Serena mendapatkan begitu banyak kado, ucapan selamat, dan doa dari semua yang hadir. Bukan tanpa alasan, keluarga Dominic adalah salah satu keluarga yang memiliki banyak relasi dan kolega. Seharusnya Serena bahagia, tapi entah kenapa ia merasa amat sedih.
"Selamat, Serena. Aku tidak menyangka kau akan menikah dengan keluarga kaya raya! Sekarang, hutang-hutang keluarga kita lunas. Dan rumah kita tidak akan jadi dilelang. Bagus bukan?" seru Lisa, ibu tirinya dengan senyum lebar. Wanita dengan rambut berombak berwarna perak itu terlihat sangat heboh dengan pakaiannya.Serena tersenyum lembut. "Terima kasih, Ibu..."Kini Viona, saudara tirinya ikut menyalami Serena. Gadis yang dua tahun lebih tua darinya itu bahkan melakukan cipika-cipiki padanya. "Selamat, Serena. Kau benar-benar menciptakan berita yang besar dengan menikahi putra pewaris Dominic grup. Aku tidak menyangka akan memiliki saudari tiri yang begitu tersohor saat ini..."Serena hanya bisa menganggukkan kepalanya. Setelah Viona dan ibunya berlalu, ia melihat ayahnya, Adam, sedang menyunggingkan senyum penuh kebahagiaan. Entah sejak kapan Serena melihat senyum itu setelah ibu kandungnya meninggal. Sosok Adam seperti pria yang hanya hidup karena Tuhan masih memberinya napas. Bukan karena ia ingin. Dan hari ini, Serena melihat ayahnya terlihat begitu tampan dan gagah dalam balutan jas sederhana yang sudah usang karena usianya yang sudah tua.Serena menghambur ke pelukan ayahnya. "Ayah..."Adam membalas pelukan putrinya. Baginya Serena tetaplah gadis yang sama. Yang begitu lugu dan polos. Ia tidak menyangka jika gadis yang begitu bersedih akan kepergian ibunya bertahun-tahun lalu itu kini sudah beranjak dewasa. "Ayah senang kau bisa menemukan tambatan hatimu secepat ini..."Serena mendesah. "Tapi pernikahan ini hanyalah sebuah kesalahpahaman, Ayah. Aku hanya... Sedikit takut!" seru Serena.Adam tersenyum. Ingatannya kembali ke beberapa hari yang lalu ketika ia menemukan Serena dan Aarav dalam satu kamar saat pagi-pagi buta. Dan hal itulah yang mengharuskan keduanya untuk segera menikah. Singkatnya, dua keluarga yang timpang itu lantas melakukan pertemuan keluarga, mengatur semua urusan pernikahan, dan melamar Serena dengan waktu yang begitu singkat.Dan hal itulah yang mungkin membuat putrinya itu sedikit kebingungan. Tidak dapat dipungkiri jika keduanya bahkan tidak saling mengenal sebelumnya. Mereka tidak pernah saling bertemu. Juga... fakta jika sebenarnya Serena sudah memiliki kekasih bernama Noah, membuat wanita itu merasakan hal demikian."Aarav adalah pria yang baik. Jangan percaya gosip di luaran sana, Nak. Dia bahkan sangat menyayangi ibunya, dan kau tahu itu... Ayah percaya jika Aarav adalah pria yang tidak akan mengecewakanmu..."Kalimat itu membuat Serena sedikit tenang. Meskipun faktanya saat ini tubuhnya benar-benar gemetar. "Apa Ayah bahagia untuk pernikahanku ini?"Adam mengangguk. "Bahagia. Tapi aku hanya tidak menyangka jika kedatangan Tuan Dominic ternyata bukan untuk melelang rumah kita. Tapi adalah untuk bertemu dengan jodohnya..."Serena mengangguk. Ia juga tidak pernah tahu jika kedatangan pengusaha besar ke rumahnya itu adalah untuk menikah dengannya. "Tapi, Ayah... Bagaimana jika pernikahan ini tidak akan mudah bagiku?"Adam tertawa. "Tidak ada yang mudah dalam pernikahan, Nak. Kau tahu itu. Bahkan setelah ibumu pergi pun aku juga tetap mendapatkan banyak kesulitan. Jadi pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa kau takuti. Tapi pernikahan adalah suatu proses