Dita mengayunkan langkah kaki nya setengah berlari, saat berlalu dari taman. Tidak pernah terbayang di dalam diri wanita itu, kalau dia akan melakukan perlawanan pada seorang Aditya Setyo Wijaya, setelah ber tahun-tahun pria itu merundung nya di kampus. Sangat sulit untuk di jabarkan, bagaimana suasana hati seorang Anandita saat ini. Takut, senang, rasa nya campur aduk. Merasa diri nya sudah berlalu jauh, Dita menghentikan langkah kaki nya ,dengan napas yang ter-engah-engah. Memijak kan diri nya di sana, Dita berusaha untuk menenang kan diri nya dari rasa yang tak menentu itu. "Dita---," panggil seseorang tiba-tiba. Dita memaling kan pandangan nya pada asal suara. Menegak kan tubuh nya, setelah mendapati kedatangan Jeni. "Kamu baik-baik saja?" tanya Jeni-dengan kekhawatiran telah memenuhi wajah nya, saat mendapati ada sesuatu yang tak biasa dari sahabat nya itu. Menghembuskan napas nya dalam-dalam, Dita berusaha untuk menahan gemuruh di dalam dada nya, "Aku, baru saja bertemu d
Suara pura-pura batuk, membuat pandangan Dita, dan juga Arman ter-alihkan. Dan di sana ke dua nya mendapati Jeni, yang datang dengan membawa se gelas minuman dingin, dan makanan ringan. Wanita muda itu meletakkan minuman di atas meja, sembari menyimpulkan senyuman di bibir nya, senyuman yang tersimpan sebuah makna di dalam nya. "Seperti nya, aku datang di waktu yang tidak tepat," ujar Jeni, masih dengan memasang senyum penuh arti. "Nggak! Itu hanya perasaan kamu saja," sahut Dita cepat, namun-wanita itu tak dapat menyembunyikan wajah nya yang nampak memerah, akibat malu dengan apa yang terucap dari bibir Jeni. Jeni hanya menyambut nya dengan senyuman. Mengalihkan pandangan nya pada sang Kakak, yang juga tengah mengukir senyum di wajah tampan nya. Setelah beberapa menit kemudian. "Dit, ngomong-ngomong sekarang kamu tinggal sama siapa? Sebab Papa mu baru saja meninggal," tanya Arman. Raut muka Dita berubah seketika. Ntah, sampai kapan dia akan menutupi kenyataan tentang diri
Suasana serasa horor, untuk seorang Anandita Setiawan, saat bersama dengan Aditya. Berusaha untuk mempersingkat waktu nya, bertemu dengan pria itu, namun, kini justru sebalik nya. Aditya, justru menjemput nya. Lebih memilih tak berbicara, setidak nya Aditya hanya mendiamkan nya, dan tak melakukan apa pun pada nya. Sesekali membawa pandangan nya pada Aditya, dan hingga pandangan itu, tertuju pada tangan Aditya yang terluka, akibat gigitan dari nya. "Tangan nya," gumam Dita dalam hati. Rasa bersalah itu, seketika memenuhi Dita, Dita merasa diri nya begitu kejam pada Aditya, namun-malu untuk meminta maaf pada pria itu. Masih memilih untuk bungkam, hingga sekejap Dita di kejutkan, saat tiba-tiba saja Aditya mengendarai kendraan roda empat nya, dengan kecepatan tinggi, dan pria itu sesekali menyelip kendaraan yang menghalangi jalan mereka. "Aditya---Awas!" Rasa takut yang teramat sangat pada nya saat ini, Ditasegera memegang hand grip dengan sangat kuat, guna melindungi diri. Bukan
