~Benedict~ “Ima?” tanyaku khawatir. “Apa kamu tidak apa-apa? Apa aku sudah menyakiti kamu?” Ini bukan pertama kalinya kami melakukan hubungan di sofa, tetapi baru kali ini dia menangis. Air matanya mengalir begitu deras membuat aku ketakutan. Aku pasti telah menyakitinya. Padahal aku yakin aku melakukannya dengan benar. Apakah aku terlalu buru-buru? Kedua tangannya memeluk tubuhku dengan erat saat aku akan menjauhkan diri. Dia membenamkan wajahnya di antara bahu dan leherku sehingga aku tidak bisa bergerak. Aku mengusap-usap bahunya untuk membantu dia menenangkan diri. Dia sering sekali tidak bisa aku prediksi. Emosinya meledak-ledak sehingga aku tidak tahu harus bersikap bagaimana. Satu waktu dia mendadak marah, lalu beberapa menit kemudian dia menangis. Emosinya hari ini lebih baik dari hari yang sebelumnya. Mungkin karena hari ini tidak ada wanita yang menggoda aku atau berpura-pura tidak sengaja menyentuh aku. Dia tidak mengerti. Aku tidak akan tergoda dengan mereka. Apa yang m
Raka berdiri dan melindungi aku dari Kenneth. Pria itu mengangkat kedua tangannya, lalu mundur selangkah. Yang dia katakan itu tidak benar. Bukan dia yang membuat aku membasahi celanaku sendiri. Tetapi saat aku sedang ke toilet sekolah, dia dan teman-temannya sengaja menghalangi jalanku. Aku tidak bisa menahan diri lebih lama lagi sehingga buang air di depan mereka. Mereka semua menceritakan kepada murid-murid yang lain betapa aku ketakutan melihat mereka saja sampai kencing di celana. Bagaimana lagi kalau mereka memukuli aku? Belajar dari kesalahanku pada waktu sebelumnya, aku memilih diam daripada meralat ucapan mereka. Toh, citraku yang buruk tidak akan lebih buruk lagi hanya karena bertambah satu label baru. “Semoga saja kamu belum pernah memberikan dirimu kepadanya atau dia akan mengencingi kamu.” Kenneth tertawa mengejek. “Percayalah, Delima. Hidupmu akan lebih baik bila kamu tinggalkan dia dan menikah denganku.” Dia sedikit mendekatkan wajahnya agar bisikannya terdengar oleh i
Delima baik-baik saja sepanjang hari dia bekerja di biliknya. Siapa laki-laki ini sehingga berani datang dan mengajari aku agar menolong istriku dari masalahnya? Apakah hubungan Delima dengannya sedekat itu sampai dia menceritakan sebuah masalah kepadanya yang tidak dia ceritakan kepadaku? “Masalah apa yang kamu maksud? Setahuku ISTRIKU tidak punya masalah yang tidak aku bantu untuk mengatasinya.” Aku sengaja menekankan kata istriku agar dia tahu di mana posisinya. “Masalah ini tidak bisa Bapak atasi dengan tetap menjadi suaminya,” katanya dengan lancang. Satu lagi pria yang mencoba memisahkan aku dari Delima. “Apa kamu sadar kamu sedang bicara dengan siapa?” kataku mengingatkannya. “Saya tahu, Pak. Karena saya sangat mencintai Ima, maka saya memberanikan diri melakukan hal ini,” katanya tanpa gentar. Dia harus aku acungi jempol dalam hal yang satu itu, berani menyatakan cinta dengan gamblang. Tidak seperti aku yang pengecut ini. “Jika Bapak peduli kepadanya, tolong lepaskan dia d
