Beberapa bulan berlalu....Sakti pun akhirnya bisa pulang ke rumah. Perban dan jahitan pada lukanya sudah dilepas dan Sakti dikatakan sembuh."Mana pelukannya? Aku udah sembuh sekarang," ujar Sakti begitu mereka berada di dalam kamar pribadinya.Citra yang baru saja selesai menaruh tas berisi pakaian suaminya itupun seketika menoleh dan menatap cemberut ke arah Sakti yang sudah merentangkan kedua tangannya lebar-lebar untuk menunggu sebuah pelukan."Kayak anak kecil," gerutunya, tapi tetap melangkahkan kakinya menghampiri Sakti dan menghambur memeluk suaminya itu erat-erat.Sementara Sakti justru tak sekalipun mengindahkan gerutuan itu. Sebaliknya, dia malah menghela napas lega dan semakin mengeratkan pelukannya pada Citra."Akhirnya aku bisa peluk kamu dengan leluasa. Aku kangen banget sama kamu," ucapnya.Citra mendengus geli mendengar ucapan suaminya itu. "Kamu ngomong begitu seolah kita gak ketemu sangat lama, padahal tiap hari aku ketemu kamu.""Justru karena itu. Kita setiap har
Mobil Rolls Royce milik Sakti yang dikemudikan oleh pak Hasan itu pun berhenti di depan teras rumah untuk menurunkan Sakti lebih dulu karena pria itu sedari perjalanan pulang terus menerus berisik minta diturunkan tepan di depan rumah, dan tak boleh kurang atau lebih.Setelah memastikan Sakti keluar dengan aman, kemudian pak Hasan pun melajukan kembali mobil yang dikemudikannya itu untuk segera diparkirkan di garasi dengan begitu hati-hati.Sementara itu, Sakti dengan begitu bersemangat masuk ke dalam rumah. Sebab hari ini suasana hatinya benar-benar sangat bagus setelah pergi keluar untuk memastikan suatu hal penting yang sudah sangat lama ingin dia selesaikan."Sayang, aku pulang!" pekik Sakti mengabarkan kepulangannya dengan berteriak penuh semangat.Namun, saat itu suasana rumahnya justru terasa hening. Tak ada suara Citra yang menimpali atau bahkan menyambut kedatangannya. Pada akhirnya, dengan kening yang mengernyit bingung, Sakti pun melangkahkan kakinya menyusuri rumahnya itu
Suara bel yang dibunyikan dari luar itu pun membuat Citra menitipkan Ginata pada pangkuan Sakti, sebelum kemudian mengambil langkah lebar menuju pintu depan untuk memastikan siapa gerangan yang bertamu di minggu pagi ini.Pintu terbuka lebar.Citra sedikit tertegun saat melihat siapa yang datang. Di sana dia melihat Agnes. Perempuan itu datang dengan sekotak kue dari toko yang terlihat mahal, dan dia datang bersama pria yang begitu asing bagi Citra."Pagi bu. Saya dan pak Panji mewakili jajaran direksi untuk menjenguk pak Sakti," ujar Agnes menyapa begitu sopan dengan bahasa formalnya.Citra lebih dulu melirik ke arah panvi dan Agnes secara bergantian, sebelum akhirnya mengulas senyum ramah dan mempersilakan keduanya untuk masuk."Andhika ada di ruang tamu," ujar Citra berbasa basi."Apa sekarang keadaan pak Sakti sudah lebih baik? Maaf kami datang tanpa pemberitahuan dulu," suara Panji yang lebih dulu menimpali keramah tamahan Citra.Walau Citra sebelumnya tak pernah melihat atau bah
