Ketika masuk ruangan itu, Aiden menyuruhku duduk di sofa, badanku masih lemas banget pengen tidur rasanya. Perempuan itu menghampiri Aiden, ternyata itu sekretaris Aiden namanya Liana. Tiba-tiba ada notif chat, aku membukanya, ternyata dari mama mertua, yang bilang kalau mau kerumah.
Aiden menghampiriku. dan mengatakan.
“Ayo ikut aku,” ucap Aiden.
“Kemana?”
“Ayo ikut aja,” ucapnya dan langsung menggandengku. Badanku masih lemas banget. Apalagi laper ini seakan membunuhku. Kita kembali naik lift, badanku rasanya melayang waktu masuk lift. Ternyata lift nya turun, lalu lift terbuka Aiden menyeretku ke satu ruangan tapi dia tidak masuk, aku hanya di belakangnya. Aku berusaha menormalkan tubuh ku yang rasanya sangat tidak nyaman ini.
“Oiii!!!!! Pengantin baruuu!” teriak seseorang dari dalam, sepertinya bukan satu orang saja.
“Lu sekarang sering bolos ya bro?” suara seseorang dari dalam
“Mentang-mentang punya istri anjirr.. ” ucap seseorang yang berbeda lagi.
“Ngapa lu gak masuk?” tanya seseorang kepada Aiden, tangan Aiden mengisyaratkan untukku bersembunyi di belakangnya, meskipun tidak jelas, tapi aku ini orangnya sangat peka dengan Bahasa isyarat-isyrarat yang tidak jelas seperti ini. Aku pun bersembunyi di punggung Aiden.
“Masuk lah.. ” ucap seseorang.
“Ehhh jangan-jangan lu bawa incess ya.”
“Wohh iya nih kayaknya”
“Gua pulang dulu ya,” ucap Aiden yang akan berbalik menghadapku, tiba-tiba Aiden tertarik sesuatu dan aku pun ikut terterik, hampir aja aku akan terjungkal, terjlungup dan ndlosor kalau saja Aiden gak langsung memelukku. Aku pun langsung memeluk Aiden, dadaku masih shock karena aku hampir saja ndlosor. Deg-deg an parah.
“Wohhhhh.. ternyata bener guys!!!” teriak seseorang.
“Woooo…” teriak mereka.
Aku melihat ke atas, Aiden juga melihatku. Ahhh.. perbandingan tubuh kami memang jauh, aku yang pendek ini merasa sedang memeluk tower, Aiden menatap mataku terus menerus, aku canggung sekali sehingga memunculkan thics dimana secara tidak sadar mataku berkedip beberapa kali.
“Eiitttt!! berhenti,” ucap Aiden kepada seseorang
“Yaelahh.. pelit banget lu!!” teriak seseorang yang sepertinya tepat berada di belakangku. Aku semakin menempelkan wajahku ke dada Aiden, lumayan empuk, tapi lebar juga nih, kayaknya badan Aiden berotot juga.
Kira-kira dia punya sixpack gak ya? Astaghfirullah pikiranku yang suci ini mulai kotor kembali.
“Serah gua lahh.. ini punya gua, Anjing,” ucap Aiden sewot. Punya lu apaan Bagongg.. mentang-mentang banget jadi orang.
“Bacot.. ”
“Princess Dea hadap sini dong…” pinta seseorang.
“Kagak!”
“Princess Dea, pleaseeee!!!” teriak mereka, yang suaranya dibuat seimut mungkin, aku tanpa sadar tersenyum mendengarnya. Aku jadi pengen tau seperti apa mereka.
“Dea, mau?” tanya Aiden kepadaku. Aku mengangguk menyetujuinya. Lalu aku melepaskan pelukan dari Aiden. Ketika mulai membalikkan badanku menghadap mereka, wow.. ternyata ada lima laki-laki didalam ruangan ini
“Hai semuanya.” Kupamerkan sedikit senyum agar terlihat ramah, tak lupa juga dengan lambaian tangan.
Aku melihat mereka yang sedikit mengeluarkan perilaku tubuh yang mengatakan bahwa mereka shock dengan memegang dadanya, dan beberapa yang lain dengan mulut yang sedikit terbuka, bukan sedikit tapi bisa di sebut melongo.