Walau pun merasa ada yang aneh dengan sikap putra nya, namun, Mama Nita, dan Papa Herman terus melanjutkan langkah kaki mereka, menuju kamar milik Aditya. Tubuh Alisa yang berat, membuat Papa Herman sudah tidak sabar untuk segera membawa masuk, menantu nya ke dalam kamar. Namun, saat satu tangan Mama Nita akan membuka pintu, pintu kamar putra nya dalam keadaan terkunci. Dan, saat kembali Mama Nita mencoba membuka nya, kamar putra nya itu, tetap saja tidak bisa di buka. "Adit----Aditya----Buka, pintu nya----!" teriak Mama Nita. "Iya, sebentar Maa---Aditya masih di kamar mandi--Perut, Adit mules---," sahut nya, dari dalam kamar. ** *** Panik. Itu lah yang saat ini, memenuhi diri Aditya. Dengan gerakan tangan yang cepat, pria itu menaikkan bantal, dan juga menggulung tikar yang sebelum nya terbentang di lantai kamar. "Sial! Kenapa, nasip gue jadi, apes begini?" gerutu Aditya, saat memasuk kan baju-baju Alisa, ke dalam lemari nya. Dan karena tidak di simpan secara teratur, pa
Dengan setengah ber lari, Aditya, mengayun kan langkah kaki nya, saat pria itu menuruni anak tangga. Dina, sudah mengenal baik ke dua orang Aditya, jadi wanita itu sudah ter biasa datang ke rumah nya. Sempat memaling kan pandangan nya ke arah ruang kerja, dengan langkah kaki yang terus, Aditya ayun kan menuju pintu utama. Telah berada di luar, Aditya mendapati Dina-kekasih nya, yang tengah memaksa masuk, namun-di cegah oleh ke dua penjaga. "Lepas-kan dia!" Aditya bersuara dengan tegas, dan kembali melanjut kan langkah kaki itu. "Adit!" gumam Dina. "Kalian, pergi-lah!" titah Aditya, pada ke dua orang penjaga, yang langsung di laknakan oleh ke dua nya. Setelah-ber lalu nya, ke dua orang penjaga itu dari depan gerbang, Aditya segera menarik tangan Dina, dan membawa nya men jauh dari gerbang utama. Dan, tentu saja yang pria itu lakukan, seketika membangunkan rasa penasaran Dina, "Kenapa, Dit? Bukan kah, ke dua orang tua-lo, sudah mengetahui tentang hubungan kita?" tanya Dina, d
Walau pun telah di landa rasa kantuk yang teramat sangat, namun, Dita belum dapat menjempu alam mimpi nya. Ber baring, dengan pandangan yang terus dia bawa pada langit-langit kamar.Suara langkah kaki yang cukup menggema di dalam ruangan, membuat Dita cepat-cepat menutup ke dua mata nya. Namun, sayang nya, apa yang wanita itu lakukan, ter lihat oleh Aditya. Seringai rendah ter cetak di wajah Aditya, dengan pandangan yang terus dia hantar kan pada Dita, yang masih setia memejam kan mata nya, pada hal dia sudah tahu, wanita itu hanya ber pura-pura tidur saja. "Hah! Benar-benar membosan-kan!" gerutu Aditya pura-pura, namun, pria itu melirik pada Dita, yang masih tetap memejam kan ke dua mata nya.Belum dapat tidur, Aditya memutuskan untuk ber main HP. Menyandarkan bantal, pada kepala ranjang, Aditya menyender kan tubuh nya di sana, dengan ke dua tangan yang telah sibuk dengan gawai nya."Lo, udah tidur Culun?!" tanya Aditya pura-pura, dengan tatapan mata nya dia lempar kan pada Dita.
