Ruby membantu ibunya sedangkan Leonard berada di kamar. Katanya tidak bisa tidur jika ditinggal Ruby, tapi pria itu sudah terlelap selama Ruby memasak. Setelah memasak, Ruby mengambil kaos Michael dan membawanya untuk Leonard. Kaos yang celana pendek yang ukurannya mungkin lebih kecil. Tubuh Leonard itu sangat sehat dan kekar. Sedangkan kakaknya kurus—tinggi. mungkin kebanyakan alkohol dan kebanyakan memikirkan hutang. “Pakai ini ya..” Ruby menyodorkan kaos kakaknya pada suaminya. Leonard mengambilnya—mengucek sedikit matanya. “Jam berapa ini?” Melihat jam dinding. Sudah malam. ia banyak tidur juga. “Apa kamu tidak lelah?” tanya Leonard pada Ruby. Ruby mengusap keningnya. “Sedikit. Aku membantu ibu masak banyak hari ini.” “Kenapa masa banyak? kita hanya bertiga.” Leonard menarik Ruby. Membawa wanita itu ke atas pangkuannya. Ruby duduk di atas paha Leonard dengan nyaman. “entahlah. Katanya, ibu ingin kamu mencicipi masakan terbaiknya.” Ruby mengusap rahang Leona
Ruby tidak habis piir dengan kakaknya. Kenapa lagi? Ruby berkacak pinggang. “Apapun yang terjadi dengannya, aku tidak peduli. Tapi—” Ruby menatap Leonard. “Ibu menghawatirkan bajingan itu!” Ruby memejamkan mata. Leonard menarik tangan Ruby. “Tenanglah. Aku akan menyuruh orang-orangku untuk mencari kakakmu.” Ruby merebahkan dirinya di atas kasur. Menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih itu. “Aku tidak bisa terus-terusan merepotkanmu, Leonard.” Leonard ikut berbaring di samping Ruby. Memeluk pinggang Ruby dengan nyaman. “Itu sudah tugasku. Aku suamimu dan aku harus membantu segala kesulitanmu.” Ruby menatap Leonard—tangannya terulur mengusap pipi Leonard. “Kali ini saja. lain kali, jika kakakku membuat onar lagi abaikan saja. Aku sangat lelah dengan sikapnya yang kekanak-kanakan!” Leonard mengangguk. “Baiklah.”“Dari laporan orangku, kakakmu akan mendirikan perusahaan. bahkan dia sudah survei tempat yang akan dijadikannya perusahaan. tapi dia tiba-tiba menghilang be
“Saya harus memeriksa kembali, Sir. Saya tidak tahu apapun. Bahkan saya tidak tahu kalau Ruby pernah kecelakaan.” Leonard meremas ponselnya kesal. “Kau harus menyelidikinya lebih dalam.” “Aku seperti orang bodoh yang tidak tahu apapun!” Leonard mematikan ponselnya dengan kesal. Ia bersandar pada dinding rapuh apartemen Ruby. Menghembuskan asap rokok itu ke atas. ~~ Leonard berada di dalam ruangannya. Setelah melakukan beberapa meeting yang menguras energinya, Leonard akhirnya bisa beristirahat sejenak. Tidak lama ponselnya berbunyi. Leonard menerima telepon dari orang yang disuruhnya mencari tahu tentang Ruby. “Sir, saya menemukan sesuatu tentang Ruby. Kecelakaan itu seolah lenyap. Jejaknya sengaja dihapus. Tidak ada catatan kecelakaan itu di manapun. Bahkan di kepolisian pun tidak ada. Maka dari itu saya tidak menemukan kecelakaan itu saat menggali tentang Ruby.” Leonard mengernyit. “Apa orang tuaku yang menghapusnya?” Hanya kedua orang tuanya yang bisa melaku
21++ Pulang ke rumah dan disambut oleh istri tercinta. Leonard tersenyum. Namun sebenarnya merasa bersalah. Ruby tidak tahu apapun mengenai dirinya. Ruby membantu Leonard membuka jas. “Bagaimana hari ini? kamu terlihat lelah.” Leonard menarik pinggang Ruby dan memeluknya. “Aku…” menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Ruby. “Aku sedikit lelah.” Ruby mengusap pelan punggung Leonard. Pria itu mengangkat tubuhnya ke atas meja. “Aku merindukanmu.” Leonard mencium pipi Ruby. Ruby tertawa pelan. “Hanya beberapa jam meninggalkanku sudah rindu?” Leonard mengangguk. Jemarinya mengusap pipi Ruby perlahan. “bagaimana dengan harimu? Apa kamu kelelahan?” Ruby menggeleng. “Aku tidak melakukan apapun dan hanya bersantai sepanjang hari. Aku baru masak tadi. Aku tidak kelelahan sama sekali.” “Apa semua ini kamu yang masak?” tanya Leonard menatap berbagai makanan yang dimasak oleh Ruby. Ruby mengangguk. “Iya.” Leonard menyipitkan mata. “Pintarnya…” mengusap pipi Ruby pelan. “
