Setelah selesai mengenakan pakaian, Aditya segera berlalu dari ruang ganti, namun, dia tak menemukan keberadaan Dita di kamar. Tak perduli, Aditya melanjutkan langkah kaki itu, menuju cermin, namun-sekejap menghentikan langkah kaki itu, saat mendapati ada ranjang nya yang sudah terlihat rapi.
Raut wajah itu nampak tak biasa, dan kembali melanjutkan langkah kaki itu. Beberapa menit merapikan penampilan nya di depan cermin, Aditya segera berlalu dari dalam kamar, hingga langkah kaki itu dia hentikan, saat suara telepone menyapa gawai nya. Dan pada layar HP nya, dia mendapati nama, SAYANG, yang tak lain adalah Dina-kekasih nya.
"Hallo, Yang--."
"Dit--, Kenapa kemarin, lo, nggak masuk kampus?!" tanya Dina dengan nada suara nya yang terdengar kesal.
Raut wajah Aditya berubah seketika, saat dilayangkan pertanyaan seperti itu oleh Dina. Seandai nya kekasih nya taju, apa yang terjadi dalam hidup nya.
"Dit--!" panggil Dina tiba-tiba, saat Aditya tak kunjung menyambut panggilan telepone nya.
"Maaf, Yang--, Kemarin tiba-tiba gue ngedrop, dan sempat rawat inap satu malam di rumah sakit."
"Lo, serius, Yang?! Kenapa, nggak ngabarin gue?!" tanya Dina dengan nada suara nya yang sudah mulai meninggi.
"Maaf---," lirih Adit, dengan raut wajah penuh dengan penyesalan.
"Tapi, hari ini, lo masuk kampus, kan?"
"Ya. Hari ini gue, masuk kampus."
"Oke, kalau gitu gue nungguin. Bye, Sayang---,"sahut Dina, memutuskan sambungan telepone nya, dan Aditya.
Mengela napas nya dalam-dalam, raut wajah Aditya seketika berubah, dan terlihat jelas beban di wajah tampan itu. Seandai nya, kalau Dina tahu, Aditya tidak tahu, apa yang apa kekasih itu lakukan.
***
***
Senyuman terus terukir di wajah Dita, saat melewatkan sarapan pagi nya, bersama ke dua mertua. Tak ada sekat yang membatasi, Dita terlihat sangat begitu bahagia. Wanita 21 tahun itu, seperti menemukan kembali keluarganya. Tersenyum lepas, namun-senyuman itu memudar, setelah mendengar suara seseorang.
"Pagi Maa, pagi Paa," sapa Aditya, dengan alunan langkah kaki yang dia bawa kan menuju ruang makan. Dan Dita kembali merasakan ketegangan di dalam diri nya.
Aditya telah mendaratkan tubuh nya pada sebuah kursi, dan tanpa pria itu sadari diam-diam Dita tengah mencuri-curi pandang pada nya. Terlepas dari bagaimana sikap buruk Aditya pada nya selama ini, Dita tak memungkiri kalau pria itu memang sangat tampan. Aditia memiliki tubuh yang di-idamkan oleh setiap wanita. Alisa tebal, dengan senyuman nya yang begitu menewan, mampu membuat lawan jenis nya, hanyut dalam kharisma pria itu.
"Aku tak memungkiri, kalau memang dia sangat tampan. Dan ketampanan itu semakin sempurna, karena dia berasal dari keluarga kaya. Dan Dina, adalah wanita yang beruntung, karena memiliki hati nya. Dina, pun merupakan wanita paling cantik, dan juga sangat populer di kampus. Mereka berdua adalah pasangan yang serasi," gumam Dita dalam hati, dengan pandangan yang terus dia hantarkan pada Aditya.
Ternyata, tanpa Dita sadar, Aditya menyadari, kalau sedari tadi-wanita itu memperhatikan diri nya. Mengalihkan pandangan nya pada Dita, dan menatap nya dengan tatapan membunuh. Dan Dita, yang mendapati tatapan seperti itu dari Aditya, cepat-cepat mengalihkan pandangan nya.
