Bab lanjutannya akan aku publikasikan besok, ya, teman-teman. Terima kasih sudah membaca kisah Delima dan Ben hari ini. ♡ Salam sayang, Meina H.
“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Delima yang memberikan segelas air kepadaku. “Terima kasih. Aku baik-baik saja.” Aku meminum air tersebut sebelum meletakkan gelas di atas nakas. Aku memutuskan untuk pulang ke rumah dan menenangkan diri sesaat, menjauh dari kota dan pekerjaan. Delima segera setuju dan dia tidak terlihat canggung tidur bersamaku di kamarku. “Pembacaan surat wasiat yang aneh,” ucap Delima yang duduk di sisiku. “Walaupun Kakek orang yang keras, aku tidak percaya bahwa Kakek adalah orang yang pelit.” “Aku tidak percaya itu isi surat wasiat Kakek yang asli,” gumamku pelan. Delima menyilangkan kedua kakinya dan menatap aku dengan serius. Aku tersenyum melihatnya. “Ada yang mengganti isinya atau membuat surat wasiat baru dan mengakuinya sebagai wasiat Kakek.” “Kalau itu masuk akal. Masa semua harta, tabungan, bahkan saham diberikan kepada Ken? Kakek tidak akan melakukan itu. Bahkan Danu tidak mendapatkan sepeser pun. Itu tidak mungkin.” Dia menggeleng pelan. Keningnya ber
~Delima~ Ben masih tidur pulas menjelang makan malam. Aku tidak mau membangunkan dia, jadi aku turun dari tempat tidur sesenyap mungkin. Aku keluar menuju balkon dan duduk di salah satu kursi. Dua kematian dalam waktu yang berdekatan benar-benar menguras emosiku. Aku sedikit merasa bersalah, karena aku tidak merasakan sesedih ini ketika suamiku meninggal. Apa pertengkaran yang terjadi hampir setiap hari itu yang membuat aku mati rasa? Kami memang nyaris tidak bisa bertahan hidup setiap bulannya, karena uang yang pas-pasan. Aku yang lebih banyak berkorban daripada dia. Aku bangun setiap pagi untuk memasak bekal makan siang kami. Semua peralatan elektronik yang dihadiahkan teman-teman pada hari pernikahan kami tidak bisa aku gunakan demi menghemat listrik. Aku mencuci pakaian secara manual, belanja setiap hari agar tidak menggunakan kulkas, hanya pakaian kerja yang disetrika, bahkan sekadar menghibur diri dengan menonton televisi pun tidak bisa. Aku berhemat habis-habisan. Bakti hany
Baru dilantik satu hari sebagai direktur utama saja sudah sombong begitu. Bagaimana kalau sudah satu minggu nanti? Ben yang lebih lama duduk di kursi dirut saja tidak pernah bersikap arogan. Aku semakin percaya kepada Ben. Surat wasiat itu memang palsu. Mereka mengubah wasiat yang asli supaya Kenneth bisa jadi pengganti Ayah Mertua dengan mulus. Ben juga tidak mau menuntut surat wasiat palsu itu. Dia membiarkan keputusan itu diambil oleh om dan tantenya. Aku mengerti bahwa dia tidak mau ribut dengan keluarganya. Tetapi ini mengenai peninggalan Kakek yang sangat berharga. Bagaimana kalau perusahaan itu bangkrut seperti yang diucapkan oleh salah satu omnya? Kerja keras Kakek akan berakhir dengan sia-sia. “Selamat pagi, Bu,” sapa salah satu rekan kerjaku yang biasanya mengejek aku. Sejak kapan dia memanggil aku dengan sebutan ibu? “Selamat pagi, Bu,” sapa rekanku yang lain. Aku akhirnya mengerti. Mereka melakukan ini karena mereka sudah tahu bahwa aku adalah istri Ben. “Ng, jangan pan