Dering ponsel yang terdengar membuat Leonard yang awalnya baru saja mau memejamkan mata kini terbuka kembali. Ia mengambil ponselnya dengan hati-hati. Lengannya dijadikan bantal oleh Ruby yang saat ini sedang tidur. “Kenapa?” tanya Leonard pelan. Setelah mendengar penjelasan dari telepon itu, Leonard bergerak melepaskan diri dari Ruby. Baru saja kakinya menyentuh lantai… “Mau ke mana?” tanya Ruby yang mengucek matanya. “Kamu mau pergi?” Leonard terdiam sebentar sebelum menoleh. “Hm. Aku pergi sebentar. Kamu jangan menungguku.” Setelah itu Leonard pergi dari kamar. Ia menuju ruang kerjanya. Di sanalah ia mengambil satu pistol yang berada di dalam laci. Pistol buatan khusus dari pabrik orang tuanya.Di dalam laci itu ada sekitar 10 pistol. Leonard terlatih menggunakan berbagai senjata. Namun, ia hanya akan menggunakan satu senjata saja. “Kenapa kamu membawa pistol…” ucap Ruby yang berada di ambang pintu. Leonard segera membawa pistolnya ke belakang. “Ada yang harus aku laku
Leonard berjalan masuk dengan hati-hati bersama para anak buahnya. Sebagian anak buahnya ada di bawah dan berjaga. Gedung tua ini merupakan markas rentenir itu. bukan markas untuk bekerja—melainkan markas untuk eksekusi. Maka dari itu letaknya sangat jauh dari pemukiman. Leonard memasukkan tangannya ke dalam saku. Berhadapan dengan seorang pria yang penuh dengan tatto di tubuh. Bahkan sampai wajah pria itu. “Inikah cucu Carlo?” tanya pria itu sembari mematik rokoknya. “cucu yang selalu dibanggakan pria tua itu?” Leonard menyipitkan mata. Pria ini mengenal kakek Carlo. Pantas saja, Kakek juga mantan rentenir dan mengelola kasino. Tapi sekarang kakek sudah tobat dengan meminjamkan uang pada orang terpilih namun tanpa bunga. Kakek Carlo memang terkenal sejak dulu—kasinonya memang tidak besar namun bertahan sangat lama. Tapi tutup dua tahun lalu karena kakek tobat.“Jika kau mengenal kakekku dengan baik. seharusnya kau tidak berurusan denganku.” Leonard menyipitkan mata. “Ak
Leonard mengambil lembaran perjanjian yang berisi tandatangan Michael. “Perjanjian ini tidak sah. Di buat asal-asalan.” Leonard menunjuk satu kalimat yang terletak di bawah. “Peraturan penting untuk pengajuan peminjaman adalah dibuat oleh notaris.” Leonard menunjuk satu tandatangan seorang yang katanya notaris. “Kau pikir apa?” tanya Leonard. “Tidak ada pengacara yang memiliki gelar sarjana Pertanian!” Entah bagaimana, yang membuat memang asal-asalan. Hanya meniru di internet. Ada gelar hukum yang dicampur aduk dengan gelar Hukum. Leonard menghela napas. “Semua berkas tindakan ilegalmu sudah aku serahkan ke pengacaraku.” “Hanya dengan satu kalimat di telepon saja, polisi bisa langsung bergerak ke sini dan menghancurkan semuanya.” Leonard merogoh kantung sakunya. Mengeluarkan rokoknya dengan santai. “Kalau kau berani..” rentenir itu bergerak di belakang Michael. “aku akan menghabisi bajingan ini.” “Habisi saja.” Leonard dengan santainya menghembuskan rokok ke atas.
