“Alea?” sapa Nadhim pada putrinya yang terbengong itu.Alea segera tersadar ketika tangan Nadhim mengelus bahunya lembut. Lalu dia menoleh kepada Wanita yang mungkin usianya 40 tahunan itu dan saat ini sedang menggandeng seorang anak kecil.Siapa mereka?Namun Nadhim mengusik rasa penasaran Alea dengan menanyakan kabarnya.“Apa kabar, Nak?”“Eh, Baik Ayah. Ayah juga baik-baik saja, Kan?” Alea mencium tangan pria itu lalu memeluknya.Saat itu dia merasa sedikit aneh, karena Nadhim memeluknya erat sekali. Seperti sedang meminta Alea tetap bersamanya meski sesuatu telah berubah. Perasaan Alea justru menjadi jadi tidak tenang.“Ayah, ada apa?” tanya Alea lirih karena ayahnya tidak kunjung melepasnya. Di sudut matanya Alea masih bisa melihat keberadaan wanita itu yang berdiri menunggu mereka selesai berpelukan.“Ayah, sebaiknya kita masuk dulu!” suara Ardhan terdengar dari belakang Alea. Di sana sudah berdiri Hera dan Hamid yang juga menyambut kedatangan Nadhim.“Benar, Pak Nadhim. Wulan,
Alea jadi tidak sabar dan menatap ayahnya dengan tatapan mendesak. Sejak tadi pria itu sungguh membuatnya bertanya-tanya, apa yang sudah disembunyikannya hingga dia serisau itu?“Ayah sudah mengenalkannya tadi. Ayah jawab saja pertanyaan Alea, kapan ayah menikah? Lalu anak itu anak siapa?” tukas Alea dengan nada mengintrogasi.“Ayah sudah menikah beberapa tahun yang lalu, Nak!” tukas Nadhim yang merasa harus menjelaskan semuanya.“Beberapa tahun? Berapa tahun Ayah?” Alea semakin penasaran. Ibunya bahkan baru meninggal setahun yang lalu.“Sekitar 5 tahun yang lalu,” jawab Nadhim menegaskan.Alea menatap Nadhim dengan perasaan yang entah bagaimana bisa digambarkannya. Membayangkan 5 tahun yang lalu ayahnya menikah dengan wanita lain sementara ibunya tidak tahu apa-apa dengan hubungan mereka. Ataukah ibunya sudah mengetahuinya namun sengaja pura-pura tidak tahu hal itu? Bahkan ketika dia harus berjuang melawan penyakitnya, apakah perselingkuhan ayahnya ini adalah salah satu pencetus sema
Cukup lama Ardhan mematung karena membiarkan Alea terisak di dadanya. Dia hanya mengelus punggung Alea dengan lembut dan berharap tangisannya mulai mereda. Namun Alea tidak juga terlihat meredakan tangisnya. Bahkan kemeja Ardhan sudah basah karena air matanya. Ardhan baru tahu, wanita ternyata bisa menangis selama ini.“Kau pasti, lelah. Duduklah, aku ambilkan minuman untukmu ya?”Ardhan membelai rambut kepala istrinya itu dan mengusap air matanya dengan lembut. Hatinya lega karena melihat Alea akhirnya mengangguk. Setelah membantunya duduk di tempat tidur. Ardhan bergegas keluar kamar untuk mengambil minuman. Mungkin karena lama tidak ditempati, dispenser di kamarnya kosong dan Hera lupa meminta pembantu mengisinya. Maklum saja, biasanya Mbok Nem yang mengatur semuanya.Saat keluar kamar, Ardhan berpapasan dengan Wulan dan putranya itu. Wanita itu terlihat begitu sedih dan serba salah. Karenanya dia hanya mengangguk melewati Ardhan.&ld