Tak memiliki pilihan lain, se lain menuruti titah dari Aditya-yang memang mutlak untuk nya. Segera bangun dari duduk nya, dan membawa langkah kaki nya menuju balkon, guna untuk menutup pintu. Setelah selesai dengan kegiatan nya, ter masuk mengecas ponsel pria itu, Dita segera menghantarkan langkah kaki nya menuju sofa. Namun, mendapati Aditya yang tidak mengguna kan selimut, gadis ber kaca mata itu, segera menghampiri. Usai menyelimut kan Aditya, Dita kembali ke sofa panjang.Menghembus kan napas nya pelan, dengan tatapan yang begitu dalam yang dia berikan pada Aditya, yang kini telah begitu lelap dalam tidur nya."Ter nyata, kamu tak se kuat yang aku kira. Dan maaf kan aku, karena pernikahan ini, telah membuat mu ter penjara dalam situasi yang tidak tepat. Dan, aku janji, tidak akan mengatakan nya, pada siapa pun," gumam Dita.******Burung-burung telah ber nyanyi mengeluar kan suara nya yang merdu, menyambut pagi yang begitu cerah. Bunga-bunga ber mekaran, se merbak wangi nya men
Walau pun masih shyok, dengan apa yang terjadi pada diri nya, sebab baru kali ini, diri nya di bully habis-habis-san. Dan, akibat rasa shyok nya itu, Dita hanya pasrah, saat Aditya menarik tangan nya. Namun, melewati jalan yang asing, membuat Dita seketika di landa rasa was-was. "Kita, akan ke mana sebenar nya?" tanya Dita, dengan menatap punggung Aditya, yang saat ini berada di depan nya. "Ikut, saja! Yang, aku tidak mengajak mu, ke tempat yang angker," sahut Aditya, dengan langkah kaki yang terus, dia ayun kan. Memilih diam, dan juga pasrah, sebab apa yang terjadi pada nya saat ini saja, membuat Dita terlihat bak orang bodoh. Hingga, saat Aditya menyingkap rimbunan bunga, mereka tiba di jalan depan. "Kamu, tunggu lah di sini. Aku, akan mengambil mobil ku, dan jangan ke mana-mana!" pinta Aditya. Usai mengatakan hal itu, Aditya segera mengayunkan langkah kaki nya. Namun, baru beberapa langkah, tiba-tiba Dita ber suara pada nya. "Kenapa kau menolong ku?!" tanya Dita, dengan na
Beberapa jam kemudianBeberapa menit menempuh perjalanan--akhirnya mobil yang membawa Dita telah kembali berada di rumahnya. Saat akan turun dari dalam mobil, mimik wajah Dita seketika berubah setelah mendapati adanya sebuah mobil asing yang terparkir di depan rumah. Melangkahkan kakinya--namun pandangan itu tak Dita putuskan dari mobil berwarna merah itu. "Dita---." Panggil suara tidak asing-membuat pandangan Dita teralihkan, dan seketika mimik wajah Dita berubah kaget--setelah mendapati siapa yang menyeruhkan namanya itu."Anita!" gumam Dita dengan tatapan tidak percayanya. Dita segera mengambil langka lebarnya menghampiri wanita yang sudah lama tidak dia temuinya itu.Namun, adanya baby Damar dalam gendongan Anita membuat antusias di dalam diri Dita hilang sekejap. "Kapan kau datang?" tanya Dita, tanpa meminta persetujuan Anita--wanita itu segera mengambil alih Damar dalam gendongan sahabatnya, dan melabuhkan kecupan singkat pada pipi gembul baby Damar. "Sekitar dua puluh menit y
Kendaraan yang membawa Dita--telah terparkir di halaman depan rumah sakit. Dengan ragu, wanita bernama Anandita Setiawan itu menurunkan kedua kakinya. "Apakah perlu saya temani, Nyonya?" tanya sang sopir tiba-tiba, saat Dita tak kunjung melangkahkan kakinya ke dalam bangunan di depannya. "Tidak perlu Pak, Bapak tunggu di sini saja," sahut Dita dengan menoleh sebentar pada sopir pribadinya, dan kembali membawa pandangan pada bangunan yang berada di depan."Baiklah Nyonya, kalau begitu saya akan memarkirkan mobil-dan menunggu anda di sana saja," ujar sang sopir memberitahu, seraya jari telunjuknya mengarah pada sebuah pohon yang rindang yang berada di dekat halaman parkir. "Baik Pak," sahut Dita, dan sang sopir segera melajukan kembali kendaraan roda empat itu. Dita menghembuskan napasnya kasar, meraup udara sebanyak mungkin--saat merasa pasukan oksigen di dalam dadanya berkurang. Suasana hatinya tiba-tiba tak karuan. Antara iya, dan tidak, untuk dirinya masuk ke dalam bangunan rum
