Danita menautkan kedua alisnya, bingung karena tak menyangka kalau Aluna malah pulang ke rumah ibunya. Rasa takut pun tiba-tiba saja menyergap. Mungkinkah Aluna mengadukan perbuatan Darren kepada ibunya? Kalau benar, mungkin saja Danita akan kehilangan menantu baiknya ini. "Kenapa kamu pulang ke rumah ibumu? Apakah terjadi sesuatu di sana?" tanya Danita, berusaha untuk tenang.Dia tidak boleh membuat Aluna panik, bisa-bisa Danita benar-benar akan kehilangan menantu cantiknya ini. Aluna menggelengkan kepala dengan perasaan campur aduk. Dia tidak mungkin berbicara sejujurnya tentang hubungan yang terjadi antara Darren. Jadi, gadis itu pun berusaha dengan cepat mencari jawaban yang terbaik untuk sang mertua. "Jad, begini, Bu. Aku hanya kangen saja sama Ibu. Soalnya kan selama ini aku tinggal sama Ibu berdua. Aku takut kalau Ibu kesepian, jadi sengaja mampir dulu ke sana. Tahunya malah ketiduran. Maaf ya, Bu," papar Aluna, berusaha menjelaskan sebaik mungkin. Walaupun itu kebohongan,
Dalam perjalanan ke arah kamar, Darren sebenarnya gengsi untuk meminta maaf kepada Aluna perihal ini. Tetapi mengingat perkataan ibunya, memang ada benarnya. Kalau misalkan Aluna sampai meninggalkan atau terjadi sesuatu yang buruk kepada Aluna, maka dia sendiri yang akan repot. Apalagi jika gadis itu menjauh, mungkin semua rencana yang akan dia lakukan berakhir sia-sia. Jadi, sang pria pun memilih untuk pergi saja dan meminta maaf kepada Aluna. Saat pintu kamar dibuka, Aluna terkesiap. Kala itu sang gadis sedang duduk di kamar, menunggu panggilan untuk makan malam. Dia tidak berani turun sebab masih malu perihal tadi. Aluna tampak ketakutan mendapati Darren sudah ada di kamar. Pria itu masih berdiri di sana. Lalu, tak lama kemudian menutup pintu. Darren berjalan pelan mendekat kepada Aluna, membuat jantung wanita itu bergetar dengan sangat kencang. Takut kalau sang pria marah-marah kepadanya sebab kejadian hari ini. Lalu, tak lama kemudian, dia mendapati sepatu sang pria sudah ada d
"Maaf, Bu. Aku izin ke toilet sebentar," ucap Aluna memilih untuk pergi dari sana.Rasanya air matanya akan kembali menetes jika mendengar perkataan Darren. Harusnya pria itu belajar dari kesalahannya tadi, tapi malah kembali mengucapkan kata-kata yang tidak seharusnya. Kepergian Aluna membuat Danita kesal. Dia menggeram. Lalu, mendekat kepada Darren. "Bisakah kamu tidak mengatakan hal-hal yang buat istrimu tersinggung?" "Hah, memang aku salah apa?" "Dasar pria tua! Kamu itu memang benar-benar harus belajar bagaimana memahami perasaan wanita, ya?!" seru Danita, membuat Darren melotot. Setelah beberapa bulan lamanya, akhirnya sebutan pria tua itu kembali menempel kepadanya. Padahal biasanya Aluna yang mengatakan itu, tetapi sekarang ibunya ikut-ikutan mengatainya. "Ibu, apaan sih?! Kenapa mengatai aku seperti itu?" "Memang benar, kan? Masih untung ada yang mau menikah denganmu, tapi kamu malah mengatakan hal seperti itu." "Emangnya aku salah apa?" "Jaga ucapanmu! Sudah bagus A