“Duduk, yuk.” Aiden memberiku kursi, dengan ekspresi bersahabatnya. Apa-apaan ini? Beberapa waktu lalu dia masih judes padaku. Kenapa sikapnya berubah 180 derajat?
“Sampek kapan kalian kayak gitu?” tanya Aiden kepada teman-temannya itu. Tiba-tiba perutku bergemuruh, tanganku langsung memegang perut agar tidak ada suara yang menggelegar keluar dari sana. Aku mencolek tangan Aiden.
“Aku lapar,” ucapku lirih.
“Hehhh..!? princess Dea lapar..!!” Aku kaget mendengar teriakan seseorang yang berada di samping Aiden, aku lihat orang ini kelihatan paling muda dari yang orang-orang lain yang berada disini, dengan rambut warna coklat, tapi keliatan imut juga dia.
“Go food,” ucap Arion sambil menyalakan hp nya. Aku tau ini Arion.
“Kelamaan Goblok kalo go food!” teriak seseorang yang berada di dekatku.
“Minum oi minum” teriak orang yang di samping Aiden.
“Di depan ada buah, aku ambil dulu” ucap seseorang lalu dia bergegas keluar.
“Vitamin oi!!!” teriak Arion
“Ini prinsess Dea,” kata orang ini dengan menyodorkan coca cola kaleng. Haduhh.. perutku lagi kosong masak langsung minum yang bersoda kayak gini.
“Jangan soda Goblok.!!” teriak Arion.
“Ini My Queen,” ucap seseorang lagi dengan menyondorkan air putih.
“Lu, gak sopan banget masak air putih doang!!” teriak seseorang yang berada di samping Arion.
“Ayo kita ke depan oi!! KFC” ucap Arion.
“Oke gua ke indomart beli susu!!” ucap orang yang menyondorkanku air putih.
“Incess suka susu rasa apa?” tanya orang yang berada di samping Arion.
“Cokelat,” jawabku
“Inces mau makan apa? Aku pesen semua aja deh,” ucap Arion
Mereke semua keluar. Dan tinggal kami berdua. Aku dan Aiden langsung saling menatap satu sama lain, lalu tanpa sadar kami tertawa.
“Dea laper banget?” tanya Aiden lembut. Entah apa yang terjadi dengannya, aku langsung menganggukkan kepalaku.
“Bentar ya, tunggu mereka dulu,” ucap Aiden, aku hanya mengganggukkan kepala.
“Aiden, perutku mual kalo naik mobil, pengharum mobilmu baunya aku gak suka, aku juga gak suka naik lift, aku takut ketinggian,” ucapku kepada Aiden, sebenernya sedikit malu kalo bilang hal memalukan kayak gini, emang aku ini gak cocok jadi orang kaya. Hiks
“Kok gak bilang, kalo pengharum mobil nanti aku ganti ya.. kalo naik lift, ya harus make itu, kalo naik lewat tangga nanti capek,” ucap Aiden. “bukannya di rumahmu juga ada mobil ya Dea”
“Ada, tapi aku jarang make. Gak suka,” ucapku, dan tiba-tiba inget kecelakaan mantan tunanganku.
“Kenapa?” tanyanya. Aku hanya menggelengkan kepalaku. Aiden pun diem.
Setelah beberapa menit kemudian mereka berkumpul lagi di ruangan ini, sambil membawa berbagai makanan dan minuman. Satu meja penuh dengan makanan dan minuman. Mereka duduk dengan senyum manis melihat aku yang kebingungan mlihat banyak sekali makanan dimeja, meja ini cukup luas, tapi jadi penuh dengan makanannya.
“Emm.. ini semua buat aku?” tanyaku . Mereka semua mengangguk.
“Terlalu banyak hehe,” ucapku sambil sedikit tertawa khawatir
“Ahahahaaa.. terlalu banyak.. apa harus kita buang?” tanya seseorang yang duduk di dekatku.
“Nggak usah. Bagaimana kalo kita makan sama-sama saja,” ajak ku kemereka.
“No! ini khusus buat Incess Dea,” kata seseorang yang berada di samping Aiden.
