“Berhenti membuatku marah.” Lucas memejamkan mata. “Aku ingin membunuh semua orang yang ada di sini..” Lila mengerjap. “Jangan pernah membunuh mereka,” balas Lila. “Maka berhentilah melawanku.” Lucas menatap tajam Lila. “Aku akan berhenti melawan jika kau melepaskan mereka!” Lucas mundur beberapa langkah. Mengambil satu kunci yang dibawanya. Kemudian membuka sel Bi Rosa serta Omar dan Gate. Sehingga mereka pergi dari ruang bawah tanah itu meninggalkan Lucas dan Lila di sana. Mereka sempat menatap Lila dengan kasihan. Tapi tidak ada yang bisa mereka lakukan selain segera pergi. Jika mereka berusaha menyelematkan Lila juga percuma. Hal itu akan menambah kemarahan Lucas dan bisa berakhir lebih buruk. “Sudah…” lirih Lucas. “Jangan membantahku apalagi melawanku.” Lucas mendekati Lila. Kembali mengurung wanita itu di tembok. “Tidakkah kau sadar jika aku pergi karena kesalahanmu juga?” tanya Lila. “Kau tidak tahu alasanku pergi?” tanyanya. Lucas menyipitkan mata.
21++Lucas menarik pinggang Lila kasar. “Kau ingin melakukannya di sini? di saksikan tahananku..” “Kau gila!” Lila berusaaha berjalan dan melepaskan diri dari Luas. Tapi Lucas kembali menarik pinggangnya. Menarik tengkuknya dan menciumnya dengan kasar. Lucas menggigit bibir bawah Lila hingga berdarah—mengakses lebih dalam ketika bibir Lila terbuka. Lucas meremas pinggang Lila—tidak berhenti mencium bibir Lila hingga wanita itu sulit bernafas. Lila memukul dada Lucas—hingga ciuman mereka terlepas. Lucas menunduk dan menatap Lila. “Kau takut?” tanyanya. Lila menyentuh lengan Lucas. “Bawa aku ke kamarmu. Aku akan memuaskanmu.” Lucas tidak bisa menahan senyumnya. Lila bisa merubah suasana hatinya yang buruk perlahan menjadi baik. Mendengar kata ‘memuaskanmu’ membuatnya tertarik. “Kalau aku tidak tidak puas…” Lucas mengusap bibir bawah Lila yang mengeluarkan darah. “Aku akan menyiksamu.” Belum sempat membalas ucapan pria itu. tubuh Lila terasa melayang. Terasa menggantung di u
Terbangun lebih dulu. Lila berjalan pelan—ia tidak tahu jam berapa sekarang. Yang ia lihat adalah ruangan yang masih gelap. Setiap kali mereka bercinta, ruangan akan menjadi sangat gelap. Ia tidak tahu kenapa Lucas seperti itu. Pria itu selalu mematikan semua lampu dan membuat ruangan menjadi gelap. Tapi sungguh, Lila sangat membenci pria itu. Ia meraba tembok sampai berjalan masuk ke dalam kamar mandi. Lantai yang dingin bersentuhan dengan telapak kakinya. Lila mengguyur tubuhnya dengan shower. Ia tidak tahu jika Lucas begitu licik dan berbuat sesuka hati. Hanya saja ia tidak menyangka jika pria itu seburuk itu… Lila hampir berteriak saat tangan yang tiba-tiba menelusup di pinggangnya. “Wajahmu seperti sedang mengumpatiku,” ucap Lucas sembari mengecup punggung telanjang Lila. “Memang,” balas Lila cuek. Lucas tersenyum remeh. “Kau menjadi pembangkang sekarang.” “Aku pembangkang?” tanya Lila. “Bahkan sekarang aku lebih patuh padamu. Aku tidak akan melawanm