"Dita...." panggil Mama Nita tiba-tiba, yang membuat wanita berkaca mata itu seketika memalingkan pandangan nya.
"Iya, Maa...."
"Ambilkan makanan buat Aditya. Apakah kamu lupa, kalau saat ini kamu sudah bersuami."
Wajah kaget-dengan seketika mengantarkan pandangan nya pada Aditya, namun pria itu nampak acuh, dan tak memperdulikan ucapan ibu nya sama sekali. Dan di depan Aditya Dita tak menemukan apa pun, "Kenapa dia tak mengambil nya sendiri? Bukankah dia sama sekali tak menganggap aku ini istri nya?" gumam Dita dalam hati-dengan pandangan yang terus dia hantarkan pada Aditya, yang masih setia memasang wajah dingin nya, dan akhir nya dengan berat hati, Dita pun bangun dari duduk nya, dan mulai mengambil sarapan pagi untuk suami nya.
Di layani seperti itu, Aditya merasa mendapatkan sebuah keuntungan dengan menikahi Dita, dia seperti memiliki pelayan pribadi, dan tak pula harus repot-repot menggaji nya, "Ternyata, ada untung nya juga, aku menikahi si-Culun, ini!" gerutu Aditya, dalam hati.
Suasana hening menyelimuti di dalam ruangan makan itu, hanya terdengar suara piring, dan juga sendok yang saling membentur. Beberapa menit menikmati sarapan pagi nya, kini Aditya telah selesai. Pria itu bangun dari duduk nya.
"Pa--, Ma--, aku berangkat,"pamit Aditya. Akan mengayunkan langkah kaki nya meniggalkan ruangan itu, namun-harus kembali dia urungkan, saat tiba-tiba Papa Herman bersuara.
"Tunggu!" ujar nya tegas, dan pandangan itu Papa Herman bawah pada Dita, "Kamu sudah selesai?"
"Sudah, Pa-," jawab nya.
"Kalau begitu pergi-lah bersama Adit!"
Dan seketika kedua sosok itu saling menatap, dan Aditya terlihat keberatan dengan apa yang Papa Herman pinta.
"Apakah kamu lupa, kalau Dita ini adalah istrimu. Kalian satu kampus, jadi mulai sekarang kalian akan pergi, dan pulang bersama."
"Biar aku--," ujar Dita, namun tak dapat menyelesaikan ucapan nya, saat Mama Nita menyela.
"Pergilah bersama Aditya!" ujar Mama Nita, hingga yang bisa Dita lakukan hanyalah pasrah.
Aditya menghela napas nya berat. Selama ini semua orang di kampus tahu, kalau diri nya selalu menghina Dita, dan membully nya. Dan jika teman-teman di kampus nya mengetahui kalau dia, dan Dita saat ini adalah pasangan suami-istri, Aditya merasa dia telah menjilat ludah nya sendiri. Mengatakan Dita laksana sebuah virus bagi nya, namun kini dia sendiri yang menginginkan virus itu datang dalam diri nya.
