Sekali lagi Danita memegang tangan Aluna dengan kuat. Kali ini, Aluna merasakan sesuatu yang menjalar. Seperti sebuah energi kuat yang berhasil Danita salurkan padanya."Janji kamu tidak akan tinggalkan Darren, apa pun yang terjadi."Aluna tersentak. Tubuhnya tiba-tiba saja menegang di tempat dengan pemikiran yang bercampur aduk.Bagaimana bisa dia berjanji seperti itu? Sementara, dia hanya punya waktu 3 tahun untuk bertahan dengan Darren. Itu pun dia pasti susah payah untuk bertahan dengan sang pria. Apalagi jika harus hidup selamanya bersama Darren? Akan seperti apa Aluna nanti?Melihat Aluna yang hanya diam saja, Danita tahu apa jawabannya. Pasti sangat berat untuk Aluna hidup bersama dengan Darren. Tetapi, Danita tidak bisa membiarkan anaknya hidup sendiri di sisa hidupnya.Apalagi jika diperdaya oleh wanita yang salah.Genggaman di tangan Aluna mengendur, sang gadis pun merasakan itu. Dia menoleh pada Danita, merasa sangat bersalah kala melihat wajah sang wanita paruh baya murung
Malam hari setelah makan malam, Aluna memilih untuk langsung ke kamar. Dia belum terbiasa dengan tempat ini. Ditambah, tadi sempat bertengkar dengan Darren. Jadi, dia pun berharap semua akan baik-baik saja. Setidaknya, tidur malam ini nyenyak sebelum besok menghadapi kenyataan.Suara derit pintu membuat tubuh Aluna menegang. Dia hampir saja terlelap, tapi harus kembali tertarik ke alam sadar kala mendengar suara pintu.Langkah pasti terdengar, ditambah, kasur sebelah terasa ada pergerakan. Sudah dipastikan kalau itu adalah Darren.Sang pria melihat Aluna yang berbaring. Dalam hati sudah tidak sabar untuk bertanya perihal kejadian hari ini, termasuk kecurigaannya. Tetapi, bagaimana kalau Aluna sudah tidur? Begitu isi pikiran sang pria.Belum lagi, ini kali pertama mereka tidur satu ranjang. Aluna juga menyadari itu. Dia bahkan berusaha menahan diri sebab jantungnya berdetak dengan sangat kencang.Bukan, bukan karena ada perasaan. Tetapi, Aluna takut kalau Darren macam-macam padanya.Me
"Aku mau bicara serius," ucap Darren, membuat Aluna terdiam. Sesekali mengerjapkan mata."Kalau nanti saja di kantor, gimana?"Derren berdecak sembari mengusap kepalanya dengan kasar. Gadis ini dimintai untuk berbicara malah pakai acara tawar-menawar segala. "Tidak mau! Kalau di kantor beda lagi. Aku harus jaga sikap dan terlihat mesra denganmu, kan?" ucap Darren, membuat Aluna terdiam. Dia sampai lupa dengan perannya sebagai istri bayaran."Lalu, apalagi yang ingin Bapak katakan? Kalau memang ingin berbicara, bicara saja," ucap Aluna, sembari membereskan isi tas kerjanya. Dia belum beres-beres, bahkan sampai ke tas kerjanya pun tak tersentuh sama sekali.Darren yang tidak suka dengan sikap Aluna yang seolah tak acuh kepadanya. Padahal sudah jelas kalau dirinya akan berbicara serius dengan gadis itu, tetapi Aluna malah sibuk dengan kegiatannya sendiri. "Bisakah kamu berhenti melakukan hal itu?! Aku sedang berbicara serius denganmu." Suara Darren berhasil membuat Aluna terkesiap.
