Alea terlihat masih menguping benda pipih ditelinga sambil berbicara menyahuti obrolan, saat dirinya masuk menghampiri Ardhan di ruang kerjanya. Dia sedang menerima panggilan dari Hera yang meminta mereka datang ke rumah keluarga. Karenanya, Alea menyerahkan ponsel itu pada Ardhan agar bisa berbicara sendiri.
“Ya, Mama? Ada apa?” tanya Ardhan pada Hera.
“Besok ajak istrimu datang ke rumah. Sejak kalian pindah kalian belum pernah berkunjung ke rumah kan?” Hera berujar.
“Besok?”
Ardhan mengingat-ingat, apa ada scedhule penting yang masih harus dilakukannya. Dia menghechek schedhulnya sejenak dan nampak lega karena tidak ada hal penting. Lantas balik dalam obrolan dengan Hera dan berkata, “Oke, Insyaallah, Ma.”
“Alhamdulillah, Mama seneng dengarnya. Besok Pak Nadhim juga kita undang biar ramai sekalian.” Hera sudah merancang makan malam besok.
“Iya, terserah Mama.”
P
“Lukisan apa?” tanya Alea di antara kebingungannya. Bisa jadi Ardhan hanya ingin mengalihkan pembicaraan mereka saja. Ya, sudahlah. Percuma juga mencari kepastian pada pria yang tidak pernah serius ini. Ardhan membuka kain putih itu hingga sebuah lukisan di atas kanvas terekspos. Alea menatap lukisan itu namun belum menyadari sesuatu. Ardhan sudah membayangkan dia akan terkejut, tapi sepertinya loading anak itu sedikit lama. Butuh bersabar sebentar agar dia menyadari sesuatu. “Itu…?” Alea melangkah lebih dekat dan melihat lukisan di sana. Ada seorang gadis belia yang tersenyum menyentuh kupu-kupu di pucuk daun. “Kau sudah melihatnya?” Ardhan nampak tidak sabar ketika Alea mengelus gambar gadis itu. “Seperti pernah lihat ya, Kak?” Alea belum juga menyadarinya. Membuat Ardhan menghirup oksigen banyak-banyak agar darahnya tetap bekerja normal. “Apa kau lupa wajahmu sendiri?” tukas Ardhan yang sudah ingin menjinjing kerah belakang Alea dan melemparnya dari kaca jendela. “Oh, itu a
Sebuah mobil memasuki halaman rumah megah yang luas itu. Hera yang diberitahu pembantunya berjingkat senang dan segera bangkit keluar menyambut yang baru datang. Melihat putra semata wayangnya bersama menantu kesayangan, sudut bibirnya tertarik ke atas.“Assalamualaiku, Ma!” tegur Alea mencium tangan Hera kemudian mereka saling berpelukan.“Waalaikum salam, Mama kangen banget sama kamu, Al!” ucap Hera memeluk lagi Alea.“Tidak kangen sama aku, Ma?” sahut Ardhan.“Hemm, udah bosen sama kamu. Sejak dalam perut sampe segede ini!” kelakar Hera menepuk miring pundak Ardhan.Mereka masuk ke dalam bersama. Ardhan membawakan tas Alea ke kamar sementara membiarkan Hera dan Alea masih asyik mengobrol.“Mama senang lihatnya, Al!” ucap Hera melihat Ardhan berlalu masuk kamar. Dia jadi bisa bicara dengan leluasa. “Ardhan sudah lebih perhatian padamu sekarang.”Alea hanya tersenyum mendengar ucapan Hera. Dia jadi terpikir, apakah Laila menceritakan apa yang dilihatnya waktu itu di rumah mereka? kal
Alea jadi sebal karena harus mengeringkan rambutnya saat Hera sudah berteriak dari luar pintu kamar mereka, Sementara Ardhan masih enak-enakan ngorok karena merasa kelelahan. Dia menghentikan sebentar kegiatannya sambil membangunkan sang suami yang barusan begitu bengis menghabisinya dengan serangan cintanya.“Kak, Mama udah teriak-teriak itu!” Alea menggoyangkan tubuh Ardhan agar dia lekas bangun.“Duh, bentar lagi saja. Biarin mereka makan malam duluan!” Ardhan malah tidak peduli dengan makan malam mereka lagi.“Jangan begitulah, Kak. Kita datang kan memang untuk makan malam bersama. Ini malah begituan lagi!” gerutu Alea menepuk punggung Ardhan yang tidur sambil tengkurap.Ardhan tersenyum dalam tidurnya mendengar ucapan Alea. Dia kemudian mengganti posisi tidurnya menjadi miring menghadap ke Alea.“Ya udah, siap-siap sana, kamu kan lama siap-siapnya!” Ardhan mencolek bibir Alea yang cemberut itu.“Gara-gara Kakak kan, semua jadi serba buru-buru begini!” Alea menyisir rambutnya masi