Seperti yang aku rasakan kepada Ayah, Kakek, dan kedua adikku, itu juga yang aku rasakan kepada Ibu setelah mendengar pengakuannya. Kasihan. Aku tidak marah atau benci kepadanya, melainkan kasihan karena dia membiarkan amarah menguasainya selama bertahun-tahun. Dia bisa pergi dari pernikahan yang mengekangnya ini. Dia punya banyak kesempatan untuk bahagia daripada tetap tinggal di tengah-tengah keluarga yang dibencinya. Aku tidak percaya seorang ibu bisa membenci anak-anaknya sedalam itu. Karena itu dia tidak bisa menahan dirinya untuk menangis. “Sayang, berapa kali aku harus katakan bahwa aku tidak membunuh Faisal? Iya, aku bersamanya terakhir kali sebelum kematiannya. Tetapi bukan aku yang membunuh dia dalam kecelakaan itu. Polisi sudah memberi tahu bahwa dia tewas seketika dan kecelakaan itu terjadi karena diduga dia mengantuk. Hanya itu alasan pengemudi mengendarai mobilnya ke jalur yang berlawanan,” kata Ayah membela dirinya. “Kalau kamu tidak mengajaknya bertemu sampai malam,
~Delima~ Rekan-rekan kerja di kantor masih bersikap sopan kepadaku. Walaupun aku sudah meminta mereka untuk memperlakukan aku seperti sikap mereka kepada rekan kerja yang lain, mereka menolak. Hanya orang yang memang sudah dekat denganku sejak awal yang bersikap biasa. “Aku tidak bisa ikut malam ini,” ucapku kepada Puput yang mengajak kami makan malam bersama usai jam kerja nanti. Aku ingin berdua saja dengan Ben malam ini, jadi aku tidak mau melakukan aktivitas apa pun di luar jam kerja. “Delima, Puput sudah menundanya karena kamu menggantikan Nelson selama dia cuti. Ini sudah pertengahan bulan, lima belas hari sejak dia mendapat gelar supervisor terbaik bulan ini. Ayolah, kita makan bersama malam ini, ya?” bujuk Dhini. “Kalian bisa pergi tanpa aku. Mengapa aku harus ikut juga?” keluhku. “Karena kamu juga termasuk dalam timku. Seluruh tim belum pernah makan bersamamu sejak kamu bergabung. Aku sudah biasa makan bersama mereka semua. Ayolah, Delima,” pinta Puput memohon. “Bagaimana
Aku menyeka pipiku dengan cepat begitu air mata menetes. Bukan saatnya untuk menangis. Aku mempercepat langkahku menuju ruangan di mana kakakku berada. Aku sengaja tidak menelepon agar dia tidak kabur begitu saja. Dia bisa saja pulang ke rumah supaya aku tidak berani bicara dengannya di depan Kak Mikha. Pengecut seperti dia akan melakukan apa saja agar tidak ada yang memarahi perbuatan jahatnya. “Ima? Sudah lama tidak bertemu. Kamu semakin cantik saja,” sapa seorang rekan kerja Kak Pangestu. “Apa kamu ke sini untuk bertemu dengan kakakmu?” Aku mengangguk dengan cepat. “Dia ada di ruang fotokopi.” Aku mengikuti gerakan tangannya. “Terima kasih,” ucapku dengan suara serak. Dia mengerutkan kening, tetapi tidak mengatakan apa pun yang ada di pikirannya. Aku menarik napas panjang dan mengeluarkannya secara perlahan sebelum masuk ke ruangan yang pintunya terbuka tersebut. Aku mengetuk pintu agar Kakak mengetahui kedatanganku. Dia terkejut, lalu tersenyum menyambut aku. Aku masuk dan menut
Dia menatap aku sesaat, lalu tersenyum. “Kenneth datang ke ruang kerjaku bersama pengacaranya dan memberikan surat itu kepadaku. Aku tidak membawa surat gugatan cerai itu ke sini, karena aku tidak berniat menceraikan kamu. Jika kamu tidak percaya, kamu bisa tanya Nelson dan Raka. Bila kamu tidak percaya dengan kami, ada rekaman CCTV yang bisa mengonfirmasi ucapanku.” Aku melihat wajahnya baik-baik. Sepertinya dia serius. Alasan yang dia ucapkan itu masuk akal. Adiknya memang sering berbuat sesukanya dengan datang ke ruang kerja Ben kapan saja dia mau. Tetapi aku tidak menyangka dia akan melakukan hal seekstrem itu. Dia yang membuat surat gugatan cerai? Apa dia pikir aku benar-benar mau menikah dengannya sekalipun aku bercerai dengan Ben? “Walaupun dia mengancam agar aku menandatanganinya, aku tidak akan melakukannya. Biar saja dia besok datang lagi. Aku sudah memerintahkan keamanan untuk tidak memberi dia izin masuk ke gedung kantor kita lagi,” katanya dengan tegas. “Lalu bagaimana
