Derren hanya bisa diam saja, tak tahu harus mengatakan apa. Sebab yang dikatakan Danita benar. Saat ini dia mengakui kalau Aluna baik. Bahkan mau membuatkan sarapan untuknya, meskipun dia tidak tahu apakah ini sandiwara atau tidak. Yang pasti, dia terselamatkan karena bisa mengganjal perutnya di pagi hari sebelum memulai aktivitas. Tak lama kemudian Aluna pun memberikan omelet untuk suaminya. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya menyediakan dan menyodorkan minuman.Danita menunggu reaksi Darren, seperti menonton sebuah kisah romansa dari pengantin baru yang baru saja saling mengenal. Darren terdiam melihat dua wanita itu yang melihatnya. "Kenapa kalian melihatku? Ayo, makan saja! Tidak usah hiraukan aku!" seru Darren, merasa kesal. Danita mencebik. Dia lalu mempersilakan Aluna untuk kembali duduk dan menikmati makanan yang sudah dibuat olehnya. Saat Danita dan Aluna mulai menyantap makanan, mereka sempat diselingi tawa dan juga obrolan. Sementara Darren hanya bisa menatap omelet it
Darren dan Aluna pergi bersama memakai mobil yang sama pula. Selama perjalanan Aluna memilih untuk diam dan melihat ke arah luar jendela. Dia sama sekali tidak mau terlibat obrolan bersama Darren, apalagi hanya berdua seperti ini. Di rumah mertua saja Darren berani mengatakan hal-hal yang buruk, apalagi jika tidak ada siapa-siapa. Sementara itu Darren masih memikirkan perihal perkataan Aluna di kamar, saat gadis itu menjamin tidak mengadu perihal perlakuannya selama ini atau balas dendam atas perlakuan selama ini kepada Darren. Apalagi ibunya sudah meminta cucu. Padahal pernikahan mereka hanya beberapa tahun saja. Memikirkan itu membuat Darren merasa pusing sendiri. Sang pria sampai memijat kepalanya yang berdenyut nyeri. "Apa kamu tadi menganggap serius pertanyaan Ibu?" tanya Darren tiba-tiba, membuat Maura menoleh. Gadis itu menautkan kedua alis. Dia pikir sang pria tidak memikirkan perkataan tadi, tapi ternyata malah bertanya seperti ini, membuat Aluna malu dan bingung bersamaan
Wajah Darren begitu serius dan Aluna tahu jika sampai dia sudah mengatakan hal demikian apalagi raut wajahnya menegangkan, maka mau tidak mau gadis itu harus mengikutinya. Akhirnya dengan terpaksa Aluna pun menurut saja dengan perkataan Darren. Entah bagaimana reaksi orang kantor, yang pasti dia tidak punya pilihan. Tetapi memang ada benarnya juga, saat ini mereka suami istri, mau tidak mau harus terlihat mesra bersama. Jadi Aluna tidak bisa menolak atau menentangnya lagi. Darren masuk ke parkiran khusus atasan. Dia turun, tapi belum juga apa-apa tiba-tiba saja sang pria menyuruh Aluna untuk diam. Gadis itu tentu saja kebingungan. Bukannya ini sudah sampai? Kenapa dia tidak boleh turun? Begitu pikir Aluna, tetapi siapa sangka? Pria itu tiba-tiba saja berjalan memutar dan membuka pintu mobil untuk Aluna.Sang gadis terperangah sembari membulatkan mata. Benarkah apa yang dilihatnya saat ini? Seorang pria egois ini tiba-tiba saja membukakan pintu untuknya. Aluna sampai tak bisa berger