"Tidak apa-apa, Bu. Pa ... em, Mas Darren ada benarnya juga. Seharusnya aku tidak melakukan ini. Maaf, karena belum bisa mengikuti aturan rumah ini," ujar Aluna.Danita kaget mendengar menantunya berbicara seperti itu. Bahkan, Aluna sampai membungkuk beberapa kali, membuat sang wanita merasa bersalah dan malu."Loh, tidak, Sayang. Kamu gak salah apa-apa. Lagian, aturan apa? Kamu bebas melakukan apa saja di sini, termasuk masak dan aktivitas dapur lainnya. Kamu jangan dengarkan pria tua itu."Darren yang sebelumnya menunduk pun langsung tersentak mendengar dirinya disebut pria tua."Bu!""Diam!"Seketika Darren terkesiap. Ada raut ketakutan di wajah sang pria."Kamu memang sudah tua, tapi kelakuan seperti anak TK. Berpikirlah dewasa, Darren. Istrimu ini baik. Biarkan saja dia melakukan apa yang dimau. Selama itu baik dan tidak membahayakan, jangan halangi. Aneh kamu ini, punya istri baik malah dimarahi."Darren baru saja membuka mulut untuk membela diri, tapi kembali disela oleh ibunya
Sekali lagi Danita memegang tangan Aluna dengan kuat. Kali ini, Aluna merasakan sesuatu yang menjalar. Seperti sebuah energi kuat yang berhasil Danita salurkan padanya."Janji kamu tidak akan tinggalkan Darren, apa pun yang terjadi."Aluna tersentak. Tubuhnya tiba-tiba saja menegang di tempat dengan pemikiran yang bercampur aduk.Bagaimana bisa dia berjanji seperti itu? Sementara, dia hanya punya waktu 3 tahun untuk bertahan dengan Darren. Itu pun dia pasti susah payah untuk bertahan dengan sang pria. Apalagi jika harus hidup selamanya bersama Darren? Akan seperti apa Aluna nanti?Melihat Aluna yang hanya diam saja, Danita tahu apa jawabannya. Pasti sangat berat untuk Aluna hidup bersama dengan Darren. Tetapi, Danita tidak bisa membiarkan anaknya hidup sendiri di sisa hidupnya.Apalagi jika diperdaya oleh wanita yang salah.Genggaman di tangan Aluna mengendur, sang gadis pun merasakan itu. Dia menoleh pada Danita, merasa sangat bersalah kala melihat wajah sang wanita paruh baya murung
Malam hari setelah makan malam, Aluna memilih untuk langsung ke kamar. Dia belum terbiasa dengan tempat ini. Ditambah, tadi sempat bertengkar dengan Darren. Jadi, dia pun berharap semua akan baik-baik saja. Setidaknya, tidur malam ini nyenyak sebelum besok menghadapi kenyataan.Suara derit pintu membuat tubuh Aluna menegang. Dia hampir saja terlelap, tapi harus kembali tertarik ke alam sadar kala mendengar suara pintu.Langkah pasti terdengar, ditambah, kasur sebelah terasa ada pergerakan. Sudah dipastikan kalau itu adalah Darren.Sang pria melihat Aluna yang berbaring. Dalam hati sudah tidak sabar untuk bertanya perihal kejadian hari ini, termasuk kecurigaannya. Tetapi, bagaimana kalau Aluna sudah tidur? Begitu isi pikiran sang pria.Belum lagi, ini kali pertama mereka tidur satu ranjang. Aluna juga menyadari itu. Dia bahkan berusaha menahan diri sebab jantungnya berdetak dengan sangat kencang.Bukan, bukan karena ada perasaan. Tetapi, Aluna takut kalau Darren macam-macam padanya.Me
"Aku mau bicara serius," ucap Darren, membuat Aluna terdiam. Sesekali mengerjapkan mata."Kalau nanti saja di kantor, gimana?"Derren berdecak sembari mengusap kepalanya dengan kasar. Gadis ini dimintai untuk berbicara malah pakai acara tawar-menawar segala. "Tidak mau! Kalau di kantor beda lagi. Aku harus jaga sikap dan terlihat mesra denganmu, kan?" ucap Darren, membuat Aluna terdiam. Dia sampai lupa dengan perannya sebagai istri bayaran."Lalu, apalagi yang ingin Bapak katakan? Kalau memang ingin berbicara, bicara saja," ucap Aluna, sembari membereskan isi tas kerjanya. Dia belum beres-beres, bahkan sampai ke tas kerjanya pun tak tersentuh sama sekali.Darren yang tidak suka dengan sikap Aluna yang seolah tak acuh kepadanya. Padahal sudah jelas kalau dirinya akan berbicara serius dengan gadis itu, tetapi Aluna malah sibuk dengan kegiatannya sendiri. "Bisakah kamu berhenti melakukan hal itu?! Aku sedang berbicara serius denganmu." Suara Darren berhasil membuat Aluna terkesiap.
