sikap keduanya? Amala sendiri kini membiarkan anak bungsunya Pak Rido itu yang terus memegang tangannya dengan kuat."Sudah. Ayo makan, Dek." Pak Rido menarik kursi mempersilakan Amala. Tidak ada penolakan selain Amala segera menghampiri cepat."Terima kasih." Amala berujar pelan sukses membuat Pak Rido tersenyum dengan haru. Ada rasa bangga yang terhinggap dalam jiwanya itu kala Amala menghargai apa yang sudah dia perbuat.Amala sendiri bahkan sudah tidak sabar untuk segera makan. Dia berniat untuk mengambil ikan bakar yang ditemani dengan kuah kecap yang terlihat cukup nikmat. Makan mi instan bukan pilihan yang tepat untuknya berhenti merasa lapar.Amala kemudian larut dalam menikmati makanan yang dibawa oleh Pak Rido. Dia tidak menyadari jika tatapan Pak Rido terus menyertainya. Posisi memangku anaknya itu, Pak Rido terus tersenyum melihat Amala makan dengan begitu lahap."Ba-bapak enggak makan?" Amala baru menyadari kemudian karena Pak Rido hanya duduk manis saja memerhatikan dirinya."Saya sudah makan dengan anak-anak sebelum datang kemari. Dik Amala makanlah. Saya tunggu hingga selesai."Amala mengangguk dan segera melanjutkan makannya itu. Dia kemudian mulai mendengar anak bungsunya Pak Rido yang kemudian mulai rewel. Dia terlihat sangat mengantuk dan mulai menangis tidak karuan."Bawa saja ke kamar, Pak." Amala berkata.Pak Rido terlihat terkejut. "Ke kamar Dik Amala?" Beliau hanya ingin memastikan sebelum lancang masuk ke kamar Amala. Dia tahu, bukan perkara mudah baginya untuk segera masuk ke kamar gadis yang telah menjadi istrinya ini."Rumah sebesar ini, saya takut tidur sendiri." Amala berkata jujur. Ya. Dia memang tipe penakut sejak kecil. Tidak ada pilihan lain baginya, Amala hanya menjalankan apa yang terjadi."Baiklah. Bapak antarkan Habil dulu ke kamar, ya." Pak Rido segera beranjak seraya mencoba menidurkan Habil anak bungsunya itu dalam gendongannya.Amala mempercepat makannya dan segera bangkit mencoba untuk membereskan beberapa piring kotor. Dia tidak mau tidur jika belum menyelesaikan tugas rumah itu. Besok Amala harus segera pergi ke kampus lagi demi menyelesaikan studinya yang tertunda itu.Ketika merasa semuanya sudah beres. Amala baru pergi ke kamar. Ada hal yang membuat dirinya terpaku sejenak kala melihat Pak Rido yang kini berbaring di atas kasur seraya menepuk-nepuk punggung Habil dengan lembut. Dia berusaha menidurkan Habil sementara kedua matanya terpejam rapat.Amala tahu. Pak Rido memang menjalani kehidupan yang amat sulit. Tidak mudah baginya menjaga Habil yang masih kecil itu dan masih sangat perlu kehangatan dari seorang ibu. Amala sendiri kian heran mengapa Pak Rido malah memilih dirinya yang tidak tahu apa-apa untuk menjadi istri beliau?"Lho, Dik. Kamu sudah di sini." Pak Rido baru sadar sehingga segera mencoba bangkit dengan perlahan."Apa boleh Habil tidur di kasur Dik Amala?"Amala mengangguk saja. Dia memang sudah tidak ada pilihan apapun. Beranjak ke arah kemari Amala kemudian mengeluarkan selimut tebal. Dia akan tidur di lantai saja dari pada di atas kasur berbagi tempat tidur dengan Habil."Biar saya yang tidur di bawah, Dik." Pak Rido berkata cepat. Amala tidak sempat berkata Pak Rido sudah mengambil selimut itu dari tangannya dan segera membentangkannya ke atas lantai."Biar saya pindahkan Habil juga ke bawah ya, Dik.""Jangan, Pak. Enggak apa-apa. Biarkan saja Habil di kasur," ucap Amala. Pak Rido masih belum yakin dengan