Aluna menghela napas lega sembari melepaskan tangannya dari genggaman Darren saat mereka sudah berada di ruangan sang suami. Pria itu terkesiap melihat pergerakan Aluna, tampak sekali kebingungan di raut wajahnya. Reaksi itu tertangkap oleh mata Aluna, sang gadis langsung menjelaskan, tidak mau sampai pria itu berpikir macam-macam kepadanya. Bisa-bisa yang ada pertengkaran dan lebih parahnya lagi mungkin karyawan di sini akan mendengarkan. Itu bisa merubah citra baik Darren. "Santai dulu, dong, Pak. Jangan lihatin saya kayak gitu. Lagian, kan ini sudah sampai ruangan. Jadi, Bapak tidak perlu memegangi tangan saya, kan?" "Iya, tapi kamu tidak perlu menepisnya juga. Memangnya aku ini menjijikan sampai kamu cepat-cepat melepasnya?"Aluna mencebik. Dia tidak mau ambil pusing dan memilih untuk kembali ke tempatnya. Dia tidak mau satu ruangan dengan Darren, bisa-bisa darahnya akan terus naik. Mungkin gadis itu harus membeli obat darah tinggi agar tidak kaget lagi kalau misalkan Darren tib
"Heh! Kalau jalan tuh pakai mata. Gila, ya!" seru seorang wanita membuat Aluna terkesiap. Saat melihat, ternyata itu adalah Siska. Aluna tampak terkejut melihat wajah Siska yang terdapat luka. Ternyata dari kemarin bekas babak belur di wajah Siska masih tampak jelas dan Aluna baru masuk ke kantor hari ini, jadi dia benar-benar tidak tahu kalau ada kejadian yang seperti itu. "Kenapa kamu melotot seperti itu kepadaku? Tidak pernah melihat wanita cantik, ya?" ujar Siska membuat Aluna menggelengkan kepala dan tak sadar. "Maaf, ya. Aku nggak sengaja nabrak kamu. Lagian, kamu harusnya ke sebelah sana, masih ada pintu, kan? Biasanya juga kalau orang masuk sebelah sini." Sekarang Aluna berusaha untuk membuat argumen, meskipun memang dia salah. Tetapi Siksa juga sama salah, begitu pikir sang gadis.Siska melipat tangan di depan dada, meneliti penampilan Aluna dari atas sampai bawah. Dia tahu saat ini yang ada di depannya itu adalah istri CEO dan pemilik perusahaan ini juga. Tetapi, entah k
"Tolong, ya. Jangan memperlebar masalah ke mana-mana. Aku sudah minta maaf. Padahal tadi kan harusnya kamu juga paham itu. Kita sama-sama salah dan tak perlu kamu bawa-bawa statusku sebagai istri dari bos yang ada di sini. Jadi, sebaiknya akhir ini. Aku juga banyak pekerjaan," ujar Aluna berusaha untuk mengakhiri semuanya. Sebab kalau terus-terusan diladeni juga Siska pasti akan semakin melunjak. Jadi, lebih baik seperti ini dan cepat kembali ke ruangan Darren. Jangan sampai pria itu marah-marah tidak jelas kepadanya lagi. Namun baru juga hendak melangkah, tiba-tiba saja ...."Aw!" Siska menjambak rambut Aluna dengan sangat kencang, membuat gadis itu terkesiap sembari menjerit. Ini benar-benar di luar dugaan. Kenapa Siska malah melakukan kekerasan fisik seperti ini? "Apa yang kamu lakukan? Lepaskan!" seru Aluna berusaha untuk melepaskan diri, tetapi Siska sangat kesal pada Aluna. Sementara itu Darren sedang mondar-mandir tak jelas, sebab tak mendapati Aluna di ruangan. Padahal ru
Wajah Darren sudah memerah. Dia masih mencekik leher Siska, yang benar-benar membuat wanita itu kesakitan dan hampir saja kehilangan napas. Aluna yang berusaha melerai pun tidak digubris oleh Darren. Hingga akhirnya Amarudin yang maju dan berusaha untuk mengingatkan bosnya agar sabar, jangan sampai Siska benar-benar kehilangan nyawa atau ini akan menjadi tindak pidana. "Tuan, sudah lepaskan! Kalau sampai Siska mati, maka Tuan akan berurusan dengan hukum. Ingat, jika perusahaan ini bisa-bisa hancur."Mendengar itu seketika emosi yang menguasai Darren pun turun perlahan. Dia melepaskan cekikannya, membuat Siska langsung tersungkur dengan napas yang terengah-engah. Terlihat bahu Darren naik turun, dengan mengepalkan kedua tangan. Aluna yang melihat itu hanya terdiam dengan perasaan campur aduk, antara kagum, takut dan entah perasaan apalagi yang berbaur jadi satu. Satu hal yang tertanam di benak Aluna, Darren tidak suka kalau ada orang yang jahat kepadanya. Itu artinya sang pria mampu