Awan tak lagi putih, langit tak lagi biru--sebab kini bumi telah diselimuti kegelapan kala malam kembali menyapa. Angin berhembus sedikit kencang, membuat tirai yang menggelantung tertiup kala angin berhasil mencuri masuk ke dalamnya. Mendapati hal itu Dita segera menghampiri. Kedua tangannya menarik ujung gorden, dan menyatukannya dengan lebih rapat lagi. Mengedarkan pandangannya menjelajahi seisi ruangan. Suasana kamar kini sangat berbanding terbalik dengan tadi. Tadinya kamar ini sangat riuh, dengan celotehan, dan tangisan ketiga buahatinya. Namun, kini telah lenggang karena bayi-bayi miliknya sudah terlelap. Menghembuskan napasnya panjang, Dita meraup oksigen sebanyak mungkin melepas lelah yang begitu menggerogoti di tubuh. Dita merasa seperti baru saja melepaskan beban yang cukup berat. "Ternyata ada asam-manisnya," gumam Dita, dengan senyuman yang dia ukir di wajahnya. Dita memutuskan untuk kembali melihat ketiga bayinya. Menyingkap tirai tipis yang menghalangi pandangan, s
Sangat tidak keberatan untuk seorang Aditya Wijaya jika Dion memberikan putranya untuk dia asuh--sebab perasaan memiliki itu sudah ada untuk anak dari sahabat baiknya itu sejak dia lahir. Namun, yang jadi pertanyaan untuk Aditya--kenapa Dion ingin memberikan anaknya pada dia, sebab pria itu sendiri pernah meminta padanya agar Aditya mengikhlaskan Damar untuknya."Katakan padaku. Apa yang sebenarnya terjadi, sampai kau ingin memberikan Damar padaku?" tanya Aditya, dengan nada suaranya yang terdengar menuntut. Kedua alis tebal Aditya menyurut, saat pupil hitam pekat pria itu semakin tajam ketika menatap Dion. Bukan hanya Aditya saja yang dibuat kaget dengan permintaan Dion, namun Dita juga. Dirinya sama sekali tidak keberatan jika Dion memberikan putranya pada dia, dan Adtya, untuk diasuh oleh mereka. Namun, yang membuat Dita heran---sebab Dion--dulu ingin merawat putranya sendiri. "Iya, Dion. Aku sama sekali tidak masalah kalau kau memberikan Damar pada aku, dan Aditya. Aku akan mer
Baby Adrian yang sudah mabuk ASI perlahan melepaskan puting susu ibunya sendiri, dan kini sudah terlihat jauh lebih tenang dari sebelumnya. Dan saat Dita kembali menyodorkan putingnya, bayi itu kembali melepaskannya dan kini justru memasukkan gumpalan jari ke dalam mulutnya. Baby Adrian kini fokus bermain."Sepertinya dia sudah kenyang," ujar Aditya. "Iya Mas," sahut Dita membenarkan, dan wanita itu memutuskan untuk membaringkan putranya disamping saudara kembarnya. Dalam keadaan kenyang, membuat baby Adrian dan juga Adriana tak lagi rewel. Kedua bayi itu kini bermain, menendang-nendang kecil kaki mereka, ataupun mengemut jari-jarinya. Dan, kegiatan kecil yang dilakukan oleh bayi kembar itu mampu membuat perasaan kedua orang tuanya terhibur. "Mereka sangat menggemaskan ya, Dit?" ujar Aditya-dengan senyuman yang terukir di wajahnya. Sekilas menatap pada Dita, dan kembali memfokuskan pandangannya pada kedua anaknya. Aditya nampak sangat menikmati apa yang dia lakukan saat ini. "Mas-
