“Sialan kau! Kau membohongiku! Kalian mempermainkanku!”Milka melotot dengan marahnya.Terbayang hukumannya menjadi office girl di resort milik Storm? Tidak sudi!“Siapa yang mempermainkanmu?” Riley angkat bicara dengan gayanya yang tetap santai. “Kan sudah kujelaskan tadi kalau bidang usahaku adalah perusahaan konstruksi. Tetapi kau tetap juga selalu beranggapan bahwa akulah Fear Laidir.Fear Laidir adalah Storm.”Di saat itu, suara Storm menggema melalui microphone, memperkenalkan dirinya, bahwa dia adalah Storm Schaeffer, CEO Chateau-Sawyer Vineyards and Resort yang selama ini lebih sering bersembunyi di balik tubuh manajer andalannya, Oliver.“Aku minta maaf karena selama ini jarang menampakkan diriku. Mohon dimaklumi karena semua itu berkaitan dengan gaya hidup pilihanku yang ingin memisahkan sejauh mungkin urusan bisnis dan kehidupan pribadi.Lewat event ini aku menegaskan bahwa selama ini namaku lebih dikenal sebagai Fear Laidir. Kata itu sendiri berasal dari bahasa kampung hal
Mendengar cara Milka yang begitu santai menghadapi gertakan Storm yang akan menuntutnya, Moreno yang awalnya terkejut hingga dia menarik tangan Milka agar segera diam, kini ikut merasa santai.Benar kata Milka. Tututan Storm yang pertama nyatanya hilang begitu saja. Tidak ada kelanjutannya lagi.Sepertinya Storm hanya gertak sambal belaka.“Ya silakan kalau kau masih mau menuntutku. Begini-begini, aku masih sanggup membayar pengacara dan melepaskan diri dari tuntutan hukummu. Jika dulu aku sanggup lolos, kali ini juga aku sanggup.Silakan saja, aku menunggu tuntutanmu. Kalau perlu secepatnya!”Milka begitu percaya diri. Rasa percaya dirinya itu menyebar pada Moreno.Mereka bahu membahu menantang Storm.Delikan mata Milka bahkan sanggup membekukan nyali siapa saja yang melihatnya.Tapi Storm berdiri tegap di hadapan mereka, dengan gaya santainya mengeluarkan rokok dan mengepitnya dengan bibir. Rokok tidak dibakar karena mereka di ruangan non smoking. Tapi raut wajahnya langsung berubah
Malam makin larut dan kebersamaan mereka pun terlerai. Yang tadinya satu kelompok besar, kini mereka sendiri-sendiri atau berbincang berpasangan sambil terus menikmati musik dan dessert.“Sudah mau pulang?” tanya Storm pada Savanah ketika mereka sudah tinggal berdua saja.Dengan gerakan jarinya, Savanah menjawab, ‘Nanti sebentar lagi. Aku masih ingin di sini.’Wanita itu menyandarkan kepalanya di lengan sang suami. Refleks tangan itu pun merangkul dan mendekapnya lebih erat.Merasakan dekapan Storm merupakan hal yang paling disukai Savanah. Dia merasa aman dan nyaman. Storm yang terlihat cuek dan berandal, ternyata lebih gentleman dan bertanggung jawab dari siapapun juga. Lebih-lebih dari Moreno.Storm bagaikan langit yang jauh melebihi Moreno.Rasanya Savanah patut bersyukur karena pada akhirnya dia menikah dengan Storm, bukan dengan Moreno.Memikirkan ini, Savanah mulai menarik lengan Storm untuk melingkari tubuhnya lebih erat lagi.Sekalipun di sekeliling mereka penuh suara musik d