"Halo, Sayang," ucap Danita saat melihat Aluna dan Darren turun dari tangga.Darren yang ada di belakang Aluna pun menautkan kedua alis. "Ibu menyapa aku atau Aluna?" tanya Darren dengan polos, membuat kedua wanita berbeda usia itu menoleh. Danita menatap tajam anaknya sembari mendengkus kesal. "Tentu saja Ibu menyapa menantu Ibu. Untuk apa Ibu menanya kamu yang sudah menyakiti menantu Ibu?!" seru Danita, membuat Darren terkesiap dan hanya bisa berdiam diri saja. Ini sungguh di luar dugaan. Dulu sebelum ada Aluna, Danita memang sering marah-marah dan terus menegurnya. Tetapi baru juga satu hari Aluna di sini, dia sudah seperti anak tiri bagi Danita. Sungguh tidak adil."Ayo, Aluna. Duduk, Ibu sudah membuatkan makanan yang enak. Ini buatan Ibu sendiri, loh," ujar Danita dengan antusias. Aluna melihat makanan ini, benar-benar bertemakan western. Entah bagaimana, apakah dia bisa memakannya? Sementara setiap hari makanannya terus dicicipi dengan makanan-makanan khas Indonesia. "Wah,
Derren hanya bisa diam saja, tak tahu harus mengatakan apa. Sebab yang dikatakan Danita benar. Saat ini dia mengakui kalau Aluna baik. Bahkan mau membuatkan sarapan untuknya, meskipun dia tidak tahu apakah ini sandiwara atau tidak. Yang pasti, dia terselamatkan karena bisa mengganjal perutnya di pagi hari sebelum memulai aktivitas. Tak lama kemudian Aluna pun memberikan omelet untuk suaminya. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya menyediakan dan menyodorkan minuman.Danita menunggu reaksi Darren, seperti menonton sebuah kisah romansa dari pengantin baru yang baru saja saling mengenal. Darren terdiam melihat dua wanita itu yang melihatnya. "Kenapa kalian melihatku? Ayo, makan saja! Tidak usah hiraukan aku!" seru Darren, merasa kesal. Danita mencebik. Dia lalu mempersilakan Aluna untuk kembali duduk dan menikmati makanan yang sudah dibuat olehnya. Saat Danita dan Aluna mulai menyantap makanan, mereka sempat diselingi tawa dan juga obrolan. Sementara Darren hanya bisa menatap omelet it
Darren dan Aluna pergi bersama memakai mobil yang sama pula. Selama perjalanan Aluna memilih untuk diam dan melihat ke arah luar jendela. Dia sama sekali tidak mau terlibat obrolan bersama Darren, apalagi hanya berdua seperti ini. Di rumah mertua saja Darren berani mengatakan hal-hal yang buruk, apalagi jika tidak ada siapa-siapa. Sementara itu Darren masih memikirkan perihal perkataan Aluna di kamar, saat gadis itu menjamin tidak mengadu perihal perlakuannya selama ini atau balas dendam atas perlakuan selama ini kepada Darren. Apalagi ibunya sudah meminta cucu. Padahal pernikahan mereka hanya beberapa tahun saja. Memikirkan itu membuat Darren merasa pusing sendiri. Sang pria sampai memijat kepalanya yang berdenyut nyeri. "Apa kamu tadi menganggap serius pertanyaan Ibu?" tanya Darren tiba-tiba, membuat Maura menoleh. Gadis itu menautkan kedua alis. Dia pikir sang pria tidak memikirkan perkataan tadi, tapi ternyata malah bertanya seperti ini, membuat Aluna malu dan bingung bersamaan
Wajah Darren begitu serius dan Aluna tahu jika sampai dia sudah mengatakan hal demikian apalagi raut wajahnya menegangkan, maka mau tidak mau gadis itu harus mengikutinya. Akhirnya dengan terpaksa Aluna pun menurut saja dengan perkataan Darren. Entah bagaimana reaksi orang kantor, yang pasti dia tidak punya pilihan. Tetapi memang ada benarnya juga, saat ini mereka suami istri, mau tidak mau harus terlihat mesra bersama. Jadi Aluna tidak bisa menolak atau menentangnya lagi. Darren masuk ke parkiran khusus atasan. Dia turun, tapi belum juga apa-apa tiba-tiba saja sang pria menyuruh Aluna untuk diam. Gadis itu tentu saja kebingungan. Bukannya ini sudah sampai? Kenapa dia tidak boleh turun? Begitu pikir Aluna, tetapi siapa sangka? Pria itu tiba-tiba saja berjalan memutar dan membuka pintu mobil untuk Aluna.Sang gadis terperangah sembari membulatkan mata. Benarkah apa yang dilihatnya saat ini? Seorang pria egois ini tiba-tiba saja membukakan pintu untuknya. Aluna sampai tak bisa berger
Aluna menghela napas lega sembari melepaskan tangannya dari genggaman Darren saat mereka sudah berada di ruangan sang suami. Pria itu terkesiap melihat pergerakan Aluna, tampak sekali kebingungan di raut wajahnya. Reaksi itu tertangkap oleh mata Aluna, sang gadis langsung menjelaskan, tidak mau sampai pria itu berpikir macam-macam kepadanya. Bisa-bisa yang ada pertengkaran dan lebih parahnya lagi mungkin karyawan di sini akan mendengarkan. Itu bisa merubah citra baik Darren. "Santai dulu, dong, Pak. Jangan lihatin saya kayak gitu. Lagian, kan ini sudah sampai ruangan. Jadi, Bapak tidak perlu memegangi tangan saya, kan?" "Iya, tapi kamu tidak perlu menepisnya juga. Memangnya aku ini menjijikan sampai kamu cepat-cepat melepasnya?"Aluna mencebik. Dia tidak mau ambil pusing dan memilih untuk kembali ke tempatnya. Dia tidak mau satu ruangan dengan Darren, bisa-bisa darahnya akan terus naik. Mungkin gadis itu harus membeli obat darah tinggi agar tidak kaget lagi kalau misalkan Darren tib