Ketika masuk ruangan itu, Aiden menyuruhku duduk di sofa, badanku masih lemas banget pengen tidur rasanya. Perempuan itu menghampiri Aiden, ternyata itu sekretaris Aiden namanya Liana. Tiba-tiba ada notif chat, aku membukanya, ternyata dari mama mertua, yang bilang kalau mau kerumah.
Aiden menghampiriku. dan mengatakan.
“Ayo ikut aku,” ucap Aiden.
“Kemana?”
“Ayo ikut aja,” ucapnya dan langsung menggandengku. Badanku masih lemas banget. Apalagi laper ini seakan membunuhku. Kita kembali naik lift, badanku rasanya melayang waktu masuk lift. Ternyata lift nya turun, lalu lift terbuka Aiden menyeretku ke satu ruangan tapi dia tidak masuk, aku hanya di belakangnya. Aku berusaha menormalkan tubuh ku yang rasanya sangat tidak nyaman ini.
“Oiii!!!!! Pengantin baruuu!” teriak seseorang dari dalam, sepertinya bukan satu orang saja.
“Lu sekarang sering bolos ya bro?” suara seseorang dari dalam
“Mentang-mentang punya istri anjirr.. ” ucap seseorang yang berbeda lagi.
“Ngapa lu gak masuk?” tanya seseorang kepada Aiden, tangan Aiden mengisyaratkan untukku bersembunyi di belakangnya, meskipun tidak jelas, tapi aku ini orangnya sangat peka dengan Bahasa isyarat-isyrarat yang tidak jelas seperti ini. Aku pun bersembunyi di punggung Aiden.
“Masuk lah.. ” ucap seseorang.
“Ehhh jangan-jangan lu bawa incess ya.”
“Wohh iya nih kayaknya”
“Gua pulang dulu ya,” ucap Aiden yang akan berbalik menghadapku, tiba-tiba Aiden tertarik sesuatu dan aku pun ikut terterik, hampir aja aku akan terjungkal, terjlungup dan ndlosor kalau saja Aiden gak langsung memelukku. Aku pun langsung memeluk Aiden, dadaku masih shock karena aku hampir saja ndlosor. Deg-deg an parah.
“Wohhhhh.. ternyata bener guys!!!” teriak seseorang.
“Woooo…” teriak mereka.
Aku melihat ke atas, Aiden juga melihatku. Ahhh.. perbandingan tubuh kami memang jauh, aku yang pendek ini merasa sedang memeluk tower, Aiden menatap mataku terus menerus, aku canggung sekali sehingga memunculkan thics dimana secara tidak sadar mataku berkedip beberapa kali.
“Eiitttt!! berhenti,” ucap Aiden kepada seseorang
“Yaelahh.. pelit banget lu!!” teriak seseorang yang sepertinya tepat berada di belakangku. Aku semakin menempelkan wajahku ke dada Aiden, lumayan empuk, tapi lebar juga nih, kayaknya badan Aiden berotot juga.
Kira-kira dia punya sixpack gak ya? Astaghfirullah pikiranku yang suci ini mulai kotor kembali.
“Serah gua lahh.. ini punya gua, Anjing,” ucap Aiden sewot. Punya lu apaan Bagongg.. mentang-mentang banget jadi orang.
“Bacot.. ”
“Princess Dea hadap sini dong…” pinta seseorang.
“Kagak!”
“Princess Dea, pleaseeee!!!” teriak mereka, yang suaranya dibuat seimut mungkin, aku tanpa sadar tersenyum mendengarnya. Aku jadi pengen tau seperti apa mereka.
“Dea, mau?” tanya Aiden kepadaku. Aku mengangguk menyetujuinya. Lalu aku melepaskan pelukan dari Aiden. Ketika mulai membalikkan badanku menghadap mereka, wow.. ternyata ada lima laki-laki didalam ruangan ini
“Hai semuanya.” Kupamerkan sedikit senyum agar terlihat ramah, tak lupa juga dengan lambaian tangan.