“Bu, Bapak baik-baik saja.” Laudya melingkarkan tangannya di bahuku. “Ibu tidak perlu khawatir. Raka menjaga Bapak dengan baik. Petugas keamanan di pintu utama yang sedang menghadapi orang yang memaksa masuk ke gedung.” Aku menoleh ke arahnya. “Siapa? Siapa orang yang memaksa masuk ke gedung?” Laudya hanya diam, tidak menjawab. “Kamu tidak perlu tutup mulut, Laudya. Aku tahu. Kenneth, ‘kan?” Sikap diam Laudya justru semakin meyakinkan aku bahwa tebakanku itu benar. “Mereka belum berhasil masuk. Tetapi untuk berjaga-jaga, semua karyawan Bapak diminta untuk tetap berada di ruangan. Setiap pintu sudah dijaga oleh pihak keamanan. Kita menunggu polisi datang, lalu keadaan akan aman kembali,” ucap Laudya berusaha menenangkan aku. “Delima, pengawalmu benar. Kita akan mempermudah kerja mereka, jika kita menuruti perintah. Aku yakin Pak Benedict baik-baik saja.” Dhini mengusap-usap punggungku, tetapi aku tidak tenang. “Hubungkan aku dengan Raka,” pintaku kepada Laudya. “Ponselnya sedang si
~Delima~ Setiap kali mengingat Rora, aku selalu tertawa. Idenya dan saudara sepupunya itu termasuk biasa, namun brilian. Rora memanfaatkan ketidaktahuannya mengenai hubungan Elan dan Sania. Mereka beranggapan bahwa keluarga besar mereka juga tidak mengetahuinya. Elan datang dengan santainya ke acara ulang tahun Nenek Rora dan Sania. Keluarga Sania yang segera mengenalinya, langsung memarahinya habis-habisan. Ternyata Elan memutuskan hubungan secara sepihak. Dia tidak datang dan bicara baik-baik dengan keluarga Sania. Spontan saja kedua kakak laki-laki Sania dan ayahnya menggelar sidang di depan keluarga besar tersebut. Rora dan Sania membuat siaran langsung kejadian itu di media sosial mereka. Semoga saja Elan jera mempermainkan hati wanita. Aku bisa memahami perasaannya yang dia pendam untukku. Tetapi aku tidak bisa mengerti keegoisannya yang memaksa aku meninggalkan suamiku dan memberi dia kesempatan untuk menjalin hubungan denganku. Sania adalah wanita yang cantik dan dari cerit
~Benedict~ Delima dan kedua bayi kami sudah bukan milikku seorang begitu kedua orang tua kami mengetahui kehamilannya. Apalagi saat mereka tahu ada dua bayi yang tumbuh di rahimnya. Setiap akhir pekan, mereka ada di mana kami berada, lalu memanjakan Delima. Aku tersingkir dan hanya bisa manyun melihat istriku mereka monopoli. Bahkan saat kami mengunjungi dokter kandungan untuk melakukan USG pada minggu kedua puluh. Sesuai kesepakatan, kami ingin tahu jenis kelamin kedua bayi kami. Ayah, Ibu, Papa, dan Mama juga tidak mau ketinggalan untuk menjadi yang pertama mengetahui gender cucu mereka. Untung saja dokter melakukan hal yang bijak dengan mengusir para orang tua itu dan mengizinkan aku mendampingi istriku. Tetapi setelah aku melihat sendiri dan mendengarkan penjelasan dari dokter, maka aku mempersilakan kedua orang tua kami untuk bergantian melihatnya juga. Ada begitu banyak perayaan yang aku adakan pada akhir tahun. Aku tidak menyesal telah merogoh kocek dalam-dalam demi membahag