"Halo, Sayang," ucap Danita saat melihat Aluna dan Darren turun dari tangga.Darren yang ada di belakang Aluna pun menautkan kedua alis. "Ibu menyapa aku atau Aluna?" tanya Darren dengan polos, membuat kedua wanita berbeda usia itu menoleh. Danita menatap tajam anaknya sembari mendengkus kesal. "Tentu saja Ibu menyapa menantu Ibu. Untuk apa Ibu menanya kamu yang sudah menyakiti menantu Ibu?!" seru Danita, membuat Darren terkesiap dan hanya bisa berdiam diri saja. Ini sungguh di luar dugaan. Dulu sebelum ada Aluna, Danita memang sering marah-marah dan terus menegurnya. Tetapi baru juga satu hari Aluna di sini, dia sudah seperti anak tiri bagi Danita. Sungguh tidak adil."Ayo, Aluna. Duduk, Ibu sudah membuatkan makanan yang enak. Ini buatan Ibu sendiri, loh," ujar Danita dengan antusias. Aluna melihat makanan ini, benar-benar bertemakan western. Entah bagaimana, apakah dia bisa memakannya? Sementara setiap hari makanannya terus dicicipi dengan makanan-makanan khas Indonesia. "Wah,
"Lo tahu ngga? Tadi itu Bu Aluna keluar dari ruangan Pak Darren dengan wajah marah. Terus tak lama kemudian Pak Darren juga keluar, dia malah kebingungan." Tak sengaja Alika mendengar pembicaraan salah satu rekan kerjanya yang tempat duduknya bersebelahan dengan dia. Sontak Alika pun menoleh dengan alis saling bertautan. "Tunggu, tunggu, tunggu! Kalian berdua lagi ngomongin apa?" tanya Alika membuat kedua wanita itu langsung menoleh. "Ini temen lo tuh, Aluna. Katanya udah keluar dari kantor Pak Darren dengan wajah marah. Apa mereka bertengkar, ya?" tanya salah satu di antara mereka kepada Alika, membuat sang gadis kaget. "Salah lihat kali," ucap Alika, karena nggak mau sampai salah bicara atau diam saja. Takut jika rekan-rekan kerjanya berpikiran macam-macam terhadap dua orang itu. "Mana mungkin salah lihat! Orang gue lihat sendiri, kok," timpal salah satunya yang sedang berdiri. "Bu Aluna kan teman lo, apa nggak sebaiknya lo cari tahu? Jangan-jangan mereka sedang bertengkar ata
Darren dan Aluna saling pandang. Pria itu tampaknya benar-benar baru sadar apa yang sudah dikatakannya barusan. Apalagi melihat Aluna yang marah dengan wajah memerah, dia itu juga melihat kalau sang gadis mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Ini bahaya. Jika seorang Aluna bisa marah seperti ini, artinya dia sudah keterlaluan mengatakan hal tadi. "Aluna, dengarkan aku dulu. Tadi itu--" "Nggak, Pak. Cukup! Saya sudah mengerti. Bapak menilai saya serendah itu. Padahal Bapak sendiri yang membuat aturan, tapi Bapak yang melanggarnya. Harusnya Bapak sadar, kalau bukan karena saya mungkin saat ini Bapak masih dikejar-kejar untuk mencari jodoh." "Iya, aku tadi salah. Aku benar-benar minta maaf dan tidak sengaja mengatakan itu." "Tidak sengaja, Pak? Bapak spontan mengatakan itu sambil tertawa. Itu membuat harga diri saya diinjak-injak." "Loh, aku tidak menginjak harga dirimu. Aku benar-benar menghormatimu, bahkan aku khawatir terjadi sesuatu kepadamu. Sampai mencari ke mana-mana."Al