Aku melihat mereka yang sedikit mengeluarkan perilaku tubuh yang mengatakan bahwa mereka shock dengan memegang dadanya, dan beberapa yang lain dengan mulut yang sedikit terbuka, bukan sedikit tapi bisa di sebut melongo.
“Duduk, yuk.” Aiden memberiku kursi, dengan ekspresi bersahabatnya. Apa-apaan ini? Beberapa waktu lalu dia masih judes padaku. Kenapa sikapnya berubah 180 derajat?
“Sampek kapan kalian kayak gitu?” tanya Aiden kepada teman-temannya itu. Tiba-tiba perutku bergemuruh, tanganku langsung memegang perut agar tidak ada suara yang menggelegar keluar dari sana. Aku mencolek tangan Aiden.
“Aku lapar,” ucapku lirih.
“Hehhh..!? princess Dea lapar..!!” Aku kaget mendengar teriakan seseorang yang berada di samping Aiden, aku lihat orang ini kelihatan paling muda dari yang orang-orang lain yang berada disini, dengan rambut warna coklat, tapi keliatan imut juga dia.
“Go food,” ucap Arion sambil menyalakan hp nya. Aku tau ini Arion.
“Kelamaan Goblok kalo go food!” teriak seseorang yang berada di dekatku.
“Minum oi minum” teriak orang yang di samping Aiden.
“Di depan ada buah, aku ambil dulu” ucap seseorang lalu dia bergegas keluar.
“Vitamin oi!!!” teriak Arion
“Ini prinsess Dea,” kata orang ini dengan menyodorkan coca cola kaleng. Haduhh.. perutku lagi kosong masak langsung minum yang bersoda kayak gini.
“Jangan soda Goblok.!!” teriak Arion.
“Ini My Queen,” ucap seseorang lagi dengan menyondorkan air putih.
“Lu, gak sopan banget masak air putih doang!!” teriak seseorang yang berada di samping Arion.
“Ayo kita ke depan oi!! KFC” ucap Arion.
“Oke gua ke indomart beli susu!!” ucap orang yang menyondorkanku air putih.
“Incess suka susu rasa apa?” tanya orang yang berada di samping Arion.
“Cokelat,” jawabku
“Inces mau makan apa? Aku pesen semua aja deh,” ucap Arion
Mereke semua keluar. Dan tinggal kami berdua. Aku dan Aiden langsung saling menatap satu sama lain, lalu tanpa sadar kami tertawa.
“Dea laper banget?” tanya Aiden lembut. Entah apa yang terjadi dengannya, aku langsung menganggukkan kepalaku.
“Bentar ya, tunggu mereka dulu,” ucap Aiden, aku hanya mengganggukkan kepala.
“Aiden, perutku mual kalo naik mobil, pengharum mobilmu baunya aku gak suka, aku juga gak suka naik lift, aku takut ketinggian,” ucapku kepada Aiden, sebenernya sedikit malu kalo bilang hal memalukan kayak gini, emang aku ini gak cocok jadi orang kaya. Hiks
“Kok gak bilang, kalo pengharum mobil nanti aku ganti ya.. kalo naik lift, ya harus make itu, kalo naik lewat tangga nanti capek,” ucap Aiden. “bukannya di rumahmu juga ada mobil ya Dea”
“Ada, tapi aku jarang make. Gak suka,” ucapku, dan tiba-tiba inget kecelakaan mantan tunanganku.
“Kenapa?” tanyanya. Aku hanya menggelengkan kepalaku. Aiden pun diem.
Setelah beberapa menit kemudian mereka berkumpul lagi di ruangan ini, sambil membawa berbagai makanan dan minuman. Satu meja penuh dengan makanan dan minuman. Mereka duduk dengan senyum manis melihat aku yang kebingungan mlihat banyak sekali makanan dimeja, meja ini cukup luas, tapi jadi penuh dengan makanannya.
“Emm.. ini semua buat aku?” tanyaku . Mereka semua mengangguk.