Ben tertawa terbahak-bahak ketika aku menceritakan mengenai pertemuan tidak sengaja antara aku dengan Tante Haryani dan Tulus. Nelson telah melakukan hal yang tepat dengan menunjuk kedua pengawal untuk menjaga aku dan Ben ke mana pun kami pergi. Aku tidak perlu khawatir lagi setiap kali bertemu dengan mantan ibu mertuaku itu. Setelah mendengar ceritaku, Ben menyampaikan banyaknya undangan makan siang untuk beberapa hari ke depan dari rekan bisnisnya. Mereka bahkan membujuk dia untuk hadir pada undangan di akhir pekan. Selama ini dia memang selalu mendapat undangan dari para koleganya, tetapi Ben tidak pernah datang. Mereka kini sudah mengerti alasannya. Tetapi mereka tidak peduli dengan itu dan mengharapkan kehadirannya. “Semua yang kamu katakan benar. Tidak semua orang akan memandang rendah kepadaku begitu mereka melihat keadaanku yang sebenarnya.” Dia memegang tanganku dengan senyum yang tidak berhenti menghiasi wajahnya. “Terima kasih banyak, Ima. Aku tidak akan pernah mengalami s
~Benedict~ Aku bebas! Aku merasa sangat bebas setelah menunjukkan diriku kepada semua orang! Aku tidak lagi bersembunyi saat melakukan panggilan video. Rapat dadakan dewan direksi yang dilaksanakan pada hari Rabu lalu, karena aku tidak masuk kerja pada hari Senin, pun aku hadiri langsung. Aku tidak lagi memanfaatkan Nelson untuk bersembunyi dari tatapan semua direktur. Mereka awalnya canggung bertemu langsung denganku, tetapi tidak ada yang memandang rendah, jijik, atau kasihan kepadaku. Mereka justru bersikap segan dan hormat kepadaku, sama seperti sikap mereka saat datang memberi penghormatan terakhir kepada Kakek. Aku mengajak Delima ke taman pun untuk menguji keberanianku. Bertemu dengan orang-orang yang sudah mengenal aku tidak terlalu menakutkan, tetapi berada di tengah-tengah orang yang tidak tahu siapa aku membuka semua kenangan yang dahulu aku alami. Mereka menatap aku seolah melihat sesuatu yang aneh. Mereka berbisik terhadap satu sama lain saat melihat ke arahku. Bahkan
“Tidak!” jawabku dan Delima serentak ketika Nelson menyampaikan maksudnya. “Mengapa tidak? Ibu Delima sudah punya pengalaman selama lima tahun menjadi sekretaris Pak Luis, jadi Ibu adalah pilihan yang tepat, Pak. Dan, Bu, saya hanya butuh tujuh hari saja. Dua hari Ibu belajar bersama saya, lalu lima hari Ibu mendampingi Pak Ben. Saya mohon,” ucap Nelson memelas. “Kamu sudah tahu sejauh apa hubungan kami saat ini, aku yakin atasanmu menceritakan segalanya kepadamu. Aku tidak akan konsentrasi bekerja bersama suamiku dalam ruangan yang sama,” ucap Delima menjelaskan. “Jawabanku tetap tidak.” “Kalau begitu, apa Ibu tidak keberatan bila saya meminta tolong pada salah satu sekretaris direktur yang lain? Ibu tidak akan memarahi saya menempatkan sekretaris wanita di sisi Pak Ben, ‘kan?” kata Nelson berpura-pura lugu. Dasar asisten licik. Dia tahu di mana kelemahan Delima. “Tidak boleh. Apa tidak ada asisten atau sekretaris pria lainnya di perusahaan ini?” tanya Delima mulai goyah. “Aku per
~Delima~ Aku menahan diri untuk tidak memarahi sekretaris genit itu yang menatap Ben dari balik bulu mata panjang palsunya. Dia juga tidak segan-segan menggunakan kalimat mesum untuk menggoda Ben dan tertawa sendiri atas gurauannya yang tidak lucu. Ben berusaha untuk bersikap sopan, tetapi aku tidak mau dia bersikap begitu. Aku mau dia marah dan mengingatkan perempuan itu supaya bersikap sesuai pada tempat dan posisinya di ruang makan ini. Tetapi merasa kesal kepada Ben juga tidak tepat. Ini pasti pengalaman pertamanya menerima perlakuan begitu. Denganku saja dia masih lugu, apalagi dengan orang lain. Jadi, aku tidak tahu mengapa aku menciumnya di ruang kerjanya setelah kami kembali dari acara makan siang. Mungkin aku hanya tidak mau dia memikirkan perempuan itu selama hari ini, karena ulahnya yang genit itu. Entahlah. Yang pasti aku bahagia merasakan dia membalas ciumanku. Itu artinya aku masih menjadi bagian penting dalam hidupnya dan wanita itu bukan siapa-siapa. Satu kejadian p