“Dea cepet makan, habis ini kita beli keperluanmu,” perintah Aiden. Aku mulai mengambil beberapa makanan, susu ayam dan nasi, spageti, kentang. Aku memakannya dengan perlahan,karena beberapa memang masih panas. .
“Kalian bisa berhenti gak sih!?” teriak Aiden tiba-tiba, aku melihat mereka semua yang sedang memperhatikan aku.
“Why?!!!! ” teriak seseorang yang berada di samping Aiden.
“Kok ngamokkkk!” teriak seseorang yang berada di sampingku. Protes pada Aiden. Aku memperhatikan mereka yang saling beradu sungut.
Kehebohan geng Aiden membuatku sedikit terhibur. Namun siapa sangka tiba-tiba Aiden bersikap cemburu ketika salah satu temannya ingin duduk di sampingku.Setelah kenyang dengan makanan yang telah dihidangkan mereka. Aiden lekas mengajak aku keluar untuk membeli kucing yang sedari kemarin aku inginkan."Mau kemana Bro?" celetuk Raefal yang dari tadi menilik pergerakan aku dan Aiden."Anterin bini gua dulu," jawab Aiden seraya memasukkan ponsel ke dalam sakunya."Inces mau pergi?" tanya Devano. Aku hanya menganggukkan kepala."Yahh..." keluh Devano yang melihat responku."Udah Ayo," ucap Aiden lalu menggeretku dengan memegang bahuku. Aku yang merasa risih dengan tangan Aiden langsung berkelit agar segera terlepas dari cengkramannya.Selama perjalanan menuju parkiran tempat mobil aiden terparkir, setiap orang yang tanpa sengaja bertemu dengan kami menyapa Aiden dan memberikan tatapan penasaran kepadaku. Aku hanya bisa menghela nafas.&nbs
Setelah memberikan pertanyaan sekaligus perintah yang tidak jelas, Aiden kini sudah berada di kamarku. Bertepatan pada pukul 21:00 WIB.Aku kebingungan ketika melihat wajah Aiden yang sama-sama bingung. Pada akhirnya aku membuka mulutku dan menyuarakan pertanyaan kepadanya."Ada apa?""Ahh Nggak papa," jawab Aiden dengan kikuk."Aku mau tidur, kalau nggak ngapa-ngapain cepet keluar," usirku."Emm... De, akuu..." ucap Aiden dengan sedikit bergumam."Kenapa?" tanyaku penasaran melihat tingkah Aiden yang tidak jelas."Emm... Nggak," jawab Aiden dan langsung keluar dari kamarku. Aku hanya bisa mengerutkan kedua alisku ketika melihat tingkat Aiden yang semakin tidak jelas.Aku tidak tau dengan maskud Aiden bertingkah seperti itu. Akhirnya kuputuskan untuk tidur, karena seharian ini aku sudah capek bermain dengan kedua kucingku.***Keesokan harinya saat sarapan dengan Aiden di ruang makan. Terlihat dia yang sibuk denga
Ketika melihat pemandangan ini, entah kenapa aku tidak bisa berkutik. Sedangkan Aiden dari tadi hanya menatapku dan tetap memeluk perempuan itu.Ya, seseorang itu adalah perempuan dengan rambut panjang dan berwarna coklat. Memakai dres mini dengan high heels setinggi tower."Non," panggil Bik Asih dengan raut wajah panik.Tanpa menggubris Bik Asih kubalikkan badan dan kembali ke kamar. Amarah dalam diriku tiba-tiba tersulut.Ku kunci pintu kamarku. Dadaku naik turun tidak karuan, "Bisa-bisanya dia memeluk cewek setelah mencium keningku!""Arggghhhh...!!!" teriakku kesal.Dadaku terasa sangat nyeri. Buru-buru kucari obat di lemari pakaian milikku."Aghh...." Rasanya sangat nyeri. Panikku kambuh, aku harus segera menemukan obatku."Arghhhhh... aghhh!!" Aku sangat kesulitan mengatur detak jantungku.Titik yang melihatku kesakitan hanya bisa mondar-mandir. Dia menunjuk koper yang ada di atas lemari.