“Terlalu banyak hehe,” ucapku sambil sedikit tertawa khawatir
“Ahahahaaa.. terlalu banyak.. apa harus kita buang?” tanya seseorang yang duduk di dekatku.
“Nggak usah. Bagaimana kalo kita makan sama-sama saja,” ajak ku kemereka.
“No! ini khusus buat Incess Dea,” kata seseorang yang berada di samping Aiden.
“Dea cepet makan, habis ini kita beli keperluanmu,” perintah Aiden. Aku mulai mengambil beberapa makanan, susu ayam dan nasi, spageti, kentang. Aku memakannya dengan perlahan,karena beberapa memang masih panas. .
“Kalian bisa berhenti gak sih!?” teriak Aiden tiba-tiba, aku melihat mereka semua yang sedang memperhatikan aku.
“Why?!!!! ” teriak seseorang yang berada di samping Aiden.
“Kok ngamokkkk!” teriak seseorang yang berada di sampingku. Protes pada Aiden. Aku memperhatikan mereka yang saling beradu sungut.
Kehebohan geng Aiden membuatku sedikit terhibur. Namun siapa sangka tiba-tiba Aiden bersikap cemburu ketika salah satu temannya ingin duduk di sampingku.Setelah kenyang dengan makanan yang telah dihidangkan mereka. Aiden lekas mengajak aku keluar untuk membeli kucing yang sedari kemarin aku inginkan."Mau kemana Bro?" celetuk Raefal yang dari tadi menilik pergerakan aku dan Aiden."Anterin bini gua dulu," jawab Aiden seraya memasukkan ponsel ke dalam sakunya."Inces mau pergi?" tanya Devano. Aku hanya menganggukkan kepala."Yahh..." keluh Devano yang melihat responku."Udah Ayo," ucap Aiden lalu menggeretku dengan memegang bahuku. Aku yang merasa risih dengan tangan Aiden langsung berkelit agar segera terlepas dari cengkramannya.Selama perjalanan menuju parkiran tempat mobil aiden terparkir, setiap orang yang tanpa sengaja bertemu dengan kami menyapa Aiden dan memberikan tatapan penasaran kepadaku. Aku hanya bisa menghela nafas.&nbs
Setelah memberikan pertanyaan sekaligus perintah yang tidak jelas, Aiden kini sudah berada di kamarku. Bertepatan pada pukul 21:00 WIB.Aku kebingungan ketika melihat wajah Aiden yang sama-sama bingung. Pada akhirnya aku membuka mulutku dan menyuarakan pertanyaan kepadanya."Ada apa?""Ahh Nggak papa," jawab Aiden dengan kikuk."Aku mau tidur, kalau nggak ngapa-ngapain cepet keluar," usirku."Emm... De, akuu..." ucap Aiden dengan sedikit bergumam."Kenapa?" tanyaku penasaran melihat tingkah Aiden yang tidak jelas."Emm... Nggak," jawab Aiden dan langsung keluar dari kamarku. Aku hanya bisa mengerutkan kedua alisku ketika melihat tingkat Aiden yang semakin tidak jelas.Aku tidak tau dengan maskud Aiden bertingkah seperti itu. Akhirnya kuputuskan untuk tidur, karena seharian ini aku sudah capek bermain dengan kedua kucingku.***Keesokan harinya saat sarapan dengan Aiden di ruang makan. Terlihat dia yang sibuk denga
Ketika melihat pemandangan ini, entah kenapa aku tidak bisa berkutik. Sedangkan Aiden dari tadi hanya menatapku dan tetap memeluk perempuan itu.Ya, seseorang itu adalah perempuan dengan rambut panjang dan berwarna coklat. Memakai dres mini dengan high heels setinggi tower."Non," panggil Bik Asih dengan raut wajah panik.Tanpa menggubris Bik Asih kubalikkan badan dan kembali ke kamar. Amarah dalam diriku tiba-tiba tersulut.Ku kunci pintu kamarku. Dadaku naik turun tidak karuan, "Bisa-bisanya dia memeluk cewek setelah mencium keningku!""Arggghhhh...!!!" teriakku kesal.Dadaku terasa sangat nyeri. Buru-buru kucari obat di lemari pakaian milikku."Aghh...." Rasanya sangat nyeri. Panikku kambuh, aku harus segera menemukan obatku."Arghhhhh... aghhh!!" Aku sangat kesulitan mengatur detak jantungku.Titik yang melihatku kesakitan hanya bisa mondar-mandir. Dia menunjuk koper yang ada di atas lemari.