Darren mengunci ruangannya dengan rapat. Dia bahkan menutup tirai yang ada di ruangannya itu agar tidak ada orang lain yang melihat mereka. Pergerakan sang pria membuat Aluna ketakutan dan bingung. Mungkinkah Darren akan melakukan sesuatu kepadanya? Jantung sang gadis berdetak dengan sangat kencang. Ini sebuah ketakutan yang luar biasa. Bagaimana kalau misalkan pria itu benar-benar melakukan hal-hal di luar batas? Memikirkannya saja membuat tubuh Aluna langsung bergidik ngeri. "Bapak, ngapain menutup tirai dan pintu? Bapak tidak akan melakukan apa-apa kepada saya, kan?" tanya Aluna membuat Darren yang sebelumnya sangat stres juga kesal langsung menoleh. Pria itu menautkan kedua alis sambil menatap sang gadis dengan sorot yang tak bisa diartikan. "Kenapa kamu berpikiran aku akan melakukan sesuatu kepadamu?" tanya Darren.Pria itu mendekat secara perlahan, membuat Aluna meneguk saliva dengan susah payah. Sampai sang gadis terus mundur dan menjauh dari Darren yang mendekat. Tetapi s
"Lo jangan diem aja kayak gini, dong! Gue kan jadi bingung harus ngapain. Sebenarnya apa yang terjadi, sih? Kalau misal lo diam aja, ya udah deh gue pergi," ujar Alika, akhirnya kesel sendiri karena dari tadi Aluna hanya diam saja.Saat gadis itu hendak berdiri, Aluna langsung menarik tangan temannya untuk duduk."Oke, oke. Gue akan cerita," ucap Aluna membuat Alika akhirnya bisa bernapas lega. Aluna memberikan isyarat agar Alika mendekat kepadanya, lalu dengan perasaan campur aduk Aluna membisikkan sesuatu kepada gadis itu.Bola mata Alika membulat dengan mulut terperangah. "Lo beneran habis--""Sssttt!" Aluna langsung berdesis sembari menempelkan jari telunjuk ke bibir."Jangan keras-keras!" seru Aluna berusaha untuk melihat ke sekitar. Untunglah orang-orang yang sedang sibuk mengambil makan siangnya, jadi hanya sebagian yang menoleh lalu kembali ke aktivitas semula. Alika masih tampak syok, tapi dia tetap tenang dan mengikuti semua yang diminta oleh temannya. "Sudah jangan dis
Karyawan itu sudah keluar untuk tanda tangan, tetapi Aluna masih enggan untuk masuk ke ruangan Darren. Gadis itu merutuki diri. Kenapa juga harus satu lingkup ruangan dan hanya disekat tembok kecil yang terbuat dari kayu itu? Sama saja bohong!Dia benar-benar harus bisa bertemu dengan Darren. Sementara saat ini tangan dan tubuhnya terasa dingin. Jantung juga berdetak dengan sangat kencang, karena benaknya tiba-tiba saja teringat dengan kejadian tadi. Gadis itu sampai memukul-mukul kepalanya sendiri."Apa sih yang sudah aku lakukan tadi?! Ngapain juga aku ciuman sama Pak Darren?" gumamnya dengan perasaan yang sangat malu. Sungguh, ini pertama baginya. Walaupun memang Darren adalah suami Aluna, tetapi mereka sudah berjanji untuk tidak saling menyentuh. Ini benar-benar membuat dirinya kikuk sekali.Untungnya saat dia merasa kacau, tiba-tiba saja bel istirahat berbunyi. Dengan cepat Aluna pergi ke kantin. Dia sama sekali tidak masuk ke dalam untuk membereskan beberapa berkas. Sekarang ya
