"Serena..." panggil ayahnya. Serena mendekat. Ia baru saja membuat teh untuk tamu khusus ayahnya. Yang katanya berasal dari kota. Pria itu, seperti yang Lisa katakan adalah seseorang yang akan mengambil perkebunan beserta rumah dan seisinya. Pria itu adalah pemilik perkebunan yang telah ayahnya jaminkan bertahun-tahun lalu. Serena memegang nampan berisi dua cangkir teh dan membawanya kembali ke ruang tamu. Ia sedikit gelisah ketika mendapati jika pandangan pria itu mengintimidasinya. Serena melihat jika pria itu mengikuti kemanapun Serena pergi. "Perkenalkan, ini Tuan Aarav Dominic. Dia jauh-jauh datang dari kota untuk melihat perkebunan. Kau bisa antar?"Serena mengangguk sopan. Ia meletakkan cangkir teh hangat itu dengan sopan di hadapan pria itu. "Halo, Tuan Dominic. Ini adalah teh yang dibuat dari pabrik di samping perkebunan. Anda bisa mencobanya..." ucap Serena, memperkenalkan produk teh yang dibuat oleh masyarakat desa. "Ah ya, saya Serena. Saya bersedia mengantar anda berke
"Saya harus pulang, Sir!" seru Aarav sembari membungkukkan badan pada Adam, Lisa, Serena, dan Viona. Berbeda dari semua orang yang tampak tenang, Viona yang baru sampai rumah langsung histeris ketika mendapati petinggi Dominic Grup setampan Aarav sedang singgah di rumahnya. "Saya tidak akan melarang Tuan Dominic untuk pergi seandainya ini masih belum petang. Tapi ini sudah gelap. Apa tidak mau menginap dulu?" seru Adam. Pria itu melihat Aarav dan Serena pulang hampir petang karena berteduh dari hujan ketika keduanya berkeliling perkebunan teh. Serena terlihat nyaris membeku karena kedinginan, sedangkan Aarav juga tidak jauh berbeda dari kondisi putrinya. Namun pria itu bersikeras untuk tetap pulang ke kota setelah membuat kesepakatan jika dalan waktu satu minggu Adam akan mengosongkan rumah beserta dengan perkebunannya dan memberikannya pada Aarav. Aarav yang merasa jika permasalahan mengenai tanah perkebunan teh dan rumah yang sudah menjadi haknya selesai, Aarav berpikir jika ia h
Aarav nyaris tertidur setelah makan malam di kamar yang sudah disiapkan oleh Serena. Ia hampir masuk ke alam mimpi ketika mendengar suara ketukan pintu yang langsung membuatnya terjaga. Dan alangkah kagetnya Aarav ketika melihat Serena sudah berdiri di depan pintu kamarnya. "Ada apa?" tanya Aarav sesaat setelah membuka pintu. Serena menyodorkan dua lipat baju yang rapi. Sebuah kaos dan celana yang diminta untuk diberikan kepada pria itu. "Ini, Ayah meminta saya untuk memberikan baju ini. Anda tidak mungkin tidur dengan jas mahal itu, kan?" tanya Serena. Aarav mengangguk. Dalam hati ia bersyukur karena Adam nyatanya lebih peka terhadapnya. Ia memang risih jika harus tidur dengan jas yang sudah ia pakai seharian. Meskipun tidak bau dan kotor, tapi tetap saja Aarav tidak terbiasa. Tadinya ia memang berniat meminjam baju apa saja pada Adam. Tapi niatnya entah mengapa urung juga. Ia tidak suka merepotkan orang lain. "Kalau begitu, saya permisi!" seru Serena ketika Aarav sudah menerima