Leonard menyeret Michael keluar dari gedung. Di dalam mobil, Ruby yang melihat mereka keluar segera berlari. Ruby menghampiri Leonard terlebih dahulu. “Kamu baik-baik saja?” tanya Ruby. Memeriksa keadaan Leoanard yang mulus tanpa luka sedikitpun. Sedangkan kakaknya yang berada di hadapannya, penuh dengan luka di sekujur tubuh. Ruby mengabaikannya. Hatinya terlalu sakit. Ia begitu kesal dengan kakaknya. “Aku yang terluka, kenapa kau hanya memeriksa suamimu itu?” tanya Michael menyipitkan mata. Wajahnya lebam, lehernya tergores dan bibirnya juga berdarah. Ruby menatap kakaknya. “Apa kau tahu apa yang aku rasakan sekarang?” “Aku ingin sekali menghajarmu habis-habisan. Aku ingin sekali memukul kepalamu agar kau bisa berpikir lebih pintar.” Ruby menatap tajam kakaknya. “Apa kau pernah memikirkan ibu yang di rumah sendirian? Apa kau pernah memikirkan bagaimana perasaan ibu jika kau terlibat dengan hutang lagi? bagaimana perasaan ibu saat melihatmu babak belur seperti ini
21++ “Katakan padaku sayang.” Ruby mendongak. “Aku bisa menjaga rahasia.” Leonard terdiam sebentar. “Kamu ingin tahu karena menghawatirkan Stormi?” Ruby mengangguk jujur. Ia takut kalau Diego tidak sebaik yang ia kira. Ia takut suatu saat Diego bisa menyakiti Stormi. Apalagi Stormi baru saja gagal menikah. diselingkuhi mantan kekasihnya. “Yang aku lihat hanya sekilas karena aku menahan diriku. Tapi kejadian itu tetap terlihat.” Leonard mengusap punggung Ruby. “Aku melihatnya banyak menembak orang…” lirih Leonard. Ruby mengerjap. “Sungguh?” Leonard mengangguk. “Seperti Papa dulu..” lanjutnya. “Dia banyak terlibat keributan. Hidupnya memang dipenuhi dengan bahaya.” Ruby melepaskan pelukannya. “Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku memberitahu Stormi?” “Jangan.” Leonard menggeleng. “Di antara banyaknya kejadian yang terlintas di kepalaku. Aku tidak melihatnya menyakiti wanita.” “Dan juga…” Leonard menyipitkan mata. Ruby menunggu ucapan suaminya. “Dan juga?”
Waktunya pulang…. Ruby dan Leonard sudah berada di pesawat. Dengan menggunakan pesawat pribadi seperti ini, mereka hanya membutuhkan waktu 20 menit untuk sampai ke kota. Ruby turun perlahan dibantu Leonard yang selalu menggenggam tangannya. “Perutku..” Ruby mengernyit. Lagi-lagi mual. “Aku sangat bosan…” Ruby mengernyit. “Aku selalu seperti ini setelah melakukan perjalanan.” Leonard menunduk. “Kita ke rumah sakit dulu.” Ruby menggeleng. “aku baik-baik saja. hanya sedikit mual. Tidak sampai ingin muntah.” Leonard mengusap punggung Ruby pelan. “Jangan menahannya.” Ruby mengangguk. mereka masuk ke dalam mobil. Perjalanan akan berlanjut sekitar 15 menit untuk sampai ke rumah kakek neneknya. Tapi tujuan mereka bukan rumah dahulu. Tapi… Mereka akhirnya sampai di sebuah pemakaman. Ruby membawa bunga yang ia beli saat perjalanan ke sini. Ia menggandeng tangan Leonard—sampai berada di depan makam kakek neneknya. Makam yang sangat sejuk. Tidak seperti kebanyaka