perkataan Amala itu."Dik Amala benar tidak apa-apa?""Iya, Pak. Saya enggak apa-apa. Saya ke kamar mandi dulu. Bapak kalau mau tidur, silakan tidur saja."Pak Rido hanya menyepi pelan. Beliau mengangguk dan segera berbaring. Ada rasa tidak nyaman ketika harus tidur di lantai memisahkan diri dengan Amala. Ada rasa heran pula, akan sampai kapan seperti ini? Dia tidak tahu Amala akan menginap sampai kapan di rumahnya ini dan tidak mau pulang. Namun, Pak Rido akan memikirkan segala cara yang lain agar Amala bisa membuat dirinya menjadi lebih tenang dan nyaman.Sementara itu, Amala yang baru saja keluar dari kamar mandi melihat Pak Rido yang sedang melamun itu terdiam beberapa saat. Ada rasa tidak tega membiarkan. Bagaimana pun Pak Rido adalah suaminya sekarang. Namun Amala masih belum bisa membiarkan dirinya itu didekati oleh Pak Rido sejenak pun.Amala menepis rasa tidak enakan itu dan segera naik ke kasur. Pak Rido baru tahu dengan kehadirannya itu."Sudah mau tidur sekarang?" tanya Pak Rido kemudian."Iya.""Dik Amala, saya boleh bertanya sedikit?" Pak Rido menoleh melihat Amala yang tidak mengatakan apapun."Apa Dik Amala masih melanjutkan kuliah?""Maksud, Bapak?"."Tidak. Maksud saya, saya hanya memastikan apa yang sedang Dik Amala lakukan saja akhir-akhir ini. Saya juga tidak akan melarang Dik Amala untuk kuliah. Kalau memang masih ingin melanjutkan silahkan saja tidak apa-apa, Dik."Amala hanya diam saja. Dia memang tidak berniat untuk melanjutkan kuliah lagi. Ada saja ha yang membuat dia berpikir bahwa tidak ada gunanya mendapatkan pekerjaan bagus kelak jika sudah lulus jika telah menjadi istri orang. Amala tahu dia masih muda, namun nafsunya untuk bekerja lebih keras ke depan seolah sudah kandas."Apa lagi tinggal skripsi saja, kan? Pasti tidak akan lama lagi itu sudah selesai. Saya harap Dik Amala bisa segera menyelesaikan itu, ya." Pak Rido tersenyum lembut di sana. Amala lagi-lagi hanya diam saja namun pandangannya teralihkan pada Habil yang sedang begitu pulas. Ada hal yang membuat Amala berpikir jika anak ini akan masuk ke dunianya untuk selamanya jika pernikahan itu masih tetap dipertahankan."Tidurlah, Dik. Sudah larut."Pak Rido memejamkan mata. Amala malah kian merasa kepalanya akan pecah dengan pemikiran yang membuatnya kacau.*Bau nasi goreng telah tercium bahkan ketika Amala melangkahkan kaki ke dapur. Dia sejenak terkejut mendapati Pak Rido yang sedang sibuk menghidang nasi goreng di atas meja.Cukup pagi sekali. Beliau sudah menyelesaikan pekerjaan rumah dengan begitu cepat. Amala tahu, ketika subuh tadi Pak Rido sudah bangun untuk segera salat dan melanjutkan memasak. Lagi-lagi Amala berpikir jika sikap Pak Rido ini sama persis dengan papanya dulu."Sudah bangun, Dik? Ayo sarapan. Bapak hari ini ada harus masuk jam pertama. Jadi, lumayan buru-buru," ujar Pak Rido seraya menuangkan segelas susu hangat. Beliau selanjutnya menarik kursi mempersilakan Amala untuk duduk. Perbuatannya ini membuat Amala menjadi kaku sendiri."Terima kasih, Pak." Amala sendiri tidak lupa mengucapkan kalimat itu. Dia merasa tidak nyaman diperlakukan terlalu istimewa seperti itu."Jadi, hari ini Dik Amala akan ke kampus?""Saya belum tahu, Pak. Dosen belum mengabari.""Baiklah. Kalau gitu, Bapak mandi dulu, ya. Silakan lanjutkan makannya." Pak Rido buru-buru melepaskan celemek dan meletakkan di sana. Baru beberapa langkah akan keluar, mendadak berhenti dan menoleh. Amala bingung