Ekspresi Aiden yang datar membuat moodku yang sebelumnya ingin tertawa melihat kepanikan titik dan Bik Asih berubah menjadi biasa saja. Entah apa yang dipikirkan lelaki itu, tetapi hatiku tiba-tiba terasa sakit melihat pemandangan barusan. Rasanya seperti dikhianati, padahal kita menikah tanpa dilandasi cinta. Namun, karena aku merasa akhir-akhir ini dia lebih perhatian padaku, tanpa sadar membuatku merasa telah memilikinya.Lambat laun sesak napasku mulai reda."Sudah baikan?" tanya lelaki itu datar."Sudah.""Astaga Non. Bagaimana bisa tadi seperti itu. Untung saja ada bibik yang langsung masuk ke kamar." Wanita tua itu mengomel layaknya mak mak yang khawatir pada putrinya. Ketulusan hati yang diberikan kepala pelayan rumah ini membuatku tersenyum."Maaf." Kulirik wajah suamiku yang hanya bisa menghela napas ketika mendengar permintaan maafku. Tak hanya Aiden, Bik Asih pun menghela napas panjang."Saya buatkan teh hangat dulu ya Non. Janga
"Dia Wendy." Hanya itu jawabannya. "Kekasihmu?" "Ya." "Oh." Kami diam seribu bahasa. Entah kenapa ada perasaan kecewa menyelimuti hatiku. Apa aku mulai tertarik pada suamiku? ini rasanya sangat gila. Padahal kami menikah karena terpaksa, dan aku yakin tidak akan menaruh perasaan padanya. Tapi kenapa hari ini perasaanku seakan tersakiti ketika melihatnya berpelukan dengan perempuan lain. Padahal kami baru kenal salam waktu yang singkat. Apa tuhan sudah membalikkan perasaanku pada orang asing ini? "Jadi perempuan itu yang dimaksud Oma. Cantik ya," celetukku tanpa pikir panjang. Rasanya seperti sedang cemburu. "Kamu juga cantik Dea." Aku tersenyum culas mendengar ucapan lelaki itu. Aku tak tau cantik darimananya wajahku ini. Dibanding dengan wanita itu jelas masih kalah jauh. "Habis berantem?" "Em hanya sedikit kesalah pahaman." "Apa karena kehadiranku?" tebakku. "Kurang lebih seperti itu." Jawaban itu terasa panas di telingaku. Seakan tak terima mendengarnya. "Kamu mau me
White hanya mendengkur setelah mendengar keluhanku. Perlahan mataku tertutup seiring reaksi obat yang menyergap kesadaranku. ***Pagi sudah tiba, kali ini aku terbangun lebih cepat dari biasanya. Bik Asih dan beberapa orang sedang menghidangkan sarapan pagi."Pagi Non," sapa wanita itu melihat kedatanganku. Kulirik Aiden tengah sibuk dengan gawainya."Pagi." Aku langsung duduk di samping suamiku. Tak ada pembicaraan, dan kami fokus dengan makanan masing-masing. Ketika selesai menengguk jus jeruk. Aku terdiam sejenak, menunggu obrolan yang akan dibahas Aiden bersamaku. "Apa kita bahas sekarang juga?" Tanyanya."Terserah. Bukankah kamu harus kerja?""Ya."Aku hanya mengendikkan bahu. "Kalau begitu kita bahas nanti sore. Aku berangkat dulu." Lelaki itu langsung berlalu begitu saja. Bik Asih dan beberapa pelayan lain berdiri di belakangku tanpa mengucapkan sepatah kata pun."Non."