Berkeliling mansion… Berkeliling peternakan hewan yang ada di Mansion lebih tepatnya. Di belakang Mansion ada bangunan yang khusus digunakan sebagai ternak hewan. Mereka berempat sedang berjalan ke sana. bangunan yang mirip dengan kebun binatang. “Kenapa kau membangun kebun binatang di belakang rumahmu?” tanya Leonard yang begitu heran. Ia memeluk pinggang Ruby dari samping. Diego dan Stormi berjalan lebih dulu memimpin perjalanan mereka dari berkeliling ini. “Ini bukan kebun binatang,” balas Diego. “Ini Peternakan.” Mereka sampai peternakan buaya. Bentuknya seperti rawa. Namun mereka berdiri di ruangan yang dilapisi dengan dinding dan kaca. Sehingga mereka bisa memantau para buaya yang berada di depan mereka. “Buaya?” tanya Leonard. “Waah..” Stormi mendekat. “Ini menakjubkan.” Di depan sana—ada beberapa petugas yang sudah ahli memberi makan buaya dengan daging ayam. Ruby mengerjap—ia tidak pernah melihat buaya secara langsung. Tapi ini—sungguh membuatnya m
“Aku akan mengajakmu berkeliling. Tapi makan dulu.” Diego memundurkan kursi untuk Stormi. Stormi mengangguk. ia duduk di samping Diego. “Kenapa barang-barang di bawa orang? Mau pindah?” tanya Stormi. “Pembangunan Mansionku yang baru sudah selesai. aku akan segera pindah ke sana. dan ada barang-barang yang tidak bisa aku tinggalkan. Jadi aku membawanya.” “Lalu bagaimana dengan Mansion ini?” tanya Stormi. “Mansion ini akan dijadikan sebagai Markas sekaligus kantorku.” Stormi mengerti. “Ooh…” “Makanlah. Jangan banyak berpikir.” Diego mengambil satu roti. “Mau pakai apa?” “Cokelat saja.” Diego mengoleskan selai cokelat di roti yang sudah dipanggang. Dengan pelan-pelan dan teliti. “Kau seperti pangeran,” ucap Stormi memperhatikan tingkah perilaku Diego. “Tidak ada pangeran yang memiliki banyak tato sepertiku.” Diego menaruh roti itu di atas piring Stormi. Tidak tanggung-tanggun. Ia melakukannya pada lima lembar roti. “Hanya perilakumu..” Stormi menyipitkan mata. “Wajahmu juga
Diego menghela nafas. ia memejamkan mata sebentar. Sekali lagi ia harus menyadarkan diri. Stormi memiliki pemikiran yang berbeda dari kebanyakan wanita yang ia temui. “Bilang saja menyelamatkanku.” Stormi menoleh. “Mana bisa…” “Kenapa tidak bisa?” “Aku memberitahu ibuku kalau aku dan kekasihku batal menikah. lalu bagaimana jika aku bilang kalau aku terluka karena menyelamatkan seorang pria lain….” Stromi berhenti bicara. Ia menoleh pada Diego yang sedari tadi menyimak ucapannya. Bukankah ini terlalu awal untuk menceritakan bagaimana kisahnya pada pria ini. Tapi mulutnya memang tidak bisa dikondisikan. “Aku pasti sudah gila..” lirihnya. “Pria mana yang meninggalkanmu?” tanya Diego. “Pria mana yang menyia-nyiakan wanita secantik dirimu?” Tangan Diego terangkat mengusap pipi Stormi. “Dia memang brengsek. Aku menjalin hubungan dengannya 2 tahun. Tapi dia berselingkuh dengan teman kantorku. Kita sudah bertunangan dan berencana akan menikah di waktu dekat. Tapi dia
Stormi memejamkan mata. Ia membiarkan Diego yang berusaha melepaskan pakaiannya. Ciuman mereka semakin dalam. Stormi tidak menolak sentuhan Diego. sama sekali tidak menolak. Sentuhan pria itu sangat hati-hati dan lembut. Memperlakukannya dengan sangat hati-hati. Namun… “Akh!” Jari Diego tidak sengaja mengenai lukanya. “Kau baik-baik saja?” tanya Diego segera melepaskan Stormi. Stormi mengangguk. Namun, sesungguhnya masih sedikit nyeri. “Biar aku lihat.” Diego melepaskan kancing piyama Stormi lagi. Kali ini bukan karena nafsu. Tapi karena ia mencemaskan wanita itu. ia ingin melihat luka Stormi apakah terbuka dan semakin parah. “Tidak parah kan?” tanya Stormi. Ia sedikit malu. pakaiannya berantakan karena dibuka Diego. Ia menggigit bibirnya lagi. tapi untungnya pria itu tidak fokus pada tubuhnya dan hanya fokus pada lukanya. Diego melihat Luka Stormi yang mengeluarkan darah. “Lukamu harus diperiksa dokter,” ucap Diego. Pria itu hendak berdiri. Namun Stor
