Siti berjalan bolak-balik di depan pintu ruang ICU. Berharap tidak ada tindakkan lain selain menjahit luka Bima. Hingga beberapa menit dokter ke luar bersama Bima.“Loh kamu kok sudah berdiri?” tanya Siti melihat Bima di papah oleh Dokter..“Hanya luka sobekan di pinggang. Tidak ada peluru yang bersarang. Jadi pasien bisa dirawat di rumah,” jelas Dokter memberikan Bima pada Siti.Bima membuka lima jarinya pada Siti saat mereka ke luar dari klinik. “Sudah aku enggak apa-apa. Luka kayak gini sudah biasa.”Di luar mereka bertemu dengan Mena yang baru saja datang khusus menginterogasi Bima dalam mobilnya. “Bagaimana lukamu?”“Enggak terlalu serius.” Bima menyandarkan punggungnya di jok mobil sambil mengernyih, sementara Siti membantu Bima agar bisa duduk lebih nyaman.“Apa kamu enggak kenal orangnya? Mungkin saja dia seorang residivis, atau pernah memiliki dendam denganmu?” tanya Mena lagi, duduk memutar tubuhnya ke belakang menghadap Bima. Sedang di sebelahnya ada satu anggota kepolisi
Selangkah lagi Bima mungkin bisa sepenuhnya menguasai Siti. Saat wanita itu terbaring di bawah tubuhnya yang ia sanggah dengan telapak tangan. Bima bergerak hati-hati menurunkan punggungnya mendekati Siti tapi lagi-lagi dia harus merasakan sakit karena lukanya masih basah. Sontak Bima menegakkan tubuh tidak dapat terlalu lama membungkuk.“Sakit lagi?” tanya Siti, segera duduk memeriksa Bima.“Ah, sial!” rutuk lelaki itu. Lukanya sungguh-sungguh merusak suasana romantis mereka..“Jangan banyak bergerak, segeralah duduk.” Siti membantu Bima kembali berbaring di kasur.“Kamu tetap di samping saya kan?” pinta Bima, yang kini terlihat seperti anak kecil.“Iya, kalau kamu mau minum atau mau makan biar saya ambilkan.”“Enggak usah. Saya cuma butuh kamu di sisi saya sekarang. “ Bima menarik tangan Siti agar duduk di sebelahnya. Dia menyandarkan kepalanya di bahu Siti dan mengatupkan kedua matanya.Siti sungguh-sungguh meluluh. Sudah lama dia tidak merasakan dibutuhkan, dipedulikan dan dicint
Setelah membersihkan sisa makanan di wastafel, Siti hendak ke kamar lain entah untuk apa. Mengetahui Siti akan berpindah tempat Bima terburu memanggilnya.“Siti!”“Ya.” Siti menoleh.“Kamu ninggalin saya di sini sendirian?”“Memang kamu mau ke mana? Kamu enggak bisa jalan sendiri? Apa ada yang sakit lagi?”“Bukan itu, kamu enggak lihat nih saya belum mandi.”“Terus?”Bima menepuk dahinya. “Ya harusnya kamu bantuin saya mandi.”“Bantu man-di?” Siti mengerjap sambil menalar maksud Bima. “Saya seka saja ya, sebentar saya ambilkan air hangat.”“Saya mau ke kamar mandi. Mau buang air kecil.”“Hah?! Terus saya?” pikiran Siti pun berjelajah ke negeri seberang, pipinya langsung memanas.“Ya kamu tunggu di luar. Nanti kalau selesai baru seka di kamar mandi saja. Saya mau sekalian sikat gigi soalnya.”Siti memelankan suaranya, bersikap malu-malu. “Memangnya kamu enggak bisa seka tubuhmu sendiri.”“Bisa untuk bagian atas, tapi bagian bawah gimana? Saya kan belum bisa membungkuk.”“Bagian bawah?”