sendiri melihatnya."Saya hampir lupa. Dik, nanti siang ada hajatan nikahan anak dari salah satu guru. Apa Dik Amala mau menemani saya datang ke sana?"Hug! Amala hampir saja tersedak mendengar hal itu.Amala hampir saja tersedak mendengar hal itu. Dia segera minum susunya dengan cepat. Pak Rido hanya bisa mendesah pelan melihat itu. Reaksi Amala saja sudah menjadi jawaban baginya."Apa itu penting?" tanya Amala kemudian."Tentu saja. Saya hanya berpikir Dik Amala akan mau menemani saya. Namun jika tidak, tidak apa saya ....""Oke. Nanti siang Bapak jemput saya." Amala tidak tahu, mengapa dia langsung setuju saja. Namun, kebaikan Pak Rido dari kemarin menjadikan dia tidak tega untuk menolak."Alhamdulillah. Iya, Dik. Nanti pulang sekolah saya kemari. Saya mandi dulu, yaa." Penuh senyuman yang cerah, beliau beranjak cepat. Amala terkekeh saja melihat hal itu. Lucu saja. Teman papanya itu berubah cukup senang. Amala kadang heran, Pak Rido sebenarnya suka atau memang kasihan padanya? Tidak mungkin beliau jatuh cinta bukan? Amala menggeleng tidak mengerti.*Tidak ada baju. Namun ada satu gaun berwarna putih yang kini menjuntai di depan Amala. Biasanya dia kerap memakai itu jika sedang
"Rahmi. Kamu datang juga?" Pak Rido yang mendadak datang membuat wanita yang ternyata bernama Rahmi itu segera menarik diri menjauh dari Amala. Raut wajahnya seketika berganti dengan senyuman awal di mana membuat Amala tidak habis pikir."Eh, Mas. Iya dong. Aku baru saja bicara dengan istrimu. Dia cantik sekali, ya?" Rahmi. Wanita itu berkata dengan suara yang terkesan dibuat-buat seraya menatap Amala yang kini terpaku tidak percaya.Amala kian heran. Siapa sebenarnya wanita ini? Apa mau dia sehingga berani mengancamnya? Apa dia menyukai Pak Rido seperti wanita lainnya juga? "Terima kasih, Rahmi. Oh iya, sepertinya kami sudah harus pamit. Ada urusan penting yang harus saya selesaikan cepat," ucap Pak Rido seraya menoleh pada Amala. Amala bersyukur mendengarkan hal itu."Baiklah, Mas. Kamu hati-hati, ya. Aku berdoa supaya kalian bisa segera memiliki momongan.""Amin." Pak Rido tersenyum lebar. "Ayo, Dik. Kita pulang." Amala mengangguk mengerti hingga segera beranjak. Namun ada hal ya
"Dik Amala. Maaf, saya sudah mengajakmu untuk bertemu dengan mereka hari ini. Saya tahu ini tidak mudah. Maafkan saya."Amala bergeming.*Pemakaman yang nan luas. Amala melempar pandangan ke segala arah. Dia berharap segera ke makan orang tuanya itu. Rasa rindu yang telah memuncak tidak akan bisa dia utarakan kepada siapapun.Amala akhirnya bersimpuh di makam papanya. Duduk di sana memerhatikan batu nisan dengan pandangan lama. Dia berharap jika seandainya waktu bisa diulang dia akan meminta papanya itu untuk selalu ada dalam dekapannya selamanya.Isak tangis telah datang. Amala tidak kuasa menahan diri lagi hingga memeluk nisan itu dengan erat. Air mata yang menjadi jawaban bahwa betapa dia begitu sangat mencintai orang yang telah pergi ini. "Pa, apa benar ini yang terbaik untuk Amala? Kenapa Papa memilih Pak Rido untuk datang dalam hidup Amala, Pa?" Amala terisak. Dia sesekali menyeka air mata itu namun tetap dengan posisi yang terus menumpahkan segala hal yang terus bermain dalam