yang harus kau jalani dan kau hadapi seumur hidupmu. Dan semua orang tahu itu..."Ya, benar kata ayahnya. Serena tidak boleh takut pada pernikahan yang ia jalani. Jika Aarav menyulitkannya setiap hari, maka Serena juga akan melawannya setiap hari. Sesulit apapun pernikahannya, maka Serena akan berusaha sekuat tenaga untuk membuat ayahnya tidak kecewa padanya."Serena..."Serena menoleh. Pandangannya langsung menangkap tubuh jangkung milik Aarav sedang tersenyum lembut padanya. Serena ketakutan, ia tahu jika pria yang kini sudah resmi menjadi suaminya itu hanyalah berpura-pura baik di depan semua orang. Hanya Serena dan Tuhan yang tahu betapa kejam pria itu di belakang semua orang."Ada yang ingin mengucapkan selamat pada kita, Sayang... Dia datang jauh-jauh dari LA hanya untuk menghadiri pernikahan kita..." seru Aarav. Pria itu menggamit lengan Serena. Setengah memeluknya.Di balik pelukan itu, Serena merasa tubuhnya sekaku baja. Ia tidak bisa bergerak."Kami harus pergi dulu, Sir... Selamat menikmati hidangannya..." seru Aarav yang langsung dibalas dengan tepukan oleh ayah Serena."Tentu, Nak. Terima kasih..."Serena pun berpamitan kepada ayahnya. Ia lantas mengikuti Aarav yang mengajaknya ke kursi pelaminan. Di sana ia melihat sesosok tubuh langsing dengan pakaian yang seksi dan nyaris terbuka tersenyum padanya. Wanita dengan rambut semerah tembaga itu lantas memeluknya. Dan detik itu Serena mengetahui jika wanita itu adalah wanita yang ia lihat dalam foto beberapa waktu yang lalu. Seorang wanita yang diakui Aarav sebagai wanita yang seharusnya ia nikahi."Ah, jadi ini istrimu, Aarav..." seru wanita bernama Evelyn itu dengan logat yang khas. Wanita itu menatapnya dari atas ke bawah. "Dia terlihat... Cantik! Meskipun agak sedikit... Yah, kau tahulah apa maksudku..." katanya dengan nada mengejek.Serena hanya bisa diam."Perkenalkan, aku Evelyn. Dan aku jauh-jauh datang dari LA hanya untuk melihat seberapa cantik istri dari kekasihku ini..." ujarnya. Kali ini wanita itu mengulurkan tangan. Seolah berniat mengajak Serena untuk berkenalan. Tapi Serena hanya bergeming hingga wanita itu kembali menarik tangannya.Dada Serena semakin terasa ngilu ketika mendengar jawaban Aarav yang diucapkan secara terang-terangan di hadapannya. "Tidak lebih cantik darimu, Evelyn-ku sayang. Kau jangan khawatir! Aku akan segera menceraikannya setelah ini."Evelyn tertawa. Lalu memeluk Aarav secara diam-diam. Hal tersebut membuat Serena membulatkan mata. "Jangan risaukan itu. Kita mainkan saja permainannya..."Serena mengepalkan tangannya. "Permainan apa yang kalian maksud?"Kini ganti Aarav yang menjawab, "Permainan yang kau awali, Serena. Bukannya kau menipuku dengan naik ke atas ranjangku dengan tujuan kunikahi? Bukankah kau menggunakan cara licik untuk membuat hutang-hutang keluargamu lunas dengan cara instan?!"Tuduhan itu membuat wajah Serena merah padam. Ia menggeleng. "Kau salah, Aarav. Aku tidak pernah berusaha merayumu. Aku juga tidak tahu kenapa ketika aku membuka mata aku sudah berada di atas tempat tidur yang kau tempati!!!" bela Serena. Ia mengatakan fakta sebenarnya tentang malam itu. Bahwa semua itu hanyalah kebohongan. Bahwa ia tidak pernah berusaha merayu Aarav dengan tujuan agar pria itu membebaskannya dari hutang keluarganya."Jadi kau berdalih jika seseorang memindahkanmu di malam hari lalu melepaskan semua pakaian kita?" Aarav tertawa. "Jangan bodoh. Kau pikir aku orang yang akan mudah percaya pada dongeng semacam itu? Jangan mimpi!"Serena merasa air