Aarav melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar hotel nyaris pagi hari. Ia masuk dengan keadaan mabuk berat. Ia bahkan harus dibantu Pak Ian, sopirnya yang tadi ia telepon untuk menjemputnya. Aarav berjalan gontai. "Sudah, kau pulang saja!" seru Aarav ketika ia sampai di depan pintu kamarnya. Pak Ian mengangguk paham. "Baik, Tuan!" katanya patuh tanpa banyak bertanya. Meskipun dalam hati, Aarav tahu pria itu juga bertanya-tanya kenapa ia malah pergi dimalam yang seharusnya ia habiskan bersama Serena. Ketika Pak Ian sudah membalikkan badan dan masuk ke dalam lift, Aarav mengetuk pintu. Tidak ada jawaban. Sial! Ia sudah begitu pusing. Ke mana Serena? Apa wanita itu tuli?Aarav meraih ponselnya, untuk menelepon wanita itu. Hanya dalam sekali nada dering, Serena sudah mengangkat teleponnya. Belum sempat wanita itu mengatakan sesuatu, Aarav sudah bersuara. "Hei, kau tuli? Aku mengetuk pintu berulang kali tapi kau tidak dengar!" katanya. Serena yang tadinya setengah tertidur, kini lang
Serena mengelap wajah Aarav dengan air hangat. Ia tadi menelepon Pak Ian dan meminta pria itu untuk mengganti baju Aarav sementara Serena menunggu di luar. Aneh memang. Pak Ian bahkan bingung luar biasa ketika Serena memintanya melakukan hal tersebut. Mungkin pria itu bertanya-tanya kenapa Serena tidak mau melihat tubuh Aarav padahal ia adalah istrinya yang sah. Dan Serena hanya beralasan jika ia kesulitan mengganti baju Aarav. Meskipun bingung, Pak Ian menurutinya. Serena menatap wajah Aarav yang kini terlihat lebih segar. Saat tidur, Aarav terlihat begitu tenang. Pria itu bahkan tidak terlihat menakutkan dan dingin seperti seharian ini. Serena menitikan air mata. Setidaknya ia berani melakukannya ketika Aarav memejamkan mata. Ketika Aarav bangun, Serena akan menjadi wanita kuat yang tidak akan menangis tidak peduli berapa banyak pria itu menghina dan menyakitinya. Serena hanya akan melakukannya ketika Aarav tertidur lelap. Sehingga ia tidak akan terlihat lemah... Sehingga ia tidak
Serena menyentuh kalung yang ia pakai. Apa kata wanita itu tadi? Serena tidak salah dengar? Aarav menatap lekat-lekat Serena. Ia menatapnya dengan tatapan yang sama. Tajam dan dalam. Serena bahkan merasa jika tatapan pria itu sangat menakutkan. "Serena... Berikan kalungnya padaku..." pinta pria itu. Meskipun dengan nada yang rendah, tapi suara pria itu tajam. Serena menggeleng. "Ini kalungku!" jawabnya. Sentuhan pada kalungnya kini berubah menjadi pegangan penuh perlindungan. "Ini adalah kalung yang diberikan Ibu Tania padaku!" serunya. Aarav mengangguk. "Benar, tapi sekarang aku meminta kalungnya untuk kau berikan padaku..." balas Aarav. Pria itu kini mengulurkan tangannya di depan wajah Serena. "Berikan. Kalungnya. Padaku!" Serena menggeleng. Kali ini lebih kuat. Apa yang akan ia katakan pada ibu mertuanya jika kalung ini tidak ada lagi padanya? Terlebih ketika Serena tahu jika kalung ini memiliki arti yang sangat penting bagi Tania. Wanita itu pasti akan sangat kecewa pada Sere
Arav dan Evelyn makan di sebuah restoran ternama. Ia kemudian bertanya pada Arav soal kalung tersebut. "Kenapa kau membiarkan aku tidak memiliki kalung itu?""Maksudmu kalung yang dipakai Serena?""Ya, itu kalung yang sangat bagus..."Aarav yang sedang menyantap makanannya balas menatap Evelyn. "Kenapa kau merisaukan soal kalung itu padahal aku bisa memberinya yang lebih bagus dan mahal daripada kalung dua peninggalan ayahku? Lagipula itu adalah kalung yang kuno... Aku bahkan heran kenapa ibuku masih menyimpannya."Evelyn yang memiliki ribuan cara langsung menatap Aarav. "Aku sudah sejak lama ingin memiliki kalung itu. Dan aku kecewa ketika kau malah membiarkan Serena memakai kalung yang kutaksir itu. Aku sudah lama mengincar kalung mahal itu saat dipakai ibumu. Kupikir Tante Tania akan memberikannya padaku ketika aku menjadi menantunya tapi ia malah memberikannya pada Serena yang bodoh itu," gusar Evelyn pada Aarav. Mau bagaimana lagi, ia sangat kesal sekali. Arab mendengus. "Yah me