Sepeninggalnya Danita, Darren hanya bisa terduduk lemah di kursi kebesarannya. Ada raut kekesalan sebab ternyata Danita sudah mengetahui semua yang terjadi kepada Aluna.Kalau masalah Aluna itu sih hal yang wajar. Tetapi bagaimana dia bisa mengaudit semua divisi dalam waktu 1 minggu? Sementara Darren tidak tahu siapa saja yang berkhianat kepadanya. Melihat itu Aluna pun mendekat. Saat ini dia harus berperan sebagai seorang istri yang baik, membimbing dan menemani Darren melewati semua ini. Walaupun agak canggung. Aluna menepuk pundak Darren, membuat pria itu menoleh dengan tatapan bingung. "Kalau misalkan Bapak butuh bantuan saya, saya akan lakukan itu," ungkap Aluna membuat Darren menautkan kedua alisnya."Maksud kamu apa?" "Iya, masalah audit itu. Kalau misalkan Bapak butuh bantuan, nanti saya dengan Alika akan mencoba mencari tahu siapa saja yang bermasalah di kantor ini," terang Aluna membuat Darren membulatkan mata tak percaya. "Ini beneran kamu, Aluna?" "Maksud Bapak?"Dar
"Nggak usah, Bu. Nggak usah lakukan apa-apa. Lagian Siska udah keluar dari perusahaan ini Pak, eh Mas Darren sudah memecatnya," ujar Aluna membuat Darren menoleh.Pria itu merasa tersentak saat Aluna tiba-tiba saja panggilan dengan kata Mas. Gadis itu sama sekali tidak canggung jika di depan Danita, tetapi kenapa di belakang semua orang Aluna selalu memanggilnya Pak? Alasannya tua. Ini benar-benar membuat Darren kesal. Namun, dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau sampai menyakiti Aluna, bisa-bisa Danita juga melakukan hal yang sama kepadanya. Mungkin membuat Darren sengsara. Itu yang dipikirkan sang pria. "Tapi, itu tidak cukup, Sayang. Siska itu sudah keterlaluan, sampai menjambak kamu. Kalau misalkan dia menjambak harusnya kamu juga menjambaknya." Danita membuat Aluna terperangah sembari mengerjapkan mata. Dia tidak menyangka kalau wanita elegan seperti ini menyuruhnya balas dendam yang sama.Hanya saja Aluna tidak berpikir demikian."Tidak usah lah, Bu. Lagian menurutku ini
"Ibu!" seru Darren dan Aluna saat mengetahui kalau Danita datang.Wanita paruh baya itu memakai baju branded, penampilan bak seorang konglomerat. Benar-benar elegan. Dia sengaja tidak menyamar dan ingin memastikan terlebih dahulu apakah benar kalau Siska sudah keluar dari perusahaan ini. Sebab dia mendapat kabar dari Amarudin kalau Siska langsung dikeluarkan setelah menyakiti Aluna."Ibu, ngapain di sini?" tanya Darren. Dia berdiri menghampiri Danita, begitupun dengan Aluna.Gadis itu langsung menyalami sang wanita paruh baya, membuat Danita tersenyum. Benar-benar perilaku yang menyejukkan hati. "Kamu tidak apa-apa?" tanya Danita tiba-tiba saja kepada Aluna, membuat gadis itu menautkan kedua alis. Darren terdiam keheranan. Dia melihat pada kedua wanita berbeda usia tersebut. "Memang kenapa dengan Aluna?" Pertanyaan Darren yang salah membuat Danita langsung mendelik dengan tatapan marah. "Kenapa kamu bilang? Kamu tidak melaporkan apa yang sudah terjadi kepada menantu Ibu di sini, k
Raka semakin menggila. Dia bertanya kepada orang-orang yang tiba-tiba saja berkumpul mengelilingi pria itu. Dia seperti seseorang yang kemalingan sesuatu, sampai rasanya begitu menyakitkan. Tak tahu kalau ternyata anak yang begitu dicintainya menghilang tanpa jejak. Di saat keadaan kacau seperti ini, mata Raka menangkap sosok Bu Murni. Ya, tentu saja hanya wanita paruh baya itu yang sangat dekat kepada mantan istrinya. Tanpa diduga Raka langsung menghampiri Bu Murni. Membuat semua orang langsung mengalihkan pandangan mereka kepada dua orang itu. "Bu, Ibu tahu tidak ke mana Lusi dan Alia? Kenapa rumah ini tiba-tiba saja jadi kontrakan dan dikunci? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Raka tampak frustrasi.Melihat itu, Bu Murni begitu kasihan. Tampak sekali kalau Raka putus asa dan sangat sedih. Tetapi, dia sudah janji kepada Lusi tidak akan memberitahukan ke mana wanita itu pergi. Karena kalau tidak, maka bahaya mungkin saja menyertai Lusi dan Alia. Apalagi Bu Murni tahu kejadian sa