Tidak ada yang membuat Lila benar-benar sedih selain dipisahkan dengan anaknya sendiri. Hampir seminggu ia dipisahkan dengan anaknya. Yang ia lakukan di sini hanyalah sebagai jalang dari Lucas. Lucas mendatanginya untuk melampiaskan nafsu dan juga agar dirinya segera hamil. Tapi ia sedikit merasa tenang karena yang merawat Leonard adalah Bi Rosa. Lila berjalan ke belakang. Ia senang datang ke teman untuk melihat bunga dengan tenang. Setidaknya ada bagian dari rumah ini yang indah. “Nona mau ke mana?” tanya Omar mendekati Lila yang sedang berjalan. “Aku ingin ke teman.” Lila berjalan lebih dulu dan diikuti oleh Omar dari belakang. “Bagaimana keadaan Leonard?” tanya Lila yang duduk di sebuah bangku. Omar mengambil duduk di bangku samping Lila. “Leonard baik, hanya saja kata bibi saat malam sering terbangun.” Lila tersenyum. “Pasti merindukanku..” lirihnya. Selain bodyguardnya, Omar dan Gate juga bertugas sebagai mata-matanya. Mereka sering ke rumah lama Lucas u
Beberapa jam yang lalu. Lucas ingin mencari sesuatu dari rumah lamanya. Sebuah dokumen penting yang ia cari ke mana-mana. Ia melangkah memasuki kamarnya dulu. membuka semua laci dan lemari. Sampai ia menemukannya. Lucas berjalan keluar dari kamarnya—namun saat ia hendak pergi… Langkahnya terhenti saat seorang bocah sedang merangkak ke arahnya. Bocah kecil yang memiliki kulit begitu putih dan memiliki rambut keemasan. Namun, mata bocah laki-laki itu berwarna hijau. Mengingatnya pada seseorang. Yaitu dirinya sendiri….. Wajah bocah itu…. Kenapa mirip sekali dengan wajahnya? Lucas membeku di tempat dan bertanya-tanya. “Mamamama….” Bocah itu merangkak mendekatinya dan menyentuh ujung sepatunya. Bocah itu mendongak dan tersenyum. senyumnya lucu tanpa gigi… “Mamama…” bocah itu mengoceh. Lucas akhirnya berjongkok. Mengulurkan tangannya… Bocah itu menyentuh satu jarinya—hendak berdiri namun tidak bisa. Hanya sebatas menyentuh jarinya saja. “Siapa namamu?” tanya L
Lucas menunggu jawaban Lila. “Apa aku harus mencari tahu siapa ayahnya?” tanya Lucas lagi. Lila bangkit dari duduknya. “Tidak usah. Tidak ada gunanya. Kenapa kau ingin tahu?” “Hanya penasaran.” Lucas mendekati Lila. Memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. “Hanya penasaran pada pria yang pernah kau cintai…” “Apa mungkin bajingan Derrick?” tanya Lucas. Lila menyipitkan mata. “Derrick tidak ada hubungannya dengan hal itu.” Lila berjalan—melewati Lucas dan hendak pergi ke dalam. Tapi Lucas menghalanginya. Lucas menarik tangannya. kemudian tersenyum. “Aku jadi semakin penasaran siapa ayah dari anakmu. Kenapa kau sangat menyembunyikannya…”“Siapa tahu, itu akan menjadi kelemahan terbesarmu.” Lucas tersenyum miring. “Brengsek!” Lila menghempaskan tangan Lucas. Lucas mencengkram tangan Lila kian erat. “Bibirmu itu perlu dihukum.” Lila menyerah melawan. Ia menghadap Lucas. “Kau bertemu dengan anakku?” tanya Lila. “Kau melihat wajahnya?” “Tidak.” Lucas mengedikkan bahu. “Aku hany
Lucas terbangun lebih dahulu. Ia menatap punggung Lila. Tangannya mengangkat selimut lebih tinggi menutupi tubuh Lila. Ia kemudian bangkit. Menggunakan pakaiannya. kemudian berjalan keluar. Pergi ke ruang kerjanya. Ia mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. “Cari tahu siapa pria yang berhubungan dengan Lila. Aku ingin tahu siapa ayah dari bayinya.” Dante di seberang sana menyanggupi permintaan Lucas. “Baik, Sir. Tapi perlu penyelidikan lebih lanjut. Kita sudah pernah membahas sebelum anda menikah dengan nona Lila. Dari penyelidikan singkat itu, nona Lila tidak terlihat dekat dengan pria lain.” Lucas mengangguk. “Maka dari itu, aku ingin kau menyelidikinya. Kau harus menemukan siapa kekasihnya..” “Baik, Sir. Saya akan menyelidiknya mulai sekarang.” “Tunggu.” Lucas mengernyit. “Bagaimana hubungan Lila dengan bajingan gila itu?” “Derrick maksud anda?” tanya Dante. “Ya.” Lucas bersandar pada kursinya. Ia memejamkan mata. masih bertanya-tanya. Apa yang dise