“Alea?” sapa Nadhim pada putrinya yang terbengong itu.Alea segera tersadar ketika tangan Nadhim mengelus bahunya lembut. Lalu dia menoleh kepada Wanita yang mungkin usianya 40 tahunan itu dan saat ini sedang menggandeng seorang anak kecil.Siapa mereka?Namun Nadhim mengusik rasa penasaran Alea dengan menanyakan kabarnya.“Apa kabar, Nak?”“Eh, Baik Ayah. Ayah juga baik-baik saja, Kan?” Alea mencium tangan pria itu lalu memeluknya.Saat itu dia merasa sedikit aneh, karena Nadhim memeluknya erat sekali. Seperti sedang meminta Alea tetap bersamanya meski sesuatu telah berubah. Perasaan Alea justru menjadi jadi tidak tenang.“Ayah, ada apa?” tanya Alea lirih karena ayahnya tidak kunjung melepasnya. Di sudut matanya Alea masih bisa melihat keberadaan wanita itu yang berdiri menunggu mereka selesai berpelukan.“Ayah, sebaiknya kita masuk dulu!” suara Ardhan terdengar dari belakang Alea. Di sana sudah berdiri Hera dan Hamid yang juga menyambut kedatangan Nadhim.“Benar, Pak Nadhim. Wulan,
Alea jadi tidak sabar dan menatap ayahnya dengan tatapan mendesak. Sejak tadi pria itu sungguh membuatnya bertanya-tanya, apa yang sudah disembunyikannya hingga dia serisau itu?“Ayah sudah mengenalkannya tadi. Ayah jawab saja pertanyaan Alea, kapan ayah menikah? Lalu anak itu anak siapa?” tukas Alea dengan nada mengintrogasi.“Ayah sudah menikah beberapa tahun yang lalu, Nak!” tukas Nadhim yang merasa harus menjelaskan semuanya.“Beberapa tahun? Berapa tahun Ayah?” Alea semakin penasaran. Ibunya bahkan baru meninggal setahun yang lalu.“Sekitar 5 tahun yang lalu,” jawab Nadhim menegaskan.Alea menatap Nadhim dengan perasaan yang entah bagaimana bisa digambarkannya. Membayangkan 5 tahun yang lalu ayahnya menikah dengan wanita lain sementara ibunya tidak tahu apa-apa dengan hubungan mereka. Ataukah ibunya sudah mengetahuinya namun sengaja pura-pura tidak tahu hal itu? Bahkan ketika dia harus berjuang melawan penyakitnya, apakah perselingkuhan ayahnya ini adalah salah satu pencetus sema
Cukup lama Ardhan mematung karena membiarkan Alea terisak di dadanya. Dia hanya mengelus punggung Alea dengan lembut dan berharap tangisannya mulai mereda. Namun Alea tidak juga terlihat meredakan tangisnya. Bahkan kemeja Ardhan sudah basah karena air matanya. Ardhan baru tahu, wanita ternyata bisa menangis selama ini.“Kau pasti, lelah. Duduklah, aku ambilkan minuman untukmu ya?”Ardhan membelai rambut kepala istrinya itu dan mengusap air matanya dengan lembut. Hatinya lega karena melihat Alea akhirnya mengangguk. Setelah membantunya duduk di tempat tidur. Ardhan bergegas keluar kamar untuk mengambil minuman. Mungkin karena lama tidak ditempati, dispenser di kamarnya kosong dan Hera lupa meminta pembantu mengisinya. Maklum saja, biasanya Mbok Nem yang mengatur semuanya.Saat keluar kamar, Ardhan berpapasan dengan Wulan dan putranya itu. Wanita itu terlihat begitu sedih dan serba salah. Karenanya dia hanya mengangguk melewati Ardhan.&ld
Sejak selesai sholat subuh tadi, Ardhan hanya melihat Alea duduk termenung di dekat jendela. Pasti masih memikirkan tentang ayahnya. Ardhan menghampiri dan duduk di dekatnya. Sedih rasa hati melihat Alea yang biasanya ceria dan bawel sekarang berubah murung.“Alea?” tegur Ardhan agar Alea menyadari bahwa dirinya ada di sampingnya.Namun Alea seolah tidak mendengar suara Ardhan. Dia sibuk dengan semua hal yang masih belum bisa diterimanya. Tentang penghianatan ayahnya di kala ibunya sedang sangat membutuhkan dukungannya.Alea hanya sedih mengenang nasib ibunya yang begitu mengiris perasaan itu. Sebagai seorang anak yang sangat mencintai ibunya dan rasa kehilangan pun bahkan sampai saat ini masih dirasakannya, tentu kenyataan tentang semua ini membuatnya begitu terluka.“Kakak mau bilang, tidak perlu memikirkannya, bukan?” Alea akhirnya menyahut namun terdengar dingin.Ardhan memilih membisu dan akan mendengar begitu saja apa
Nadhim dan Wulan merasa kehadirannya hanya membuat masalah bagi Alea. Mereka tidak melihat Alea keluar sekedar untuk sarapan bersama. Nadhim memaklumi apa yang dirasakan Alea. Sebagai orang tua dia pasti akan selalu berharap putrinya itu bisa memaafkannya dan kembali bersikap hangat seperti biasanya. Nadhim tahu, Alea bukan anak yang pendendam. Dia mudah memaafkan dan menerima apa yang terjadi. Mungkin hanya butuh waktu untuk menerimanya.“Siapa nama anak manis ini?” tanya Hera pada anak lelaki kecil itu saat sarapan pagi bersama.“Arya, Nyonya!” jawab anak itu manis.“Jangan panggil Nyonya, kau bisa panggil Mama Hera, oke?” tukas Hera. Dia selalu senang berbicara pada anak kecil. Jadi terus berharap agar Alea segera hamil.“Baik Mama Hera!” Arya kembali tersenyum lalu melanjutkan ucapannya, “Namaku hampir sama dengan Kak Alea. Arya---Alea.”Hera sedikit terkejut karena anak itu bahkan sud