"Dik Amala. Maaf, saya sudah mengajakmu untuk bertemu dengan mereka hari ini. Saya tahu ini tidak mudah. Maafkan saya."Amala bergeming.*Pemakaman yang nan luas. Amala melempar pandangan ke segala arah. Dia berharap segera ke makan orang tuanya itu. Rasa rindu yang telah memuncak tidak akan bisa dia utarakan kepada siapapun.Amala akhirnya bersimpuh di makam papanya. Duduk di sana memerhatikan batu nisan dengan pandangan lama. Dia berharap jika seandainya waktu bisa diulang dia akan meminta papanya itu untuk selalu ada dalam dekapannya selamanya.Isak tangis telah datang. Amala tidak kuasa menahan diri lagi hingga memeluk nisan itu dengan erat. Air mata yang menjadi jawaban bahwa betapa dia begitu sangat mencintai orang yang telah pergi ini. "Pa, apa benar ini yang terbaik untuk Amala? Kenapa Papa memilih Pak Rido untuk datang dalam hidup Amala, Pa?" Amala terisak. Dia sesekali menyeka air mata itu namun tetap dengan posisi yang terus menumpahkan segala hal yang terus bermain dalam
"Kamu kelihatan enggak seceria dulu lagi. Padahal Amala yang dulu begitu banyak bicara dan tertawa. Kamu polos dan bicara sekenanya kamu tanpa pikir panjang, tapi kamu yang sekarang kelihatan beda saja, Mal. Apa mungkin karena Papamu meninggal? Lalu mau sampai kapan kamu menjadi seperti orang lain?" Amala bergeming. Jadi selama ini Adlan tahu apa yang berbeda darinya? "Amal. Kamu gadis kuat. Kamu harus bisa tersenyum seperti dulu. Kehidupan akan tetap terus berjalan, kan? Kalau kamu selalu sedih, Papa dan Mamamu juga akan sedih di sana. Kamu harus bisa menjadi Amala yang dulu lagi. Kamu enggak sembunyikan apapun dariku, kan, Amal?" "Lan, aku sama sekali ....""Tolong jangan bohong. Aku tahu dari raut wajah kamu saja kamu ini sedang menyembunyikan sesuatu.""Enggak ada yang perlu kamu tahu, Lan. Intinya sekarang aku baik-baik saja, bukan? Kamu enggak perlu cemaskan apapun. Sekarang pulanglah. Nanti Papamu bisa marah kalau kamu terlambat."Mendengar Amala bicara yang begitu lembut it
"Ayah!" Keduanya sukses terkejut ketika mendengar suara Habil yang begitu keras dari lantai atas. Kalang kabut tidak jelas dan rasa salah tingkah yang sudah menyatu."Saya ke atas dulu, Dik!" Pak Rido beranjak cepat meninggalkan Amala yang kini terdiam bisu. Apa yang baru saja dia lakukan?*Amala. Gadis itu terlihat sudah pulas tidur di atas sofa sementara tv masih menyala. Pak Rido tersenyum melihat pemandangan indah tersebut. Dia bahkan baru meninggalkan Amala beberapa menit untuk melihat keadaan Habil namun ketika kembali Amala sudah tertidur.Pak Rido lagi-lagi tersenyum saat mengingat sikap Amala tadi padanya. Dia tahu Amala memang tidak ingin menolak apapun yang ingin dia lakukan namun rasa gengsi mengalahkan itu semua.Setelah mematikan tv. Pak Rido berlanjut untuk mengangkat Amala untuk dibawanya masuk ke kamar. Tidur di samping Habil yang sudah terlelap itu Pak Rido lagi-lagi menatap pemandangan yang menurutnya begitu indah. Dia senang anaknya Habil kini menemukan keceriaan