"Selamat pagi," ujar Citra menyapa Sakti yang baru bangun itu dengan begitu ceria. Tak lupa dia pun melayangkan tatapan penuh cinta pada suaminya itu.Sambil mengucek matanya yang masih terasa kering setelah bangun tidur, Sakti pun tersenyum hangat ketika samar-samar melihat wajah cantik istirnya. Kemudian, dia pun bergerak menggeliat dan menguap, sebelum akhirnya mengubah posisi berbaringnya jadi menghadap ke arah Citra lalu bertopang kepala dengan tangan kirinya."Selamat pagi, sayang. Rasanya sangat membahagiakan ketika bangun tidur aku langsung melihatmu yang secantik ini dan menyapaku semanis tadi," kata Sakti menyahut dengan senang. "Andai kita bertemu lebih awal, mungkin sudah dari lama aku bisa merasakan kebahagiaan seperti ini."Citra yang mendengar semua kalimat itu pun seketika langsung tersipu, dia merasa malu karena kembali tersadar bahwa ini kali pertama mendengar seseorang yang begitu bersyukur memilikinya, dan orang itu adalah Sakti seorang. Selama ini ia terlalu banya
"Kamu masih minum pil pencegah kehamilan, sayang?" tanya Sakti seraya memiringkan tubuhnya untuk melihat Citra yang duduk di meja rias dan baru saja selesai meminum pil itu. Saat itu posisinya mereka baru selesai berhubungan badan. Sakti yang masih lelah hanya berbaring di atas tempat tidur dengan tubuh yang dibalut selimut, sedangkan Citra buru-buru memakai piyama dan meminum pil kontrasepsi yang selalu disimpannya."Iya masih. Aku masih tetep konsisten melaksanakan keinginan kamu supaya aku jangan sampe hamil dulu," jawab Citra tenang lalu kembali membaringkan tubuhnya di samping suaminya itu karena dia mulai merasa ngantuk.Sakti mengajak berhubungan suami istri pada tengah malam, dan di posisi yang sudah lelah setelah percintaan panas mereka... Citra hanya ingin cepat tidur.Suara deham singkat pun terdengar dari Sakti seiring dengan Sakti yang melingkarkan tangannya pada perut Citra dan memeluk istrinya itu erat-erat."Bukankah aku pernah bilang kalo kontrak itu udah gak berlaku
"Keluarga bahagia katanya? Yang benar saja. Itu gak bisa disebut bahagia karena seharusnya berada di posisi itu adalah aku, bukan si Citra," gumam Agnes berbicara sendiri untuk sekdar mencibir ucapan Panji tempo hari, ketika mereka menjenguk Sakti.Keharmonisan rumah tangga Sakti dan Citra membuat Agnes benar-benar merasa terganggu. Dia iri, sangat iri pada bagaimana Sakti memperlakukan istri dan anaknya.Saking kesalnya karena ingatan soal Sakti yang jadi sosok yang begitu hangat pada keluarga kecilnya, membuat Agnes jadi benar-benar pergi ke bar untuk sekadar menenang dirinya seperti sekarang ini. Dia menenggak habis segelas vodkanya sampai tandas.Sejenak, Agnes memijat kasar pelipisnya tatkala kenangan pahit tentang kisah cintanya yang kandas dengan ironis karena kesalahannya sendiri. Mau beberapa kali pun Sakti mengatakan padanya untuk tak tinggal di masa lalu, tapi tetap saja Agnes tak bisa keluar dari ingatan pahit yang jadi penyesalan terbesarnya itu.Sampai detik ini Agnes ma
Setelah mendengar ucapan ngawur dari Agnes, Panji pun dengan gemas bercampur kesal mengulurkan tangannya dan mencubit pipi Agnes, sampai perempuan itu mengaduh kesakitan. Walaupun sebenarnya itu hanyalah cubitan gemas dan kepalang greget yang tak menimbulkan rasa sakit sama sekali. Agnes hanya merasa terkejut dengan tindakan tiba-tiba yang dilakukan oleh Panji. Pria yang termasuk atasannya di kantor itu melakukan kontak fisik dengannya."Kamu udah mabuk, Agnes. Ucapanmu udah terlalu ngawur" desis Panji sinis. Walaupun wajahnya tetap menunjukkan ekspresi datar. Kali ini dia sudah tak bisa membiarkan Agnes lebih mabuk lagi. "Ayo pulang. Kamu udah mulai ngaco, gak boleh lebih mabuk lagi."Panji bangkit berdiri. Dia meraih tangan Agnes dengan niat hendak bergegas mengajaknya pergi, tapi di detik itu pula justru menepis tangannya."Kenapa pak, apa anda gak berani? Katanya mau jadi temen bicara saya, padahal saya cuma bisa bercerita ketika di tempat tidur saja," ujar Agnes begitu vulgar. E