Terbangun dengan tubuh yang begitu lemas. Ia meraba keningnya yang terdapat sebuah handuk. Lila merasa tubuhnya tidak lagi kedinginan namun masih begitu lemas. Ia menyibak selimut—baru saja kakinya akan menyentuh lantai. Namun suara seseorang menghentikannya. “Jangan bergerak!” suara Lucas seperti seorang komando tentara pada anak buah. Lucas mendekati Lila. “Aku akan pergi. selama aku pergi, jangan membuat ulah. Aku akan menyuruh bi Rosa merawatmu dan membawa anakmu ke sini. kalian bisa tinggal di sini selama aku pergi.” “Tapi setelah aku kembali, aku ingin semuanya bersih. Kau harus—” “Terima kasih Lucas!” Lila begitu senang dan tersenyum dengan lebar. “Aku akan mengingat perkataanmu. Aku tidak merencanakan apapun. Jadi kau bisa pergi dengan tenang.” Lucas berdecih. Sudah lama tidak melihat senyum wanita itu. Setelah mendengar akan dipertemukan dengan ‘anak’ wanita itu terlihat sangat bahagia. Tangan Lucas terangkat—tidak sampai menyentuh puncak kepala wanita
21++ “Katakan padaku sayang.” Ruby mendongak. “Aku bisa menjaga rahasia.” Leonard terdiam sebentar. “Kamu ingin tahu karena menghawatirkan Stormi?” Ruby mengangguk jujur. Ia takut kalau Diego tidak sebaik yang ia kira. Ia takut suatu saat Diego bisa menyakiti Stormi. Apalagi Stormi baru saja gagal menikah. diselingkuhi mantan kekasihnya. “Yang aku lihat hanya sekilas karena aku menahan diriku. Tapi kejadian itu tetap terlihat.” Leonard mengusap punggung Ruby. “Aku melihatnya banyak menembak orang…” lirih Leonard. Ruby mengerjap. “Sungguh?” Leonard mengangguk. “Seperti Papa dulu..” lanjutnya. “Dia banyak terlibat keributan. Hidupnya memang dipenuhi dengan bahaya.” Ruby melepaskan pelukannya. “Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku memberitahu Stormi?” “Jangan.” Leonard menggeleng. “Di antara banyaknya kejadian yang terlintas di kepalaku. Aku tidak melihatnya menyakiti wanita.” “Dan juga…” Leonard menyipitkan mata. Ruby menunggu ucapan suaminya. “Dan juga?”
Waktunya pulang…. Ruby dan Leonard sudah berada di pesawat. Dengan menggunakan pesawat pribadi seperti ini, mereka hanya membutuhkan waktu 20 menit untuk sampai ke kota. Ruby turun perlahan dibantu Leonard yang selalu menggenggam tangannya. “Perutku..” Ruby mengernyit. Lagi-lagi mual. “Aku sangat bosan…” Ruby mengernyit. “Aku selalu seperti ini setelah melakukan perjalanan.” Leonard menunduk. “Kita ke rumah sakit dulu.” Ruby menggeleng. “aku baik-baik saja. hanya sedikit mual. Tidak sampai ingin muntah.” Leonard mengusap punggung Ruby pelan. “Jangan menahannya.” Ruby mengangguk. mereka masuk ke dalam mobil. Perjalanan akan berlanjut sekitar 15 menit untuk sampai ke rumah kakek neneknya. Tapi tujuan mereka bukan rumah dahulu. Tapi… Mereka akhirnya sampai di sebuah pemakaman. Ruby membawa bunga yang ia beli saat perjalanan ke sini. Ia menggandeng tangan Leonard—sampai berada di depan makam kakek neneknya. Makam yang sangat sejuk. Tidak seperti kebanyaka