"Kamu kelihatan enggak seceria dulu lagi. Padahal Amala yang dulu begitu banyak bicara dan tertawa. Kamu polos dan bicara sekenanya kamu tanpa pikir panjang, tapi kamu yang sekarang kelihatan beda saja, Mal. Apa mungkin karena Papamu meninggal? Lalu mau sampai kapan kamu menjadi seperti orang lain?" Amala bergeming. Jadi selama ini Adlan tahu apa yang berbeda darinya? "Amal. Kamu gadis kuat. Kamu harus bisa tersenyum seperti dulu. Kehidupan akan tetap terus berjalan, kan? Kalau kamu selalu sedih, Papa dan Mamamu juga akan sedih di sana. Kamu harus bisa menjadi Amala yang dulu lagi. Kamu enggak sembunyikan apapun dariku, kan, Amal?" "Lan, aku sama sekali ....""Tolong jangan bohong. Aku tahu dari raut wajah kamu saja kamu ini sedang menyembunyikan sesuatu.""Enggak ada yang perlu kamu tahu, Lan. Intinya sekarang aku baik-baik saja, bukan? Kamu enggak perlu cemaskan apapun. Sekarang pulanglah. Nanti Papamu bisa marah kalau kamu terlambat."Mendengar Amala bicara yang begitu lembut it
"Ayah!" Keduanya sukses terkejut ketika mendengar suara Habil yang begitu keras dari lantai atas. Kalang kabut tidak jelas dan rasa salah tingkah yang sudah menyatu."Saya ke atas dulu, Dik!" Pak Rido beranjak cepat meninggalkan Amala yang kini terdiam bisu. Apa yang baru saja dia lakukan?*Amala. Gadis itu terlihat sudah pulas tidur di atas sofa sementara tv masih menyala. Pak Rido tersenyum melihat pemandangan indah tersebut. Dia bahkan baru meninggalkan Amala beberapa menit untuk melihat keadaan Habil namun ketika kembali Amala sudah tertidur.Pak Rido lagi-lagi tersenyum saat mengingat sikap Amala tadi padanya. Dia tahu Amala memang tidak ingin menolak apapun yang ingin dia lakukan namun rasa gengsi mengalahkan itu semua.Setelah mematikan tv. Pak Rido berlanjut untuk mengangkat Amala untuk dibawanya masuk ke kamar. Tidur di samping Habil yang sudah terlelap itu Pak Rido lagi-lagi menatap pemandangan yang menurutnya begitu indah. Dia senang anaknya Habil kini menemukan keceriaan
"Saya sudah ingin pisah bukan? Kenapa Bapak masih mempertahankan pernikahan ini?" Amala bertanya dengan suara gemetar.*Melempar pandangannya ke atas langit. Amala sejenak mencoba menenangkan diri dengan melihat taburan bintang di atas sana. Ada hal yang membuat dia tenang sejenak setelah berdebat dengan suaminya tadi.Dia memilih untuk tidak makan malam bersama Pak Rido. Menarik diri menjauh tepatnya. Dia kemudian memilih halaman belakang untuk duduk menepi membiarkan dirinya hanyut dalam ketenangan.Amala tidak tahu jika kini ada Mona yang sedang melihatnya dari jauh. Mona tidak tahu apa yang sedang dialami oleh majikannya itu namun dia hanya sadar jika terjadi pertengkaran tadi antara majikannya itu dengan seorang lelaki yang kini sedang berada di meja makan."Non. Kenapa Non berada di sini? Non enggak ikut makan?" Mona menghampiri cepat berharap Amala tidak akan terkejut dengan kehadirannya itu.Amala menoleh seraya menggeleng pelan. "Saya belum lapar, Mbak.""Non, bukan saya lan
"Apa yang Bapak lakukan?" Amala terkejut."Dik Amala masih takut pada saya?" Pak Rido menahan dirinya untuk mendekat kemudian. Amala yang terlihat sangat ketakutan itu membuatnya ragu untuk menghampiri lebih jauh. Amala sejenak terdiam. Merasa tenang ketika melihat Pak Rido yang kini menahan dirinya menjauh. Namun akankah dia berpikir bahwa begitu buruk? Mau sampai kapan dia akan selalu takut didekati oleh suaminya sendiri? "Dik, bolehkah saya meminta sesuatu?" Amala tidak menjawab namun dia kini melihat Pak Rido yang terlihat serius. Apakah ada permintaan yang sangat penting."Jika boleh saya ingin Dik Amala memanggil saya dengan sebutan mas. Apa Dik Amala bisa?""Mas?" Amala sejenak terkejut. Panggilan itu sama persis yang dilakukan oleh wanita yang ditemuinya di pesta pernikahan kemarin. "Iya. Saya ingin selayaknya panggilan suami istri. Bisakah Dik Amala melakukan itu?"Amala hanya mengangguk kemudian. Dia segera tidur kembali membelakangi Pak Rido. Berharap kali ini Pak Rido
