"Apa yang Bapak lakukan?" Amala terkejut."Dik Amala masih takut pada saya?" Pak Rido menahan dirinya untuk mendekat kemudian. Amala yang terlihat sangat ketakutan itu membuatnya ragu untuk menghampiri lebih jauh. Amala sejenak terdiam. Merasa tenang ketika melihat Pak Rido yang kini menahan dirinya menjauh. Namun akankah dia berpikir bahwa begitu buruk? Mau sampai kapan dia akan selalu takut didekati oleh suaminya sendiri? "Dik, bolehkah saya meminta sesuatu?" Amala tidak menjawab namun dia kini melihat Pak Rido yang terlihat serius. Apakah ada permintaan yang sangat penting."Jika boleh saya ingin Dik Amala memanggil saya dengan sebutan mas. Apa Dik Amala bisa?""Mas?" Amala sejenak terkejut. Panggilan itu sama persis yang dilakukan oleh wanita yang ditemuinya di pesta pernikahan kemarin. "Iya. Saya ingin selayaknya panggilan suami istri. Bisakah Dik Amala melakukan itu?"Amala hanya mengangguk kemudian. Dia segera tidur kembali membelakangi Pak Rido. Berharap kali ini Pak Rido
"Amala, kenapa kamu nangis?" tanya Adlan dengan terkejut pula.*"Jadi kamu sudah menikah?!"Amala menunduk. Dia tidak kuasa menatap wajah Adlan yang kini melihatnya dengan cukup kaget. Seolah Adlan tertimpa dengan suatu hal yang berat. Bukan mimpi, namun dia benar-benar mendengar penuturan Mona jika Amala sudah menikah.Adlan memijit keningnya sebentar hingga segera menyeruput jus pesanannya itu dengan cepat. Dia masih tidak menyangka dengan apa yang didengarnya ini.Sebuah kafe tepatnya. Kini mereka bertiga duduk memesan minuman namun merenung dalam pikiran masing-masing. Amala yang merasa bersalah. Mona yang cemas karena Amala tidak memberitahu Adlan terkait dirinya dan Adlan, yang bagai mimpi mendengar kabar tersebut."Kenapa kamu menutupi hal ini dariku, Mal? Jadi selama ini firasatku tentang kamu menutupi sesuatu itu benar? Kenapa kamu tega memperlakukan aku seperti ini, Amala?" Adlan bertanya dengan suara lirih kini.Amala masih menunduk. Namun Mona mencoba membelai tangannya i
Bugh!"Reza!" Amala sukses memekik begitu Reza berhasil menghadiahkan sebuah bogem mentah tepat di rahang Adlan. Adlan kesakitan."Kamu ini siapa! Berhenti menganggu Ibu Amala! Paham!" Reza membentak kemudian."Reza, sudah. Bukan apa-apa. Sebaiknya kita segera pergi. Ayo." Amala berhasil mengajak Reza untuk masuk ke mobil menyusul Kanaya yang sudah terkejut itu. Amala sejenak kemudian melihat Adlan yang kini menatapnya dengan pandangan trenyuh.Amala benar-benar tidak tahu harus mengatakan hal apa namun dia hanya berpikir untuk bukan saatnya bicara dengan Adlan sekarang. "Adlan, maafkan aku." Amala berujar lirih hingga segera masuk ke mobil."Amala! Amala tunggu!" Adlan memekik. Dia hanya memandangi mobil itu dengan pandangan nanar sekarang. Ada rasa sakit yang membuncah. Apakah ini yang dinamakan dengan penyesalan tanpa hujung? Dia tahu dia sudah terlambat untuk bisa bertemu dengan Amala lagi.*"Ibu Amala baik-baik saja, kan?" tanya Reza setelah membawakan Amala secangkir teh hang