Berkeliling mansion… Berkeliling peternakan hewan yang ada di Mansion lebih tepatnya. Di belakang Mansion ada bangunan yang khusus digunakan sebagai ternak hewan. Mereka berempat sedang berjalan ke sana. bangunan yang mirip dengan kebun binatang. “Kenapa kau membangun kebun binatang di belakang rumahmu?” tanya Leonard yang begitu heran. Ia memeluk pinggang Ruby dari samping. Diego dan Stormi berjalan lebih dulu memimpin perjalanan mereka dari berkeliling ini. “Ini bukan kebun binatang,” balas Diego. “Ini Peternakan.” Mereka sampai peternakan buaya. Bentuknya seperti rawa. Namun mereka berdiri di ruangan yang dilapisi dengan dinding dan kaca. Sehingga mereka bisa memantau para buaya yang berada di depan mereka. “Buaya?” tanya Leonard. “Waah..” Stormi mendekat. “Ini menakjubkan.” Di depan sana—ada beberapa petugas yang sudah ahli memberi makan buaya dengan daging ayam. Ruby mengerjap—ia tidak pernah melihat buaya secara langsung. Tapi ini—sungguh membuatnya m
“Aku akan mengajakmu berkeliling. Tapi makan dulu.” Diego memundurkan kursi untuk Stormi. Stormi mengangguk. ia duduk di samping Diego. “Kenapa barang-barang di bawa orang? Mau pindah?” tanya Stormi. “Pembangunan Mansionku yang baru sudah selesai. aku akan segera pindah ke sana. dan ada barang-barang yang tidak bisa aku tinggalkan. Jadi aku membawanya.” “Lalu bagaimana dengan Mansion ini?” tanya Stormi. “Mansion ini akan dijadikan sebagai Markas sekaligus kantorku.” Stormi mengerti. “Ooh…” “Makanlah. Jangan banyak berpikir.” Diego mengambil satu roti. “Mau pakai apa?” “Cokelat saja.” Diego mengoleskan selai cokelat di roti yang sudah dipanggang. Dengan pelan-pelan dan teliti. “Kau seperti pangeran,” ucap Stormi memperhatikan tingkah perilaku Diego. “Tidak ada pangeran yang memiliki banyak tato sepertiku.” Diego menaruh roti itu di atas piring Stormi. Tidak tanggung-tanggun. Ia melakukannya pada lima lembar roti. “Hanya perilakumu..” Stormi menyipitkan mata. “Wajahmu juga
Diego menghela nafas. ia memejamkan mata sebentar. Sekali lagi ia harus menyadarkan diri. Stormi memiliki pemikiran yang berbeda dari kebanyakan wanita yang ia temui. “Bilang saja menyelamatkanku.” Stormi menoleh. “Mana bisa…” “Kenapa tidak bisa?” “Aku memberitahu ibuku kalau aku dan kekasihku batal menikah. lalu bagaimana jika aku bilang kalau aku terluka karena menyelamatkan seorang pria lain….” Stromi berhenti bicara. Ia menoleh pada Diego yang sedari tadi menyimak ucapannya. Bukankah ini terlalu awal untuk menceritakan bagaimana kisahnya pada pria ini. Tapi mulutnya memang tidak bisa dikondisikan. “Aku pasti sudah gila..” lirihnya. “Pria mana yang meninggalkanmu?” tanya Diego. “Pria mana yang menyia-nyiakan wanita secantik dirimu?” Tangan Diego terangkat mengusap pipi Stormi. “Dia memang brengsek. Aku menjalin hubungan dengannya 2 tahun. Tapi dia berselingkuh dengan teman kantorku. Kita sudah bertunangan dan berencana akan menikah di waktu dekat. Tapi dia
Stormi memejamkan mata. Ia membiarkan Diego yang berusaha melepaskan pakaiannya. Ciuman mereka semakin dalam. Stormi tidak menolak sentuhan Diego. sama sekali tidak menolak. Sentuhan pria itu sangat hati-hati dan lembut. Memperlakukannya dengan sangat hati-hati. Namun… “Akh!” Jari Diego tidak sengaja mengenai lukanya. “Kau baik-baik saja?” tanya Diego segera melepaskan Stormi. Stormi mengangguk. Namun, sesungguhnya masih sedikit nyeri. “Biar aku lihat.” Diego melepaskan kancing piyama Stormi lagi. Kali ini bukan karena nafsu. Tapi karena ia mencemaskan wanita itu. ia ingin melihat luka Stormi apakah terbuka dan semakin parah. “Tidak parah kan?” tanya Stormi. Ia sedikit malu. pakaiannya berantakan karena dibuka Diego. Ia menggigit bibirnya lagi. tapi untungnya pria itu tidak fokus pada tubuhnya dan hanya fokus pada lukanya. Diego melihat Luka Stormi yang mengeluarkan darah. “Lukamu harus diperiksa dokter,” ucap Diego. Pria itu hendak berdiri. Namun Stor