Elan segera keluar dari bilikku tanpa menunggu responsku. Laudya menatap aku dengan khawatir. Aku tersenyum kepadanya dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Apa yang Elan lakukan kepada Rora? Apa mereka sedang menjalin hubungan asmara? “Apa yang terjadi, Delima?” tanya Dhini yang melihat dari atas papan pemisah bilik kami. “Mengapa Elan datang menemui kamu pada jam kerja? Aku hanya mengangkat kedua bahuku. “Pria yang aneh.” Dhini menggeleng pelan, sedangkan aku tertawa mendengarnya. Pada jam istirahat makan siang, aku mengerti mengapa Elan sampai nekat datang ke bilikku tadi. Ternyata dia mengundurkan diri. Dia sangat mencintai pekerjaannya, jadi aku tahu bahwa dia tidak melakukan itu dengan sukarela. Pasti Ben yang menyuruhnya memberikan surat pengunduran diri itu. Aku bertemu pandang dengan Natasha yang melihat aku dengan hormat, begitu juga teman-teman dari divisinya. Dia tidak lagi menatap aku dengan tajam. Itu perubahan yang sangat baik. “Menjadi istri bos memang ada keuntung
~Delima~ Aku melihat seorang wanita muda yang cantik sedang menatap Ben sambil berkedip genit. Dia salah satu pemenang lomba yang tadi makan bersama kami. Apa yang dia lakukan di sini? Bukankah acara sudah selesai? Lalu mengapa dia lancang sekali memanggil Ben dengan namanya saja tanpa gelar bapak seperti yang mereka lakukan di dalam? “Apa yang perlu diingat lagi?” Ben balik bertanya. “Oh, ayolah, Ben. Kita hampir menikah. Bagaimana mungkin kamu bisa melupakan aku secepat itu? Kamu memilih aku sebagai pemenang pasti karena kamu ingat denganku, ‘kan?” katanya menggoda. “Ooo. Apa kamu wanita yang kabur pada hari pernikahan setelah melihat aku? Pantas saja aku butuh waktu untuk mengingatnya. Kamu salah paham. Saat memilih pemenang, aku memilih desain. Tidak ada nama yang tertera supaya penilaiannya adil,” jawab Ben dengan senyum mengejek di wajahnya. “Aku masih di sini sampai besok. Kamu pasti tahu nomor kamarku. Bila kamu ingin mengobrol ….” Dia melirik ke arahku sebelum kembali men
Suasana ruang kerja yang semula tenang itu berubah ramai dengan suara Ayah yang memarahi Kenneth dan Ibu yang menangis setengah menjerit tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Aku segera meminta rekaman CCTV ruang kerja Kenneth untuk melihat apa benar dia yang telah menelepon Kakek lewat ponsel itu pada saat Kakek terkena serangan jantung. Petugas keamanan bingung saat Ayah memerintahkan mereka untuk membawa Kenneth ke kantor polisi. Nelson mengikuti mereka. Dia juga sudah membawa bukti rekaman CCTV di mana adikku itu telah beberapa kali melakukan kekerasan kepadaku beberapa bulan belakangan. Dengan semua bukti itu, aku yakin dia tidak akan diizinkan keluar dari tahanan sampai proses pengadilan selesai. Kemudian aku meminta semua laporan keuangan terbaru yang asli, bukan yang palsu untuk aku pelajari. Sekretaris Kenneth menoleh ke arah Ayah untuk meminta persetujuannya. Ayah segera mengangguk setuju dan memberi tahu bahwa mulai dari hari ini aku yang pegang kendali penuh. T
~Benedict~ Dadaku sakit sekali mendengar dia mengatakan pisah. Seketika itu juga aku tidak peduli dengan apa pun yang ada di dunia ini. Aku juga tidak peduli bila aku harus berlutut memohon kepadanya. Aku tidak mau dia pergi dariku. Walaupun dia meminta seluruh hartaku, aku akan memberikan semua kepadanya. Benda itu tidak ada artinya tanpa dia di sisiku. Namun Delima memberi aku kejutan lainnya. Dia sedang hamil. Kenneth dan Eloisa selalu mengejek aku tidak akan pernah menikah apalagi punya anak seperti mereka. Jadi, berita itu adalah keajaiban bagiku. Ketika melihat foto hitam putih mereka, aku tidak tahu di mana mereka berada. Tetapi aku percaya bahwa mereka ada di dalam perut istriku. Selama ini aku berpikir bahwa aku adalah ciptaan yang dilupakan oleh Tuhan. Dia pasti bercanda pada saat menciptakan aku dengan segala kekuranganku. Ternyata Dia masih mengingat aku dan memberikan aku bukan satu, tetapi dua orang anak sekaligus. Aku tidak muda lagi, tetapi aku berjanji akan bertahan