"Alhamdulillah. Saya tahu Dik Amala adalah orang baik. Dik Amala akan menjadi istri yang baik untuk saya dan anak-anak saya." "Le-lepaskan saya, Mas.""Oh!" Pak Rido tersadar kemudian."Ma-maaf, Dik. Ehem, susunya saya minum sekarang, ya." Pak Rido. Beliau kemudian sukses membuat Amala terkejut saat menghabiskan segelas susu itu dalam sekejap. Amala tidak bisa menahan tawanya melihat kejadian itu hingga Pak Rido kebingungan sendiri."Dik, kenapa malah tertawa?""Enggak apa-apa. Saya ke kamar mandi dulu." Amala segera beranjak masuk ke kamar mandi. Dia tahu sikapnya ini begitu berbeda sekarang. Lalu benar. Wajahnya sudah memerah sempurna. Apa Pak Rido tidak menyadari ada perubahan pada wajahnya itu? Amala tidak menyangka akan semalu ini.Dekapan Pak Rido tadi masih terasa hangat dalam dirinya. Perasaan apa itu sebenarnya? Apa Amala telah berhasil luluh? Keluar dari kamar mandi. Amala kini melihat Pak Rido yang ternyata sudah berbaring bersiap akan tidur. Amala antara kikuk tidak jelas
"Papa sudah meninggal.""Apaa?!" Putri. Untuk ke sekian kalinya kembali tersentak. Lama-lama Putri akan terkena serangan jantung."Om Rahman sudah meninggal. Ya ampun. Kok aku jahat ya enggak tahu Papamu meninggal, Mal." Putri mendadak merasa bersalah kini."Aku senang kamu pulang, Put. Sekarang aku bisa cerita apapun tanpa takut lagi." Amala tersenyum namun mendadak rasanya ingin menangis saja. Putri iba melihat hal itu hingga segera merangkul temannya itu dengan erat. "Kamu pasti sudah lewati masalah yang berat banget ya, Mal. Aku minta maaf, ya. Sekarang kamu bisa cerita apapun sama aku. Aku janji bakal dengar apapun yang mau kamu cerita. Janji!" Putri kian memeluk sahabatnya itu dengan erat. Amala terkekeh pelan sukses dengan air matanya yang ikut jatuh."Tuh, kan. Aku malah nangis." Amala merengek pelan."Jangan nangis dong, Amal. Kamu enggak boleh nangis. Ayo puter badan kamu sekarang!" Putri. Dia sengaja membalikkan tubuh Amala ke arah kamar di mana kini terlihat Kanaya yang s
"Kamu tunggu apa lagi? Lagi pula mau tunggu sampai kapan? Sampai kamu jatuh cinta? Hah?"Pertanyaan itu, masih terus bermain dalam benak Amala. Dia kini berada di balkon kamar. Menumpahkan pandangan ke atas langit sana yang dipenuhi oleh rona jingga. Hari sudah semakin sore. Putri sudah pulang ke rumahnya setelah memberikan berbagai kritikan dan nasihat kepada Amala. Amala tahu, jika semua hal yang Putri katakan itu memang benar namun dia sendiri tidak tahu harus berbuat apa. "Assalamualaikum. Dik."Amala sukses terkejut karena sudah larut dalam lamunannya itu ketika mendadak melihat Pak Rido yang ternyata sudah berada di kamar, entah. Amala bahkan tidak melihat Pak Rido masuk."Sedang apa?" tanya Pak Rifo ikut menyusul ke balkon. Beliau terlihat cukup lelah dengan pekerjaannya hari ini. Terlihat dari rona wajah namun bibir itu masih bisa tersenyum dengan baik.Sekolah yang Pak Rido baktikan memang terkenal cukup bergengsi. Selain karena peraturan dan kualitas yang begitu baik, seko
"Dik, bisakah malam ini?" Pak Rido bertanya dengan lirih. Amala malah tersentak."Bi-bisa apa, Maas?""Ayo bangun. Ketika pergi."Amala kembali tersentak. Kenapa mendadak Pak Rido malah menyuruhnya berdiri kini? Mau diajak ke mana? Lalu apa maksudnya bisa? Pikiran Amala kian berkecamuk. Takut."Ehem, Dik Amala sedang berpikir apa?""Eh?" Amala cengengesan yang sontak saja membuat Pak Rido tersenyum simpul. Ada rasa untuk tertawa namun Pak Rido menahan dirinya itu. Amala benar-benar gadis yang begitu lucu. "Bisakah malam ini saya mengajak Dik Amala pergi berkeliling kota? Kita lihat pasar malam. Tidak jauh dari sini.""Oh." Amala mangut-mangut mengerti. Dia pun segera bangkit seraya berusaha menghilangkan wajahnya itu. Benar. Dia yakin kini kedua pipinya telah memerah sempurna.Pak Rido kali ini benar-benar tertawa.Jam kini menunjukkan pukul sembilan malam. Di bawah sinar rembulan dan sedikit angin yang berhembus. Amala dan Pak Rido suaminya itu pergi berjalan beriringan.Ada beberap