Diego tersenyum lagi. Kali ini tertawa kecil. “Bagaimana kalau aku bilang aku juga tertarik denganmu?” tanyanya. Stormi menggigit bibirnya. “Kenapa? Karena kasihan padaku? atau karena aku menyelamatkanmu?” Stormi menggeleng. “Jangan merasa bersalah. Aku baik-baik saja kalau kau tidak tertarik denganku. Jangan memaksa dirimu hanya karena merasa bersalah padaku.” “Aku tidak pernah merasa bersalah pada orang.” Diego mendekat. “Kau tahu aku akan? Aku bahkan bisa membunuh orang dengan mudah. Untuk apa membohongi perasaanku sendiri.” “Aku juga tertarik denganmu.” Stormi mengerjap—menunjuk dirinya. “Denganku?” Diego mengangguk. “Bukankah kau suka dengan Ruby? Kau terlihat menyukai Ruby?” tanya Stormi. “Pada awalnya aku hanya penasaran dengannya karena wajahnya tidak asing. Aku semakin penasaran karena melihat kekuatannya. Hanya sebatas itu.. ketertarikanku hanya sebatas itu..” “Aku juga merasa kita khanya cocok menjadi teman. Dia juga sudah bersuami. Meskipun aku kejam. Aku tidak
“Ruby pergi bersama suaminya.” Suara itu membuat Stormi menoleh. Di sanalah—di sofa. Diego sedang duduk sembari mengusap wajah sebentar. Apa pria itu menunggunya? “Aku takut…” lirih Stormi. Hanya ada dua lampu tidur yang menyala. Sehingga cahaya di kamar ini gelap. Diego berdiri dari duduknya. Menyalakan saklar lampu sehingga semuanya menjadi cerah. “Aku pikir mematikan lampunya agar kau bisa tidur dengan nyaman.” Stormi menatap Diego… Sedikit takut.Masih takut. “Apa yang membuatmu takut? aku membuatmu takut?” tanya Diego berjalan mendekat. Stormi menggangguk namun segera menggeleng lagi. “Ti-tidak. Aku tidak takut padamu.” Diego nampak lebih santai. tidak sepergi biasanya yang selalu menggunakan pakaian formal. Kali ini, pria itu hanya menggunakan celana pendek dan kaos hitam. Memang tidak pernah jauh-jauh dari warna hitam. Diego mengambil duduk di samping ranjang Stormi. Menatap Stormi lekat. Stormi mengerjap—kedua tangannya meremas selimut yang membungkus tubuhnya
Ruby mendongak. “Jika minta maaf lagi. aku tidak akan mau dicium!” Leonard mengerjap. “Mana bisa seperti itu..” leonard melepaskan pelukan mereka. “Maka dari itu berhentilah meminta maaf.” Ruby tersenyum. menyentuh rahang Leonard yang begitu tegas. Rahang Leonard yang dipenuhi dengan bulu-bulu halus. “Baiklah.” Leonard menatap bola mata Ruby. “Aku jadi tahu kenapa aku tidak bisa melihat kejadian yang kamu alami.” Jemarinya menyentuh kelopak mata Ruby. “Karena mata ini bukan mataku yang asli?” tanya Ruby. Leonard mengangguk. “Mata ini yang membawaku padamu.” “Setelah operasi, apa mata kamu pernah sakit?” tanya Leonard. Ruby menggeleng. “Tidak, sayang. Aku baik-baik saja.” Ruby mengecup rahang Leonard singkat. “Berhentilah kawatir.” Leonard mengangguk. mengecup punggung tangan Ruby. “Kamu yang tidak bisa berhenti membuatku kawatir. Datang ke tempat berbahaya sendiri. berurusan dengan mafia.” Ruby memejamkan mata—menutup telinganya dengan kedua tanganya. Leonard se