Milka mengendap-endap ketika akan pergi menemui Tn. Freddo seperti yang disuruhnya dalam telepon.Dia memanggil taxi dan berhenti di sebelah rumah sakit. Setelah memastikan tidak ada yang mengikutinya, barulah Milka menuju parkiran rumah sakit dan mencari mobil yang disebut Tn. Freddo.Begitu mendapatkannya, Milka masuk tapi hanya ada driver Tn. Freddo.“Mana Tn. Freddo?” tanya Milka yang heran “Beliau menunggu di tempat lain.”Perlahan mobil melaju hingga memasuki parkiran basement sebuah hotel.Saat hendak membuka pintu mobil, driver memberitahunya bahwa Tn. Freddo menunggu di mobil sebelah.Milka melihat ada Limousin di sebelahnya.Turun dari Camry, Milka menaiki Limousin dan langsung berhadapan dengan Tn. Freddo. Wajahnya yang ditekuk membuat jantung Milka berdebar tak karuan.“Jalan,” ucap Tn. Freddo memberi perintah pada driver.Pria itu masih menuang satu seloki mi
Storm bertahan di resort sepanjang hari kini bukanlah pemandangan aneh lagi.Dia terus di resort menemani Savanah, sekalipun dia tidak setiap menit berada di sisi Savanah. Hanya ketika ada pekerjaan di luar yang harus diurusnya barulah Storm meninggalkan resort.Sore ini, Storm yang sudah bosan karena tidak ada lagi yang perlu dia pantau mendatangi cafe hanya untuk duduk menunggui Savanah.Dia mengambil tempat di balkon lantai dua, bersandar di pagar sembari melihat-lihat pemandangan yang ada di sekelilingnya.“Hei, ada suami perkasamu,” bisik Brianna ketika mereka masih mengerjakan pembuatan desserts pesanan.Savanah hanya memberikannya delikan tajam. Yang benar saja, masih juga menyebut suami perkasa.“Disamperin dong, tawarin desserts spesialmu,” kata Brianna lagi.‘Sebentar. Sedikit lagi aku selesai. nanggung.’ Savanah menjawab dengan gerakan jari nya yang cepat.“Oke deeeh.” Brianna tertawa terkikik.Lalu keduanya kembali melanjutkan aktivitas membuat desserts lagi.Tak sampai li
“Istrimu itu sepertinya jenius dalam membuat desserts!”Pujian yang didengar Storm dari bibir Oliver membuat pria itu menoleh ke arah cafe desserts yang dikelola Savanah.Tanpa perlu Oliver katakan, Storm sudah menyadari hal ini.Dari sejak resort ini mulai beroperasi, yang berarti juga cafe desserts Savanah juga mulai beroperasi, pelanggan yang datang seperti tidak ada habisnya.Cafe Savanah selalu ramai.Bahkan customer setia sudah terkumpul untuk memesan.Seperti juga siang ini, kondisi caffe masih ramai pengunjung dan customer.Dari lantai satu sampai balkon lantai dua, semua terisi pelanggan.Storm yang selalu memperhatikan setiap hari, sudah memuji hal ini di dalam hatinya.“Tentu saja,” sahut Storm dengan gaya cueknya. Dia memantik api di rokok sambil berkata lagi, “Tapi kulihat kau belum sekalipun memesan desserts buatannya.”Oliver merasakan wajahnya merona merah. Dia sudah memuji Savanah setinggi langit, tapi belum juga memesan. Sepertinya dia sedikit keterlaluan.“Ah ahahha
“Tentu saja! Aku tak pantas disebut cucu Thomas Sawyer jika tidak bisa merasakannya.”Storm menjawab dengan mantap sambil menatap teguh kedua mata istrinya.Savanah pun mengangguk dan tersenyum mendengar jawaban Storm. Tapi rasa penasaran itu masih bergelanyut dalam dadanya.Jari-jarinya bergerak dengan cepat. ‘Bagaimana kau bisa tahu? Aku hanya memberinya beberapa tetes saja. Tidak sampai 10 mili.’“Ck, kau ini, masih bertanya! Chateau Sawyer sudah seperti obsesiku. Dari aku beranjak remaja, kakek sering membawaku ke sini. Aroma ini sudah mendarah daging di benakku. Apalagi rasanya. Meskipun hanya ada beberapa tetes saja di adonan dessertsmu, aku bisa merasakan dan mencium aromanya.”‘Kalau begitu, aku ingin minta izin menggunakannya sebagai resep rahasiaku. Tidak apa-apa, bukan?’“Hmm ... Tentu saja boleh asal ...”Savanah menunggu lebih lanjut kata-kata Storm yang tiba-tiba saja wajahnya berubah menelisik.Lalu suaranya keluar berlambat-lambat, “Asal kau mau menemaniku cuti minggu d