Melihat keadaan suamiku yang tak biasa membuatku penasaran. Ditambah gaya bicaranya yang meninggi dengan mata merah membuatku merinding. Aku tak tau apa yang baru saja terjadi pada lelaki itu. Tapi melihat penampilannya yang porak poranda menandakan ada yang tidak beres."Apa yang kamu lakukan De?" tanyanya dengan suara purau. "Aku ngapain?" Aku tak mengerti apa yang dimaksud lelaki itu."Jangan pura-pura bodoh. Kamu kan yang mengadu ke mama soal Wendy?!" Aiden benar-benar dikuasai oleh emosinya. Nada bicaranya tidak bisa santai ketika bertanya padaku. Ini sangat berbeda dengan kemarin malam ataupun beberapa hari lalu."Mama yang maksa aku jawab pertanyaannya. Kenapa aku kemarin bisa kambuh lagi.""Terus kamu bilang kalau itu karena Wendy? Iya!?"" Aku cuma jawab kalau habis liat kamu pelukan sama kekasihmu. Aku nggak bilang kalau itu Wendy.""Itu sama aja De! Sialan!? Wanita tidak guna! Gara-gara kamu Wendy dimarahin m
Nama mama mertua terpampang jelas di sana. Aku melirik Aiden yang masih dalam keadaan marah. Begitu pula aku, napasku masih menggebu-gebu karena dimaki oleh suamiku.Kuhela napasku sebentar, ini untuk menetralisir emosi yang membeludak dalam kepala. Aku tidak ingin mama mertua tahu jika kami baru saja bertengkar. Keadaan ruamh tanggaku akan semakin runyam apabila mama mertua tau. Menyembunyikan masalah yang sedang terjadi adalah pilihan terbaikku.Setelah tekanan emosi menurun, segera kugeser ikon telepon ke atas. Kini telepon sudah tesambung antara ke dua belah pihak."Hallo, Assalamualaikum Ma." Aku mencoba membuat nada bicara seramah mungkin menutupi kedongkolan dalam hati yang habis dimaki suamiku."Waalaikumsalam Cantik.""Ada apa Ma?""Mama cuma mau bilang. Kalau Aiden aneh-aneh, langsung laporin ke Mama ya. Masalah tadi pagi, sudah Mama selesaikan. Sekarang kamu bisa tenang Sayang."Tanpa sadar aku nyeng
Dokter itu tertawa lembut, seolah ingin menenangkan kami. "Dea, hasil tes menunjukkan bahwa kamu hamil. Kamu berada dalam kondisi yang sangat baik, meskipun sempat mengalami mual dan kelelahan. Namun, jangan khawatir. Kondisi ini sangat normal, terutama jika ada perubahan fisik atau emosional."Aku terdiam, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Hamil? Aku hamil? Pikiranku terasa berputar. Tidak ada yang pernah menyebutkan ini sebelumnya, dan tentu saja, aku tidak pernah memikirkan hal ini."Aiden." aku berbisik, suaraku gemetar. "Aku hamil?"Aiden menggenggam tanganku lebih erat. "Iya, Sayang. Kamu hamil. Ini berita yang luar biasa, kamu jangan cemas. Kita akan menghadapinya bersama-sama."Aku terdiam, merasakan campuran perasaan yang sangat dalam. Di satu sisi, ada kebahagiaan yang tak terlukiskan, namun di sisi lain, aku merasa cemas. Bagaimana kami akan menjalani semua ini? Apa arti semua ini untuk kami? Dan yang terpenting, apakah kami siap dengan segala perubah