Aku tidak tahu dia kesurupan atau memang cara bekerja otaknya berbeda dengan orang normal. Aku adalah istri kakak kandungnya dan dia masih meminta aku untuk menjadi istrinya. Apa yang dia makan sampai cara berpikirnya jadi aneh begitu? Jennifer adalah istri yang sempurna. Aku tidak melihat ada hal yang akan dikeluhkan oleh seorang suami dari istri seperti dia. Kalau pun dia sudah bosan dengan istrinya, mengapa tidak cari wanita lain saja? Mengapa harus aku yang dia minta untuk menikahinya? “Bila kamu tidak mau menikah denganku, Ben akan hancur,” ancam Kenneth saat aku mengabaikan tawarannya tadi. Aku menghentikan langkahku. “Aku punya banyak orang yang pasti bersedia untuk membantu aku menjatuhkan perusahaannya. Jadi, pilihlah langkahmu selanjutnya dengan bijak.” Aku membalikkan badanku dan kembali menatapnya. Dia tersenyum begitu arogan merasa bahwa dia sudah menang. “Jennifer adalah istri yang baik. Kalian juga punya anak-anak yang manis. Apa lagi yang kamu cari? Jika kamu begitu
~Delima~ Setiap kali mengingat Rora, aku selalu tertawa. Idenya dan saudara sepupunya itu termasuk biasa, namun brilian. Rora memanfaatkan ketidaktahuannya mengenai hubungan Elan dan Sania. Mereka beranggapan bahwa keluarga besar mereka juga tidak mengetahuinya. Elan datang dengan santainya ke acara ulang tahun Nenek Rora dan Sania. Keluarga Sania yang segera mengenalinya, langsung memarahinya habis-habisan. Ternyata Elan memutuskan hubungan secara sepihak. Dia tidak datang dan bicara baik-baik dengan keluarga Sania. Spontan saja kedua kakak laki-laki Sania dan ayahnya menggelar sidang di depan keluarga besar tersebut. Rora dan Sania membuat siaran langsung kejadian itu di media sosial mereka. Semoga saja Elan jera mempermainkan hati wanita. Aku bisa memahami perasaannya yang dia pendam untukku. Tetapi aku tidak bisa mengerti keegoisannya yang memaksa aku meninggalkan suamiku dan memberi dia kesempatan untuk menjalin hubungan denganku. Sania adalah wanita yang cantik dan dari cerit
~Benedict~ Delima dan kedua bayi kami sudah bukan milikku seorang begitu kedua orang tua kami mengetahui kehamilannya. Apalagi saat mereka tahu ada dua bayi yang tumbuh di rahimnya. Setiap akhir pekan, mereka ada di mana kami berada, lalu memanjakan Delima. Aku tersingkir dan hanya bisa manyun melihat istriku mereka monopoli. Bahkan saat kami mengunjungi dokter kandungan untuk melakukan USG pada minggu kedua puluh. Sesuai kesepakatan, kami ingin tahu jenis kelamin kedua bayi kami. Ayah, Ibu, Papa, dan Mama juga tidak mau ketinggalan untuk menjadi yang pertama mengetahui gender cucu mereka. Untung saja dokter melakukan hal yang bijak dengan mengusir para orang tua itu dan mengizinkan aku mendampingi istriku. Tetapi setelah aku melihat sendiri dan mendengarkan penjelasan dari dokter, maka aku mempersilakan kedua orang tua kami untuk bergantian melihatnya juga. Ada begitu banyak perayaan yang aku adakan pada akhir tahun. Aku tidak menyesal telah merogoh kocek dalam-dalam demi membahag