Ekspresi Aiden yang datar membuat moodku yang sebelumnya ingin tertawa melihat kepanikan titik dan Bik Asih berubah menjadi biasa saja. Entah apa yang dipikirkan lelaki itu, tetapi hatiku tiba-tiba terasa sakit melihat pemandangan barusan. Rasanya seperti dikhianati, padahal kita menikah tanpa dilandasi cinta. Namun, karena aku merasa akhir-akhir ini dia lebih perhatian padaku, tanpa sadar membuatku merasa telah memilikinya.Lambat laun sesak napasku mulai reda."Sudah baikan?" tanya lelaki itu datar."Sudah.""Astaga Non. Bagaimana bisa tadi seperti itu. Untung saja ada bibik yang langsung masuk ke kamar." Wanita tua itu mengomel layaknya mak mak yang khawatir pada putrinya. Ketulusan hati yang diberikan kepala pelayan rumah ini membuatku tersenyum."Maaf." Kulirik wajah suamiku yang hanya bisa menghela napas ketika mendengar permintaan maafku. Tak hanya Aiden, Bik Asih pun menghela napas panjang."Saya buatkan teh hangat dulu ya Non. Janga
"Dia Wendy." Hanya itu jawabannya. "Kekasihmu?" "Ya." "Oh." Kami diam seribu bahasa. Entah kenapa ada perasaan kecewa menyelimuti hatiku. Apa aku mulai tertarik pada suamiku? ini rasanya sangat gila. Padahal kami menikah karena terpaksa, dan aku yakin tidak akan menaruh perasaan padanya. Tapi kenapa hari ini perasaanku seakan tersakiti ketika melihatnya berpelukan dengan perempuan lain. Padahal kami baru kenal salam waktu yang singkat. Apa tuhan sudah membalikkan perasaanku pada orang asing ini? "Jadi perempuan itu yang dimaksud Oma. Cantik ya," celetukku tanpa pikir panjang. Rasanya seperti sedang cemburu. "Kamu juga cantik Dea." Aku tersenyum culas mendengar ucapan lelaki itu. Aku tak tau cantik darimananya wajahku ini. Dibanding dengan wanita itu jelas masih kalah jauh. "Habis berantem?" "Em hanya sedikit kesalah pahaman." "Apa karena kehadiranku?" tebakku. "Kurang lebih seperti itu." Jawaban itu terasa panas di telingaku. Seakan tak terima mendengarnya. "Kamu mau me
White hanya mendengkur setelah mendengar keluhanku. Perlahan mataku tertutup seiring reaksi obat yang menyergap kesadaranku. ***Pagi sudah tiba, kali ini aku terbangun lebih cepat dari biasanya. Bik Asih dan beberapa orang sedang menghidangkan sarapan pagi."Pagi Non," sapa wanita itu melihat kedatanganku. Kulirik Aiden tengah sibuk dengan gawainya."Pagi." Aku langsung duduk di samping suamiku. Tak ada pembicaraan, dan kami fokus dengan makanan masing-masing. Ketika selesai menengguk jus jeruk. Aku terdiam sejenak, menunggu obrolan yang akan dibahas Aiden bersamaku. "Apa kita bahas sekarang juga?" Tanyanya."Terserah. Bukankah kamu harus kerja?""Ya."Aku hanya mengendikkan bahu. "Kalau begitu kita bahas nanti sore. Aku berangkat dulu." Lelaki itu langsung berlalu begitu saja. Bik Asih dan beberapa pelayan lain berdiri di belakangku tanpa mengucapkan sepatah kata pun."Non."