Dengan langkah yang berat, Aiden menarikku pergi dari pinggir sungai yang seakan berusaha menahan kami. Aku bisa merasakan kekuatan Alam Pusaka yang menahan kami, seolah tempat ini tidak ingin kami pergi begitu saja. Suasana yang tadinya penuh keindahan kini terasa penuh dengan ancaman yang tak terduga. Namun aku percaya pada suamiku, dan aku tahu, ia tidak akan membiarkan aku terluka.Akhirnya, setelah perjuangan panjang, kami tiba di batas Alam Pusaka, tempat yang menjadi pemisah antara dua dunia. Keindahan yang dulu kurasakan kini perlahan memudar, digantikan oleh rasa lega yang datang saat kami kembali ke dunia manusia.Tiba-tiba, aku merasakan tubuhku sedikit lebih baik. Rasa mual yang semula mengguncang perlahan mulai hilang, dan aku bisa merasakan kembali kekuatan dalam tubuhku. Aiden melepaskan pelukannya, meskipun aku bisa merasakan ketegangan yang masih ada di tubuhnya."Kita sudah kembali," katanya dengan suara yang lebih tenang, namun masih terdengar kelelahan. "Tapi aku r
Selama di Alam Pusaka. Aku bisa melihat keindahan yang tidak bisa kulihat selama di dunia manusia. Meskipun aku tidak bisa melihat Aiden secara jelas, setidaknya aku bisa melihatnya dalam bentuk bayangan. "Aku senang sekali melihatmu berlari dan menari seperti ini, Sayang. Ada perasaan sedih juga karena biasanya aku yang membantumu melakukan aktivitas sehari-hari. Di sini, kamu bisa melakukannya sendiri," ucap suamiku lembut, suaranya mengalir seperti aliran sungai yang jernih di depan kami, menenangkan sekaligus menghangatkan.Kami duduk di pinggir sungai yang indah, airnya yang jernih mengalir begitu tenang. Suasana ini begitu damai, dan aku merasa seolah dunia ini hanya milik kami berdua. Di sini, aku tidak merasa terbebani oleh keterbatasan penglihatanku. Alam Pusaka, dengan segala keajaibannya, memberiku kebebasan yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Aku bisa merasakan udara yang lebih segar, aroma bunga yang jarang ditemukan di dunia manusia, dan setiap detik terasa begitu b
Pagi itu, di ruang tamu yang hangat, suasana terasa berbeda. Aiden, suamiku duduk di depan keluarga besarnya, seakan hendak mengungkapkan sesuatu yang penting. Aku berada di sampingnya dengan tenang, meski tampak sedikit cemas. Keluarga sudah berkumpul, mendengar dengan penuh perhatian."Aiden, kamu tampaknya tidak seperti biasanya," kata Oma menyelidik situasi. "Ada apa? Kamu biasanya lebih ceria kalau bicara soal perusahaan."Aiden menarik napas dalam-dalam. "Aku dan Dea akan pergi berbulan madu," ucapnya dengan nada yang mantap, tetapi ada keraguan yang samar terbersit. Semalam kami sudah mengobrol, dan ia sempat mengungkapkan keresahan. Takut kalau tempat itu akan menstimulus traumaku. Namun, aku meyakinkannya. karena di sana aku bisa melihat pemandangan banyak hal karena diselimuti alam gaib. "Ke mana?" tanya Mama Rita, tertarik. "Ada tujuan spesial, Nak?""Alam Pusaka," jawab suamiku, membuat suasana hening seketika. Dea menundukkan kepala, berusaha menahan perasaan yang datang
Malam itu, suasana ruang makan sudah penuh kehangatan. Aroma makanan khas keluarga memenuhi udara, membuat perutku yang tadinya gelisah kini mulai terasa lapar. Semua orang sudah duduk di tempatnya masing-masing, berbincang dengan riang. Aku dan Aiden datang terakhir, menambahkan kursi di sisi meja untuk kami berdua. Mama Rita langsung tersenyum hangat melihat kami. “Akhirnya kalian datang. Kami sudah hampir mulai, loh.” Aiden membantu menarik kursiku dengan lembut, memastikan aku