matanya ingin tumpah. Tapi seperti janjinya, ia tidak akan pernah menunjukkan kelemahannya. Tidak akan!"Sudahlah, Aarav. Lebih baik kita pergi dan bersenang-senang saja!" seru Evelyn, menarik tangan Aarav.Serena menghalangi langkah keduanya. "Tapi acaranya belum selesai. Kemana kau akan pergi? Bagaimana jika semua orang mencarimu?""Apa pedulimu, Jalang?! Katakan saja pada semua orang kalau aku sakit dan harus istirahat. Sekarang, minggir!"Dan Serena pun membiarkan dua orang itu melangkahkan kakinya untuk pergi bahkan sebelum acara pernikahan usai.***Ada satu cerita yang selalu dibacakan mendiang ibunya ketika Serena kecil. Sebuah dongeng manis yang mengantarkannya pada angan-angan bahwa suatu hari ia akan menjadi puteri yang akan menemukan cinta sejatinya. Sebuah dongeng yang sering dibaca ibunya berulang-ulang tanpa bosan. "Ibu harap, suatu hari kau juga akan menemukan cinta sejatimu, Nak..." pesan ibunya, Maria, kala itu. Serena kecil hanya bisa menganggukkan kepalanya. Ia mengharapkan hal yang sama seperti yang diinginkan ibunya. "Iya, Bu... Kalau besar nanti, aku pasti akan bertemu dengan pangeranku. Seseorang yang ibu bilang akan membuatku bahagia seeelamanya..."Namun kini, harapan itu hanyalah sebuah harapan. Serena bahkan tidak pernah menemukan pangerannya. Ia malah mendapati fakta jika suami yang seharusnya menjaga dan mencintainya malah pergi bersama dengan wanita lain di hari pernikahannya. Sisa-sisa malam pesta pernikahan itu diakhiri dengan konser musik dari band ternama yang hanya disaksikan oleh Serena. Rupanya
Aarav menatap Evelyn. Wanita itu baru saja mengganti bajunya. Ia sengaja mengajak wanita itu untuk beralih ke hotel yang lainnya. Ia tidak mau berada dalam satu hotel dengan keluarga ataupun Serena. Berada dalam acara tersebut membuatnya muak. Pernikahan itu juga membuatnya muak. Dan Serena... Entah berapa lama wanita itu bersembunyi dibalik kepolosannya. Aarav bahkan tidak menyangka ada manusia selicik itu hanya karena uang. "Sayang..." panggil Evelyn. Aarav yang tadinya duduk di lantai sembari menegak wine-nya, kini menatap sesosok tubuh seksi yang dibalut pakaian minim itu dengan pandangan tajam. "Malam ini... Kau tidak mau bersenang-senang denganku?" tawar Evelyn dengan suara manja. Wanita itu bergelayut di tubuh Aarav. Mengajaknya bercinta. Namun Aarav menggeleng. Ia mengibaskan tangan Evelyn. "Tidak untuk malam ini dan seterusnya..." serunya parau. Hal tersebut membuat Evelyn mendesah. "Ya ampun, kau masih marah soal hal itu?" tanya Evelyn. Aarav menarik napas panjang sebe
Satu minggu yang lalu..."Kini, Ayahmu sudah meninggal, Rav. Hanya tinggal kita berdua yang harus mengurus perusahaan..." seru Tania, menatap putranya yang terlihat angkuh di luar namun begitu merasa kehilangan atas kepergian ayahnya itu. Aarav mengangguk. "Aku yang akan meneruskan semua bisnis ayah. Jadi Ibu jangan khawatir lagi..."Tania mengangguk. "Ibu selalu percaya padamu. Kecuali satu hal...""Apa?" "Soal pernikahan. Ibu tidak pernah percaya pada janji-janji manismu kalau kau akan segera menikah..." ucap Tania sembari mengibaskan tangannya. Aarav mendesah. Lagi-lagi soal pernikahan. Kenapa pula ia harus selalu ditagih-tagih soal yang satu itu? Hidupnya benar-benar tidak tenang jika harus berurusan dengan pernikahan. "Aku tidak bohong, Bu..." katanya. "Aku memang memiliki kekasih. Dan aku memang berniat mengenalkannya pada Ibu..."Tania mengangkat alisnya tidak percaya. "Ah ya? Lalu mana?!""Ada... Tapi dia sedang di LA..."Tania mengernyitkan dahinya. "Jangan bilang kalau di