"Saya sudah ingin pisah bukan? Kenapa Bapak masih mempertahankan pernikahan ini?" Amala bertanya dengan suara gemetar.*Melempar pandangannya ke atas langit. Amala sejenak mencoba menenangkan diri dengan melihat taburan bintang di atas sana. Ada hal yang membuat dia tenang sejenak setelah berdebat dengan suaminya tadi.Dia memilih untuk tidak makan malam bersama Pak Rido. Menarik diri menjauh tepatnya. Dia kemudian memilih halaman belakang untuk duduk menepi membiarkan dirinya hanyut dalam ketenangan.Amala tidak tahu jika kini ada Mona yang sedang melihatnya dari jauh. Mona tidak tahu apa yang sedang dialami oleh majikannya itu namun dia hanya sadar jika terjadi pertengkaran tadi antara majikannya itu dengan seorang lelaki yang kini sedang berada di meja makan."Non. Kenapa Non berada di sini? Non enggak ikut makan?" Mona menghampiri cepat berharap Amala tidak akan terkejut dengan kehadirannya itu.Amala menoleh seraya menggeleng pelan. "Saya belum lapar, Mbak.""Non, bukan saya lan
"Apa yang Bapak lakukan?" Amala terkejut."Dik Amala masih takut pada saya?" Pak Rido menahan dirinya untuk mendekat kemudian. Amala yang terlihat sangat ketakutan itu membuatnya ragu untuk menghampiri lebih jauh. Amala sejenak terdiam. Merasa tenang ketika melihat Pak Rido yang kini menahan dirinya menjauh. Namun akankah dia berpikir bahwa begitu buruk? Mau sampai kapan dia akan selalu takut didekati oleh suaminya sendiri? "Dik, bolehkah saya meminta sesuatu?" Amala tidak menjawab namun dia kini melihat Pak Rido yang terlihat serius. Apakah ada permintaan yang sangat penting."Jika boleh saya ingin Dik Amala memanggil saya dengan sebutan mas. Apa Dik Amala bisa?""Mas?" Amala sejenak terkejut. Panggilan itu sama persis yang dilakukan oleh wanita yang ditemuinya di pesta pernikahan kemarin. "Iya. Saya ingin selayaknya panggilan suami istri. Bisakah Dik Amala melakukan itu?"Amala hanya mengangguk kemudian. Dia segera tidur kembali membelakangi Pak Rido. Berharap kali ini Pak Rido
"Amala, kenapa kamu nangis?" tanya Adlan dengan terkejut pula.*"Jadi kamu sudah menikah?!"Amala menunduk. Dia tidak kuasa menatap wajah Adlan yang kini melihatnya dengan cukup kaget. Seolah Adlan tertimpa dengan suatu hal yang berat. Bukan mimpi, namun dia benar-benar mendengar penuturan Mona jika Amala sudah menikah.Adlan memijit keningnya sebentar hingga segera menyeruput jus pesanannya itu dengan cepat. Dia masih tidak menyangka dengan apa yang didengarnya ini.Sebuah kafe tepatnya. Kini mereka bertiga duduk memesan minuman namun merenung dalam pikiran masing-masing. Amala yang merasa bersalah. Mona yang cemas karena Amala tidak memberitahu Adlan terkait dirinya dan Adlan, yang bagai mimpi mendengar kabar tersebut."Kenapa kamu menutupi hal ini dariku, Mal? Jadi selama ini firasatku tentang kamu menutupi sesuatu itu benar? Kenapa kamu tega memperlakukan aku seperti ini, Amala?" Adlan bertanya dengan suara lirih kini.Amala masih menunduk. Namun Mona mencoba membelai tangannya i
Bugh!"Reza!" Amala sukses memekik begitu Reza berhasil menghadiahkan sebuah bogem mentah tepat di rahang Adlan. Adlan kesakitan."Kamu ini siapa! Berhenti menganggu Ibu Amala! Paham!" Reza membentak kemudian."Reza, sudah. Bukan apa-apa. Sebaiknya kita segera pergi. Ayo." Amala berhasil mengajak Reza untuk masuk ke mobil menyusul Kanaya yang sudah terkejut itu. Amala sejenak kemudian melihat Adlan yang kini menatapnya dengan pandangan trenyuh.Amala benar-benar tidak tahu harus mengatakan hal apa namun dia hanya berpikir untuk bukan saatnya bicara dengan Adlan sekarang. "Adlan, maafkan aku." Amala berujar lirih hingga segera masuk ke mobil."Amala! Amala tunggu!" Adlan memekik. Dia hanya memandangi mobil itu dengan pandangan nanar sekarang. Ada rasa sakit yang membuncah. Apakah ini yang dinamakan dengan penyesalan tanpa hujung? Dia tahu dia sudah terlambat untuk bisa bertemu dengan Amala lagi.*"Ibu Amala baik-baik saja, kan?" tanya Reza setelah membawakan Amala secangkir teh hang