Serena masuk ke dalam rumah berpagar putih bergaya minimalis Italia. Rumah itu adalah kado dari Tania terhadap menantu dan putranya. Serena tidak pernah menduga bahwa ia akan langsung tinggal berdua saja dengan Aarav. Ia berpikir jika dirinya akan tinggal bersama ibu Tania dalam rumah utamanya. Namun nyatanya, kado tersebut memang sudah dipersiapkan dari beberapa hari yang lalu. Serena bahkan bertanya-tanya apakah dirinya bisa tinggal berdua saja dengan Aarav? Bukankah tinggal berdua akan semakin memberikan keleluasaan pria itu untuk bersikap semena-mena padanya?Serena tersenyum lalu menatap Tania dengan penuh sayang. "Terima kasih untuk kado yang paling indah ini, Ibu. Ibu sudah melakukan banyak hal padaku dan aku tidak bisa lmenemukan mertua yang lain sebaik Ibu..." Tania mengulurkan tangannya yang diterima oleh Serena dengan polosnya mereka berdua lantas berpelukan dengan kasih."Aku yang harusnya berterima kasih karena kau sudah menjadi menantu dan istri dari putraku. Jadi anggap
Serena baru saja mengecek kembali kondisi Tania dengan memeriksa suhu badannya. Mulai turun. Meskipun belum bisa dikatakan normal, ketika Aarav datang. Pria itu terlihat menghentikan mobilnya di halaman. Tadinya Serena memang sempat melihat Aarav keluar. Tapi ia tidak sempat menanyakan kemana gerangan pria itu pergi. Lagipula kalau dipikir-pikir kenapa ia harus menanyakan hal tersebut pada Aarav? Pria itu pasti akan menghujatnya dengan melabeli Serena sebagai orang yang kepo dan cerewet. Toh, ia bukanlah istri sebenarnya yang harus mengetahui kemana suaminya pergi. Ia hanyalah istri yang tidak dianggap. Lebih tepatnya, istri yang dianggap hanya sebagai pembantu. Jadi, Serena memilih tidak bertanya. Karena... Sepertinya lebih baik memang begitu...Pria itu terdengar membuka pintu dan menghampiri Serena yang sedang menyiapkan air panas untuk mengompres Tania lagi. "Apa yang sedang kau lakukan dengan air panas itu?" tanya pria itu heran ketika melihat Serena menuangkan air panas ke da
Aarav memasuki kelab yang dipenuhi lautan manusia baik sadar maupun dalam keadaan mabuk dengan langkah panjang. Malam minggu begini memang banyak sekali muda-mudi yang menghabiskan waktu mereka dengan dunia malam. Aarav khawatir pada Evelyn yang masih di dalam. Bagaimana bisa manajer wanita itu meninggalkannya sendirian seperti itu?Aarav mulai mencari-cari Evelyn diantara banyaknya orang yang berada dalam ruangan pengap tersebut. Lampu blits menyala-nyala, menyilaukan pandangannya yang berusaha mencari-cari Evelyn. Ditengah usahanya mencari wanita itu, banyak sekali wanita yang melambai padanya. Mereka bahkan melihat kedatangan Aarav dengan pandangan memuja. Mereka mendekati pria itu sembari menawarkan segelas wine. Aarav menggeleng. Dan para wanita itu akhirnya berlalu setelah berdecih kecewa. Tujuannya datang kemari adalah untuk mencari Evelyn. Dan..Itu dia!Sosok wanita cantik terlihat sedang menyilangkan kakinya di sofa VIP. Wanita itu terlihat sedang mengobrol dengan orang la