"Gimana, apa kamu menyukainya?" tanya Sakti memastikan pada Citra ketika mereka akhirnya masuk ke dalam bangunan yang rencananya akan dijadikan toko kue untuk Citra.Citra tak langsung menjawab, dia masih terpaku di tempatnya dengan pandangan yang menyapu tiap sudut ruangan itu, lalu kemudian berakhir menatap ke arah Sakti dengan kedua mata yang berkaca-kaca."Tempatnya bagus banget, Andhika. I-Ini... ini diluar bayanganku," ujarnya dengan sedikit tergagap karena perasaan takjub dan bahagia yang sudah tak bisa lagi ia jabarkan. "Apa kamu yakin ini gak terlalu berlebihan buat aku yang baru mau merintis usaha?"Sakti tersenyum senang, lalu merangkul bahu istrinya itu dengan penuh sayang. Tak lupa, dia pun membubuhkan kecupan manis pada pipi Citra. "Gak ada yang terlalu berlebihan buat kamu. Kalo kamu bahkan minta sebuah gedung pencakar langit, aku akan dengan senang hati mengusahakan dan mewujudkannya buat kamu. Bangunan ini gak ada apa-apanya.""Makasih banyak," cicit Citra terharu. Di
Sejak kepergian Daniel ke Belanda, dunia Kinara masih berputar seperti biasa, seolah eksistensi pria itu di dalam hidupnya tidak pernah ada. Meskipun begitu, Kinara tidak menampik kalau di sudut hati yang paling dalam ia merasa kosong dan kehilangan. “Kamu lembur lagi?” Salah seorang teman kerja Kinara menyemburnya dengan pertanyaan itu begitu mendapati Kinara tengah memasang hair cap di ruang ganti pegawai. Semua pegawai yang bekerja di toko kue ini wajib mengenakan pelindung kepala untuk menjaga higine dan steril kue yang dijual. “Iya, karena aku gak punya kegiatan penting di rumah. Daripada mati bosan karena rebahan terus, aku pikir lebih baik dipake kerja aja,” jawab Kinara sambil memamerkan senyum lima jarinya. Teman kerja yang umurnya setahun lebih tua dari Kinara itu hanya bisa geleng-geleng kepala takjub dengan dedikasi Kinara untuk toko kue ini. “Kalau punya waktu libur itu dipakai untuk istirahat jangan kerja saja,” sarannya wanita itu lagi. “Istirahatku cukup, kok,”
"Ini melelahkan, tapi aku tak keberatan untuk melakukannya karena aku tetap menyukai momen ini," gumam Sakti sembari menatap teduh baby Kanigara yang terlelap dengan bibir yang terus bergerak seperti sedang menyusu. Itu terlihat menggemaskan. Bayi mungkil itu sepertinya tengah bermimpi minum ASI.Menjadi seorang Ayah dari dua orang anak membuat Sakti semakin dewasa, setelah mendapatkan putri cantik seperti Ginata kini keluarga kecilnya semakin lengkap dengan kehadiran Kanigara. Sekarang dia dan juga Citra resmi menjadi orang tua dari dua anak, anak laki-laki dan perempuan. Sudah sangat lengkap.Setiap hari hati Sakti selalu diselimuti dengan rasa bahagia, setiap kali melihat perkembangan Ginata membuatnya merasa lega karena berhasil melihat tumbuh kembang putri kecilnya itu, selain itu Kanigara juga tidak lepas dari perhatiannya. Bayi kecil itu selalu berhasil membuat energinya penuh setiap kali melihat geliatan kecilnya.Seperti halnya malam ini, Sakti masih saja terjaga sambil meman