Melihat keadaan suamiku yang tak biasa membuatku penasaran. Ditambah gaya bicaranya yang meninggi dengan mata merah membuatku merinding. Aku tak tau apa yang baru saja terjadi pada lelaki itu. Tapi melihat penampilannya yang porak poranda menandakan ada yang tidak beres."Apa yang kamu lakukan De?" tanyanya dengan suara purau. "Aku ngapain?" Aku tak mengerti apa yang dimaksud lelaki itu."Jangan pura-pura bodoh. Kamu kan yang mengadu ke mama soal Wendy?!" Aiden benar-benar dikuasai oleh emosinya. Nada bicaranya tidak bisa santai ketika bertanya padaku. Ini sangat berbeda dengan kemarin malam ataupun beberapa hari lalu."Mama yang maksa aku jawab pertanyaannya. Kenapa aku kemarin bisa kambuh lagi.""Terus kamu bilang kalau itu karena Wendy? Iya!?"" Aku cuma jawab kalau habis liat kamu pelukan sama kekasihmu. Aku nggak bilang kalau itu Wendy.""Itu sama aja De! Sialan!? Wanita tidak guna! Gara-gara kamu Wendy dimarahin m
Nama mama mertua terpampang jelas di sana. Aku melirik Aiden yang masih dalam keadaan marah. Begitu pula aku, napasku masih menggebu-gebu karena dimaki oleh suamiku.Kuhela napasku sebentar, ini untuk menetralisir emosi yang membeludak dalam kepala. Aku tidak ingin mama mertua tahu jika kami baru saja bertengkar. Keadaan ruamh tanggaku akan semakin runyam apabila mama mertua tau. Menyembunyikan masalah yang sedang terjadi adalah pilihan terbaikku.Setelah tekanan emosi menurun, segera kugeser ikon telepon ke atas. Kini telepon sudah tesambung antara ke dua belah pihak."Hallo, Assalamualaikum Ma." Aku mencoba membuat nada bicara seramah mungkin menutupi kedongkolan dalam hati yang habis dimaki suamiku."Waalaikumsalam Cantik.""Ada apa Ma?""Mama cuma mau bilang. Kalau Aiden aneh-aneh, langsung laporin ke Mama ya. Masalah tadi pagi, sudah Mama selesaikan. Sekarang kamu bisa tenang Sayang."Tanpa sadar aku nyeng
Aku terdiam mendengar permintaan Aiden, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Satu kesempatan?" gumamku, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan hati yang bergejolak. “Dea.” Suaranya semakin mendekat, dan aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya saat dia duduk lebih dekat. Tangannya menyentuh lembut jemariku yang masih menggenggam tongkat. Sentuhannya membawa campuran perasaan yang sulit dijelaskan. Entah kenapa ada kemarahan, kesedihan, dan kerinduan yang tak kuinginkan.“Maafkan aku, Dea,” lanjutnya, nadanya penuh penyesalan. Aku menggeleng pelan, meskipun aku tahu dia tak bisa melihat gerakanku. “Pergi dari sini. Aku tidak mau bertemu denganmu lagi.” Kata-kataku menghantam udara seperti bilah tajam. Aku merasakan genggamannya mengendur sejenak, seolah-olah kata-kataku telah memukulnya tepat di tempat yang paling lemah. Aku langsung berdiri, tangan mantan suamiku sempat menahanku. Namun, kukibaskan sek
Aku merenung sejenak menerka siapa yang berniat menemuiku. Terdengar Ayah membukakan pintu selebar mungkin. "Ayo, Nak."Kulontarkan tongkatku untuk menuntun langkah kakiku. Semenjak tidak bisa melihat, kupaksakan diriku untuk tetap mandiri. Setelah sekian bulan berlalu, akhirnya Mama dan Ayah membiarkan apapun yang kulakukan. Pada awalnya, mereka akan memaksa untuk menuntunku. Syukurnya lambat laun, Ayah dan Mama hanya membiarkanku berjalan sendiri, tetapi aku tau jika mereka mengawasiku dari kejauhan untuk memastikan tidak terjadi masalah serius.Suara ketukan sandal dan tongkat menggema ke penjuru ruangan. Aku masih menerka-nerka siapa yang datang ke rumah, tapi sampai sekarang aku tidak mendengar suara orang lain di ruangan ini. Bahkan ketika aku sudah duduk cukup lama. Hanya genggangaman Ayah yang semakin mengendur dan perlahan menjauh."Ayah," panggilku pelan karena ku dengar beliau berpindah tempat. Perlahan aku bisa merasakan seseorang bernapas di sampingku. Kutolehkan sedikit