"Amala, kenapa kamu nangis?" tanya Adlan dengan terkejut pula.*"Jadi kamu sudah menikah?!"Amala menunduk. Dia tidak kuasa menatap wajah Adlan yang kini melihatnya dengan cukup kaget. Seolah Adlan tertimpa dengan suatu hal yang berat. Bukan mimpi, namun dia benar-benar mendengar penuturan Mona jika Amala sudah menikah.Adlan memijit keningnya sebentar hingga segera menyeruput jus pesanannya itu dengan cepat. Dia masih tidak menyangka dengan apa yang didengarnya ini.Sebuah kafe tepatnya. Kini mereka bertiga duduk memesan minuman namun merenung dalam pikiran masing-masing. Amala yang merasa bersalah. Mona yang cemas karena Amala tidak memberitahu Adlan terkait dirinya dan Adlan, yang bagai mimpi mendengar kabar tersebut."Kenapa kamu menutupi hal ini dariku, Mal? Jadi selama ini firasatku tentang kamu menutupi sesuatu itu benar? Kenapa kamu tega memperlakukan aku seperti ini, Amala?" Adlan bertanya dengan suara lirih kini.Amala masih menunduk. Namun Mona mencoba membelai tangannya i
Putri mendesah pelan. "Kita hanya mencoba untuk menerka, Mal. Lalu siapa lagi sekarang? Bukankah mertuamu sangat benci dengan kamu? Kamu tahu, kan?""Tapi, tapi aku enggak yakin itu perbuatan Ibunya Mas Rido, Put.""Aku tahu. Ini berat buat kamu, Mal, tapi aku hanya membicarakan hal yang mengarah ke sana. Aku harap, kamu baik-baik saja dan kamu bisa memaklumi semuanya. Oke?"Amala tidak menjawab. Dia akan membiarkan semuanya terjadi begitu saja. Namun dia tetap akan memikirkan dengan apa yang sudah Putri ujarkan padanya itu."Aku harap kamu bisa percaya, Mal. Aku juga harap, kamu bisa menerima kenyataan jika itu sebenarnya benar. Sini. Biar aku saja yang antarkan ini pada Mbak Mona," ujar Putri seraya mengambil gelas minuman pada tangan Amala dan dia segera berlalu.Amala masih berdiri di tempatnya. Pikirannya bermain dengan cepat. Ada hal yang seolah membuat dirinya kian frustasi. Haruskah kembali mengatakan pada Pak Rido jika dia mencurigai ibu mertuanya sendiri?*"Orangnya tinggi,
"Tidak. Satu hal lagi. Rahmi akan segera diturunkan dari jabatan kepala sekolah.""Apa?" Amala dan Mona, kompak terkejut.*"Nilaimu sangat bagus, Amala."Bu Lusi, kini melihat lembar penilaian Amala selama masa penelitian dengan senyum senang. Ada hal yang membuat Amala ikut senang.Pak Rido telah berhasil memberikan dia ketenangan dan kini dia berhasil meraih nilai yang sudah dia inginkan itu."Bu, kapan saya akan segera ikut sidang?""Urus saja semua syaratnya, ya. Jadwal akan turun dalam dua Minggu ini."Amala terlonjak senang. "Ibu benarkah?"Bu Lusi mengangguk pasti. "Iya. Selamat, ya. Akhirnya kamu akan sidang juga. Kamu hanya perlu revisi sedikit lagi dan kamu akan mendapatkan yang selama ini kamu lakukan. Oke?"Amala mengangguk pasti. Dia pun segera pamit pada Bu Lusi tidak lupa segera mengabari Putri terkait dirinya itu. Ada hal yang membuat sahabatnya itu ikut bergembira sekarang.Putri memang sedang berada di kampus. Dia mencoba melupakan hatinya yang pernah sakit dan kini