Siska mengepalkan kedua tangan dengan sangat erat. Dia benci dengan perkataan yang dilontarkan oleh Andri. mMeskipun memang dia tidak perawan saat melakukan hubungan itu dengan sang pria, harusnya Andri sadar diri kalau selama mereka berhubungan hanya dengan Andri lah Siska tidur. Tetapi ternyata pria itu sama sekali tidak memedulikannya dan malah mengejek wanita itu. "Iya, Mas. Memang aku akui, aku tidak perawan saat tidur denganmu. Tapi saat aku menjadi pacarmu, aku hanya melakukannya denganmu, Mas. Jadi, memang kamu yang harus bertanggung jawab!"Dari seberang sana terdengar tawa Andri yang begitu keras, membuat Siska bingung sendiri. "Itu mimpimu saja, Siska. Aku tidak akan pernah bertanggung jawab atas apa pun yang aku lakukan! Bukankah kita sama-sama saling suka? Kecuali aku merudapaksa kamu, itu baru aku akan bertanggung jawab." Mendengarnya Siska marah besar. Dia ingin sekali menampar pria itu. Sayangnya, tidak bisa karena mereka berjauhan."Kurang ajar kamu, Mas! Kamu ben
Saat ini Siska berjalan gontai memasuki kontrakan. Dia benar-benar tidak menyangka kalau akhirnya seperti ini. Padahal sudah dibayar besar oleh pihak perusahaan rival dari perusahaannya Darren, tetapi pada akhirnya semua harus hancur gara-gara perseteruannya dengan Aluna. Di sini Aluna yang salah, kenapa dia yang dipecat? Mentang-mentang istri bosnya. Seharusnya Darren yang bersikap adil dan bijaksana, begitu pikir Siska. Sang wanita pun merebahkan diri di kasur sembari melihat langit-langit. Dia tidak tahu harus berbuat apa, pasti sebentar lagi dirinya akan dicari oleh perusahaan yang mempekerjakan wanita itu. Entah akan dipecat atau diberikan hukuman, yang pasti Siska harus segera mengakhiri semua ini dengan cara pergi dari sini secepatnya. Di saat seperti itu, tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Di sana ada nama Andri. Dengan cepat sang wanita menerima panggilan dari kekasihnya. "Halo, Mas. Kamu di mana? Aku tadi cari-cari kamu di kantor. Tapi, tidak ada.""Diam!" seru Andri den
Aluna terdiam sejenak. Dia berusaha memilih kata-kata yang tepat untuk memberikan alasan, kenapa tidak mau memanggilnya Pak. "Sebenarnya, banyak alasannya, sih. Tapi sepertinya Bapak tidak usah tahu." "Kenapa? Kalau memang ada alasan, katakan saja." "Ya, saya takut Bapak marah dan malah menghukum saya lebih parah lagi." "Justru kalau kamu tidak mengatakannya, aku akan memberikan hukuman tiga kali lipat lebih dari sekedar mengganti panggilan." Mendengarnya Aluna terkesiap. Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kalau seperti ini, tidak ada pilihan lain kecuali mengatakan apa yang dipikirkannya. "Begini, Pak. Pertama, usia Bapak itu lebih matang dari saya, jadi rasanya tidak pantas saja kalau misalkan saya memanggil Bapak dengan sebutan Mas." "Apa?!" Darren langsung berdiri, membuat Aluna terkesiap. "Jadi, menurutmu secara tidak langsung aku ini tua?"Dengan susah payah Aluna berusaha tenang. Dalam hati merutuk, tentu saja pria ini tua. 'Apa dia tidak sadar diri dengan usia