“Fuhhh ....” Bima membuang napas panjang ketika melihat rumahnya yang kacau. Dia berkacak pinggang sembari menoleh ke Mena. “Tidak ada sidik jari tertinggal?”Mena menggeleng. “Aku rasa mereka para pekerja profesional.”“Ya Profesional yang merusak barang-barangku. Bagus sekali, Vas bunga pecah, isi bantal berhamburan, majalah sobek. Sebenarnya apa yang mereka cari?”“Enggak ada satu pun yang hilang?” Mena malah menanyakan hal yang sama lagi.“Sejauh ini enggak ada.” Bima menggidikkan bahunya.“Pasti ini ada kaitannya dengan mafia-mafia yang belakangan tertangkap. Ada bandit yang lebih besar lagi dan mungkin saja di bagan kita sendiri.”“Ya, pasti posisi orang itu juga tidak main-main. Bagaimana dengan penemuan mayat kemarin?”“Masih dalam proses autopsi. Kemungkinan mayat itu sengaja dibuang ke sungai supaya di makan buaya untuk menghilangkan jejak. Mayatnya saja tidak lengkap.”“Aku pikir korban mutilasi.” Bima mengernyitkan dahinya.“Bukan, potongan tubuhnya tidak rata seperti gigi
Siti dan tiga bocah sangat terkejut melihat benda itu ternyata sudah hilang dari kotak kaca. Bocah itu saling berbisik-bisik, dan Siti membelalak menatap mereka.“Apanya yang seram?! Tak ada pula benda di dalam kotak ini! Haish. Mengganggu orang saja.” Siti mengangkat tangannya hendak menjitak Loli dan kedua temannya.“Tadi ada kok Kak Siti. Iya kan Nit, Sil?” Lirik Loli pada kedua temannya.“Iya Kak, beneran tadi kita lihat benda itu gerak-gerak sendiri,” Nita menimpali.“Beneran Kak, kita enggak bohong kok. Hii Sisil jadi merinding.” Sisil bergidik.“Halah ya sudah lah. Lagi pula kalau tidak ada bagus juga. Dari pada kalian ketakutan terus.” Siti berbalik badan dan melihat petugas sedang membersihkan benda bersejarah di dalam kotak lain. Dia pun bertanya pada petugas. “Mas lihat benda pusaka yang ada di sini enggak?”“Oh mungkin lagi dibersihkan sama petugas lain, Mbak.” Petugas itu kembali bekerja.“Tuh dengar kan, bendanya sedang dibersihkan bukan menghilang karena hantu.” Siti be
“Tadi siang saya baru dari Satya Loka,” jelas Siti pada Bima“Kamu ke sana ngapain?” Bima terheran ada keperluan apa Siti bisa sampai ke museum artefak dan peninggalan barang-barang kuno.“Menemani Loli studi turr”“Study tour.” Bima membenarkan bahasa Siti.“Ya begitulah sama saja.” Siti berdiam diri sejenak kemudian melanjutkan kalimatnya. “Tadi memang ada pembersihan benda-benda bersejarah di sana. Saya tidak tahu kalau tahu-tahu ada benda yang hilang.”“Berarti mungkin saja staf kebersihan yang mengambilnya.” Lelaki itu kini mengelus dagunya. “atau mungkin ada orang yang menyuruhnya. Kalau begitu saya berangkat sekarang.” Dipakainya jaket yang tergantung untuk menjaganya dari udara dingin di luar.“Sebentar.” Siti ikut mengambil tasnya.“Kamu di rumah saja.” Bima berdiri masih mengancingi jaketnya.“Kenapa? Kan kamu belum sehat betul. Nanti kalau ada apa-apa.”Bima semakin suka dengan kekhawatiran sang istri, itu tandanya Siti sudah benar-benar membuka hati untuknya. Lelaki itu p
“Iya. Kenapa? kamu mengenal benda ini?” tanya Bima penasaran.Siti beringsut duduk Masih terus memerhatikan foto-foto yang dia pegang. “Kamu ingat cerita saya, ada benda peninggalan nenek saya yang harus saya cari."“Maksudmu tongkat ini?” tunjuk Bima ke foto yang dipegang Siti.“Benda ini juga yang saya cari,” lanjut Siti lagi.“Bagaimana kamu bisa membuktikan ini milik keluargamu? Benda ini memiliki silsilah sendiri Siti. Kamu baca ini.” Bima membeberkan siapa yang menemukan benda itu, yang mengaku keturunan si pemilik.“Dia bukan pemiliknya, saya yang kehilangan benda itu.”“Tapi benda ini sudah berpindah kepemilikan menjadi milik negara. Orang itu mengembalikannya pada negara.”“Saya tidak akan pernah memberikannya pada siapa pun!” Siti marah ketika tahu benda yang dicarinya sudah bukan miliknya lagi. Berani-beraninya orang-orang itu me
“Di mana tongkat itu?! Serahkan cepat pada saya!” Siti membengis begitu Pram membawanya ke rumah megah dengan banyak penjaga di sana. Ruangan kedap suara, cat dinding berwarna hitam, dan pencahayaan remang. Siti mengedarkan pandangannya ke sekeliling namun hanya ada cermin yang memantulkan bayangannya. “Kamu ingin menipu saya?!”“Saya tidak ingin menipu kamu. Siti Maymunah Lampir.” Pram tersenyum miring begitu mengucapkan nama lengkap Siti.Siti terkejut bagaimana lelaki itu bisa tahu namanya, dia pun segera bertanya. “apa yang kamu ketahui tentang saya?”“Tidak banyak. Saya hanya mencari tahu dari mana tongkat itu berasal, dan saya menemukan kamu Siti.”“Apa maumu?!”Tembok di belakang Siti berputar menunjukkan sisi lain, sebuah meja kerja lengkap dengan seseorang yang tengah terduduk di sana mengamati Siti. Pria tua yang tidak dia kenal kini tengah memegang tongkat sakti miliknya.“Saya tahu kau sangat menginginkan benda ini.” Pria itu mengelus kepala tengkorak di tongkat Siti. “Ja