"Calon suamiku. Mas Brian." Putri menjawab dengan begitu polos sementara Amala kian tersentak."Calon suami?""Nah, itu dia! Mas Brian! Aku di sini!" Putri sukses memekik dan melabai cepat ke arah seorang lelaki yang tersenyum lebar di sana. Dia mengangkat plastik yang dipenuhi oleh buah-buahan bewarna oranye, yaitu jeruk.Amala kian terkejut melihat itu. Sementara Pak Rido terlihat biasa saja karena memang tidak tahu hal tersebut lebih jelas."Nah. Aku sudah beli semua yang kamu minta tadi, Put." Brian. Lelaki itu menyerahkan plastik buat tersebut kepada Putri."Mal, ini untuk Kanaya, ya." Putri menyodorkan kepada Amala kini yang bingung. Pak Rido sendiri terlihat terkejut kini. Dari mana Putri mengenal anaknya itu?"Kok untuk ....""Iya. Kemarin aku sempat tanya sama Kanaya dia suka buah apa. Aku sudah janji mau bawa dia jeruk karena buah kesukaan dia jeruk! Hehe!" Putri tertawa lucu seraya disahuti oleh Brian lelaki itu juga. Amala tidak percaya melihat mereka yang begitu kompak it
Putri mendesah pelan. "Kita hanya mencoba untuk menerka, Mal. Lalu siapa lagi sekarang? Bukankah mertuamu sangat benci dengan kamu? Kamu tahu, kan?""Tapi, tapi aku enggak yakin itu perbuatan Ibunya Mas Rido, Put.""Aku tahu. Ini berat buat kamu, Mal, tapi aku hanya membicarakan hal yang mengarah ke sana. Aku harap, kamu baik-baik saja dan kamu bisa memaklumi semuanya. Oke?"Amala tidak menjawab. Dia akan membiarkan semuanya terjadi begitu saja. Namun dia tetap akan memikirkan dengan apa yang sudah Putri ujarkan padanya itu."Aku harap kamu bisa percaya, Mal. Aku juga harap, kamu bisa menerima kenyataan jika itu sebenarnya benar. Sini. Biar aku saja yang antarkan ini pada Mbak Mona," ujar Putri seraya mengambil gelas minuman pada tangan Amala dan dia segera berlalu.Amala masih berdiri di tempatnya. Pikirannya bermain dengan cepat. Ada hal yang seolah membuat dirinya kian frustasi. Haruskah kembali mengatakan pada Pak Rido jika dia mencurigai ibu mertuanya sendiri?*"Orangnya tinggi,
"Tidak. Satu hal lagi. Rahmi akan segera diturunkan dari jabatan kepala sekolah.""Apa?" Amala dan Mona, kompak terkejut.*"Nilaimu sangat bagus, Amala."Bu Lusi, kini melihat lembar penilaian Amala selama masa penelitian dengan senyum senang. Ada hal yang membuat Amala ikut senang.Pak Rido telah berhasil memberikan dia ketenangan dan kini dia berhasil meraih nilai yang sudah dia inginkan itu."Bu, kapan saya akan segera ikut sidang?""Urus saja semua syaratnya, ya. Jadwal akan turun dalam dua Minggu ini."Amala terlonjak senang. "Ibu benarkah?"Bu Lusi mengangguk pasti. "Iya. Selamat, ya. Akhirnya kamu akan sidang juga. Kamu hanya perlu revisi sedikit lagi dan kamu akan mendapatkan yang selama ini kamu lakukan. Oke?"Amala mengangguk pasti. Dia pun segera pamit pada Bu Lusi tidak lupa segera mengabari Putri terkait dirinya itu. Ada hal yang membuat sahabatnya itu ikut bergembira sekarang.Putri memang sedang berada di kampus. Dia mencoba melupakan hatinya yang pernah sakit dan kini
