"Mulai sekarang-jangan memanggilku dengan sebutan Tante lagi!" Mama Nita bersuara dengan tegas--memberikan peringatan pada pada wanita yang baru saja menjadi menantunya itu.
Dita seketika tersadar statusnya saat ini.Dengan senyum kikuk, ia pun membalas, "Ma-Maafkan aku-Tan, eh maksudku Mama."Mama Nita pun mengangguk sebelum akhirnya berkata, "Ayo kita masuk ke dalam! Dari tadi Mama mencarimu. Menanyaka mu pada Adit, tapi dia juga tidak mengetahui kau berada di mana."Dita melepaskan senyum palsu di wajahnya.Tidak mengetahui keberadaan Dita di mana? Bukankah tadi mereka bersama?Mendengar itu, perasaan kesal muncul dalam diri perempuan itu."Ayo-kita ke dalam! Papa, ingin bicara pada mu, dan Aditya,," ujar Mama Nita menyadarkannya dari lamunan dan juga membangunkan rasa penasaran Dita."Ingin bicara dengan aku, dan Adit?" beo Dita."Ya," sahut Mama Nita dengan memberikan sedikit senyumnya. Segera, wanita itu memegang tangan menantunya dan mengayunkan langkah kaki, hingga Dita mau tidak mau mengikuti tubuh wanita itu.*** Saat ini, Aditya dan juga Papa Herman tengah berada di dalam ruang kerja. Kedua pria beda generasi itu kini tengah terlibat perbincangan serius."Suka, tidak suka kamu harus menerima Dita. Bagaimana pun keadaannya, saat ini dia telah menjadi istrimu, dan Papa minta-belajarlah untuk mencintainya," ujar Papa Herman penuh penekanan.Adit menghela napas nya dalam-dalam, setelah mendengar perkataan yang baru saja terucap dari bibir ayahnya. Serasa pasukan oksigen di dalam ruangan itu berkurang, dirinya benar-benar tersiksa.Gara-gara kesalahan yang dibuat oleh ayahnya yang telah menabrak ayah dari Dita, hingga meninggal dunia, dialah yang terkena akibatnya dengan harus menikahi wanita itu.Membiarkan keheningan melanda di dalam ruangan itu, akhirnya Aditya pun bersuara, "Aku sudah menikahi nya, sesuai dengan keinginan Papa, dan juga Mama. Aku sudah mengorbankan diriku, untuk menikahi wanita itu!""Dita adalah wanita yang baik, Adit! Papa yakin, Papa tidak salah dengan keputusan Papa yang ingin kalian berdua menikah."Aditya seketika tertawa renyah. Tawa yang nampak menertawakan takdir hidupnya, sebab harus menikah dengan wanita yang begitu sangat dia benci di muka bumi ini. Dan yang membuat Aditya frustasi, sebab dirinya telah memiliki kekasih, dan dia sangat mencintai kekasihnya itu."Mengapa Papa begitu yakin?" gumamnya dengan tawa sinis.Kriet!Suara pintu terbuka mengalihkan pandangan Papa Herman, dan juga Aditya. Mendapati kedatangan Dita, membuat amarah yang sudah ada di dalam diri Adit-kian menyeruak, dan pria itu menyalahkan semua kekacauan di dalam hidup nya karena Dita."Masuklah..." pinta Papa Herman-dengan memberikan senyum hangatnya pada Dita, saat mendapati menantunya itu terlihat ragu untuk masuk ke dalam ruang kerja..Dengan langkah kaki yang berat, Dita mengayunkan langkah kakinya masuk ke dalam ruang kerja ayah mertuanya.Alunan langkah kaki itu semakin terasa berat untuk Dita, saat mendapati tatapan Aditya yang serasa ingin menerkam nya hidup-hidup.Dita tahu Aditya begitu sangat membencinya.Pasti, pria itu masih menyalahkannya atas pernikahan tadi sore.Perlahan, Dita memutuskan untuk mendaratkan tubuhnya pada sebuah