Sangat keberatan, namun Aditya tak memiliki pilihan lain selain menuruti permintaan ayah nya, "Baiklah," sahut Aditya dengan napas yang terdengar berat, dan segera berlalu dari ruang makan itu
Dita terlihat berat, untuk bangun dari duduk nya. Kembali membayangkan Aditya yang selalu merundung nya di kampus, dan juga begitu membenci nya. Se malam saja-pria itu mengatai diri nya habis-habisan. "Dita! Ayo!" panggil Mama Nita tiba-tiba. "Iya, Maa--," sahut nya. Dita terlihat bak, orang bodoh. "Ayo-bangun! Aditya, sudah menunggu." Dengan berat hati, akhir nya dia pun bangun dari duduk nya, dan membawa langkah kaki nya ke luar dari dalam rumah. Mama Nita terlihat sangat begitu bahagia. Wanita paruh baya itu terus mengukir senyum di wajah nya, "Semangat Dita!" Dan menantu nya itu, hanya menyambut dengan senyuman kikuk nya. ** ** Dita mengayunkan langkah kaki yang berat, dan saat berada di depan, wanita itu mendapati Aditya yang tengah menunggu nya. Smirk iblis, dengan tatapan membunuh, tercetak jelas di wajah tampan pria itu. Dan itu membuat Dita ragu. "Mau, sampai kapan, kau berdiri di sana?!" tanya Aditya, dengan nada suara nya yang telah mengandung emosi. "Aku, akan nai
Walaupun sudah mendapatkan penolakan, Dita tak mau putus asa, sekalipun dia tahu dengan jelas sangat mustahil untuk diri nya bisa masuk, kalau itu sudah berurusan dengan geng dari Aditya. Namun, kuliah pagi ini sangat penting untuk nya, membuat Dita kembali memohon, berharap mereka akan luluh, walaupun dia tidak yakin. Masih dengan tatapan memohon nya, dan juga air mta yang telah jatuh membasahi kedua pipi, Dita kembali meminta pada petugas keamanan itu agar membukakan gerbang untuk nya. "Pak....Saya mohon.....Saya mohon.....Soal nya mata kuliah pagi ini sangat penting, jadi saya minta buka pintu nya, " lirih Dita dengan deraian air mata. Securiti berusia senja itu hanya bisa menatap nanar pada Dita, "Maaf Neng, tapi Bapak...." ujar nya ragu, dan juga takut-takut, membuat Dita hanya bisa meneteskan air mata nya. Semua orang tahu kalau Aditya Wijaya adalah anak seorang konglomerat kaya, dan ayah nya Herman Wijaya merupakan salah satu donatur di kampus itu. Dan mereka pun juga t
Dita merasa ada yang aneh dengan sikap Aditya hari ini, yang membiarkan diri nya untuk masuk, sebab biasa nya pria itu akan membully nya habis-habisan, sebelum membiarkan diri nya begitu saja. Walaupun terselip rasa penasaran, namun-dalam diri Dita merasa lega, sebab dia tidak harus melewati perundungan dari pria, yang di juluki, RAJA KAMPUS itu. Membawa langka kaki nya setengah berlari, kini Dita telah tiba di depan kelas nya. Dan-saat tiba di depan ruangan, wanita itu mendapati proses belajar-mengajar yang sudah ber jalan. Memberikan ketukan, hingga mengalihkan pandangan Miss Rose, yang saat ini tengah menerangkan mata kuliah. Raut wajah wanita asing itu-seketika berubah-begitu mendapati kedatangan Dita,"Kamu!" gumam nya, dengan tatapan yang tajam pada Dita. "Pagi Miss," sapa Dita pelan, akibat rasa takut nya. "Pagi!" sahut nya datar, dan kembali bersuara, "Bisakah, kamu tidak selalu seperti ini?!" lanjut Miss Rose, dengan nada suara nya yang kini telah berbalut emosi. "Maafka