Sakti membantu Citra untuk duduk di atas kursi roda. Hari ini tepat hari kepulangan Citra ke rumah. Tentu saja Kanigara ikut serta. Sesampainya di rumah, Mbok segera membantu Citra menggendong bayinya. Kepulangan Citra disambut hangat oleh orang-orang di sekitarnya. "Kanigara hobi sekali tidur, ya?" gumam Citra mengelus pipi bayinya. "Ayo dong, bangun. Mama kan pengin ajak Kanigara mengobrol," kata Citra. "Biarkan saja Kanigara tidur, Sayang," kata Sakti. "Sekarang, giliran kamu istirahat yang cukup. Kan di rumah lebih banyak yang membantu mengurus putra kita." Citra mendongak, "Tapi aku lebih suka bersama Kanigara, Andhika. Bisa tidak, dia tidur di kasur kita? Jangan di box." "Tidak," jawab Sakti. "Aku malah khawatir dia terluka. Bagaimana kalau kamu tidak sengaja menindihnya saat tidur?" goda Sakti. Citra mendelik. "Mana mungkin!" Sakti terkekeh. Ia mencubit pipi Citra gemas. Ia meraih Citra, membawa istrinya menuju ke dalam pelukannya yang erat sekaligus hangat. "Jangan bil
"Kenapa, Pak? Bu Citra kenapa?" tanya Mbok ikut panik. "Coba lihat Citra di kamar, Mbok! Dia mengeluh sakit perut," jawab Sakti. Lantas keduanya sama-sama pergi ke kamar untuk melihat kondisi Citra. "Pak, air ketuban Bu Citra sudah pecah. Cepat, bawa Bu Citra ke rumah sakit sekarang!" seru Mbok. Mendengar itu, kedua mata Sakti pun terbelalak sempurna."Pak Hasan!" teriak Sakti. Tanpa membuang waktu lama, Dia berlari keluar sambil terus memanggil supir pribadinya itu. Sedangkan Mbok menemani Citra di kamar. Sakti berlari seperti orang gila ketika memanggil sang supir. Beruntung, Pak Hasan ada di tempat sedang memanaskan mobilnya. Pak Hasan mendengar suara besar Sakti. Ia lantas menatap kemunculan Sakti di depan pintu rumah dengan setelan tidur yang masih melekat. "Lho, Pak Sakti," sapa Pak Hasan. "Ada apa teriak-teriak, Pak? Pak Sakti belum mau siap-siap ke kantor?" tanyanya. Sakti sempat kesusahan bicara karena terlalu panik. "Siapkan mobil sekarang, Pak Hasan. Istri saya ...
"Aduh," ringis Citra ketika menggerakkan kedua kakinya di atas ranjang. Sakti yang mendengar ringisan Citra, lantas menolehkan wajahnya pada istrinya itu. "Kamu kenapa, Sayang? Ada yang sakit?" Tentu saja Sakti tidak tinggal diam, pria itu berjalan mendekat ke arah ranjang, merangkak naik lalu duduk di sebelah istrinya untuk melihat keadaan sang istri lebih dekat dan memastikan apa kiranya penyebab ringis kesakitan itu.Mendengar itu, Citra pun menunjuk kakinya dengan dagunya. Sakti mengikutinya, lantas bertanya, "Kaki kamu sakit, Sayang? Mau aku pijit?" Ia malah menawari. Padahal yang dimaksud Citra bukan itu. Citra agak kesal melihat reaksi Sakti yang menurutnya kurang peka. "Bukan itu yang aku maksud, Andhika," tuturnya agar menurunkan kekesalannya. "Coba kamu lihat dulu. Kaki aku sekarang kelihatan besar banget!" Sakti mengangguk kecil. Ia sekarang paham apa maksud Citra. Ternyata Citra tadi menunjukkan ke Sakti, kalau kakinya bengkak. "Terus kenapa sih, Sayang? Apa sekarang
Daniel baru saja menyelesaikan semua pekerjaan kantornya, laki-laki itu segera membereskan semua barang-barangnya dan bergegas untuk pulang. "Tumben kayak buru-buru gitu?" komentar teman Daniel yang ada di sebelahnya.Mendengar pertanyaan itu membuat Daniel menoleh sebentar, lalu tangannya sibuk memasukkan laptopnya ke dalam tas. "Iya, nih. Lagi pengen cepet pulang aja," jawabnya.Temannya itu pun hanya menanggapinya dengan anggukan sebanyak tiga kali."Duluan ya, Bro!" seru Daniel sambil menepuk pundak temannya itu seklias, lalu melenggang pergi begitu saja.Sebenarnya Daniel tidak benar-benar langsung pulang ke rumah, sudah satu minggu ini dia rutin datang ke toko kue milik Citra. Awalnya dia datang karena Kinara pernah menyuruhnya untuk mampir, tapi sekarang seperti sudah menjadi tutinitas baru bagi Daniel setelah pulang kantor.Menurutnya, toko kue Citra terasa sangat nyaman dan membuatnya betah berlama-lama di sana. Selain itu, Daniel juga memiliki maksud lain, yaitu memastikan