Di sisi lain, Serena Williams yang sedang asyik merajut sembari menatap orang-orang yang bekerja di perkebunan sesekali tampak tersenyum. Ia duduk di pekarangan rumahnya yang bersih dan melakukan hobinya itu dengan suka cita. Merajut adalah salah satu hal yang membuatnya bahagia. Teknik yang halus dan rapi itu diajarkan oleh mendiang ibunya ketika ia masih kecil, dan sekarang Serena hanya melanjutkan kebiasaan itu dengan konsisten. "Serena!" panggil Viona dari dalam rumahnya. Mendengar jika saudari tirinya itu menyebut namanya, Serena menoleh. "Aku di sini!" serunya lantang.Viona pun dengan cepat mendekati Serena. Wanita dengan tubuh tinggi itu tampak tidak sabaran. "Kau tahu di mana kemejaku? Hari ini aku ada interview untuk menjadi karyawan di perusahaan besar!"Serena membulatkan mata kaget. "Ah, benarkah? Itu kabar bagus!""Tentu saja itu kabar bagus. Kenapa? Kau iri ya? Kau kan hanya seorang dokter desa dengan upah tidak seberapa, pasti sulit bagimu menerima fakta jika aku ada
Seorang pria berkacamata hitam tampak keluar dari mobil mewahnya. Sepatu mengilatnya tampak asing ketika menyentuh permukaan tanah yang kotor. Ia tidak terbiasa. Pandangannya mengedar ke seluruh perkebunan teh luas di hadapannya. Matanya kemudian menangkap tubuh mungil seorang wanita yang terlihat berjalan di jalan setapak. Matanya memincing. Wanita itu berjalan membelakanginya. Gaunnya terlihat tertiup angin. Aarav menoleh pada sopirnya. "Siapa dia?""Oh itu Serena, Tuan. Serena Williams. Dia putri dari Adams, pria yang akan kita temui hari ini..." seru sopir Aarav. Aarav mengangguk. Ia ingin segera menuntaskan pekerjaannya untuk menemui Adam Williams, namun matanya tidak bisa beralih dari wanita itu. Aarav mendesah. Ada apa dengannya? Kenapa reaksinya pada wanita itu benar-benar berbeda? Padahal melihat wajahnya saja tidak. Siapa dia?"Cari tahu soal Serena! Aku mau data lengkap tentangnya. Mulai dari latar belakang pendidikan hingga kehidupan sehari-harinya. Pastikan jangan sampai
"Serena..." panggil ayahnya. Serena mendekat. Ia baru saja membuat teh untuk tamu khusus ayahnya. Yang katanya berasal dari kota. Pria itu, seperti yang Lisa katakan adalah seseorang yang akan mengambil perkebunan beserta rumah dan seisinya. Pria itu adalah pemilik perkebunan yang telah ayahnya jaminkan bertahun-tahun lalu. Serena memegang nampan berisi dua cangkir teh dan membawanya kembali ke ruang tamu. Ia sedikit gelisah ketika mendapati jika pandangan pria itu mengintimidasinya. Serena melihat jika pria itu mengikuti kemanapun Serena pergi. "Perkenalkan, ini Tuan Aarav Dominic. Dia jauh-jauh datang dari kota untuk melihat perkebunan. Kau bisa antar?"Serena mengangguk sopan. Ia meletakkan cangkir teh hangat itu dengan sopan di hadapan pria itu. "Halo, Tuan Dominic. Ini adalah teh yang dibuat dari pabrik di samping perkebunan. Anda bisa mencobanya..." ucap Serena, memperkenalkan produk teh yang dibuat oleh masyarakat desa. "Ah ya, saya Serena. Saya bersedia mengantar anda berke