kursi yang jauh dari Aditya.Hal ini jelas diperhatikan oleh kedua mertuanya yang tampak begitu terkejut."Kenapa kau duduk di sana, Dita?! Duduklah disamping Aditya" ujar Mama Nita menegur."Iya-Dita, duduklah disamping Aditya, bagaimana pun sekarang putraku adalah suamimu," timpal Papa Herman pula.Dita tak lansung mengiyahkan permintaan kedua mertuanya.Diliriknya Aditya yang kini tengah menatapnya dengan tatapan membunuh.Seketika, Dita menelan ludahnya dengan berat.Melihat itu, Mama Nita hanya bisa menghela napas nya berat.Wanita itu bangun dari duduknya dan menghampiri menantunya itu.Dipegangnya kedua pundak Dita, dan memaksanya untuk bangun."A-aku tetap duduk disini saja, Maa..." ujar Dita tetap bertahan pada kursi yang dia duduki saat ini meski sedikit ketakutan.Ia sangat yakin kalau saat ini api amarah di dalam diri Aditya kian berkobar untuknya bila berpindah.Namun, hal itu sangat berbeda dengan Mama Nita, yang justru menginginkan sebaliknya."Ayo, Nak." Wanita paruh baya itu tetap ingin memaksakan kehendaknya agar Dita duduk disamping putranya.Alhasil, Dita hanya bisa pasrah kala mertuanya itu menggiring tubuhnya.Dan setelah kedua nya telah duduk berdampingan, Papa Herman, dan juga Mama Nita sekejap melepaskan senyum bahagia di wajah.Kedua sosok paruh baya itu terlihat sangat bahagia saat ini, sebab menurut mereka, hanya Dita-lah wanita yang tepat mendampingi putra mereka.Duduk berdampingan jelas menciptakan suasana hati yang berbeda di dalam diri Aditya dan Dita.Bahkan, wanita itu seketika menunduk sembari memegang ujung kebayanya kuat--menyalurkan rasa yang saat ini tengah membelenggunya.Sementara itu, Aditya menghela napasnya berat.Berada dalam posisi yang begitu intim dengan wanita yang sangat dia benci di muka bumi ini, membuat api kebencian di dalam diri aditya semakin berkobar.Terasa menggelitik jika dia kembali meilihat kenyataan yang ada. Dirinya sangat membenci Dita, namun takdir membawa wanita itu menjadi istrinya.Kedua pasangan muda itu larut dalam pikiran masing-masing, hingga Papa Herman pun bersuara. "Kalian berdua saat ini telah menjadi sepasang suami-istri, dan Papa harap kalian berdua bisa belajar untuk saling mencintai," ujar Papa Herman. "Me--mencintai?'"Mama juga berharap demikian. Kami sangat mengharapkan, kalau kalian berdua bisa saling menerima, walaupun kalian menikah bukan atas dasar cinta," ujar Mama Nita pula. Aditya menghela napasnya dalam-dalam. Bahkan, hembusan napas pria itu terdengar sangat begitu jelas, dirinya benar-benar merasakan sesak di dalam dadanya. Dita seketika menunduk, diam-tanpa bersuara sama sekali. Dia hanya akan menjadi pendengar setia di sini. "Aku ingin, dtinggal berdua dengan Dita," ujar Aditya tiba-tiba.Hal itu membuat Dita yang sedari tadi menunduk diam, seketika mengangkat pandangannya. Tidak langsung menyetujui keinginan sang putra, Papa Herman justru mengalihkan pandangannya pada Dita, "Bagaimana Dita? Apakah kamu setuju dengan keputusan Adit?"Dita tak langsung menyambut pertanyaan yang sang ayah mertuanya ajukan. Rasanya, kata-kata yang hendak dia ucapkan tertahan di tenggorokannya. "Aku....Aku......" ujarnya ragu, dan juga takut-takut. "Dit...Bagaimana kalau untuk sementara kau, dan D