Serena menyuapi Tania dengan telaten. Ia selalu berusaha mengajak ibunya mengobrol. Dan entah bagaimana, ibunya yang sakit itu terlihat sedikit riang karena menimpali ucapan Serena dengan senyum atau tawa kecil. Aarav menyesal karena mendapati fakta jika ibunya tidak pernah seriang itu ketika mengobrol dengannya. Aarav memang mengakui jika ia adalah anak yang kaku. Kehidupannya selama ini hanya berpusat pada pekerjaan dan pekerjaan saja. Pasti sangat membosankan mengobrol dengannya. Namun Tania seolah mendapatkan teman baru saat bersama Serena. Mereka berdua membicarakan banyak hal seputar makanan. Serena lebih banyak bicara dan menceritakan apa saja. Sementara Tania hanya bisa tersenyum dan memukul menantunya itu dengan sayang sesekali. "Ibu tahu tidak. Terkadang Aarav selalu mendengkur saat tidur. Yah memang tidak setiap malam. Tapi bukankah itu lucu... Hahahha..." ucap Serena pada Tania. Aarav mencoba mengalihkan pandangannya. Mendengar dua orang membicarakan dirinya dengan tawa
"Aku ikut. Aku akan mencoba membantu merawat ibumu!"Untuk sedetik, Aarav merasa ia begitu terpana. Pada kalimat yang diutarakan oleh Serena. Wanita itu terlihat panik meraih tas mungilnya yang kusam. Lalu mengambil jaket yang berada di gantungan dengan kecepatan kilat dan langsung menyusul Aarav. "Aarav, ayo!" ucap Serena ketika Aarav malah bengong sembari menatapnya. Sebenarnya Aarav terpana pada sikap Serena yang langsung berniat ikut ke rumah ibunya tanpa ragu sedikitpun. Ekspresi khawator benar-benar ditunjukkannya sepanjang wanita itu melangkah menuju mobil dan duduk di samping kemudi Aarav. Semua ekspresi dan perilakunya sama sekali tidak luput dari perhatian Aarav. Bagaimana ada seorang wanita manipulatif yang begitu khawatir pada ibunya? Aarav bertanya-tanya apakah itu hanyalah samdiwara? Tapi bagaimana bisa seseorang bisa bersandiwara sehebat itu? Rasanya tidak mungkin. Serena bahkan berulang kali menangkupkan tangannya seolah sedang berdoa untuk kesembuhan ibunya. "Sem
Serena menatap Aarav dengan pandangan membulat. "Katanya kau tidak suka makanan yang kubuat?" Aarav merasa sedikit keceplosan. Ia mengangkat bahunya. "Memang!""Lalu kenapa kau bertanya soal makanan apa yang kumasak?!" Aarav hanya terdiam. Pria itu tidak mengatakan apapun. Ia mulai bingung menyusun kalimat untuk membuat alasan. "Kau mau kupesankan makanan saja?" tanya Serena. Ia bingung dengan pertanyaan Aarav. Karena biasanya pria itu selalu memesan makanan. Namun Aarav menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku ingin menyantap makanan buatanmu malam ini."Serena membulatkan matanya. Menyantap makanan buatannya? Tumben sekali. Biasanya pria borju pemilih ini sangatlah anti terhadap apapun yang Serena buat. Jangankan memakannya, menyentuh saja Aarav seolah haram. Jadi sangatlah beralasan kalau Serena hanya bisa mengangkat alisnya ketika pria itu mengutarakan keinginannya. "Kau yakin?!" tanya Serena lagi. Aarav mengangkat alisnya. "Menurutmu itu hal aneh? Meminta sesuatu pada istrinya
Aarav masuk ke dalam rumahnya. Dan seperti biasa, Serena terlihat menyambutnya dari balik pintu rumah. Meskipun sambutan itu bukanlah sapaan seperti layaknya istri pada suaminya, melainkan hanya senyuman biasa, Aarav tetaplah tidak terbiasa. Sejak kecil ia selalu dibesarkan untuk menjadi seorang pria yang ditakdirkan sendirian. Terlahir dari seorang ibu dan ayah yang selalu sibuk membuatnya merasa kesepian. Ia tidak memiliki saudara. Aarav juga jarang berteman dengan sebayanya saat anak-anak hingga beranjak dewasa. Bukan apa-apa, mereka takut jika berada dalam lingkungan Aarav. Kalaupun ada, anak-anak itu hanya memanfaatkan Aarav untuk kepentingan mereka sendiri. Dulu Aarav pernah memiliki seorang sahabat ketika ia duduk di bangku sekolah atas. Ia temannya itu selalu bersama, bahkan Aarav yang awalnya tidak memiliki kepercayaan diri dalam pertemanan mulai percaya pada sosok sahabat yang selalu di sampingnya. Kehidupan sahabatnya yang miris dan jauh dari kata layak membuat Aarav mem