"Saya harus pulang, Sir!" seru Aarav sembari membungkukkan badan pada Adam, Lisa, Serena, dan Viona. Berbeda dari semua orang yang tampak tenang, Viona yang baru sampai rumah langsung histeris ketika mendapati petinggi Dominic Grup setampan Aarav sedang singgah di rumahnya. "Saya tidak akan melarang Tuan Dominic untuk pergi seandainya ini masih belum petang. Tapi ini sudah gelap. Apa tidak mau menginap dulu?" seru Adam. Pria itu melihat Aarav dan Serena pulang hampir petang karena berteduh dari hujan ketika keduanya berkeliling perkebunan teh. Serena terlihat nyaris membeku karena kedinginan, sedangkan Aarav juga tidak jauh berbeda dari kondisi putrinya. Namun pria itu bersikeras untuk tetap pulang ke kota setelah membuat kesepakatan jika dalan waktu satu minggu Adam akan mengosongkan rumah beserta dengan perkebunannya dan memberikannya pada Aarav. Aarav yang merasa jika permasalahan mengenai tanah perkebunan teh dan rumah yang sudah menjadi haknya selesai, Aarav berpikir jika ia h
Aarav nyaris tertidur setelah makan malam di kamar yang sudah disiapkan oleh Serena. Ia hampir masuk ke alam mimpi ketika mendengar suara ketukan pintu yang langsung membuatnya terjaga. Dan alangkah kagetnya Aarav ketika melihat Serena sudah berdiri di depan pintu kamarnya. "Ada apa?" tanya Aarav sesaat setelah membuka pintu. Serena menyodorkan dua lipat baju yang rapi. Sebuah kaos dan celana yang diminta untuk diberikan kepada pria itu. "Ini, Ayah meminta saya untuk memberikan baju ini. Anda tidak mungkin tidur dengan jas mahal itu, kan?" tanya Serena. Aarav mengangguk. Dalam hati ia bersyukur karena Adam nyatanya lebih peka terhadapnya. Ia memang risih jika harus tidur dengan jas yang sudah ia pakai seharian. Meskipun tidak bau dan kotor, tapi tetap saja Aarav tidak terbiasa. Tadinya ia memang berniat meminjam baju apa saja pada Adam. Tapi niatnya entah mengapa urung juga. Ia tidak suka merepotkan orang lain. "Kalau begitu, saya permisi!" seru Serena ketika Aarav sudah menerima
Serena baru saja mengecek kembali kondisi Tania dengan memeriksa suhu badannya. Mulai turun. Meskipun belum bisa dikatakan normal, ketika Aarav datang. Pria itu terlihat menghentikan mobilnya di halaman. Tadinya Serena memang sempat melihat Aarav keluar. Tapi ia tidak sempat menanyakan kemana gerangan pria itu pergi. Lagipula kalau dipikir-pikir kenapa ia harus menanyakan hal tersebut pada Aarav? Pria itu pasti akan menghujatnya dengan melabeli Serena sebagai orang yang kepo dan cerewet. Toh, ia bukanlah istri sebenarnya yang harus mengetahui kemana suaminya pergi. Ia hanyalah istri yang tidak dianggap. Lebih tepatnya, istri yang dianggap hanya sebagai pembantu. Jadi, Serena memilih tidak bertanya. Karena... Sepertinya lebih baik memang begitu...Pria itu terdengar membuka pintu dan menghampiri Serena yang sedang menyiapkan air panas untuk mengompres Tania lagi. "Apa yang sedang kau lakukan dengan air panas itu?" tanya pria itu heran ketika melihat Serena menuangkan air panas ke da
Aarav memasuki kelab yang dipenuhi lautan manusia baik sadar maupun dalam keadaan mabuk dengan langkah panjang. Malam minggu begini memang banyak sekali muda-mudi yang menghabiskan waktu mereka dengan dunia malam. Aarav khawatir pada Evelyn yang masih di dalam. Bagaimana bisa manajer wanita itu meninggalkannya sendirian seperti itu?Aarav mulai mencari-cari Evelyn diantara banyaknya orang yang berada dalam ruangan pengap tersebut. Lampu blits menyala-nyala, menyilaukan pandangannya yang berusaha mencari-cari Evelyn. Ditengah usahanya mencari wanita itu, banyak sekali wanita yang melambai padanya. Mereka bahkan melihat kedatangan Aarav dengan pandangan memuja. Mereka mendekati pria itu sembari menawarkan segelas wine. Aarav menggeleng. Dan para wanita itu akhirnya berlalu setelah berdecih kecewa. Tujuannya datang kemari adalah untuk mencari Evelyn. Dan..Itu dia!Sosok wanita cantik terlihat sedang menyilangkan kakinya di sofa VIP. Wanita itu terlihat sedang mengobrol dengan orang la