Dua bulan kemudianWaktu berlalu begitu cepat. Tidak terasa dua bulan telah berlalu, sejak kelahiran baby Adrian, dan Adriana. Banyak hal yang telah dilewati dalam dua bulan terakhir ini. Salahsatunya Dita yang kini telah pindah dari villa, dan menempati rumah barunya, yang barus atu bulan ini dibeli oleh Aditya.Hari-hari yang dilewati Dita penuh dengan kebahagiaan. Suami yang sangat mencintainya, dan memiliki kedua anak yang semakin hari, semakin menggemaskan di matanya. Dita, seperti memiliki mainan baru-sebab sejak kehadiran baby Adrian, dan baby Adriana membuat hari-hari dari Ibu muda itu terasa jauh lebih berwarna. Namun, kadang Dita suka menemukan kerepotan kalau kedua bayi kembar itu rewel bersamaan.Dan, tanpa Dita sadari dirinya sering mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang istri. Seperti biasa, saat pagi hari sebelum Aditya bangun Dita telah berkunjung ke kamar bayi yang bersebelahan dengan kamarnya, dan Aditya. Berada di kamar dengan cat berwarna putih yang mendomi
Dunia Dita seperti berhenti berputar, setelah dirinya mendapati kedatangan Mama Nita. Serasa seperti mimpi, bolamata wanita itu tak ada kedipan sama sekali saat menatap pada wanita yang masih berstatus ibu mertuanya nya. Hingga, Dita nampak tercengang saat menyadari kalau saat ini posisinya dan Mama Nita sudah sangat dekat. Sekian tahun tak bersua, membuat suasana canggung begitu terasa untuk kedua wanita beda generasi itu. Saling menatap, namun keduanya tetap dengan diam. Bingung, harus memulainya dari mana. "Dit--." Mama Nita bersuara pelan, setelah sekian detik keheningan melandanya dan Dita. Dia tahu, kalau menantunya itu ingin menyapanya lebih dulu namun merasa sungkan."Maa," sahut Dita, dengan senyum yang terkesan dipaksakan. Sebab, walaupun sang ibu mertua telah bersuara terlebiih dahulu namun dirinya masih merasa canggung. "Maaf, untuk semuanya. Mama sangat menyesal. sebab telah membencimu padahal kau tidak melakukan kesalahan apapun,"lirih Mama Nita. Mimik wajahnya tela
Aditya membeo. Pria itu masih memfokuskan pandangannya pada kedua orangtuanya. Kedatangan mereka sama sekali tidak disangka-sangka pria itu. Terutama sang Bunda--yang juga turut datang bersama ayahnya. "Adit! Bagaimana? Apakah Dita, sudah melahirkan?" tanya Mama Nita. Mimik wajah wanita paruhbaya itu menunjukkan kekhwatirannya yang teramat sangat. Saat melayangkan pertanyaan, Mama Nita melemparkan pandangannya ke arah pintu ruang operasi. Aditya tak langsung menyambut. Sebagai orang yang turut tahu tentang dia dan Dita selama ini, Aditya melirikkan matanya-menatap sang ayah dengan lekat. Dan, Papa Herman yang ditatap seperti itu hanya menganggukkan kepalanya pelan. Pria paruhbaya itu seolah sudah mengerti tatapan dari putranya, itu. "Belum Maa," sahut Aditya, dengan nada suaranya yang terdengar berat. Saat menjawab pertanyaan Mama Nita, hati Aditya mendadak perih sebab operasinya sudah memakan waktu sedikit lama. Raut wajah pria itu mendadak layu. "Kita berdoa semoga operasinya be
Suara dering telepone terdengar di dalam ruangan, membuat keheningan yang melanda seketika membelah. Dan, ternyata itu panggilan telepone yang datang dari gawai milik Aditya yang saat ini sedang dalam pengisian daya. "Dari tadi HPmu terus saja berbunyi, dan sepertinya itu telepone yang penting," ujar Mama Nita memberitahu.Mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Ibunya tanpa menunggu lama lagi, Aditya segera menghampiri gawainya yang tersimpan di atas sebuah kabonet kecil. Melepaskan colokannya, dan mendapati nama Bibi Supi pada layar HPnya. Meyakini ada sesuatu yang serius, Aditya segera melakukan panggilan balik pada Bibi Supi. Saat melakukan telepone balik, Aditya tak berada lagi di ruangan yang sama dengan kedua orang tuanya dan Roki. Lki-laki tampan itumemilih untuk berpisah ruang, menuju teras rumah dengan kolam renang yang berada di depannya. Apa yang Aditya lakukan, membuat ketiga sosok yang bersamanya seketika dilanda rasa penasaran. Dan, mendapati bagaimana gestur tub