Pria itu menyuruhnya tidur. Serena berbaring menyamping sembari mengamati kartu kredit yang Aarav berikan tadi padanya. Kata pria itu uang di dalam rekening ini cukup untuk membeli semua keperluan Serena, kan?Memangnya seberapa banyak? Serena jadi bertanya-tanya. Selama ini penghasilannya sebagai dokter yang mengabdi di desa terpencil tidaklah selalu menghasilkan. Ia acapkali dibayar dengan hasil kebun seperti pisang dan ketela atas jasanya pada orang lain. Namun Serena tidak pernah mengeluh. Baginya, profesi yang ia jalani adalah sebagai pelayan masyarakat dengan diagnosis yang tepat. Bukan membebani mereka dengan tarif yang banyak. Jadi bukan salahnya kalau ia tidak pernah melihat setumpuk uang yang bisa dipastikan saat ini ada dalam genggamannya. Dengan kartu ini Serena pasti bisa membeli banyak hal. Seperti sepatu, tas, make up, dan terutama baju. Eh?! Serena memukul kepalanya sendiri. Kenapa ia jadi berniat boros begini? Bukannya ia tidak memerlukan apa-apa? Ia sudah memiliki
Aarav mengyilangkan kakinya. "Aku memang ingin menyingkirkan Serena tapi bukan dengan membuatnya pergi dari rumahku dengan cara yang kotor seperti itu!" desah Aarav. "Lagipula, apa yang akan kukatan pada ayah Serena jika mengetahui putrinya pergi tanpa alasan? Dan ibuku? Aku tidak tahu bagaimana sedihnya ia jika menemukan fakta bahwa aku membiarkan Serena pergi. Kau tahu, kan dia sangat menyayangi menantunya itu!"Evelyn menghela napas. Kini sepertinya Aarav mulai menggunakan perasaannya dengan melibatkan ibu dan ayah Serena. Benar-benar tidak bisa dibiarkan. "Aku tidak tahu kalau sekarang kau berubah menjadi menantu dan anak yang sangat penurut..." sindir Evelyn. Aarav mengangkat bahunya. Sama sekali tidak merasa terintimidasi. "Aku hanya tidak mau melanggar janjiku pada dua orang tua itu.""Lalu kau akan menyuruhnya pergi dengan cara apa?" tanya Evelyn gemas. Ia tidak tahu lagi bagaimana cara Aarav berpikir. Bagaimana bisa pria itu masih mempertahankan wanita kelas rendahan seperti
Aarav tidak tahu kenapa ia tersenyum sepanjang perjalanan menuju kantor. Ia bahkan terlihat ceria ketika menenteng tas berisi beberapa kotak makan. Ia sama sekali tidak memikirkan kejadian Mr Rudolf yang baru saja datang. Ia bahkan tidak memikirkan soal batalnya investasi besar tersebut. Semuanya seolah biasa saja. Aarav memang pebisnis yang hebat. Ia selalu berhasil mendapatkan investor yang menanamkan modal dengan jumlah yang tidak sedikit. Tapi melihat betapa angkuh dan sombong Mr Rudolf yang menghina Serena membuatnya tidak pandang bulu. Siapa saja yang mengusiknya akan ia singkirkan tanpa berpikir panjang lagi. Aarav masuk ke dalam ruangannya lalu selalu menaruh berpuluh-puluh kotak makanan itu di atas meja. Terus terang saja tangannya terasa pegal. Ia bahkan tidak tahu bagaimana caranya Serena bisa memasak makanan sebanyak itu. Padahal Aarav yang membawanya saja merasa sangat capek. Bagaimana dengan Serena?Aarav segera menelpon sekretarisnya. Ia menekan interkom dan bicara den