Sejak selesai sholat subuh tadi, Ardhan hanya melihat Alea duduk termenung di dekat jendela. Pasti masih memikirkan tentang ayahnya. Ardhan menghampiri dan duduk di dekatnya. Sedih rasa hati melihat Alea yang biasanya ceria dan bawel sekarang berubah murung.“Alea?” tegur Ardhan agar Alea menyadari bahwa dirinya ada di sampingnya.Namun Alea seolah tidak mendengar suara Ardhan. Dia sibuk dengan semua hal yang masih belum bisa diterimanya. Tentang penghianatan ayahnya di kala ibunya sedang sangat membutuhkan dukungannya.Alea hanya sedih mengenang nasib ibunya yang begitu mengiris perasaan itu. Sebagai seorang anak yang sangat mencintai ibunya dan rasa kehilangan pun bahkan sampai saat ini masih dirasakannya, tentu kenyataan tentang semua ini membuatnya begitu terluka.“Kakak mau bilang, tidak perlu memikirkannya, bukan?” Alea akhirnya menyahut namun terdengar dingin.Ardhan memilih membisu dan akan mendengar begitu saja apa
Nadhim dan Wulan merasa kehadirannya hanya membuat masalah bagi Alea. Mereka tidak melihat Alea keluar sekedar untuk sarapan bersama. Nadhim memaklumi apa yang dirasakan Alea. Sebagai orang tua dia pasti akan selalu berharap putrinya itu bisa memaafkannya dan kembali bersikap hangat seperti biasanya. Nadhim tahu, Alea bukan anak yang pendendam. Dia mudah memaafkan dan menerima apa yang terjadi. Mungkin hanya butuh waktu untuk menerimanya.“Siapa nama anak manis ini?” tanya Hera pada anak lelaki kecil itu saat sarapan pagi bersama.“Arya, Nyonya!” jawab anak itu manis.“Jangan panggil Nyonya, kau bisa panggil Mama Hera, oke?” tukas Hera. Dia selalu senang berbicara pada anak kecil. Jadi terus berharap agar Alea segera hamil.“Baik Mama Hera!” Arya kembali tersenyum lalu melanjutkan ucapannya, “Namaku hampir sama dengan Kak Alea. Arya---Alea.”Hera sedikit terkejut karena anak itu bahkan sud
Alea membuka pintu kamarnya dan melihat rumah sudah sepi. Apakah semua orang sedang pergi? Termasuk ayah juga anak dan istrinya itu?Alea menghela napas panjang menghempaskan lelah sedih hatinya karena terkenang kejamnya sang ayah pada perasaan ibunya. Dia melangkah dengan lemas ke ruang tengah seolah mengingat bayangan ayahnya sedang duduk dengan rasa bersalahnya di sofa itu. Hati kecilnya sebenarnya sedih jika harus bersikap seperti ini pada ayahnya. Namun Alea tidak bisa menerima kebenaran tentang pernikahan tersembunyi ayahnya yang terjadi saat ibunya masih belum meninggal.Sebagai seorang anak, Alea akan mendukung jika pun ayahnya ingin menikah lagi pasca ibunya meninggal. Dia akan dengan senang menerima wanita pilihan ayahnya asalkan dia bahagia. Namun tidak jika itu terjadi sebelum ibunya meninggal. Itu sungguh membuat Alea tertikam perasaannya lantaran mengingat penderitaan sang ibu dalam sakitnya. Betapa tega seorang laki-laki meninggalkan istrinya hanya karen
Setelah turun dari taksi, wanita itu berjalan memasuki gedung perkantoran. Dia sudah membulatkan tekad untuk menemui pria yang membuat hidup putrinya berantakan. Ardhan pernah melamar putrinya beberapa bulan yang lalu dan terlihat begitu mendesak. Namun dirinya merasa saat itu bukan saat yang tepat. Berdasar kedekatan mereka yang sampai hampir menikah, Lidia berharap Ardhan masih menyisakan sedikit ruang untuk putrinya. “Maaf Nyonya, ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang resepsionis pada Lidia.“Saya ingin menemui Ardhan, tolong sampaikan padanya kalau Maminya Naysila mau bertemu,” ucap Lidia yang sangat mengenal Ardhan, dia pria yang memiliki rasa hormat pada orang tua. Tentu mengetahui dirinya datang, Ardhan akan menemuinya.“Maaf, tapi…” Resepsionis itu belum selesai berbicara namun Lidia sudah menunjukan telapak tangannya sebagai tanda tidak mau mendengar apapun dari resepsionis tersebut.“Ya sudah, jangan minta maaf. Saya akan langsung menemuinya di ruang kerjanya.”Lidia