Setelah selesai mengenakan pakaian, Aditya segera berlalu dari ruang ganti, namun, dia tak menemukan keberadaan Dita di kamar. Tak perduli, Aditya melanjutkan langkah kaki itu, menuju cermin, namun-sekejap menghentikan langkah kaki itu, saat mendapati ada ranjang nya yang sudah terlihat rapi. Raut wajah itu nampak tak biasa, dan kembali melanjutkan langkah kaki itu. Beberapa menit merapikan penampilan nya di depan cermin, Aditya segera berlalu dari dalam kamar, hingga langkah kaki itu dia hentikan, saat suara telepone menyapa gawai nya. Dan pada layar HP nya, dia mendapati nama, SAYANG, yang tak lain adalah Dina-kekasih nya. "Hallo, Yang--." "Dit--, Kenapa kemarin, lo, nggak masuk kampus?!" tanya Dina dengan nada suara nya yang terdengar kesal. Raut wajah Aditya berubah seketika, saat dilayangkan pertanyaan seperti itu oleh Dina. Seandai nya kekasih nya taju, apa yang terjadi dalam hidup nya. "Dit--!" panggil Dina tiba-tiba, saat Aditya tak kunjung menyambut panggilan telep
Dita terlihat berat, untuk bangun dari duduk nya. Kembali membayangkan Aditya yang selalu merundung nya di kampus, dan juga begitu membenci nya. Se malam saja-pria itu mengatai diri nya habis-habisan. "Dita! Ayo!" panggil Mama Nita tiba-tiba. "Iya, Maa--," sahut nya. Dita terlihat bak, orang bodoh. "Ayo-bangun! Aditya, sudah menunggu." Dengan berat hati, akhir nya dia pun bangun dari duduk nya, dan membawa langkah kaki nya ke luar dari dalam rumah. Mama Nita terlihat sangat begitu bahagia. Wanita paruh baya itu terus mengukir senyum di wajah nya, "Semangat Dita!" Dan menantu nya itu, hanya menyambut dengan senyuman kikuk nya. ** ** Dita mengayunkan langkah kaki yang berat, dan saat berada di depan, wanita itu mendapati Aditya yang tengah menunggu nya. Smirk iblis, dengan tatapan membunuh, tercetak jelas di wajah tampan pria itu. Dan itu membuat Dita ragu. "Mau, sampai kapan, kau berdiri di sana?!" tanya Aditya, dengan nada suara nya yang telah mengandung emosi. "Aku, akan nai
Walaupun sudah mendapatkan penolakan, Dita tak mau putus asa, sekalipun dia tahu dengan jelas sangat mustahil untuk diri nya bisa masuk, kalau itu sudah berurusan dengan geng dari Aditya. Namun, kuliah pagi ini sangat penting untuk nya, membuat Dita kembali memohon, berharap mereka akan luluh, walaupun dia tidak yakin. Masih dengan tatapan memohon nya, dan juga air mta yang telah jatuh membasahi kedua pipi, Dita kembali meminta pada petugas keamanan itu agar membukakan gerbang untuk nya. "Pak....Saya mohon.....Saya mohon.....Soal nya mata kuliah pagi ini sangat penting, jadi saya minta buka pintu nya, " lirih Dita dengan deraian air mata. Securiti berusia senja itu hanya bisa menatap nanar pada Dita, "Maaf Neng, tapi Bapak...." ujar nya ragu, dan juga takut-takut, membuat Dita hanya bisa meneteskan air mata nya. Semua orang tahu kalau Aditya Wijaya adalah anak seorang konglomerat kaya, dan ayah nya Herman Wijaya merupakan salah satu donatur di kampus itu. Dan mereka pun juga t