Elan segera keluar dari bilikku tanpa menunggu responsku. Laudya menatap aku dengan khawatir. Aku tersenyum kepadanya dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Apa yang Elan lakukan kepada Rora? Apa mereka sedang menjalin hubungan asmara? “Apa yang terjadi, Delima?” tanya Dhini yang melihat dari atas papan pemisah bilik kami. “Mengapa Elan datang menemui kamu pada jam kerja? Aku hanya mengangkat kedua bahuku. “Pria yang aneh.” Dhini menggeleng pelan, sedangkan aku tertawa mendengarnya. Pada jam istirahat makan siang, aku mengerti mengapa Elan sampai nekat datang ke bilikku tadi. Ternyata dia mengundurkan diri. Dia sangat mencintai pekerjaannya, jadi aku tahu bahwa dia tidak melakukan itu dengan sukarela. Pasti Ben yang menyuruhnya memberikan surat pengunduran diri itu. Aku bertemu pandang dengan Natasha yang melihat aku dengan hormat, begitu juga teman-teman dari divisinya. Dia tidak lagi menatap aku dengan tajam. Itu perubahan yang sangat baik. “Menjadi istri bos memang ada keuntung
~Delima~ Aku melihat seorang wanita muda yang cantik sedang menatap Ben sambil berkedip genit. Dia salah satu pemenang lomba yang tadi makan bersama kami. Apa yang dia lakukan di sini? Bukankah acara sudah selesai? Lalu mengapa dia lancang sekali memanggil Ben dengan namanya saja tanpa gelar bapak seperti yang mereka lakukan di dalam? “Apa yang perlu diingat lagi?” Ben balik bertanya. “Oh, ayolah, Ben. Kita hampir menikah. Bagaimana mungkin kamu bisa melupakan aku secepat itu? Kamu memilih aku sebagai pemenang pasti karena kamu ingat denganku, ‘kan?” katanya menggoda. “Ooo. Apa kamu wanita yang kabur pada hari pernikahan setelah melihat aku? Pantas saja aku butuh waktu untuk mengingatnya. Kamu salah paham. Saat memilih pemenang, aku memilih desain. Tidak ada nama yang tertera supaya penilaiannya adil,” jawab Ben dengan senyum mengejek di wajahnya. “Aku masih di sini sampai besok. Kamu pasti tahu nomor kamarku. Bila kamu ingin mengobrol ….” Dia melirik ke arahku sebelum kembali men
Suasana ruang kerja yang semula tenang itu berubah ramai dengan suara Ayah yang memarahi Kenneth dan Ibu yang menangis setengah menjerit tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Aku segera meminta rekaman CCTV ruang kerja Kenneth untuk melihat apa benar dia yang telah menelepon Kakek lewat ponsel itu pada saat Kakek terkena serangan jantung. Petugas keamanan bingung saat Ayah memerintahkan mereka untuk membawa Kenneth ke kantor polisi. Nelson mengikuti mereka. Dia juga sudah membawa bukti rekaman CCTV di mana adikku itu telah beberapa kali melakukan kekerasan kepadaku beberapa bulan belakangan. Dengan semua bukti itu, aku yakin dia tidak akan diizinkan keluar dari tahanan sampai proses pengadilan selesai. Kemudian aku meminta semua laporan keuangan terbaru yang asli, bukan yang palsu untuk aku pelajari. Sekretaris Kenneth menoleh ke arah Ayah untuk meminta persetujuannya. Ayah segera mengangguk setuju dan memberi tahu bahwa mulai dari hari ini aku yang pegang kendali penuh. T
~Benedict~ Dadaku sakit sekali mendengar dia mengatakan pisah. Seketika itu juga aku tidak peduli dengan apa pun yang ada di dunia ini. Aku juga tidak peduli bila aku harus berlutut memohon kepadanya. Aku tidak mau dia pergi dariku. Walaupun dia meminta seluruh hartaku, aku akan memberikan semua kepadanya. Benda itu tidak ada artinya tanpa dia di sisiku. Namun Delima memberi aku kejutan lainnya. Dia sedang hamil. Kenneth dan Eloisa selalu mengejek aku tidak akan pernah menikah apalagi punya anak seperti mereka. Jadi, berita itu adalah keajaiban bagiku. Ketika melihat foto hitam putih mereka, aku tidak tahu di mana mereka berada. Tetapi aku percaya bahwa mereka ada di dalam perut istriku. Selama ini aku berpikir bahwa aku adalah ciptaan yang dilupakan oleh Tuhan. Dia pasti bercanda pada saat menciptakan aku dengan segala kekuranganku. Ternyata Dia masih mengingat aku dan memberikan aku bukan satu, tetapi dua orang anak sekaligus. Aku tidak muda lagi, tetapi aku berjanji akan bertahan