Pada akhirnya, Savanah jadi menemani Brianna ke mall.Dia berhasil menenangkan Storm yang terlihat kesal karena Brianna tak berani mengangkat panggilan teleponnya.Lewat ponselnya, Savanah berkata, “Sudah, Pak Boss. Tenang. Jangan sampai gara-gara Brianna kau terkena darah tinggi. Itu not worthed it kan? Apa kau mau melihatnya menertawai tekanan darahmu yang meninggi hanya karena dia? Padahal kau rajin berolahraga dan makan makanan sehat plus organik demi menjaga kesehatan tubuhmu.Lagipula, kalau kau terus menerus termakan kata-kata Brianna, kau akan cepat tua. Apa kau mau tiba-tiba jadi sepuluh tahun lebih tua?”“Hah! Kenapa kata-katamu ada benarnya?! Tapi, andai dia berhasil membuatku darah tinggi, aku akan membalasnya.”“Astaga! Jangan childish lah.” Savanah tertawa saat itu sambil memijit-mijit pundak Storm.Setelah akhirnya pria itu tenang, dia pun terkekeh pelan.“Heran kau sanggup bersahabat dengan orang seperti itu.”“Ya, biar begitu-begitu, dia itu tulus hatinya. Tidak iri,
Savanah memeluk Storm dari belakang, mengalungkan lengannya di leher Storm, lalu berbisik lembut, “Redakan amarahmu. Langit sudah gelap, tidak baik menahan marah sampai esok hari.Kita akan membekali Sky, River, dan Aspen dengan pembelajaran bahwa jika ayahmu mendekati mereka lagi, lalu mengajak pergi bersama, mereka harus pastikan bahwa kita berdua ikut, atau setidaknya diberitahu.”Selesai berbisik, Savanah menciumi tengkuk pria itu agar amarahnya sedikit teralihkan.Benar saja, Storm mulai meletakkan ponselnya lalu memanjangkan lengannya ke arah belakang dan merangkul leher Savanah. Dia lalu membawa sang istri ke depan dan kini posisi Savanah yang didekapnya dari belakang.Seakan hasrat sudah mengambil alih, kini giliran Storm yang menciumi tengkuk Savanah setelah dia menyampirkan rambut panjang Savanah ke bahu kiri sang istri.Leher putih, mulus, dan jenjang itu begitu menggoda, membuat kemarahannya pun sedikit mereda digantikan hasrat yang mengembang apalagi rasa frustrasinya tad
Savanah menatap Braxton yang menjawab tanpa rasa bersalah sama sekali. Pria itu malah terkesan menikmati kekesalan dan kekhawatiran Savanah.Tidak tahukah dia bahwa Savanah begitu khawatir pada River sampai-sampai dia tidak nafsu makan, bahkan tidak mengingat bagaimana Sky dan Aspen makan malam tadi. Apakah mereka makan dengan benar, dengan cukup? Atau malah mereka hanya memainkan makanan mereka?Andai bisa, Savanah rasanya ingin meninggalkan Braxton tanpa kata sama sekali dan langsung membawa anak-anak dan keluarganya masuk. Biarkan saja dia merasa tidak dianggap.Tapi ada ayah dan ibunya yang turut mendelik tajam pada Braxton. Hanya saja pria itu seakan tidak menganggap kekesalan mereka semua dengan serius. Braxton malah membiarkan wajahnya terlihat senang seperti tak ada rasa bersalah pada Savanah dan yang lainnya.Dia menunjuk sekotak hadiah besar yang dipegang River.“Kakek kenapa mengajak River jalan-jalan tidak izin dulu dengan mommy dan daddy? Asal kakek tahu, Mommy dan Daddy