Dita merasa ada yang aneh dengan sikap Aditya hari ini, yang membiarkan diri nya untuk masuk, sebab biasa nya pria itu akan membully nya habis-habisan, sebelum membiarkan diri nya begitu saja. Walaupun terselip rasa penasaran, namun-dalam diri Dita merasa lega, sebab dia tidak harus melewati perundungan dari pria, yang di juluki, RAJA KAMPUS itu. Membawa langka kaki nya setengah berlari, kini Dita telah tiba di depan kelas nya. Dan-saat tiba di depan ruangan, wanita itu mendapati proses belajar-mengajar yang sudah ber jalan. Memberikan ketukan, hingga mengalihkan pandangan Miss Rose, yang saat ini tengah menerangkan mata kuliah. Raut wajah wanita asing itu-seketika berubah-begitu mendapati kedatangan Dita,"Kamu!" gumam nya, dengan tatapan yang tajam pada Dita. "Pagi Miss," sapa Dita pelan, akibat rasa takut nya. "Pagi!" sahut nya datar, dan kembali bersuara, "Bisakah, kamu tidak selalu seperti ini?!" lanjut Miss Rose, dengan nada suara nya yang kini telah berbalut emosi. "Maafka
Raut wajah Jeni berubah seketika, dengan tatapan yang semakin dia tajamkan pada Dita setelah mendengar apa yang baru saja wanita itu katakan. Dan menurut nya Dita nampak sedikit aneh. Dan Dita yang menyadari kalau saat ini Jeni tengah menatap nya dengan tak biasa-segera bersuara, "Ke--Kenapa kamu menatap ku seperti itu?" tanya nya terbata, dan terlihat jelas sedikit pias yang memenuhi wajah nya. "Kamu nampak aneh hari ini." Wajah pias, dengan senyuman kikuk nya seketika memenuhi wajah Dita-mendengar kata-kata yang baru saja terucap dari bibir Jeni,"Aneh, bagaimana? Bahkan wajah ku masih sama." "Wajah mu memang tidak ada yang berubah. Namun-tingkah mu nampak aneh. Sebab tidak biasa nya kamu menolak saat aku akan tidur di rumah mu." Dita menelan susah payah ludah nya, dengan penuturan yang baru saja terucap dari bibir Jeni, "Aku beberapa hari ini menginap di rumah Bibi ku, jadi hal itu lah yang membuat aku tidak mengijinkan kamu menginap di rumah." Kedua alis mata Jeni bertaut. Raut
Dita mengayunkan langkah kaki nya setengah berlari, saat berlalu dari taman. Tidak pernah terbayang di dalam diri wanita itu, kalau dia akan melakukan perlawanan pada seorang Aditya Setyo Wijaya, setelah ber tahun-tahun pria itu merundung nya di kampus. Sangat sulit untuk di jabarkan, bagaimana suasana hati seorang Anandita saat ini. Takut, senang, rasa nya campur aduk. Merasa diri nya sudah berlalu jauh, Dita menghentikan langkah kaki nya ,dengan napas yang ter-engah-engah. Memijak kan diri nya di sana, Dita berusaha untuk menenang kan diri nya dari rasa yang tak menentu itu. "Dita---," panggil seseorang tiba-tiba. Dita memaling kan pandangan nya pada asal suara. Menegak kan tubuh nya, setelah mendapati kedatangan Jeni. "Kamu baik-baik saja?" tanya Jeni-dengan kekhawatiran telah memenuhi wajah nya, saat mendapati ada sesuatu yang tak biasa dari sahabat nya itu. Menghembuskan napas nya dalam-dalam, Dita berusaha untuk menahan gemuruh di dalam dada nya, "Aku, baru saja bertemu d