Diego tersenyum lagi. Kali ini tertawa kecil. “Bagaimana kalau aku bilang aku juga tertarik denganmu?” tanyanya. Stormi menggigit bibirnya. “Kenapa? Karena kasihan padaku? atau karena aku menyelamatkanmu?” Stormi menggeleng. “Jangan merasa bersalah. Aku baik-baik saja kalau kau tidak tertarik denganku. Jangan memaksa dirimu hanya karena merasa bersalah padaku.” “Aku tidak pernah merasa bersalah pada orang.” Diego mendekat. “Kau tahu aku akan? Aku bahkan bisa membunuh orang dengan mudah. Untuk apa membohongi perasaanku sendiri.” “Aku juga tertarik denganmu.” Stormi mengerjap—menunjuk dirinya. “Denganku?” Diego mengangguk. “Bukankah kau suka dengan Ruby? Kau terlihat menyukai Ruby?” tanya Stormi. “Pada awalnya aku hanya penasaran dengannya karena wajahnya tidak asing. Aku semakin penasaran karena melihat kekuatannya. Hanya sebatas itu.. ketertarikanku hanya sebatas itu..” “Aku juga merasa kita khanya cocok menjadi teman. Dia juga sudah bersuami. Meskipun aku kejam. Aku tidak
“Ruby pergi bersama suaminya.” Suara itu membuat Stormi menoleh. Di sanalah—di sofa. Diego sedang duduk sembari mengusap wajah sebentar. Apa pria itu menunggunya? “Aku takut…” lirih Stormi. Hanya ada dua lampu tidur yang menyala. Sehingga cahaya di kamar ini gelap. Diego berdiri dari duduknya. Menyalakan saklar lampu sehingga semuanya menjadi cerah. “Aku pikir mematikan lampunya agar kau bisa tidur dengan nyaman.” Stormi menatap Diego… Sedikit takut.Masih takut. “Apa yang membuatmu takut? aku membuatmu takut?” tanya Diego berjalan mendekat. Stormi menggangguk namun segera menggeleng lagi. “Ti-tidak. Aku tidak takut padamu.” Diego nampak lebih santai. tidak sepergi biasanya yang selalu menggunakan pakaian formal. Kali ini, pria itu hanya menggunakan celana pendek dan kaos hitam. Memang tidak pernah jauh-jauh dari warna hitam. Diego mengambil duduk di samping ranjang Stormi. Menatap Stormi lekat. Stormi mengerjap—kedua tangannya meremas selimut yang membungkus tubuhnya
Ruby mendongak. “Jika minta maaf lagi. aku tidak akan mau dicium!” Leonard mengerjap. “Mana bisa seperti itu..” leonard melepaskan pelukan mereka. “Maka dari itu berhentilah meminta maaf.” Ruby tersenyum. menyentuh rahang Leonard yang begitu tegas. Rahang Leonard yang dipenuhi dengan bulu-bulu halus. “Baiklah.” Leonard menatap bola mata Ruby. “Aku jadi tahu kenapa aku tidak bisa melihat kejadian yang kamu alami.” Jemarinya menyentuh kelopak mata Ruby. “Karena mata ini bukan mataku yang asli?” tanya Ruby. Leonard mengangguk. “Mata ini yang membawaku padamu.” “Setelah operasi, apa mata kamu pernah sakit?” tanya Leonard. Ruby menggeleng. “Tidak, sayang. Aku baik-baik saja.” Ruby mengecup rahang Leonard singkat. “Berhentilah kawatir.” Leonard mengangguk. mengecup punggung tangan Ruby. “Kamu yang tidak bisa berhenti membuatku kawatir. Datang ke tempat berbahaya sendiri. berurusan dengan mafia.” Ruby memejamkan mata—menutup telinganya dengan kedua tanganya. Leonard se