Raut wajah Jeni berubah seketika, dengan tatapan yang semakin dia tajamkan pada Dita setelah mendengar apa yang baru saja wanita itu katakan. Dan menurut nya Dita nampak sedikit aneh. Dan Dita yang menyadari kalau saat ini Jeni tengah menatap nya dengan tak biasa-segera bersuara, "Ke--Kenapa kamu menatap ku seperti itu?" tanya nya terbata, dan terlihat jelas sedikit pias yang memenuhi wajah nya. "Kamu nampak aneh hari ini." Wajah pias, dengan senyuman kikuk nya seketika memenuhi wajah Dita-mendengar kata-kata yang baru saja terucap dari bibir Jeni,"Aneh, bagaimana? Bahkan wajah ku masih sama." "Wajah mu memang tidak ada yang berubah. Namun-tingkah mu nampak aneh. Sebab tidak biasa nya kamu menolak saat aku akan tidur di rumah mu." Dita menelan susah payah ludah nya, dengan penuturan yang baru saja terucap dari bibir Jeni, "Aku beberapa hari ini menginap di rumah Bibi ku, jadi hal itu lah yang membuat aku tidak mengijinkan kamu menginap di rumah." Kedua alis mata Jeni bertaut. Raut
Dita mengayunkan langkah kaki nya setengah berlari, saat berlalu dari taman. Tidak pernah terbayang di dalam diri wanita itu, kalau dia akan melakukan perlawanan pada seorang Aditya Setyo Wijaya, setelah ber tahun-tahun pria itu merundung nya di kampus. Sangat sulit untuk di jabarkan, bagaimana suasana hati seorang Anandita saat ini. Takut, senang, rasa nya campur aduk. Merasa diri nya sudah berlalu jauh, Dita menghentikan langkah kaki nya ,dengan napas yang ter-engah-engah. Memijak kan diri nya di sana, Dita berusaha untuk menenang kan diri nya dari rasa yang tak menentu itu. "Dita---," panggil seseorang tiba-tiba. Dita memaling kan pandangan nya pada asal suara. Menegak kan tubuh nya, setelah mendapati kedatangan Jeni. "Kamu baik-baik saja?" tanya Jeni-dengan kekhawatiran telah memenuhi wajah nya, saat mendapati ada sesuatu yang tak biasa dari sahabat nya itu. Menghembuskan napas nya dalam-dalam, Dita berusaha untuk menahan gemuruh di dalam dada nya, "Aku, baru saja bertemu d
Suara pura-pura batuk, membuat pandangan Dita, dan juga Arman ter-alihkan. Dan di sana ke dua nya mendapati Jeni, yang datang dengan membawa se gelas minuman dingin, dan makanan ringan. Wanita muda itu meletakkan minuman di atas meja, sembari menyimpulkan senyuman di bibir nya, senyuman yang tersimpan sebuah makna di dalam nya. "Seperti nya, aku datang di waktu yang tidak tepat," ujar Jeni, masih dengan memasang senyum penuh arti. "Nggak! Itu hanya perasaan kamu saja," sahut Dita cepat, namun-wanita itu tak dapat menyembunyikan wajah nya yang nampak memerah, akibat malu dengan apa yang terucap dari bibir Jeni. Jeni hanya menyambut nya dengan senyuman. Mengalihkan pandangan nya pada sang Kakak, yang juga tengah mengukir senyum di wajah tampan nya. Setelah beberapa menit kemudian. "Dit, ngomong-ngomong sekarang kamu tinggal sama siapa? Sebab Papa mu baru saja meninggal," tanya Arman. Raut muka Dita berubah seketika. Ntah, sampai kapan dia akan menutupi kenyataan tentang diri
Suasana serasa horor, untuk seorang Anandita Setiawan, saat bersama dengan Aditya. Berusaha untuk mempersingkat waktu nya, bertemu dengan pria itu, namun, kini justru sebalik nya. Aditya, justru menjemput nya. Lebih memilih tak berbicara, setidak nya Aditya hanya mendiamkan nya, dan tak melakukan apa pun pada nya. Sesekali membawa pandangan nya pada Aditya, dan hingga pandangan itu, tertuju pada tangan Aditya yang terluka, akibat gigitan dari nya. "Tangan nya," gumam Dita dalam hati. Rasa bersalah itu, seketika memenuhi Dita, Dita merasa diri nya begitu kejam pada Aditya, namun-malu untuk meminta maaf pada pria itu. Masih memilih untuk bungkam, hingga sekejap Dita di kejutkan, saat tiba-tiba saja Aditya mengendarai kendraan roda empat nya, dengan kecepatan tinggi, dan pria itu sesekali menyelip kendaraan yang menghalangi jalan mereka. "Aditya---Awas!" Rasa takut yang teramat sangat pada nya saat ini, Ditasegera memegang hand grip dengan sangat kuat, guna melindungi diri. Bukan