Suara pura-pura batuk, membuat pandangan Dita, dan juga Arman ter-alihkan. Dan di sana ke dua nya mendapati Jeni, yang datang dengan membawa se gelas minuman dingin, dan makanan ringan. Wanita muda itu meletakkan minuman di atas meja, sembari menyimpulkan senyuman di bibir nya, senyuman yang tersimpan sebuah makna di dalam nya. "Seperti nya, aku datang di waktu yang tidak tepat," ujar Jeni, masih dengan memasang senyum penuh arti. "Nggak! Itu hanya perasaan kamu saja," sahut Dita cepat, namun-wanita itu tak dapat menyembunyikan wajah nya yang nampak memerah, akibat malu dengan apa yang terucap dari bibir Jeni. Jeni hanya menyambut nya dengan senyuman. Mengalihkan pandangan nya pada sang Kakak, yang juga tengah mengukir senyum di wajah tampan nya. Setelah beberapa menit kemudian. "Dit, ngomong-ngomong sekarang kamu tinggal sama siapa? Sebab Papa mu baru saja meninggal," tanya Arman. Raut muka Dita berubah seketika. Ntah, sampai kapan dia akan menutupi kenyataan tentang diri
Beberapa jam kemudianBeberapa menit menempuh perjalanan--akhirnya mobil yang membawa Dita telah kembali berada di rumahnya. Saat akan turun dari dalam mobil, mimik wajah Dita seketika berubah setelah mendapati adanya sebuah mobil asing yang terparkir di depan rumah. Melangkahkan kakinya--namun pandangan itu tak Dita putuskan dari mobil berwarna merah itu. "Dita---." Panggil suara tidak asing-membuat pandangan Dita teralihkan, dan seketika mimik wajah Dita berubah kaget--setelah mendapati siapa yang menyeruhkan namanya itu."Anita!" gumam Dita dengan tatapan tidak percayanya. Dita segera mengambil langka lebarnya menghampiri wanita yang sudah lama tidak dia temuinya itu.Namun, adanya baby Damar dalam gendongan Anita membuat antusias di dalam diri Dita hilang sekejap. "Kapan kau datang?" tanya Dita, tanpa meminta persetujuan Anita--wanita itu segera mengambil alih Damar dalam gendongan sahabatnya, dan melabuhkan kecupan singkat pada pipi gembul baby Damar. "Sekitar dua puluh menit y
Kendaraan yang membawa Dita--telah terparkir di halaman depan rumah sakit. Dengan ragu, wanita bernama Anandita Setiawan itu menurunkan kedua kakinya. "Apakah perlu saya temani, Nyonya?" tanya sang sopir tiba-tiba, saat Dita tak kunjung melangkahkan kakinya ke dalam bangunan di depannya. "Tidak perlu Pak, Bapak tunggu di sini saja," sahut Dita dengan menoleh sebentar pada sopir pribadinya, dan kembali membawa pandangan pada bangunan yang berada di depan."Baiklah Nyonya, kalau begitu saya akan memarkirkan mobil-dan menunggu anda di sana saja," ujar sang sopir memberitahu, seraya jari telunjuknya mengarah pada sebuah pohon yang rindang yang berada di dekat halaman parkir. "Baik Pak," sahut Dita, dan sang sopir segera melajukan kembali kendaraan roda empat itu. Dita menghembuskan napasnya kasar, meraup udara sebanyak mungkin--saat merasa pasukan oksigen di dalam dadanya berkurang. Suasana hatinya tiba-tiba tak karuan. Antara iya, dan tidak, untuk dirinya masuk ke dalam bangunan rum
Awan tak lagi putih, langit tak lagi biru--sebab kini bumi telah diselimuti kegelapan kala malam kembali menyapa. Angin berhembus sedikit kencang, membuat tirai yang menggelantung tertiup kala angin berhasil mencuri masuk ke dalamnya. Mendapati hal itu Dita segera menghampiri. Kedua tangannya menarik ujung gorden, dan menyatukannya dengan lebih rapat lagi. Mengedarkan pandangannya menjelajahi seisi ruangan. Suasana kamar kini sangat berbanding terbalik dengan tadi. Tadinya kamar ini sangat riuh, dengan celotehan, dan tangisan ketiga buahatinya. Namun, kini telah lenggang karena bayi-bayi miliknya sudah terlelap. Menghembuskan napasnya panjang, Dita meraup oksigen sebanyak mungkin melepas lelah yang begitu menggerogoti di tubuh. Dita merasa seperti baru saja melepaskan beban yang cukup berat. "Ternyata ada asam-manisnya," gumam Dita, dengan senyuman yang dia ukir di wajahnya. Dita memutuskan untuk kembali melihat ketiga bayinya. Menyingkap tirai tipis yang menghalangi pandangan, s