"Dia sedang sibuk mengurus perusahaannya. Ternyata sahabat dia sendiri yang menggelapkan uang di cabang perusahaannya, penipuan investor dan banyak lagi. Banyak orang yang terlibat dalam kejahatan itu. Dan sekarang keluarga Gito sedang kalap menyelamatkan semua usaha mereka dan warisan," jelas Ayah yang membuatku sedikit lega. Kata-kata Ayah menggema dalam pikiranku, menyisakan kekosongan yang sulit dijelaskan. Namun, entah kenapa, ada sedikit kelegaan yang mengalir di dadaku. Setidaknya Aiden sedang sibuk dengan dunianya sendiri, mungkin itu alasan mengapa dia tak mencariku atau mencoba menghubungiku."Apa itu Elvaro?" tanyaku yang teringat dengan tingkah aneh pria itu. Nama itu muncul begitu saja di benakku, seperti serpihan teka-teki yang terlupakan. Ditambah Dalbo dan Titik sempat melaporkan beberapa kecurigaan mereka saat aku ada di kantor suamiku. Ah... salah, tapi mantan suami.Ayah mendengkus, seakan jengah dengan informasi yang ia simpan. "Iya. Dia juga bekerja sama dengan We
"Kita pulang sekarang, Nak. Ini demi kebaikanmu," ujar Ayah sembari mendorong kursi roda yang kududuki. Ibu mengikuti langkah ayah dengan tergesa-gesa. "Aku sudah memberitahu dokter. Dia mau berkerjasama dengan kita, Mas.""Syukurlah kalau begitu, Bu. Kita haru segera pulang. Cuma di rumah kita, tempat yang aman untuk keselamatan Dea."Suasana di rumah sakit terasa tegang, bahkan langkah kaki Ayah yang biasanya tenang kini terdengar berat dan terburu-buru. Aku duduk diam di kursi roda, membiarkan Ayah mendorongku tanpa perlawanan. “Ibu, kenapa kita harus buru-buru pulang?” tanyaku berusaha mencari penjelasan.“Nak, kita hanya ingin kamu istirahat di rumah. Rumah akan lebih nyaman untuk pemulihanmu.” Suara ibu terengah karena harus berpacu dengan langkah kaki ayah yang cepat.“Tapi, Bu,” aku mencoba membantah, tetapi Ayah memotong dengan nada tegas.“Dea, dengarkan Ayah. Sekarang yang penting adalah keselamatanmu. Kita tidak punya banyak waktu untuk penjelasan. Nanti, kalau sudah di r
Entah sudah berapa lama aku terkapar dalam kegelapan. Samar-samar aku mendengar isakan tangis perempuan meranyap di indera pendengaranku."Kenapa nasib putri kita seperti ini, Mas?" itu suara ibuku.Ayah menghela napasnya panjang. "Aku juga tidak tahu, Bu. Padahal kamu tahu sendiri bagaimana aku menjaga putri kita." "Kenapa putri kita digariskan takdir yang sangat tragis begini. Kenapa tidak aku saja, Ya Allah! Kenapa putriku harus semenderita ini! Apa salah dia!" Ibu terdengar meraung di sana."Bu, tenang. Kita sedang berada di rumah sakit.""Tenang bagaimana, Yah?! Dea sudah koma selama dua bulan! Kamu minta aku tenang! Putri kita sedang berada di antara hidup dan mati!" Hah? Dua bulan? Selama itukah aku terkapar di sini. Aku masih tidak bisa melihat apapun. Bahkan aku untuk menggerakkan tubuh saja sulit. Suaraku terasa hilang begitu saja. Akhirnya aku hanya bisa mengerang pelan untuk memberitahu orang tuaku kalau aku sudah siuman.Butuh banyak tenaga untukku memberikan sinyal pad