"Masih untung saya menerima kamu di sekolah ini! Kamu masih banyak tanya, hah! Kalau kamu saya tolak, nilai segini saja kamu tidak akan punya! Anak kemarin sore so-soan mau mengajari saya! Tidak tahu malu!"Amala bergeming. Dia tidak sadar kini, mengepal kedua tangannya dengan kuat. Gemetar."Keluar!"Amala tidak bisa lagi mempermalukan dirinya. Dia segera keluar. Ada isak tangis yang akan pecah namun sebisa mungkin berusaha menahan diri.Dia tidak lekas menemui Pak Rido suaminya itu selain kini segera ke toilet. Duduk di sana mencoba melepaskan semua hal yang membuatnya terpikat.Amala terkadang kian heran, apa yang sebenarnya Rahmi itu inginkan padanya. Bukankah seharusnya masalah pribadi tidak dikaitkan dengan hal yang ingin dia capai sekarang? Bagaimana bisa dia menjelaskan pada dosennya terkait nilai yang begitu buruk diberikan oleh pihak sekolah.Amala hanya takut, jika orang kampus juga akan mengira dia melakukan suatu hal yang jahat di sekolah ini, meskipun kenyataan Amala sam
"Pepes ikannya enak lho, Bu. Ayah emang pintar masak, hehe!" Dia terkekeh lucu di sana yang semakin membuat Amala merasa trenyuh, sedih dan kasian karena Kanaya harus ikut dalam masalah ini.*Amala memandang lekat anak-anak dengan tatapan yang sedih. Hari ini, dia tidak bisa percaya adalah hari terakhir bertemu dan mengajar anak-anak di kelas lima itu.Ada hal puas yang hinggap dalam hatinya. Dia puas dan senang karena bisa mengajar walaupun hanya sebentar. Dia juga merasa puas karena berhasil menjadi seorang pendidik yang mereka inginkan. Meskipun kini amala akan merasa sedih karena harus meninggalkan mereka karena telah selesai masa penelitiannya itu.Dia hanya melepas anak-anak dengan berpelukan hangat. Amala bahkan sengaja tidak mengatakan apapun pada mereka terkait dirinya yang tidak akan pernah masuk lagi ke kelas lima itu, namun begitu kelas telah usai, seperti biasa hanya Andi yang tertinggal, Amala pun berniat untuk mengatakan padanya saja."Andi harus menjadi anak yang puny
"Mas, ada apa?""Mas hanya ingin memeluk istrinya Mas sekarang. Apa boleh?""Kenapa mendadak seperti ini, Mas? Apa ada yang Mas pikirkan?" Amala sebenarnya sudah tahu apa yang membuat suaminya itu terlihat berbeda kini. Namun dia tidak lekas mengatakannya dengan segera.Pak Rido menyudadi dekapannya kemudian menatap Amala cukup lama. Lama sekali, hingga Amala merasa malu sendiri."Ada apa, Mas?""Dik Amala sudah menerima saya, kan?""Tentu. Kenapa Mas masih bertanya?""Bolehkah jika saya meminta Dik Amala untuk mencintai sepenuh hati Dik Amala? Apakah ada seseorang yang lain dalam hati Dik Amala sekarang?"Amala tidak berkata kini. Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh suaminya sekarang? Haruskah dia mengatakan jika itu adalah suatu hal yang sebenarnya besar.Amala tahu, jika sekarang Pak Rido sedang cemburu pada Adlan."Kenapa Mas enggak beritahu saya kalau sudah pernah bertemu dengan Adlan?" Amala mengalihkan pembicaraan kini."Kenapa Dik Amala harus bertanya hal itu?""Mas cemburu pa
"Amal, kamu kenapa mendadak takut begini?" Adlan menukas cepat. Amala terhenyak. Diam seketika.*Mobil kini bergerak perlahan. Masih tidak ada kata yang keluar dari bibir Amala semenjak pergi. Pak Rido sendiri sejenak menoleh dan melihat dengan harap-harap cemas. Ada beberapa hal yang bermain dalam benaknya itu namun tidak segera ingin mengungkapkan cepat.Pak Rido tahu jika kini ada hal yang tidak beres sedang dipikirkan oleh istrinya itu.Amala tidak banyak berkomentar apapun. Dia hanya tidak ingin memperpanjang masalah yang ada."Dik, kamu kenapa diam saja?""Enggak, Mas. Cuma memikirkan masalah Kanaya saja.""Tidak apa. Kanaya sudah membaik, kok. Dik Amala tidak perlu terlalu cemas, ya."Amala mengangguk tersenyum. Dia tidak mengatakan apapun lagi selain kembali diam. Dia hanya berharap suaminya itu tidak terlalu menggubris apa yang sudah Adlan katakan sejak tadi.*"Ibu Amala!" Kanaya, gadis kecil itu kini berlabuh dalam dekapan Kanaya. Tidak ada kata yang keluar darinya setel