Sangat tidak keberatan untuk seorang Aditya Wijaya jika Dion memberikan putranya untuk dia asuh--sebab perasaan memiliki itu sudah ada untuk anak dari sahabat baiknya itu sejak dia lahir. Namun, yang jadi pertanyaan untuk Aditya--kenapa Dion ingin memberikan anaknya pada dia, sebab pria itu sendiri pernah meminta padanya agar Aditya mengikhlaskan Damar untuknya."Katakan padaku. Apa yang sebenarnya terjadi, sampai kau ingin memberikan Damar padaku?" tanya Aditya, dengan nada suaranya yang terdengar menuntut. Kedua alis tebal Aditya menyurut, saat pupil hitam pekat pria itu semakin tajam ketika menatap Dion. Bukan hanya Aditya saja yang dibuat kaget dengan permintaan Dion, namun Dita juga. Dirinya sama sekali tidak keberatan jika Dion memberikan putranya pada dia, dan Adtya, untuk diasuh oleh mereka. Namun, yang membuat Dita heran---sebab Dion--dulu ingin merawat putranya sendiri. "Iya, Dion. Aku sama sekali tidak masalah kalau kau memberikan Damar pada aku, dan Aditya. Aku akan mer
Baby Adrian yang sudah mabuk ASI perlahan melepaskan puting susu ibunya sendiri, dan kini sudah terlihat jauh lebih tenang dari sebelumnya. Dan saat Dita kembali menyodorkan putingnya, bayi itu kembali melepaskannya dan kini justru memasukkan gumpalan jari ke dalam mulutnya. Baby Adrian kini fokus bermain."Sepertinya dia sudah kenyang," ujar Aditya. "Iya Mas," sahut Dita membenarkan, dan wanita itu memutuskan untuk membaringkan putranya disamping saudara kembarnya. Dalam keadaan kenyang, membuat baby Adrian dan juga Adriana tak lagi rewel. Kedua bayi itu kini bermain, menendang-nendang kecil kaki mereka, ataupun mengemut jari-jarinya. Dan, kegiatan kecil yang dilakukan oleh bayi kembar itu mampu membuat perasaan kedua orang tuanya terhibur. "Mereka sangat menggemaskan ya, Dit?" ujar Aditya-dengan senyuman yang terukir di wajahnya. Sekilas menatap pada Dita, dan kembali memfokuskan pandangannya pada kedua anaknya. Aditya nampak sangat menikmati apa yang dia lakukan saat ini. "Mas-
Dua bulan kemudianWaktu berlalu begitu cepat. Tidak terasa dua bulan telah berlalu, sejak kelahiran baby Adrian, dan Adriana. Banyak hal yang telah dilewati dalam dua bulan terakhir ini. Salahsatunya Dita yang kini telah pindah dari villa, dan menempati rumah barunya, yang barus atu bulan ini dibeli oleh Aditya.Hari-hari yang dilewati Dita penuh dengan kebahagiaan. Suami yang sangat mencintainya, dan memiliki kedua anak yang semakin hari, semakin menggemaskan di matanya. Dita, seperti memiliki mainan baru-sebab sejak kehadiran baby Adrian, dan baby Adriana membuat hari-hari dari Ibu muda itu terasa jauh lebih berwarna. Namun, kadang Dita suka menemukan kerepotan kalau kedua bayi kembar itu rewel bersamaan.Dan, tanpa Dita sadari dirinya sering mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang istri. Seperti biasa, saat pagi hari sebelum Aditya bangun Dita telah berkunjung ke kamar bayi yang bersebelahan dengan kamarnya, dan Aditya. Berada di kamar dengan cat berwarna putih yang mendomi