"Masih untung saya menerima kamu di sekolah ini! Kamu masih banyak tanya, hah! Kalau kamu saya tolak, nilai segini saja kamu tidak akan punya! Anak kemarin sore so-soan mau mengajari saya! Tidak tahu malu!"Amala bergeming. Dia tidak sadar kini, mengepal kedua tangannya dengan kuat. Gemetar."Keluar!"Amala tidak bisa lagi mempermalukan dirinya. Dia segera keluar. Ada isak tangis yang akan pecah namun sebisa mungkin berusaha menahan diri.Dia tidak lekas menemui Pak Rido suaminya itu selain kini segera ke toilet. Duduk di sana mencoba melepaskan semua hal yang membuatnya terpikat.Amala terkadang kian heran, apa yang sebenarnya Rahmi itu inginkan padanya. Bukankah seharusnya masalah pribadi tidak dikaitkan dengan hal yang ingin dia capai sekarang? Bagaimana bisa dia menjelaskan pada dosennya terkait nilai yang begitu buruk diberikan oleh pihak sekolah.Amala hanya takut, jika orang kampus juga akan mengira dia melakukan suatu hal yang jahat di sekolah ini, meskipun kenyataan Amala sam
"Pepes ikannya enak lho, Bu. Ayah emang pintar masak, hehe!" Dia terkekeh lucu di sana yang semakin membuat Amala merasa trenyuh, sedih dan kasian karena Kanaya harus ikut dalam masalah ini.*Amala memandang lekat anak-anak dengan tatapan yang sedih. Hari ini, dia tidak bisa percaya adalah hari terakhir bertemu dan mengajar anak-anak di kelas lima itu.Ada hal puas yang hinggap dalam hatinya. Dia puas dan senang karena bisa mengajar walaupun hanya sebentar. Dia juga merasa puas karena berhasil menjadi seorang pendidik yang mereka inginkan. Meskipun kini amala akan merasa sedih karena harus meninggalkan mereka karena telah selesai masa penelitiannya itu.Dia hanya melepas anak-anak dengan berpelukan hangat. Amala bahkan sengaja tidak mengatakan apapun pada mereka terkait dirinya yang tidak akan pernah masuk lagi ke kelas lima itu, namun begitu kelas telah usai, seperti biasa hanya Andi yang tertinggal, Amala pun berniat untuk mengatakan padanya saja."Andi harus menjadi anak yang puny
"Mas, ada apa?""Mas hanya ingin memeluk istrinya Mas sekarang. Apa boleh?""Kenapa mendadak seperti ini, Mas? Apa ada yang Mas pikirkan?" Amala sebenarnya sudah tahu apa yang membuat suaminya itu terlihat berbeda kini. Namun dia tidak lekas mengatakannya dengan segera.Pak Rido menyudadi dekapannya kemudian menatap Amala cukup lama. Lama sekali, hingga Amala merasa malu sendiri."Ada apa, Mas?""Dik Amala sudah menerima saya, kan?""Tentu. Kenapa Mas masih bertanya?""Bolehkah jika saya meminta Dik Amala untuk mencintai sepenuh hati Dik Amala? Apakah ada seseorang yang lain dalam hati Dik Amala sekarang?"Amala tidak berkata kini. Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh suaminya sekarang? Haruskah dia mengatakan jika itu adalah suatu hal yang sebenarnya besar.Amala tahu, jika sekarang Pak Rido sedang cemburu pada Adlan."Kenapa Mas enggak beritahu saya kalau sudah pernah bertemu dengan Adlan?" Amala mengalihkan pembicaraan kini."Kenapa Dik Amala harus bertanya hal itu?""Mas cemburu pa
"Amal, kamu kenapa mendadak takut begini?" Adlan menukas cepat. Amala terhenyak. Diam seketika.*Mobil kini bergerak perlahan. Masih tidak ada kata yang keluar dari bibir Amala semenjak pergi. Pak Rido sendiri sejenak menoleh dan melihat dengan harap-harap cemas. Ada beberapa hal yang bermain dalam benaknya itu namun tidak segera ingin mengungkapkan cepat.Pak Rido tahu jika kini ada hal yang tidak beres sedang dipikirkan oleh istrinya itu.Amala tidak banyak berkomentar apapun. Dia hanya tidak ingin memperpanjang masalah yang ada."Dik, kamu kenapa diam saja?""Enggak, Mas. Cuma memikirkan masalah Kanaya saja.""Tidak apa. Kanaya sudah membaik, kok. Dik Amala tidak perlu terlalu cemas, ya."Amala mengangguk tersenyum. Dia tidak mengatakan apapun lagi selain kembali diam. Dia hanya berharap suaminya itu tidak terlalu menggubris apa yang sudah Adlan katakan sejak tadi.*"Ibu Amala!" Kanaya, gadis kecil itu kini berlabuh dalam dekapan Kanaya. Tidak ada kata yang keluar darinya setel