Walau pun merasa ada yang aneh dengan sikap putra nya, namun, Mama Nita, dan Papa Herman terus melanjutkan langkah kaki mereka, menuju kamar milik Aditya. Tubuh Alisa yang berat, membuat Papa Herman sudah tidak sabar untuk segera membawa masuk, menantu nya ke dalam kamar. Namun, saat satu tangan Mama Nita akan membuka pintu, pintu kamar putra nya dalam keadaan terkunci. Dan, saat kembali Mama Nita mencoba membuka nya, kamar putra nya itu, tetap saja tidak bisa di buka. "Adit----Aditya----Buka, pintu nya----!" teriak Mama Nita. "Iya, sebentar Maa---Aditya masih di kamar mandi--Perut, Adit mules---," sahut nya, dari dalam kamar. ** *** Panik. Itu lah yang saat ini, memenuhi diri Aditya. Dengan gerakan tangan yang cepat, pria itu menaikkan bantal, dan juga menggulung tikar yang sebelum nya terbentang di lantai kamar. "Sial! Kenapa, nasip gue jadi, apes begini?" gerutu Aditya, saat memasuk kan baju-baju Alisa, ke dalam lemari nya. Dan karena tidak di simpan secara teratur, pa
Beberapa jam kemudianBeberapa menit menempuh perjalanan--akhirnya mobil yang membawa Dita telah kembali berada di rumahnya. Saat akan turun dari dalam mobil, mimik wajah Dita seketika berubah setelah mendapati adanya sebuah mobil asing yang terparkir di depan rumah. Melangkahkan kakinya--namun pandangan itu tak Dita putuskan dari mobil berwarna merah itu. "Dita---." Panggil suara tidak asing-membuat pandangan Dita teralihkan, dan seketika mimik wajah Dita berubah kaget--setelah mendapati siapa yang menyeruhkan namanya itu."Anita!" gumam Dita dengan tatapan tidak percayanya. Dita segera mengambil langka lebarnya menghampiri wanita yang sudah lama tidak dia temuinya itu.Namun, adanya baby Damar dalam gendongan Anita membuat antusias di dalam diri Dita hilang sekejap. "Kapan kau datang?" tanya Dita, tanpa meminta persetujuan Anita--wanita itu segera mengambil alih Damar dalam gendongan sahabatnya, dan melabuhkan kecupan singkat pada pipi gembul baby Damar. "Sekitar dua puluh menit y
Kendaraan yang membawa Dita--telah terparkir di halaman depan rumah sakit. Dengan ragu, wanita bernama Anandita Setiawan itu menurunkan kedua kakinya. "Apakah perlu saya temani, Nyonya?" tanya sang sopir tiba-tiba, saat Dita tak kunjung melangkahkan kakinya ke dalam bangunan di depannya. "Tidak perlu Pak, Bapak tunggu di sini saja," sahut Dita dengan menoleh sebentar pada sopir pribadinya, dan kembali membawa pandangan pada bangunan yang berada di depan."Baiklah Nyonya, kalau begitu saya akan memarkirkan mobil-dan menunggu anda di sana saja," ujar sang sopir memberitahu, seraya jari telunjuknya mengarah pada sebuah pohon yang rindang yang berada di dekat halaman parkir. "Baik Pak," sahut Dita, dan sang sopir segera melajukan kembali kendaraan roda empat itu. Dita menghembuskan napasnya kasar, meraup udara sebanyak mungkin--saat merasa pasukan oksigen di dalam dadanya berkurang. Suasana hatinya tiba-tiba tak karuan. Antara iya, dan tidak, untuk dirinya masuk ke dalam bangunan rum