Setelah dibawa ke kamar pemulihan, aku berbaring di atas ranjang. Wajahku yang masih tertutup perban, tapi aku merasakan sedikit kehangatan dari jendela kamar yang diterangi sinar matahari. Rasanya aneh, aku tidak tahu apakah itu pagi atau siang. Bagiku dunia seperti tempat yang jauh dan tak terjangkau.Ayah duduk di kursi sebelah tempat tidur. Beliau menggenggam tanganku erat. "Kamu sangat kuat, Nak. Operasi ini adalah langkah besar. Dokter bilang kemungkinan kamu akan sembuh total." Suaranya penuh optimisme, tetapi ada hati-hati di balik kalimatnya.Aku tersenyum kecil, meskipun dalam hati ada rasa gelisah yang sulit dihilangkan. "Ayah," panggilku pelan, mencoba mencari celah untuk bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia."Ya, Sayang?"Aku terdiam sejenak, lalu menarik napas panjang. "Bagaimana kabar di sana? Tentang kasus itu." Rasanya sangat berat mengatakan keingintahuanku. Namun, aku harus mencobanya, "Sony, Hendro, dan semua kejahatan mereka. Apa semuanya suda
Ruangan operasi dipenuhi oleh suasana yang hening, hanya suara monitor detak jantung yang berdentang lembut. Lampu-lampu terang menyinari meja operasi, membuat setiap sudutnya terlihat steril dan berkilau. Aku berbaring dengan tubuh tertutup kain bedah, hanya menyisakan area wajahku yang terlihat. Meski tak bisa melihat apa-apa, aku merasakan udara dingin dari ventilasi ruangan menyentuh kulitku. “Baik, kita mulai sekarang,” suara dokter terdengar tegas tapi tenang. Beliau mencoba memberikan rasa aman di tengah kegelisahanku. “Mrs.Dea, Anda tidak akan merasakan sakit, tapi kami akan tetap memberikan anastesi lokal untuk kenyamanan.” Aku mengangguk pelan, meskipun jantungku berdegup kencang. Tubuhku terasa kaku di bawah tekanan emosional. Rasanya seperti berada di antara harapan besar dan ketakutan yang sulit diprediksi. “Tarik napas perlahan, Nona Dea,” seorang perawat berkata lembut di telingaku, membantu menenangkan. Aku mencoba mengikuti instruksinya, menarik napas dalam-dalam, l
Aku menatap Ayah dengan raut penuh pertanyaan, tapi aku tahu dia tak akan memberiku jawaban lebih dari itu. "Istirahatlah, Sayang. Kita akan bicara lagi besok pagi," katanya dengan nada yang lebih lembut, sebelum melangkah keluar dari kamar.Kata-katanya terasa menggantung, menyisakan banyak pertanyaan yang berputar di kepalaku. Perkembangan baru? Apa itu berarti ada harapan untuk penglihatanku? Tapi bagaimana dengan kasus ini? Apakah benar aku harus pergi sekarang, meninggalkan semua ini di tengah jalan?Aku menghela napas panjang, berusaha meyakinkan diri bahwa semua ini adalah keputusan terbaik. Namun, tidur tetap menjadi hal yang mustahil malam itu. Suara di ruang tamu hotel, samar-samar terdengar dari balik pintu, menunjukkan diskusi serius antara Ayah dan seseorang. Aku berusaha menutup telinga, tetapi rasa ingin tahu tetap mengalahkan.***Keesokan harinya, suasana sarapan terasa canggung. Ayah dan Ibu tampak saling membisu, sementara Nio, yang biasanya penuh semangat, memilih
Setiap orang di ruangan seperti menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Pengacara Sony berdiri dengan percaya diri, menyodorkan dokumen tambahan yang membuat hakim terlihat serius saat membacanya. Bisikan-bisikan kecil dari para penonton sidang mulai memenuhi ruangan.“Yang Mulia,” kata pengacara itu, suaranya tegas namun penuh intrik, “Dokumen ini menunjukkan bahwa Sony dan Hendro hanyalah pion dalam permainan ini. Ada individu yang lebih besar, lebih berkuasa, yang berada di balik kegiatan ini. Orang itu telah mengarahkan semua operasi ilegal yang melibatkan perdagangan hewan langka, hingga ancaman pada saksi utama, Saudari Dea.”Aku merasa tangan Ayah menggenggam erat bahuku, seolah ingin memastikan aku tetap tenang. Namun, pikiranku berputar, mencoba mencerna pernyataan itu. Individu yang lebih besar? Siapa lagi?Hakim mengetukkan palunya pelan, meminta ketenangan di ruang sidang. "Apakah Anda memiliki bukti kuat untuk mendukung klaim ini?" tanyanya dengan suara