Serena menyuapi Tania dengan telaten. Ia selalu berusaha mengajak ibunya mengobrol. Dan entah bagaimana, ibunya yang sakit itu terlihat sedikit riang karena menimpali ucapan Serena dengan senyum atau tawa kecil. Aarav menyesal karena mendapati fakta jika ibunya tidak pernah seriang itu ketika mengobrol dengannya. Aarav memang mengakui jika ia adalah anak yang kaku. Kehidupannya selama ini hanya berpusat pada pekerjaan dan pekerjaan saja. Pasti sangat membosankan mengobrol dengannya. Namun Tania seolah mendapatkan teman baru saat bersama Serena. Mereka berdua membicarakan banyak hal seputar makanan. Serena lebih banyak bicara dan menceritakan apa saja. Sementara Tania hanya bisa tersenyum dan memukul menantunya itu dengan sayang sesekali. "Ibu tahu tidak. Terkadang Aarav selalu mendengkur saat tidur. Yah memang tidak setiap malam. Tapi bukankah itu lucu... Hahahha..." ucap Serena pada Tania. Aarav mencoba mengalihkan pandangannya. Mendengar dua orang membicarakan dirinya dengan tawa
"Aku ikut. Aku akan mencoba membantu merawat ibumu!"Untuk sedetik, Aarav merasa ia begitu terpana. Pada kalimat yang diutarakan oleh Serena. Wanita itu terlihat panik meraih tas mungilnya yang kusam. Lalu mengambil jaket yang berada di gantungan dengan kecepatan kilat dan langsung menyusul Aarav. "Aarav, ayo!" ucap Serena ketika Aarav malah bengong sembari menatapnya. Sebenarnya Aarav terpana pada sikap Serena yang langsung berniat ikut ke rumah ibunya tanpa ragu sedikitpun. Ekspresi khawator benar-benar ditunjukkannya sepanjang wanita itu melangkah menuju mobil dan duduk di samping kemudi Aarav. Semua ekspresi dan perilakunya sama sekali tidak luput dari perhatian Aarav. Bagaimana ada seorang wanita manipulatif yang begitu khawatir pada ibunya? Aarav bertanya-tanya apakah itu hanyalah samdiwara? Tapi bagaimana bisa seseorang bisa bersandiwara sehebat itu? Rasanya tidak mungkin. Serena bahkan berulang kali menangkupkan tangannya seolah sedang berdoa untuk kesembuhan ibunya. "Sem
Serena menatap Aarav dengan pandangan membulat. "Katanya kau tidak suka makanan yang kubuat?" Aarav merasa sedikit keceplosan. Ia mengangkat bahunya. "Memang!""Lalu kenapa kau bertanya soal makanan apa yang kumasak?!" Aarav hanya terdiam. Pria itu tidak mengatakan apapun. Ia mulai bingung menyusun kalimat untuk membuat alasan. "Kau mau kupesankan makanan saja?" tanya Serena. Ia bingung dengan pertanyaan Aarav. Karena biasanya pria itu selalu memesan makanan. Namun Aarav menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku ingin menyantap makanan buatanmu malam ini."Serena membulatkan matanya. Menyantap makanan buatannya? Tumben sekali. Biasanya pria borju pemilih ini sangatlah anti terhadap apapun yang Serena buat. Jangankan memakannya, menyentuh saja Aarav seolah haram. Jadi sangatlah beralasan kalau Serena hanya bisa mengangkat alisnya ketika pria itu mengutarakan keinginannya. "Kau yakin?!" tanya Serena lagi. Aarav mengangkat alisnya. "Menurutmu itu hal aneh? Meminta sesuatu pada istrinya