Awan tak lagi putih, langit tak lagi biru--sebab kini bumi telah diselimuti kegelapan kala malam kembali menyapa. Angin berhembus sedikit kencang, membuat tirai yang menggelantung tertiup kala angin berhasil mencuri masuk ke dalamnya. Mendapati hal itu Dita segera menghampiri. Kedua tangannya menarik ujung gorden, dan menyatukannya dengan lebih rapat lagi. Mengedarkan pandangannya menjelajahi seisi ruangan. Suasana kamar kini sangat berbanding terbalik dengan tadi. Tadinya kamar ini sangat riuh, dengan celotehan, dan tangisan ketiga buahatinya. Namun, kini telah lenggang karena bayi-bayi miliknya sudah terlelap. Menghembuskan napasnya panjang, Dita meraup oksigen sebanyak mungkin melepas lelah yang begitu menggerogoti di tubuh. Dita merasa seperti baru saja melepaskan beban yang cukup berat. "Ternyata ada asam-manisnya," gumam Dita, dengan senyuman yang dia ukir di wajahnya. Dita memutuskan untuk kembali melihat ketiga bayinya. Menyingkap tirai tipis yang menghalangi pandangan, s
Sangat tidak keberatan untuk seorang Aditya Wijaya jika Dion memberikan putranya untuk dia asuh--sebab perasaan memiliki itu sudah ada untuk anak dari sahabat baiknya itu sejak dia lahir. Namun, yang jadi pertanyaan untuk Aditya--kenapa Dion ingin memberikan anaknya pada dia, sebab pria itu sendiri pernah meminta padanya agar Aditya mengikhlaskan Damar untuknya."Katakan padaku. Apa yang sebenarnya terjadi, sampai kau ingin memberikan Damar padaku?" tanya Aditya, dengan nada suaranya yang terdengar menuntut. Kedua alis tebal Aditya menyurut, saat pupil hitam pekat pria itu semakin tajam ketika menatap Dion. Bukan hanya Aditya saja yang dibuat kaget dengan permintaan Dion, namun Dita juga. Dirinya sama sekali tidak keberatan jika Dion memberikan putranya pada dia, dan Adtya, untuk diasuh oleh mereka. Namun, yang membuat Dita heran---sebab Dion--dulu ingin merawat putranya sendiri. "Iya, Dion. Aku sama sekali tidak masalah kalau kau memberikan Damar pada aku, dan Aditya. Aku akan mer
Baby Adrian yang sudah mabuk ASI perlahan melepaskan puting susu ibunya sendiri, dan kini sudah terlihat jauh lebih tenang dari sebelumnya. Dan saat Dita kembali menyodorkan putingnya, bayi itu kembali melepaskannya dan kini justru memasukkan gumpalan jari ke dalam mulutnya. Baby Adrian kini fokus bermain."Sepertinya dia sudah kenyang," ujar Aditya. "Iya Mas," sahut Dita membenarkan, dan wanita itu memutuskan untuk membaringkan putranya disamping saudara kembarnya. Dalam keadaan kenyang, membuat baby Adrian dan juga Adriana tak lagi rewel. Kedua bayi itu kini bermain, menendang-nendang kecil kaki mereka, ataupun mengemut jari-jarinya. Dan, kegiatan kecil yang dilakukan oleh bayi kembar itu mampu membuat perasaan kedua orang tuanya terhibur. "Mereka sangat menggemaskan ya, Dit?" ujar Aditya-dengan senyuman yang terukir di wajahnya. Sekilas menatap pada Dita, dan kembali memfokuskan pandangannya pada kedua anaknya. Aditya nampak sangat menikmati apa yang dia lakukan saat ini. "Mas-
Dua bulan kemudianWaktu berlalu begitu cepat. Tidak terasa dua bulan telah berlalu, sejak kelahiran baby Adrian, dan Adriana. Banyak hal yang telah dilewati dalam dua bulan terakhir ini. Salahsatunya Dita yang kini telah pindah dari villa, dan menempati rumah barunya, yang barus atu bulan ini dibeli oleh Aditya.Hari-hari yang dilewati Dita penuh dengan kebahagiaan. Suami yang sangat mencintainya, dan memiliki kedua anak yang semakin hari, semakin menggemaskan di matanya. Dita, seperti memiliki mainan baru-sebab sejak kehadiran baby Adrian, dan baby Adriana membuat hari-hari dari Ibu muda itu terasa jauh lebih berwarna. Namun, kadang Dita suka menemukan kerepotan kalau kedua bayi kembar itu rewel bersamaan.Dan, tanpa Dita sadari dirinya sering mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang istri. Seperti biasa, saat pagi hari sebelum Aditya bangun Dita telah berkunjung ke kamar bayi yang bersebelahan dengan kamarnya, dan Aditya. Berada di kamar dengan cat berwarna putih yang mendomi