Aroma kopi tercium sangat harum saat Daniel menuangkan air panas yang baru saja matang dari mesin pemanas, tinggal sendirian di apartemen membuat laki-laki itu sedikit kesepian disaat malam. Setelah mengaduk dan memastikan rasa kopinya sudah sesuai dengan keinginannya, barulah Daniel membawa secangkir kopi panas itu bersamanya."Aku pikir sedikit kafein dimalam hari bisa membantu menenangkan pikiran," gumamnya. Laki-laki itu berjalan ke arah balkon, seperti sudah menjadi rutinitas malam harinya untuk duduk di balkon sambil menikmati udara malam. Apalagi saat ini pikirannya dipenuhi oleh banyak hal, jadi balkon adalah tempat yang pas baginya untuk merilekskan semuanya.Saat menggser pintu penghubung ke balkon, Daniel langsung disambut dengan angin malam yang cukup kencang malam ini. Saat dia mendongak untuk melihat keadaan langit, benar saja malam ini sedikit mendung. Jadi malam ini tidak ada bintang dan bulan yang akan menemaninya. Daniel pun menaruh secangkir kopi panasnya di atas m
Sakti tiba di rumah sekitar pukul delapan malam. Ia harus lembur mengerjakan beberapa dokumen penting yang harus selesai dan mendapatkan persetujuannya. Di jam segini, Citra pasti tengah berada di kamar sedang menunggunya. “Apa semuanya baik-baik saja seharian ini, mbok?” tanya Sakti kepada asisten rumah tangganya. Ia sudah selesai mandi dan makan malam. Kini, ia tengah membuatkan susu cokelat untuk Citra. Ini adalah aktivitas rutin Sakti setiap malam. Baginya, ini salah satu cara untuk menunjukkan cinta dan kasih sayang kepada istri dan anak. “Iya, pak,” balas wanita paruh baya yang sudah cukup lama bekerja dengan keluarga Sakti. “Apa Citra mengeluh sakit?” Sakti tahu betul kalau istrinya itu pintar menutupi rasa sakitnya karena tidak ingin membuat dirinya khawatir dan kepikiran ketika bekerja. Maka dari itu Sakti menyuruh asisten rumah tangga di sini untuk memberikan semua informasi dan perkembangan mengenai Citra sekecil apa pun untuknya. “Tidak, pak. Hari ini ibu Citra sibuk
Di sela-sela mendengarkan perkembangan toko kuenya lewat penuturan Kinara, Citra tidak sengaja melihat Daniel yang tampak diam saja sejak kedatangan Kinara tadi. Awalnya Citra ingin meminta maaf karena kedatangan Daniel ke sini sedikit terganggu akibat Citra mementingkan pekerjaan daripada menimpali pria itu yang baru saja datang. Namun, niatnya berubah saat menyadari diamnya Daniel justru karena Kinara. Ia pun mengerling jahil. “Ekhmmm ….” Citra pura-pura terbatuk. Di balik buku laporannya, ia mencolek lengan Daniel yang duduk tidak jauh darinya. Citra mengulum senyum saat mendapati Daniel yang terperangah. Wajah pria itu merah dan salah tingkah yang membuat Citra ingin tertawa dan meledek Daniel karena terang-terangan menatap Kinara dalam waktu yang cukup lama.Sayangnya, Citra tidak ingin melakukan itu, sebab ia tidak mau nantinya baik Daniel dan Kinara sama-sama malu karena hal tersebut. “Sakti lagi di kantor ya?” tanya Daniel berusaha untuk mengalihkan keadaan setelah tertang