"Alhamdulillah. Saya tahu Dik Amala adalah orang baik. Dik Amala akan menjadi istri yang baik untuk saya dan anak-anak saya." "Le-lepaskan saya, Mas.""Oh!" Pak Rido tersadar kemudian."Ma-maaf, Dik. Ehem, susunya saya minum sekarang, ya." Pak Rido. Beliau kemudian sukses membuat Amala terkejut saat menghabiskan segelas susu itu dalam sekejap. Amala tidak bisa menahan tawanya melihat kejadian itu hingga Pak Rido kebingungan sendiri."Dik, kenapa malah tertawa?""Enggak apa-apa. Saya ke kamar mandi dulu." Amala segera beranjak masuk ke kamar mandi. Dia tahu sikapnya ini begitu berbeda sekarang. Lalu benar. Wajahnya sudah memerah sempurna. Apa Pak Rido tidak menyadari ada perubahan pada wajahnya itu? Amala tidak menyangka akan semalu ini.Dekapan Pak Rido tadi masih terasa hangat dalam dirinya. Perasaan apa itu sebenarnya? Apa Amala telah berhasil luluh? Keluar dari kamar mandi. Amala kini melihat Pak Rido yang ternyata sudah berbaring bersiap akan tidur. Amala antara kikuk tidak jelas
Putri mendesah pelan. "Kita hanya mencoba untuk menerka, Mal. Lalu siapa lagi sekarang? Bukankah mertuamu sangat benci dengan kamu? Kamu tahu, kan?""Tapi, tapi aku enggak yakin itu perbuatan Ibunya Mas Rido, Put.""Aku tahu. Ini berat buat kamu, Mal, tapi aku hanya membicarakan hal yang mengarah ke sana. Aku harap, kamu baik-baik saja dan kamu bisa memaklumi semuanya. Oke?"Amala tidak menjawab. Dia akan membiarkan semuanya terjadi begitu saja. Namun dia tetap akan memikirkan dengan apa yang sudah Putri ujarkan padanya itu."Aku harap kamu bisa percaya, Mal. Aku juga harap, kamu bisa menerima kenyataan jika itu sebenarnya benar. Sini. Biar aku saja yang antarkan ini pada Mbak Mona," ujar Putri seraya mengambil gelas minuman pada tangan Amala dan dia segera berlalu.Amala masih berdiri di tempatnya. Pikirannya bermain dengan cepat. Ada hal yang seolah membuat dirinya kian frustasi. Haruskah kembali mengatakan pada Pak Rido jika dia mencurigai ibu mertuanya sendiri?*"Orangnya tinggi,
"Tidak. Satu hal lagi. Rahmi akan segera diturunkan dari jabatan kepala sekolah.""Apa?" Amala dan Mona, kompak terkejut.*"Nilaimu sangat bagus, Amala."Bu Lusi, kini melihat lembar penilaian Amala selama masa penelitian dengan senyum senang. Ada hal yang membuat Amala ikut senang.Pak Rido telah berhasil memberikan dia ketenangan dan kini dia berhasil meraih nilai yang sudah dia inginkan itu."Bu, kapan saya akan segera ikut sidang?""Urus saja semua syaratnya, ya. Jadwal akan turun dalam dua Minggu ini."Amala terlonjak senang. "Ibu benarkah?"Bu Lusi mengangguk pasti. "Iya. Selamat, ya. Akhirnya kamu akan sidang juga. Kamu hanya perlu revisi sedikit lagi dan kamu akan mendapatkan yang selama ini kamu lakukan. Oke?"Amala mengangguk pasti. Dia pun segera pamit pada Bu Lusi tidak lupa segera mengabari Putri terkait dirinya itu. Ada hal yang membuat sahabatnya itu ikut bergembira sekarang.Putri memang sedang berada di kampus. Dia mencoba melupakan hatinya yang pernah sakit dan kini