"Amala, kamu tahu kapan waktunya."Rahmi, berujar tajam dan menatap dengan tatapan penuh kebencian.*Makanan cukup menggugah selera, belum lagi dengan rasa lapar yang sudah menghadang, Amala, dan suaminya Pak Rido kini menikmati hidangan makan siang mereka dengan nyaman.Amala tahu, sedari tadi menikmati makanannya itu dia terus merasa jika Pak Rido terus menatap dengan hikmat. Tidak ada yang keluar namun Amala hanya terkekeh sejenak."Apa yang Mas lihat?" Dia bertanya kemudian."Tidak. Hanya ingin memastikan Dik Amala menikmati makan siang ini. Enak, kan?""Iya. Kenapa Mas enggak pernah mengajak saya ke sini, ya?""Hehe. Maaf ya, Dik. Mas tidak bisa pulang dengan begitu cepat.""Haha, kenapa Mas menanggapi serius? Saya hanya bercanda. Saya tahu kok, Mas pasti sangat sibuk sekali, kan?""Tidak. Mas tahu kok Dik Amala juga sekalian curhat."Amala kini tertawa kemudian.Keduanya terus larut dalam pembicaraan mengenai mengajar Amala, hingga kemudian penuturan mereka sejenak terputus ket
"Ada satu orang lagi yang harus saya temui, Dik."Amala menoleh cepat. "Siapa, Mas?""Dik Amala tidak perlu memikirkan hal itu sekarang. Besok, Dik Amala akan kembali ke sekolah, kan? Lebih baik pikirkan hal apa yang Dik Amala perlukan untuk besok mengajar. Oke?" Pak Rido berkata seraya membelai lembut wajah istrinya itu.Amala bahkan baru teringat jika besok dia sudah harus masuk sekolah kembali. Dia memiliki kesempatan dua Minggu lagi untuk selesai penelitian Hinga harus kembali ke kampus.Ada beberapa hal yang membuatnya berpikir bahwa dia memang tidak pernah mengira akan secepat itu selesai."Dik Amala pasti sudah merindukan anak-anak, kan?""Iya. Aku sangat rindu mereka Mas. Besok, walaupun kaki saya masih belum sempurna sembuh saya akan tetap datang. Saya ingin segera menyelesaikan kuliah ini.""Bagus. Lalu, Dik Amala tidak perlu memikirkan hal yang sama sekali tidak penting itu. Oke?"Amala mengangguk pasti. Siapapun orang yang berpikir buruk terhadapnya itu dia akan berharap j
"Saya Rido, suami Amala. Bisa kita bicara sebentar?" Adlan bergeming."Bicara apa? Saya sedang begitu sibuk karena kebetulan hari ini saya yang bertugas untuk berdiri di kasir, jadi ....""Nak. Hanya bicara sebentar saja." Pak Rido menukas cepat. Adlan sukses menegang mendengarkan panggilan nak yang keluar dari mulut suami Amala itu.Adlan kemudian tersenyum ketus. Merasa cukup rendah di hadapan lelaki yang sudah lama ingin dilihat olehnya."Bisa bicarakan di sini saja, Pak Rido?" Adlan bertanya dengan nada menyindir kini."Baiklah." Pak Rido membuang napas gusar. "Apa yang sudah kamu katakan pada Amala kemarin?"Adlan terkejut. "Apa maksud, Pak Rido?""Nak, tolong jangan bertele-tele. Kamu tahu, kamu sudah menganggu kenyamanan rumah tangga saya dengan istri saya."Adlan mendadak tertawa kini. "Pak Rido menyalahkan saya dengan masalah keluarga Bapak sendiri? Seharusnya Bapak yang instrospeksi diri untuk melihat sebenarnya apa yang sedang terjadi. Kenapa datang kemari dan menyalahkan