"Amala, kamu tahu kapan waktunya."Rahmi, berujar tajam dan menatap dengan tatapan penuh kebencian.*Makanan cukup menggugah selera, belum lagi dengan rasa lapar yang sudah menghadang, Amala, dan suaminya Pak Rido kini menikmati hidangan makan siang mereka dengan nyaman.Amala tahu, sedari tadi menikmati makanannya itu dia terus merasa jika Pak Rido terus menatap dengan hikmat. Tidak ada yang keluar namun Amala hanya terkekeh sejenak."Apa yang Mas lihat?" Dia bertanya kemudian."Tidak. Hanya ingin memastikan Dik Amala menikmati makan siang ini. Enak, kan?""Iya. Kenapa Mas enggak pernah mengajak saya ke sini, ya?""Hehe. Maaf ya, Dik. Mas tidak bisa pulang dengan begitu cepat.""Haha, kenapa Mas menanggapi serius? Saya hanya bercanda. Saya tahu kok, Mas pasti sangat sibuk sekali, kan?""Tidak. Mas tahu kok Dik Amala juga sekalian curhat."Amala kini tertawa kemudian.Keduanya terus larut dalam pembicaraan mengenai mengajar Amala, hingga kemudian penuturan mereka sejenak terputus ket
"Ada satu orang lagi yang harus saya temui, Dik."Amala menoleh cepat. "Siapa, Mas?""Dik Amala tidak perlu memikirkan hal itu sekarang. Besok, Dik Amala akan kembali ke sekolah, kan? Lebih baik pikirkan hal apa yang Dik Amala perlukan untuk besok mengajar. Oke?" Pak Rido berkata seraya membelai lembut wajah istrinya itu.Amala bahkan baru teringat jika besok dia sudah harus masuk sekolah kembali. Dia memiliki kesempatan dua Minggu lagi untuk selesai penelitian Hinga harus kembali ke kampus.Ada beberapa hal yang membuatnya berpikir bahwa dia memang tidak pernah mengira akan secepat itu selesai."Dik Amala pasti sudah merindukan anak-anak, kan?""Iya. Aku sangat rindu mereka Mas. Besok, walaupun kaki saya masih belum sempurna sembuh saya akan tetap datang. Saya ingin segera menyelesaikan kuliah ini.""Bagus. Lalu, Dik Amala tidak perlu memikirkan hal yang sama sekali tidak penting itu. Oke?"Amala mengangguk pasti. Siapapun orang yang berpikir buruk terhadapnya itu dia akan berharap j
"Saya Rido, suami Amala. Bisa kita bicara sebentar?" Adlan bergeming."Bicara apa? Saya sedang begitu sibuk karena kebetulan hari ini saya yang bertugas untuk berdiri di kasir, jadi ....""Nak. Hanya bicara sebentar saja." Pak Rido menukas cepat. Adlan sukses menegang mendengarkan panggilan nak yang keluar dari mulut suami Amala itu.Adlan kemudian tersenyum ketus. Merasa cukup rendah di hadapan lelaki yang sudah lama ingin dilihat olehnya."Bisa bicarakan di sini saja, Pak Rido?" Adlan bertanya dengan nada menyindir kini."Baiklah." Pak Rido membuang napas gusar. "Apa yang sudah kamu katakan pada Amala kemarin?"Adlan terkejut. "Apa maksud, Pak Rido?""Nak, tolong jangan bertele-tele. Kamu tahu, kamu sudah menganggu kenyamanan rumah tangga saya dengan istri saya."Adlan mendadak tertawa kini. "Pak Rido menyalahkan saya dengan masalah keluarga Bapak sendiri? Seharusnya Bapak yang instrospeksi diri untuk melihat sebenarnya apa yang sedang terjadi. Kenapa datang kemari dan menyalahkan