Darren langsung memundurkan tubuhnya, tapi dia masih menatap gadis itu dengan tajam. Entah kenapa reaksi yang diberikan oleh Darren membuat Aluna ketakutan sendiri. Mungkinkah pria itu tahu kalau dirinya tidak ada di pantry saat itu. "Jangan bohong! Aku tadi ke pantry dan tidak ada siapa-siapa." Seketika Aluna hanya bisa terdiam, suaranya tidak keluar sama sekali menandakan kalau dirinya benar-benar sudah terpojok. Gadis itu merutuki diri, tapi juga tidak tahu harus berbuat apa-apa. Sebab dirinya malu jika berhadapan dengan Darren. Saat ini saja kalau Darren tidak memberikan ekspresi marah, mungkin kelebatan saat mereka melakukan adegan ciuman itu akan kembali terulang. "Katakan, Aluna. Kenapa kamu menghindariku? Apa gara-gara aku menciummu?"Tubuh Aluna menegang. Wajahnya saat ini benar-benar memerah. Haruskah Darren mengatakan hal seperti itu di depan gadis yang belum pernah tersentuh oleh pria manapun? Ini memalukan untuk Aluna. Gadis itu sampai menunduk karena malu. Melihat r
Aluna memejamkan mata. Benar kata Alika. Dia tidak mungkin menghindari Darren, sebab satu ruangan dan juga satu rumah. Akhirnya Aluna menghela napas panjang sembari memejamkan mata. Berusaha untuk tenang. Ini menyangkut temannya, tidak mungkin kalau misalkan dia terus-terusan menghindar dari Darren, yang akan kena tetap saja Alika. "Oke, kalau gitu gue harus kembali ke tempat gue." "Nah, bagus seperti itu! Ya, sudahlah. Lagian kalau misalkan lo malu sama suami lo sendiri, diam saja. Lo tinggal berusaha untuk ngelupain kejadian itu.""Ya, nggak bisa kayak gitu dong, Alika.""Ya, terus gue harus gimana? Lo kan nggak bisa tiap hari menghindar. Sudah, pokoknya lo hadapin kenyataan itu. Lagian kan baru satu kali, mungkin ada yang kedua, yang ketiga." "Apa?!" Aluna melotot, kembali terperangah. Membuat Alika tertawa. Setelah itu sang gadis pun memilih untuk pergi dari hadapan temannya. Dia harus menyelesaikan tugas. Kalau misalkan tugasnya diselesaikan oleh orang lain, bisa-bisa akan me
Entah sudah berapa lama Darren mondar-mandir di depan Alika. Sebenarnya ingin mengajukan protes dan keluar dari ruangan ini, tentu saja karena pekerjaannya sudah banyak. Bahkan makan siangnya tadi tidak selesai sebab Darren tiba-tiba saja menyuruhnya ke kantor. Sekarang malah melihat bosnya mondar-mandir tak jelas dengan wajah bingung serta kusut.Darren mengusap kasar rambutnya dan mengerang keras. Alika sampai terduduk tega karena kaget mendengar itu. Sang pria menoleh kepada Alika, lalu berkacak pinggang. Membuat gadis itu meneguk saliva dengan susah payah, karena takut jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan. "Begini saja, kamu pastikan Aluna pergi ke mana." "Apa?! Jadi, maksudnya saya harus mencari Aluna?""Betul!" "Tapi, Pak. Bagaimana dengan kerjaan saya?" "Gampang, aku akan menyuruh orang untuk mengerjakan sisa kerjaanmu." "Tapi, Pak--" "Diam, Alika! Jangan protes apa-apa lagi. Kamu dengar kan perkataanku tempo hari? Kamu harus melakukan apa saja agar memberikan informa
Tak lama kemudian akhirnya Alika pun datang ke kantor Darren. Dia melihat ke sekitar, tak mendapati Aluna. Gadis itu langsung meneguk saliva dengan susah payah, ini pasti gara-gara Aluna yang tiba-tiba saja pergi saat dihampiri oleh bosnya. Dia benar-benar merutuki, kenapa harus dirinya yang terlibat dalam masalah ini? Namun, mau bagaimana lagi? Menolak pun rasanya tak mungkin. Bisa-bisa pria itu akan memecatnya dan mem-blacklist Alika dari semua perusahaan yang ada di kota ini. "Duduk!" seru Darren, membuat Alika dengan rasa takut. Wajahnya tampak ketakutan dengan tubuh yang bergetar."Kamu tahu kenapa dipanggil ke sini?" Alika pura-pura menggelengkan kepala. Walaupun dia tahu, Alika tidak mau sampai salah bicara atau temannya akan dalam masalah lagi. "Baiklah, langsung saja to the point. Ke mana Aluna pergi?" "Toilet," jawab Alika langsung, membuat Darren mengerjapkan mata berkali-kali. Tak percaya. "Toilet?" tanya Darren lagi, yang langsung diangguki oleh gadis itu."Tapi, a