Dunia Dita seperti berhenti berputar, setelah dirinya mendapati kedatangan Mama Nita. Serasa seperti mimpi, bolamata wanita itu tak ada kedipan sama sekali saat menatap pada wanita yang masih berstatus ibu mertuanya nya. Hingga, Dita nampak tercengang saat menyadari kalau saat ini posisinya dan Mama Nita sudah sangat dekat. Sekian tahun tak bersua, membuat suasana canggung begitu terasa untuk kedua wanita beda generasi itu. Saling menatap, namun keduanya tetap dengan diam. Bingung, harus memulainya dari mana. "Dit--." Mama Nita bersuara pelan, setelah sekian detik keheningan melandanya dan Dita. Dia tahu, kalau menantunya itu ingin menyapanya lebih dulu namun merasa sungkan."Maa," sahut Dita, dengan senyum yang terkesan dipaksakan. Sebab, walaupun sang ibu mertua telah bersuara terlebiih dahulu namun dirinya masih merasa canggung. "Maaf, untuk semuanya. Mama sangat menyesal. sebab telah membencimu padahal kau tidak melakukan kesalahan apapun,"lirih Mama Nita. Mimik wajahnya tela
Aditya membeo. Pria itu masih memfokuskan pandangannya pada kedua orangtuanya. Kedatangan mereka sama sekali tidak disangka-sangka pria itu. Terutama sang Bunda--yang juga turut datang bersama ayahnya. "Adit! Bagaimana? Apakah Dita, sudah melahirkan?" tanya Mama Nita. Mimik wajah wanita paruhbaya itu menunjukkan kekhwatirannya yang teramat sangat. Saat melayangkan pertanyaan, Mama Nita melemparkan pandangannya ke arah pintu ruang operasi. Aditya tak langsung menyambut. Sebagai orang yang turut tahu tentang dia dan Dita selama ini, Aditya melirikkan matanya-menatap sang ayah dengan lekat. Dan, Papa Herman yang ditatap seperti itu hanya menganggukkan kepalanya pelan. Pria paruhbaya itu seolah sudah mengerti tatapan dari putranya, itu. "Belum Maa," sahut Aditya, dengan nada suaranya yang terdengar berat. Saat menjawab pertanyaan Mama Nita, hati Aditya mendadak perih sebab operasinya sudah memakan waktu sedikit lama. Raut wajah pria itu mendadak layu. "Kita berdoa semoga operasinya be
Suara dering telepone terdengar di dalam ruangan, membuat keheningan yang melanda seketika membelah. Dan, ternyata itu panggilan telepone yang datang dari gawai milik Aditya yang saat ini sedang dalam pengisian daya. "Dari tadi HPmu terus saja berbunyi, dan sepertinya itu telepone yang penting," ujar Mama Nita memberitahu.Mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Ibunya tanpa menunggu lama lagi, Aditya segera menghampiri gawainya yang tersimpan di atas sebuah kabonet kecil. Melepaskan colokannya, dan mendapati nama Bibi Supi pada layar HPnya. Meyakini ada sesuatu yang serius, Aditya segera melakukan panggilan balik pada Bibi Supi. Saat melakukan telepone balik, Aditya tak berada lagi di ruangan yang sama dengan kedua orang tuanya dan Roki. Lki-laki tampan itumemilih untuk berpisah ruang, menuju teras rumah dengan kolam renang yang berada di depannya. Apa yang Aditya lakukan, membuat ketiga sosok yang bersamanya seketika dilanda rasa penasaran. Dan, mendapati bagaimana gestur tub