Storm marah. Dia pun mengajak Savanah dan anak-anak untuk segera pulang. Perjalanan yang tadinya terasa menyenangkan dengan berjalan santai bersama, kini terasa terlalu panjang seakan tak berujung.“Mommy, kenapa dengan River? Bukankah kata Mommy, kakek Braxton adalah ayahnya daddy? Mungkin saja Kakek Braxton sedang bermain bersama River.”Celotehan Sky membuat Storm terperangah. Savanah pun ikut kehilangan kata-katanya.Mereka berpandangan dan merasa sulit untuk menjelaskan pada Sky.Sudah jelas Savanah tidak ingin menjelekkan Braxton di depan anak-anak mereka. Biar bagaimanapun Braxton adalah ayahnya Storm. Tidak baik jika dia menjelekkannya di hadapan anak-anaknya.Dan sekalipun Storm tidak peduli jika sifat asli ayahnya dikuak di depan anak-anaknya, dia tetap tidak menyalahkan Savanah. Storm menghormati keputusan Savanah untuk tetap menjaga image ayahnya.Storm juga mengerti jika dari sudut pandang anak-anak, mereka masih sep
“Hei!” seru Braxton menyapa Sky dengan senyum ramah.Pria itu mengambilkan bola yang menggelinding lalu memberikannya pada Sky.“Kakek? Terima kasih.” Sky mengambil bola yang disodorkan.Braxton pun mengangguk senang dengan mata berbinar-binar.Sky lalu berbalik hendak kembali, tapi dia berhenti sejenak lalu berbalik lgi menghadap Braxton.“Kakek ... ayahnya daddyku, bukan?” tanyanya dengan polos.Hanya pertanyaan sederhana tapi Braxton terharu. Ternyata Storm masih menceritakan jati dirinya dengan benar pada anak-anaknya.“Iya, aku kakekmu.”Sky lalu tersenyum padanya dan merentangkan tangan. Braxton terkesiap melihatnya dan segera membungkukkan tubuh agar bisa dipeluk Sky.“Aku senang karena masih memiliki kakek. Jadi sekarang, kakekku ada dua. Kakek Zach dan kakek.”Braxton begitu tersentuh sampai-sampai air matanya menetes. Hatinya kembali berat ketika Sky melepaskan pelukan mereka.“Dah, Kakek. Aku mau bermain lagi.” Sky melambaikan tangan dan berlari pergi.Bergeming di tempatny
Siang yang santai, Storm mengajak anak-anak dan Savanah untuk berjalan-jalan santai sedikit jauh dari rumah. Mereka melwati pohon-pohon dengan daun yang sudah berubah beberapa warna, yang juga berguguran di jalanan.Warna kuning, merah, lalu coklat, menjadi dominan di pepohonan, menggantikan daun hijau yang menghias musim panas yang lalu.Suhu udara juga turun cukup banyak di musim gugur ini sehingga berjalan di siang hari adalah waktu yang tepat. Lagipula, siang hari menjadi lebih pendek, dan langit menggelap di sore hari.Storm merangkul Savanah yang perutnya kini sudah cukup besar. Jaket dan syal melingkupi tubuh Savanah yang kini seahri-hari mengenakan dress longgar demi kenyamanan perut besarnya. Storm sendiri hanya mengenakan sweater lengan panjang yang tidak terlalu tebal serta celana jeansnya yang berwarna biru muda, kesukaannya.Sky berjalan di depan mereka mendorong sebuah stroller yang akan ditempati Aspen jika bocah itu lelah.“Di ujung sana ada taman bermain, Daddy. Boleh
Miranda masih mengingat jelas bagaimana wajah Scilla saat muda, saat dia berhasil merayu Braxton untuk menikahinya dan mengusir Scilla dari rumah ini.Scilla sangat cantik dengan pembawaannya yang tenang dan bersahaja. Miranda selalu cemburu melihat Scilla yang tak pernah terlihat patah hatinya sekalipun Braxton telah jelas-jelas memperkenalkan dirinya pada Scilla.Wanita itu bagaikan putri raja yang begitu agung dan terhormat, yang hanya menatap dalam diam bagaikan air tenang yang menghanyutkan.“Aku akan menikahinya, karena dia sekarang mengandung anakku,” kata Braxton waktu itu.Raut wajah Scilla tidak berubah ketika mendengar kata-kata Braxton kala itu. Dia dengan diam berdiri dan menatap datar pada Braxton lalu Miranda.“Baiklah kalau kau ingin menikahinya, aku akan menceraikanmu.”Bahkan Miranda sangat kesal karena Braxton terus membahas kalimat Scilla waktu itu. Dia yang menceraikan Braxton, bukan dia meminta diceraikan. Hah, wanita sombong!Lebih sombong lagi karena permintaann