Alea membuka matanya dan pemandangan alam dari jendela kaca di samping ranjangnya terekspos begitu menawan. Langsung di hadapan matanya. Sebuah tangan masih merangkul di pinggangnya dan hembusan napas hangat itu terasa di telinga. Perasaannya semakin manis karena seminggu ini pria yang sedang memeluknya ini tak berhenti membuatnya bahagia.“Kaak?” Alea mengelus lengan yang melingkar di dadanya itu.“Hmmm?” hanya suara itu terdengar namun sepertinya pemilik suara tersebut masih anteng dalam pejaman matanya.“Kita hampir seharian lho di tempat tidur!” ucap Alea mencoba membalikan posisi tidurnya menghadap Ardhan.“Kenapa emang?” tanya Ardhan yang mulai membuka matanya.“Segan sama Mama Papa, seharian tidak keluar kamar.”Alea membelai wajah tampan itu, mengagumi setiap lekuk paras bagus suaminya. Alis yang tebal dengan garis yang proposional, hidung mancung, rahang tegas, dan semuanya berada dalam posisi yang sempurna. Dan jangan dilupakan, Ardhan juga memiliki sorot mata yang sering me
Dia sedang bermimpi. Mendengar bayi mengoceh di sampingnya. Matanya tidak mau membuka karena masih ingin menikmati ocehan bayi yang terdengar gemas di telinganya. Usia Vier sudah 3 bulan, seharusnya dia saat ini sudah mulai mengoceh. Alea jadi sedih mengingatnya. Suara itu tidak hilang di telinganya meski matanya perlahan terbuka dan termenung sesaat. Dia tidak sedang bermimpi. Suara ocehan itu masih ada. Perlahan dia menoleh ke samping. Deg! Bayi siapa itu? Alea terperanjat dan segera bangkit. Namun dia masih menatap bayi itu seolah mencoba memastikan bahwa apa yang dia lihat bukanlah ilusi semata, yang akan menghilang saat dia menyentuhnya. Tidak, jangan menyentuhnya! Nanti hilang. “Eeeeehhh!” suara bayi itu seperti merasa kurang nyaman dengan posisinya yang mencoba tengkurap tapi terhadang bantal. Bayi itu mulai menangis namun Alea belum juga bergeming. Masih menatapnya saja dan menikmati visual yang bisa dirasakannya. Tangannya mulai bergerak perlahan menyentuh bayi itu. Na
“Mbak Sika dini hari begini ada apa?” Ardhan meminta Sika segera masuk.Sika terlihat menghela napas lega dan begitu saja melewati satpam yang galak itu mengikuti Ardhan. Napasnya tampak memburu karena tidak sabar ingin menyampaikan sesuatu.“Ada apa, Mbak? Mbak ada masalah?”Ardhan mendudukan Sika di teras. Dia melihat sika membuka penutup keranjang yang ditentengnya. Seorang bayi yang sedang terlelap. Ardhan heran Sika menyodorkan keranjang bayi itu padanya.“Bayi siapa, Mbak?” tanya Ardhan masih tidak mengerti.Baru ketika dia memperhatikan dengan jelas bayi yang terlelap dengan anteng itu darahnya berdesir hebat. Jantungnya seolah berhenti berdegup namun setelahnya berdegup dengan kencang. Wajah bayi itu membuatnya terkenang putranya. Sungguh bayi yang menggemaskan.“Mbak?!” Ardhan tidak ingin terlalu berhayal. Dia butuh kebenaran dari Sika.“Ini Javier, Pak!”