Pikiranku kacau, dadaku terasa sesak, karena aku tidak tahu harus merasa bahagia atau sedih. Aku bahagia, karena penantian panjangku sudah berakhir. Kehamilan ini sudah lama aku harapkan, tetapi keadaannya sedang tidak memungkinkan. Ben tidak mau kami punya anak. Jika alat ini akurat, maka hubunganku dan Ben juga berakhir. Aku tidak berhenti menangis memikirkan hubungan kami harus usai secepat ini. Memikirkan kondisi janin yang aku kandung tidak membuat aku cukup kuat menghentikan air mata yang mengalir jatuh dengan deras di pipiku. Seharusnya ini adalah kabar baik, kabar yang membahagiakan. Sibuk dengan pikiranku sendiri, aku tidak terlalu memerhatikan apa yang terjadi di makam Kakek. Eloisa entah bicara apa, Ayah dan Ibu yang kemudian datang membahas apa, tidak aku dengarkan. Ben mengajak aku ke mana pun, aku hanya mengikutinya saja. Namun saat tiba di rumah, aku segera kembali ke kamar dan menyendiri. Aku perlu memikirkan hal ini seorang diri. Yang pasti, aku menginginkan bayi in
~Delima~ Beraninya dia mengatakan cinta pada tarikan napas yang sama dia menyebut tidak mau memiliki anak bersamaku. Dengan intensitas kami melakukan hubungan suami istri, apa dia pikir kami bisa mencegah seorang anak lahir? Juga beraninya dia menuduh aku akan berubah pikiran terhadap anakku sendiri seandainya dia mempunyai kekurangan. Aku bukan ayah atau ibunya. Aku tidak akan membuang anakku sendiri seperti yang mereka lakukan. Malam itu, usai bicara dengannya, aku tidak melarang dia tidur bersamaku. Tetapi aku tidak sudi berbaring menghadapnya seperti kebiasaan kami tidur bersama. Aku sangat kesal dan tidak mau melihat wajahnya agar amarahku tidak semakin memuncak. Untuk pertama kalinya, kiriman bunga darinya aku buang ke tempat sampah. Aku tidak butuh bunga atau kartu untuk mewakili dia menyampaikan pesannya. Dia bisa bicara langsung denganku. Elan yang tidak tahu diri itu juga masih berani mengajak aku bicara. Tidak tahan lagi dengan sikapnya, aku memarahinya panjang lebar dan
Mama tidak mau menjawab pertanyaanku. Dia justru cepat-cepat mengakhiri percakapan kami. Mungkin Delima sedang berada di dekatnya dan Mama tidak mau istriku sampai tahu bahwa Mama melaporkan sakitnya kepadaku. Aku semakin panik, karena tidak tahu sakitnya parah atau tidak. Ini semua salahku. Seharusnya aku mengajak dia bicara baik-baik. Bukan memaksakan kehendakku kepadanya. Dia seorang wanita, wajar saja dia memiliki jiwa keibuan yang mengharapkan memiliki anak sendiri. Apalagi kakak iparnya sedang hamil. Sedikit banyak, dia pasti merindukan kehadiran anak-anak juga. Aku malah tidak peka dan bersikap egois. Untuk meminta maaf kepadanya, aku meneruskan rencanaku. Setidaknya saat dia pulang nanti, dia tahu bahwa aku menyesal sudah menyakiti perasaannya. Aku tidak mau tidur sendirian lagi. Deva dan semua pelayan membantu aku menyiapkan kejutan untuk istriku. Namun saat dia pulang, dia hanya diam saja melihat balon dan bunga yang ada di sekitarku, juga papan bertuliskan maafkan aku yan