"Masih untung saya menerima kamu di sekolah ini! Kamu masih banyak tanya, hah! Kalau kamu saya tolak, nilai segini saja kamu tidak akan punya! Anak kemarin sore so-soan mau mengajari saya! Tidak tahu malu!"Amala bergeming. Dia tidak sadar kini, mengepal kedua tangannya dengan kuat. Gemetar."Keluar!"Amala tidak bisa lagi mempermalukan dirinya. Dia segera keluar. Ada isak tangis yang akan pecah namun sebisa mungkin berusaha menahan diri.Dia tidak lekas menemui Pak Rido suaminya itu selain kini segera ke toilet. Duduk di sana mencoba melepaskan semua hal yang membuatnya terpikat.Amala terkadang kian heran, apa yang sebenarnya Rahmi itu inginkan padanya. Bukankah seharusnya masalah pribadi tidak dikaitkan dengan hal yang ingin dia capai sekarang? Bagaimana bisa dia menjelaskan pada dosennya terkait nilai yang begitu buruk diberikan oleh pihak sekolah.Amala hanya takut, jika orang kampus juga akan mengira dia melakukan suatu hal yang jahat di sekolah ini, meskipun kenyataan Amala sam
"Pepes ikannya enak lho, Bu. Ayah emang pintar masak, hehe!" Dia terkekeh lucu di sana yang semakin membuat Amala merasa trenyuh, sedih dan kasian karena Kanaya harus ikut dalam masalah ini.*Amala memandang lekat anak-anak dengan tatapan yang sedih. Hari ini, dia tidak bisa percaya adalah hari terakhir bertemu dan mengajar anak-anak di kelas lima itu.Ada hal puas yang hinggap dalam hatinya. Dia puas dan senang karena bisa mengajar walaupun hanya sebentar. Dia juga merasa puas karena berhasil menjadi seorang pendidik yang mereka inginkan. Meskipun kini amala akan merasa sedih karena harus meninggalkan mereka karena telah selesai masa penelitiannya itu.Dia hanya melepas anak-anak dengan berpelukan hangat. Amala bahkan sengaja tidak mengatakan apapun pada mereka terkait dirinya yang tidak akan pernah masuk lagi ke kelas lima itu, namun begitu kelas telah usai, seperti biasa hanya Andi yang tertinggal, Amala pun berniat untuk mengatakan padanya saja."Andi harus menjadi anak yang puny
"Mas, ada apa?""Mas hanya ingin memeluk istrinya Mas sekarang. Apa boleh?""Kenapa mendadak seperti ini, Mas? Apa ada yang Mas pikirkan?" Amala sebenarnya sudah tahu apa yang membuat suaminya itu terlihat berbeda kini. Namun dia tidak lekas mengatakannya dengan segera.Pak Rido menyudadi dekapannya kemudian menatap Amala cukup lama. Lama sekali, hingga Amala merasa malu sendiri."Ada apa, Mas?""Dik Amala sudah menerima saya, kan?""Tentu. Kenapa Mas masih bertanya?""Bolehkah jika saya meminta Dik Amala untuk mencintai sepenuh hati Dik Amala? Apakah ada seseorang yang lain dalam hati Dik Amala sekarang?"Amala tidak berkata kini. Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh suaminya sekarang? Haruskah dia mengatakan jika itu adalah suatu hal yang sebenarnya besar.Amala tahu, jika sekarang Pak Rido sedang cemburu pada Adlan."Kenapa Mas enggak beritahu saya kalau sudah pernah bertemu dengan Adlan?" Amala mengalihkan pembicaraan kini."Kenapa Dik Amala harus bertanya hal itu?""Mas cemburu pa
"Amal, kamu kenapa mendadak takut begini?" Adlan menukas cepat. Amala terhenyak. Diam seketika.*Mobil kini bergerak perlahan. Masih tidak ada kata yang keluar dari bibir Amala semenjak pergi. Pak Rido sendiri sejenak menoleh dan melihat dengan harap-harap cemas. Ada beberapa hal yang bermain dalam benaknya itu namun tidak segera ingin mengungkapkan cepat.Pak Rido tahu jika kini ada hal yang tidak beres sedang dipikirkan oleh istrinya itu.Amala tidak banyak berkomentar apapun. Dia hanya tidak ingin memperpanjang masalah yang ada."Dik, kamu kenapa diam saja?""Enggak, Mas. Cuma memikirkan masalah Kanaya saja.""Tidak apa. Kanaya sudah membaik, kok. Dik Amala tidak perlu terlalu cemas, ya."Amala mengangguk tersenyum. Dia tidak mengatakan apapun lagi selain kembali diam. Dia hanya berharap suaminya itu tidak terlalu menggubris apa yang sudah Adlan katakan sejak tadi.*"Ibu Amala!" Kanaya, gadis kecil itu kini berlabuh dalam dekapan Kanaya. Tidak ada kata yang keluar darinya setel