“Haaah ... kita lagi-lagi pulang hanya ada rumah yang kosong. Seharusnya tadi itu kau jangan banyak bicara. Sebelum Storm pulang, kita sebenarnya punya kesempatan untuk mengambil salah satu dari bocah itu!”Braxton duduk di salah satu sofa dengan raganya yang terlihat letih. Mendapati rumah ini yang hanya berisi beberapa pelayan saja, tanpa adanya Misty dan Moreno lagi, membuat hati Braxton merasa hampa.Biar bagaimana pun rumah ini terlalu besar untuk ditempati mereka berdua saja.Apalagi tadi dia sempat melihat sekilas isi dalam rumah Storm. Sekalipun perabot mereka biasa saja dan kebanyakan menggunakan perabot berbahan kayu, rumah Storm terlihat hangat.Bayangan anak-anak kecil duduk dan mengitari setiap sudut rumah, bermain sambil berlarian, bercekikikkan, berceloteh, bahkan bertengkar, membuat hati Braxton berkedut lebih sedih lagi. Dia ingin merasakan semua itu di rumahnya ini.Rasanya sungguh iri melihat teman-temannya yang lain memiliki kesibukan extra di masa tua mereka, yaitu
Raut wajah Storm perlahan melunak seiring menghilangnya mobil Braxton dari pandangan mereka.Pria itu menatap anak-anaknya satu demi satu.“Kalian tidak apa-apa?” tanyanya sambil memeluk Sky dan River bersamaan.“Kami tidak apa-apa. Tapi tadi itu siapa, Dad? Kenapa mereka sepertinya ingin membawa kami pergi dari sini?”Storm tidak langsung menjawab. Dia hanya memeluk erat lalu mengecup kepala dua bocah itu satu per satu. Lalu pandangannya tertuju pada Aspen yang berada dalam gendongan Savanah.Dia pun turut memeluk Aspen lalu istri tercintanya.“Mau apa mereka?” tanyanya pada Savanah saat mengurai pelukannya.“Mereka memintaku untuk mengizinkan Sky dan River menginap di rumah ayahmu. Alasannya karena dia berhak atas mereka, karena dia adalah kakek mereka. Lalu mereka juga bilang, bahwa anak-anak berhak memilih di mana mereka ingin tinggal.”Storm meradang lagi ketika mendengar penjelasan istrinya. Bagaimana bisa ayahnya dan istri ayahnya itu tiba-tiba memiliki pikiran seperti ini? Su
“Hah!” Savanah tak habis pikir dengan bagaimana Braxton dan Miranda bisa datang ke rumah mereka dan mengatakan semua itu dengan lantangnya?Padahal, jika dirunut puluhan tahun ke belakang, Braxton menelantarkan Storm. Lalu mereka telah menghina Savanah saat bisu. Ada banyak pertikaian dan mereka masih berani mengatakan hal seperti ini?Di mana urat malu mereka?“Mohon maaf, Tn. Braxton, tapi putramu mengurus anak-anaknya dengan sangat baik. Jika saat kecil Storm dibuang dari rumahmu itu benar disebut ditelantarkan. Tapi anak-anakku merasakan kehangatan di rumah kami, sudah tentu mereka tidak ditelantarkan.Mereka kami rawat dengan penuh sayang. Bagaimana bisa kau mengatakan mereka terlantar?Lagipula, asal kau tahu, Tn. Braxton, Storm telah menjadi ayah yang hebat bagi mereka. Dia selalu hadir di setiap moment hidup anak-anaknya.Setiap ulang tahun mereka, dia selalu hadir. Jangankan ulang tahun, setiap sarapan dan makan malam, Storm selalu bersama kami. Bagaimana mungkin kau dengan e