Aarav masuk ke dalam rumahnya. Dan seperti biasa, Serena terlihat menyambutnya dari balik pintu rumah. Meskipun sambutan itu bukanlah sapaan seperti layaknya istri pada suaminya, melainkan hanya senyuman biasa, Aarav tetaplah tidak terbiasa. Sejak kecil ia selalu dibesarkan untuk menjadi seorang pria yang ditakdirkan sendirian. Terlahir dari seorang ibu dan ayah yang selalu sibuk membuatnya merasa kesepian. Ia tidak memiliki saudara. Aarav juga jarang berteman dengan sebayanya saat anak-anak hingga beranjak dewasa. Bukan apa-apa, mereka takut jika berada dalam lingkungan Aarav. Kalaupun ada, anak-anak itu hanya memanfaatkan Aarav untuk kepentingan mereka sendiri. Dulu Aarav pernah memiliki seorang sahabat ketika ia duduk di bangku sekolah atas. Ia temannya itu selalu bersama, bahkan Aarav yang awalnya tidak memiliki kepercayaan diri dalam pertemanan mulai percaya pada sosok sahabat yang selalu di sampingnya. Kehidupan sahabatnya yang miris dan jauh dari kata layak membuat Aarav mem
Pria itu menyuruhnya tidur. Serena berbaring menyamping sembari mengamati kartu kredit yang Aarav berikan tadi padanya. Kata pria itu uang di dalam rekening ini cukup untuk membeli semua keperluan Serena, kan?Memangnya seberapa banyak? Serena jadi bertanya-tanya. Selama ini penghasilannya sebagai dokter yang mengabdi di desa terpencil tidaklah selalu menghasilkan. Ia acapkali dibayar dengan hasil kebun seperti pisang dan ketela atas jasanya pada orang lain. Namun Serena tidak pernah mengeluh. Baginya, profesi yang ia jalani adalah sebagai pelayan masyarakat dengan diagnosis yang tepat. Bukan membebani mereka dengan tarif yang banyak. Jadi bukan salahnya kalau ia tidak pernah melihat setumpuk uang yang bisa dipastikan saat ini ada dalam genggamannya. Dengan kartu ini Serena pasti bisa membeli banyak hal. Seperti sepatu, tas, make up, dan terutama baju. Eh?! Serena memukul kepalanya sendiri. Kenapa ia jadi berniat boros begini? Bukannya ia tidak memerlukan apa-apa? Ia sudah memiliki
Aarav mengyilangkan kakinya. "Aku memang ingin menyingkirkan Serena tapi bukan dengan membuatnya pergi dari rumahku dengan cara yang kotor seperti itu!" desah Aarav. "Lagipula, apa yang akan kukatan pada ayah Serena jika mengetahui putrinya pergi tanpa alasan? Dan ibuku? Aku tidak tahu bagaimana sedihnya ia jika menemukan fakta bahwa aku membiarkan Serena pergi. Kau tahu, kan dia sangat menyayangi menantunya itu!"Evelyn menghela napas. Kini sepertinya Aarav mulai menggunakan perasaannya dengan melibatkan ibu dan ayah Serena. Benar-benar tidak bisa dibiarkan. "Aku tidak tahu kalau sekarang kau berubah menjadi menantu dan anak yang sangat penurut..." sindir Evelyn. Aarav mengangkat bahunya. Sama sekali tidak merasa terintimidasi. "Aku hanya tidak mau melanggar janjiku pada dua orang tua itu.""Lalu kau akan menyuruhnya pergi dengan cara apa?" tanya Evelyn gemas. Ia tidak tahu lagi bagaimana cara Aarav berpikir. Bagaimana bisa pria itu masih mempertahankan wanita kelas rendahan seperti
Aarav tidak tahu kenapa ia tersenyum sepanjang perjalanan menuju kantor. Ia bahkan terlihat ceria ketika menenteng tas berisi beberapa kotak makan. Ia sama sekali tidak memikirkan kejadian Mr Rudolf yang baru saja datang. Ia bahkan tidak memikirkan soal batalnya investasi besar tersebut. Semuanya seolah biasa saja. Aarav memang pebisnis yang hebat. Ia selalu berhasil mendapatkan investor yang menanamkan modal dengan jumlah yang tidak sedikit. Tapi melihat betapa angkuh dan sombong Mr Rudolf yang menghina Serena membuatnya tidak pandang bulu. Siapa saja yang mengusiknya akan ia singkirkan tanpa berpikir panjang lagi. Aarav masuk ke dalam ruangannya lalu selalu menaruh berpuluh-puluh kotak makanan itu di atas meja. Terus terang saja tangannya terasa pegal. Ia bahkan tidak tahu bagaimana caranya Serena bisa memasak makanan sebanyak itu. Padahal Aarav yang membawanya saja merasa sangat capek. Bagaimana dengan Serena?Aarav segera menelpon sekretarisnya. Ia menekan interkom dan bicara den