"Amala, kamu tahu kapan waktunya."Rahmi, berujar tajam dan menatap dengan tatapan penuh kebencian.*Makanan cukup menggugah selera, belum lagi dengan rasa lapar yang sudah menghadang, Amala, dan suaminya Pak Rido kini menikmati hidangan makan siang mereka dengan nyaman.Amala tahu, sedari tadi menikmati makanannya itu dia terus merasa jika Pak Rido terus menatap dengan hikmat. Tidak ada yang keluar namun Amala hanya terkekeh sejenak."Apa yang Mas lihat?" Dia bertanya kemudian."Tidak. Hanya ingin memastikan Dik Amala menikmati makan siang ini. Enak, kan?""Iya. Kenapa Mas enggak pernah mengajak saya ke sini, ya?""Hehe. Maaf ya, Dik. Mas tidak bisa pulang dengan begitu cepat.""Haha, kenapa Mas menanggapi serius? Saya hanya bercanda. Saya tahu kok, Mas pasti sangat sibuk sekali, kan?""Tidak. Mas tahu kok Dik Amala juga sekalian curhat."Amala kini tertawa kemudian.Keduanya terus larut dalam pembicaraan mengenai mengajar Amala, hingga kemudian penuturan mereka sejenak terputus ket
"Ada satu orang lagi yang harus saya temui, Dik."Amala menoleh cepat. "Siapa, Mas?""Dik Amala tidak perlu memikirkan hal itu sekarang. Besok, Dik Amala akan kembali ke sekolah, kan? Lebih baik pikirkan hal apa yang Dik Amala perlukan untuk besok mengajar. Oke?" Pak Rido berkata seraya membelai lembut wajah istrinya itu.Amala bahkan baru teringat jika besok dia sudah harus masuk sekolah kembali. Dia memiliki kesempatan dua Minggu lagi untuk selesai penelitian Hinga harus kembali ke kampus.Ada beberapa hal yang membuatnya berpikir bahwa dia memang tidak pernah mengira akan secepat itu selesai."Dik Amala pasti sudah merindukan anak-anak, kan?""Iya. Aku sangat rindu mereka Mas. Besok, walaupun kaki saya masih belum sempurna sembuh saya akan tetap datang. Saya ingin segera menyelesaikan kuliah ini.""Bagus. Lalu, Dik Amala tidak perlu memikirkan hal yang sama sekali tidak penting itu. Oke?"Amala mengangguk pasti. Siapapun orang yang berpikir buruk terhadapnya itu dia akan berharap j
"Saya Rido, suami Amala. Bisa kita bicara sebentar?" Adlan bergeming."Bicara apa? Saya sedang begitu sibuk karena kebetulan hari ini saya yang bertugas untuk berdiri di kasir, jadi ....""Nak. Hanya bicara sebentar saja." Pak Rido menukas cepat. Adlan sukses menegang mendengarkan panggilan nak yang keluar dari mulut suami Amala itu.Adlan kemudian tersenyum ketus. Merasa cukup rendah di hadapan lelaki yang sudah lama ingin dilihat olehnya."Bisa bicarakan di sini saja, Pak Rido?" Adlan bertanya dengan nada menyindir kini."Baiklah." Pak Rido membuang napas gusar. "Apa yang sudah kamu katakan pada Amala kemarin?"Adlan terkejut. "Apa maksud, Pak Rido?""Nak, tolong jangan bertele-tele. Kamu tahu, kamu sudah menganggu kenyamanan rumah tangga saya dengan istri saya."Adlan mendadak tertawa kini. "Pak Rido menyalahkan saya dengan masalah keluarga Bapak sendiri? Seharusnya Bapak yang instrospeksi diri untuk melihat sebenarnya apa yang sedang terjadi. Kenapa datang kemari dan menyalahkan