Pikiranku kacau, dadaku terasa sesak, karena aku tidak tahu harus merasa bahagia atau sedih. Aku bahagia, karena penantian panjangku sudah berakhir. Kehamilan ini sudah lama aku harapkan, tetapi keadaannya sedang tidak memungkinkan. Ben tidak mau kami punya anak. Jika alat ini akurat, maka hubunganku dan Ben juga berakhir. Aku tidak berhenti menangis memikirkan hubungan kami harus usai secepat ini. Memikirkan kondisi janin yang aku kandung tidak membuat aku cukup kuat menghentikan air mata yang mengalir jatuh dengan deras di pipiku. Seharusnya ini adalah kabar baik, kabar yang membahagiakan. Sibuk dengan pikiranku sendiri, aku tidak terlalu memerhatikan apa yang terjadi di makam Kakek. Eloisa entah bicara apa, Ayah dan Ibu yang kemudian datang membahas apa, tidak aku dengarkan. Ben mengajak aku ke mana pun, aku hanya mengikutinya saja. Namun saat tiba di rumah, aku segera kembali ke kamar dan menyendiri. Aku perlu memikirkan hal ini seorang diri. Yang pasti, aku menginginkan bayi in
~Delima~ Beraninya dia mengatakan cinta pada tarikan napas yang sama dia menyebut tidak mau memiliki anak bersamaku. Dengan intensitas kami melakukan hubungan suami istri, apa dia pikir kami bisa mencegah seorang anak lahir? Juga beraninya dia menuduh aku akan berubah pikiran terhadap anakku sendiri seandainya dia mempunyai kekurangan. Aku bukan ayah atau ibunya. Aku tidak akan membuang anakku sendiri seperti yang mereka lakukan. Malam itu, usai bicara dengannya, aku tidak melarang dia tidur bersamaku. Tetapi aku tidak sudi berbaring menghadapnya seperti kebiasaan kami tidur bersama. Aku sangat kesal dan tidak mau melihat wajahnya agar amarahku tidak semakin memuncak. Untuk pertama kalinya, kiriman bunga darinya aku buang ke tempat sampah. Aku tidak butuh bunga atau kartu untuk mewakili dia menyampaikan pesannya. Dia bisa bicara langsung denganku. Elan yang tidak tahu diri itu juga masih berani mengajak aku bicara. Tidak tahan lagi dengan sikapnya, aku memarahinya panjang lebar dan
Mama tidak mau menjawab pertanyaanku. Dia justru cepat-cepat mengakhiri percakapan kami. Mungkin Delima sedang berada di dekatnya dan Mama tidak mau istriku sampai tahu bahwa Mama melaporkan sakitnya kepadaku. Aku semakin panik, karena tidak tahu sakitnya parah atau tidak. Ini semua salahku. Seharusnya aku mengajak dia bicara baik-baik. Bukan memaksakan kehendakku kepadanya. Dia seorang wanita, wajar saja dia memiliki jiwa keibuan yang mengharapkan memiliki anak sendiri. Apalagi kakak iparnya sedang hamil. Sedikit banyak, dia pasti merindukan kehadiran anak-anak juga. Aku malah tidak peka dan bersikap egois. Untuk meminta maaf kepadanya, aku meneruskan rencanaku. Setidaknya saat dia pulang nanti, dia tahu bahwa aku menyesal sudah menyakiti perasaannya. Aku tidak mau tidur sendirian lagi. Deva dan semua pelayan membantu aku menyiapkan kejutan untuk istriku. Namun saat dia pulang, dia hanya diam saja melihat balon dan bunga yang ada di sekitarku, juga papan bertuliskan maafkan aku yan