Kondisi Hera mulai membaik setelah Alea menemuinya dan membesarkan hatinya. Perasaannya yang sudah bercampur aduk tidak karuan karena merasa bersalah sudah membuat cucunya hingga berakhir dalam tragedi yang mengenaskan. Hera merasa bertanggung jawab atas rasa tertekan sang menantu, hingga membuat kondisinya sendiri malah memburuk.Kehadiran Alea yang sudah bisa mengikhlaskan semuanya membuat Hera kembali punya semangat hidup lagi. Setelah ini akan ada Vier-Vier baru lagi yang terlahir dari rahim sang menantu.“Ajaklah istrimu berlibur. Sudah, anggap semua yang terjadi hanya mimpi buruk saja. Jangan pikirkan pekerjaan dulu.” Hera bertutur pada Adhan.“Baik, Ma!” ujar Ardhan begitu saja memenuhi keinginan sang mama. Sikapnya mulai berbeda setelah kejadian ini. Lebih banyak diamnya dan terlihat dingin dengan sekitar.Ya Allah, mudah-mudahan suamiku baik-baik saja. Batin Alea yang mulai merasa bahwa bukan hanya dirinya yang terli
Ardhan baru membuka lengannya dari melindungi pandangannya yang silau karena ledakan api di vila. Melihat Alea sudah berlari menuju arah vila yang terbakar, Ardhan begitu terkejut namun segera mengambil langkah panjang untuk mengejar wanita yang sungguh membuat darahnya hampir berhenti mengalir itu.Begitu tubuh itu sudah ada dijangkauannya, Ardhan langsung meraihnya. Ledakan kedua terdengar membuat Ardhan dan Alea terpental di rerumputan beberapa meter dari tempat itu.“Lepas! Aku mau menyelamatkan anakku. LEPASIN!” Alea meronta mencoba mendorong dada Ardhan.“Sudah, Sayang! Sudah ya?” Ardhan mendekap dan mencoba menenangkan istrinya yang kalut itu. Dia sudah frustasi dan tidak berdaya melihat kilatan api itu. Hanya berharap anak buah Pram berhasil menyelamatkannya. Meski dia merasa itu tidak mungkin mengingat kobaran api yang segera membumbung sesaat setelah dia keluar rumah itu. Kemungkinan besar mereka terjebak di dalam.&ldquo
“Bayimu manis sekali! Seharusnya akulah yang melahirkan anak-anakmu, bukan wanita laknat itu!” Naysila menggendong bayi yang terbungkus selimut itu sambil menimang-nimangnya. Melihat sikapnya yang manis dia tidak percaya bahwa wanita ini adalah iblis yang tega memberikan obat tidur pada bayi 2 bulannya.“Aku sudah mengabulkan permintaanmu yang pertama. Pram akan mengaburkan barang bukti itu dan mengakui itu hanyalah sebuah kesalahan. Kau akan bebas!” tutur Ardhan sambil terus mengawasi pergerakan Naysila. Menunggu kesempatan agar bisa merebut bayinya.“Apa buktinya? Kau bisa saja membohongiku. Kau sudah berkali-kali membohongiku Ardhan!”“Kau mau bukti bagaimana?”Sebentar terdengar sesuatu seperti ada yang datang. Tatapan Naysila menjadi tidak percaya pada Ardhan. Bukankah dia sudah memintanya datang sendiri tadi. Tapi sepertinya dia berbohong lagi.Dengan geram disambarnya botol minuman keras