Aluna tiba-tiba saja menegang, keringat dingin bermunculan di telapak tangan dan juga sulit sekali untuk meneguk saliva. Langkah Darren semakin pasti mendekati Aluna. Dia jadi bingung harus melakukan apa, sampai tiba-tiba satu ide terlintas. "Gue mau ke toilet." Aluna tiba-tiba saja berdiri dan pergi dari hadapan Alika, membuat gadis itu syok. Begitu juga dengan Darren yang tiba-tiba saja melihat Aluna pergi dari sana. "Loh, lo mau ke mana?!" seru Alika melihat Aluna begitu cepat berjalan menjauh darinya. Sementara itu Darren juga dengan cepat berjalan mendekat kepada Alika. "Istriku mau ke mana?" tanya Darren yang tiba-tiba saja membuat Alika kaget sembari duduk dengan wajah ketakutan. "Dia mau ke mana?" tanya Darren lagi memastikan, membuat Alika tiba-tiba saja terserang syok. "Kamu kenapa diam saja?! Aku bertanya kepadamu!" seru Darren yang berhasil membuat Alika terkesiap. "Anu ... dia ke toilet," ucap Alika dengan cepat, membuat Darren mengalami syok, lalu tanpa mengataka
"Lo jangan diem aja kayak gini, dong! Gue kan jadi bingung harus ngapain. Sebenarnya apa yang terjadi, sih? Kalau misal lo diam aja, ya udah deh gue pergi," ujar Alika, akhirnya kesel sendiri karena dari tadi Aluna hanya diam saja.Saat gadis itu hendak berdiri, Aluna langsung menarik tangan temannya untuk duduk."Oke, oke. Gue akan cerita," ucap Aluna membuat Alika akhirnya bisa bernapas lega. Aluna memberikan isyarat agar Alika mendekat kepadanya, lalu dengan perasaan campur aduk Aluna membisikkan sesuatu kepada gadis itu.Bola mata Alika membulat dengan mulut terperangah. "Lo beneran habis--""Sssttt!" Aluna langsung berdesis sembari menempelkan jari telunjuk ke bibir."Jangan keras-keras!" seru Aluna berusaha untuk melihat ke sekitar. Untunglah orang-orang yang sedang sibuk mengambil makan siangnya, jadi hanya sebagian yang menoleh lalu kembali ke aktivitas semula. Alika masih tampak syok, tapi dia tetap tenang dan mengikuti semua yang diminta oleh temannya. "Sudah jangan dis
Karyawan itu sudah keluar untuk tanda tangan, tetapi Aluna masih enggan untuk masuk ke ruangan Darren. Gadis itu merutuki diri. Kenapa juga harus satu lingkup ruangan dan hanya disekat tembok kecil yang terbuat dari kayu itu? Sama saja bohong!Dia benar-benar harus bisa bertemu dengan Darren. Sementara saat ini tangan dan tubuhnya terasa dingin. Jantung juga berdetak dengan sangat kencang, karena benaknya tiba-tiba saja teringat dengan kejadian tadi. Gadis itu sampai memukul-mukul kepalanya sendiri."Apa sih yang sudah aku lakukan tadi?! Ngapain juga aku ciuman sama Pak Darren?" gumamnya dengan perasaan yang sangat malu. Sungguh, ini pertama baginya. Walaupun memang Darren adalah suami Aluna, tetapi mereka sudah berjanji untuk tidak saling menyentuh. Ini benar-benar membuat dirinya kikuk sekali.Untungnya saat dia merasa kacau, tiba-tiba saja bel istirahat berbunyi. Dengan cepat Aluna pergi ke kantin. Dia sama sekali tidak masuk ke dalam untuk membereskan beberapa berkas. Sekarang ya