Dunia Dita seperti berhenti berputar, setelah dirinya mendapati kedatangan Mama Nita. Serasa seperti mimpi, bolamata wanita itu tak ada kedipan sama sekali saat menatap pada wanita yang masih berstatus ibu mertuanya nya. Hingga, Dita nampak tercengang saat menyadari kalau saat ini posisinya dan Mama Nita sudah sangat dekat. Sekian tahun tak bersua, membuat suasana canggung begitu terasa untuk kedua wanita beda generasi itu. Saling menatap, namun keduanya tetap dengan diam. Bingung, harus memulainya dari mana. "Dit--." Mama Nita bersuara pelan, setelah sekian detik keheningan melandanya dan Dita. Dia tahu, kalau menantunya itu ingin menyapanya lebih dulu namun merasa sungkan."Maa," sahut Dita, dengan senyum yang terkesan dipaksakan. Sebab, walaupun sang ibu mertua telah bersuara terlebiih dahulu namun dirinya masih merasa canggung. "Maaf, untuk semuanya. Mama sangat menyesal. sebab telah membencimu padahal kau tidak melakukan kesalahan apapun,"lirih Mama Nita. Mimik wajahnya tela
Aditya membeo. Pria itu masih memfokuskan pandangannya pada kedua orangtuanya. Kedatangan mereka sama sekali tidak disangka-sangka pria itu. Terutama sang Bunda--yang juga turut datang bersama ayahnya. "Adit! Bagaimana? Apakah Dita, sudah melahirkan?" tanya Mama Nita. Mimik wajah wanita paruhbaya itu menunjukkan kekhwatirannya yang teramat sangat. Saat melayangkan pertanyaan, Mama Nita melemparkan pandangannya ke arah pintu ruang operasi. Aditya tak langsung menyambut. Sebagai orang yang turut tahu tentang dia dan Dita selama ini, Aditya melirikkan matanya-menatap sang ayah dengan lekat. Dan, Papa Herman yang ditatap seperti itu hanya menganggukkan kepalanya pelan. Pria paruhbaya itu seolah sudah mengerti tatapan dari putranya, itu. "Belum Maa," sahut Aditya, dengan nada suaranya yang terdengar berat. Saat menjawab pertanyaan Mama Nita, hati Aditya mendadak perih sebab operasinya sudah memakan waktu sedikit lama. Raut wajah pria itu mendadak layu. "Kita berdoa semoga operasinya be
Suara dering telepone terdengar di dalam ruangan, membuat keheningan yang melanda seketika membelah. Dan, ternyata itu panggilan telepone yang datang dari gawai milik Aditya yang saat ini sedang dalam pengisian daya. "Dari tadi HPmu terus saja berbunyi, dan sepertinya itu telepone yang penting," ujar Mama Nita memberitahu.Mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Ibunya tanpa menunggu lama lagi, Aditya segera menghampiri gawainya yang tersimpan di atas sebuah kabonet kecil. Melepaskan colokannya, dan mendapati nama Bibi Supi pada layar HPnya. Meyakini ada sesuatu yang serius, Aditya segera melakukan panggilan balik pada Bibi Supi. Saat melakukan telepone balik, Aditya tak berada lagi di ruangan yang sama dengan kedua orang tuanya dan Roki. Lki-laki tampan itumemilih untuk berpisah ruang, menuju teras rumah dengan kolam renang yang berada di depannya. Apa yang Aditya lakukan, membuat ketiga sosok yang bersamanya seketika dilanda rasa penasaran. Dan, mendapati bagaimana gestur tub