Ardhan melakukan panggilan namun segera merijeknya untuk memastikan dan menunggu reaksi dari nomor tersebut. Pram sudah tidak sabar melacak lokasinya jika benar pemilik nomor itulah yang menculik Javier.Tidak berapa lama muncul notif pesan dari nomor tersebut. Netra Ardhan membulat membaca teks yang dikirimkan dari nomor itu.Pram yang juga membaca notif itu dari laptopnya menatap Ardhan terkejut. Fix, ini adalah penculiknya.[ Akhirnya kau mencariku! ]Begitu pesan yang terbaca di ponsel Ardhan.“Telpon dia!” tukas Pram.Ardhan menormalkan emosinya dan mencoba tenang sebelum menelpon ke nomor itu.Panggilan tidak langsung diangkat. Baru di panggilan ke tiga, seseorang itu mengangkatnya.“Hallo?” sapa Ardhan fokus mendeteksi suara apa saja yang bisa didengarnya dari dalam ponselnya sehingga bisa dijadikan petunjuk.“Hhhg!” suara itu baru terdengar di telinga Ardhan. Sepertinya d
“Anakku!? Mana anakku, Paman?” Alea tampak mendesak.Ketika pintu belakang mobil dibuka, keluarlah anak buah Pram membawa bayi yang tertidur lelap. Melihat selimut dan corak baju yang digunakan bayi itu, Alea merasa sedikit lega. Dia pun mengambil bayi itu dari tangan anak buah Pram dengan tidak sabar.“Vier? Kau tidak apa, Nak?” Alea memeluk sang bayi erat seolah takut kehilangannya lagi.Hera merasa sungguh bersalah karena kecerobohannya membiarkan baby sitter itu membawa cucunya hingga membuatnya hampir celaka. Dia baru hendak menghampiri sang menantu, tapi Alea sepertinya merasa ada yang tidak beres.“Tidak!” ujarnya menatap bayi itu. Pegangan tangannya tidak stabil dan Ardhan langsung mengambil alih bayi itu. Dia sama terkejutnya dengan Alea saat menatap bayi yang terlelap itu.“Ada apa?” Nadhim segera menghampiri. Cemas sekali takut sesuatu terjadi pada cucuny
Hari ini jadwal imunisasi Javier. Alea ditemani Hera dan Mita pergi ke rumah sakit. Tadinya Alea ingin Ardhan yang mengantarnya. Tapi Hera merasa cukuplah dia dan Mita yang mengantar, jadinya membiarkan saja Ardhan pergi ke kantor karena ada alasan meeting penting dengan dewan direksi.Karena sudah menghubungi dokter anak sebelumnya dan dokter keluarga Muradz pun sudah mereservasikan jadwal imunisasi, begitu baby Javier datang, imunisasi langsung berjalan dengan cepat dan lancar.“Cup, cup!” Hera menenangkan Javier yang menangis setelah mendapat imunisasi sambil menimang-nimangnya. Sementara Alea masih berkonsultasi dengan dokter anak.“Mama bawa Vier ke depan dulu ya, Al. Mungkin dia butuh suasana di luar!” ujar Hera membawa Javier keluar ruang spesialis dokter anak, di ikuti Mita yang mendorong strolernya.“Baby Vier masih full ASI kan, Ma?” tanya dokter anak itu.“Alhamdulillah masih, dok!&rd
“Maaf Mbak, saya tidak bermaksud seperti itu tadi!” Mita melihat Alea yang sepertinya menilai cara bekerjanya yang kurang bagus. Dia tidak bisa membiarkan wanita itu akan protes pada yayasan tempatnya bekerja. Itu akan membuat gajinya lagi-lagi disunnat. “Saya sudah mengasuh 6 bayi sebelumnya, Mbak. Jadi apa yang saya lakukan tadi tidak bakal menyakiti bayi. Justru akan lebih baik karena dapat membiasakan bayi dan mengurangi reflek moronya.” Mita masih mencoba menjelaskan, tapi dia tahu Alea sepertinya tidak butuh sebuah teori. Atau jangan-jangan dia tidak tahu apa itu reflek moro pada bayi? “Terima kasih, Mita. Tapi untuk selanjutnya tolong berhati-hatilah!” ujar Alea berlalu sambil membawa Javier keluar kamar bayi.Mita menatap mama muda itu dan melenguh karena merasa wanita itu menyepelekannya. Tahu apa dia tentang merawat bayi? Kalau dia bisa merawat bayinya sendiri, untuk apa juga masih mempekerjakan pengasuh bayi? Benar-benar aneh.Tapi ini justru lebih baik. Dia jadi bisa b