duduk dengan nyaman sebelum ia duduk di sebelahku. “Maaf, kami agak terlambat,” katanya dengan nada santai. “Dea tadi masih butuh waktu untuk bersiap.” Andre yang duduk di ujung meja, bercanda sambil tertawa kecil. “Ah, Aiden. Kamu makin romantis saja.” Semua orang di meja tertawa, kecuali aku yang hanya bisa tersenyum gugup. Rasanya sulit menyesuaikan diri dengan perhatian sebanyak ini. Namun, Aiden, yang sejak tadi menggenggam tanganku di bawah meja, memberiku rasa percaya diri. Setelah semua mak
Aku terdiam sejenak, merasakan pipiku mulai memanas mendengar ajakan Aiden. Suaranya begitu lembut dan menggoda, tetapi ada sesuatu di dalamnya yang membuat jantungku berdebar lebih cepat.“Aiden,” panggilku pelan, berusaha menyembunyikan rasa gugupku. “Kamu tahu aku tidak terlalu suka dengan ide itu. Lagipula, aku belum terbiasa dengan semua ini.”Aiden tertawa kecil, lalu duduk di sampingku. “Sayang, aku tidak memaksamu. Aku hanya ingin membuatmu nyaman. Setelah semua yang kita lalui, aku merasa kita pantas menikmati momen yang tenang bersama.”Aku merasakan tangannya menggenggam jemariku dengan lembut, seakan memberikan kehangatan yang menenangkan. “Kita tidak harus buru-buru, Dea. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini, sepenuhnya untukmu.”Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk merespons. “Kamu terlalu manis, Aiden. Kamu bisa gendong aku?”Aiden terdiam sejenak, lalu aku mendengar tawanya yang lembut dan penuh kehangatan. “Tentu saja, Sayang
"Titik!" pekikku tak sadar. Makhluk halus yang hendak pergi itu langsung berbalik ke arahku."Raden Ayu!" kagetnya. Dia kemudian berteriak. "Woy! Dalbo! Raden Ayu bisa melihatku!"Dalam hitungan sekejap sosok yang panggil pun datang. "Benar Raden bisa melihat kami?""Benar, Dalbo. Bagaimana kabar kalian.""Kami semua baik, Raden Ayu," jawab Dalbo. "Yang dikatakan Kanjeng Ratu benar-benar terjadi," ujar Titik. Aku bisa melihat bagaimana ekspresinya. Namun tiba-tiba seseorang keluar dari kamar mandi."Aiden?""Iya, Sayang?" ia mendekat ke arahku. "Kenapa masih memanggilku dengan nama? Panggil Sayang dong." Kemudian hendak menciumku, tetapi segera kutahan."Apa kamu tidak malu dilihat mereka?" cegahku karena Dalbo dan Titik terperangah melihat kami."Mereka?""Titik dan Dalbo. Mereka sedang di sini kan? Bahkan mereka terkejut melihat kamu mau menciumku."Aiden bergeming. "Kamu bisa melihat mereka? Bukannya Ayah bilang kalau kamu bahkan tidak bisa melihat apapun termasuk dunia gaib?""Se
Aku menenggak salivaku dengan paksa. Saling mencintai? Waktu seakan berhenti saat tebakan tersebut terlontar padaku. Sedangkan Aiden tampak enteng menjawab pertanyaan tersebut."Aku memang cinta sama De, Oma. Tapi belum tentu dengan Dea." Pria itu melepaskan keluhan hatinya yang kukira tak akan dibahas lagi.Ruangan mendadak hening setelah pengakuan Aiden. Nahasnya aku pun gugup, "A-aku..." Kalimat itu menggantung, rasa bingung menderai kepalaku."Kalau begitu, kamu harus berjuang lebih cerdas lagi Aiden," sahut Oma. "Begitu ya, Oma?""Iya dong, Aiden. Zaman sekarang kerja keras doang kan nggak cukup," kekeh Oma."Siap, Oma!" ucap Aiden yang langsung berdiri. Entah apa yang dia lakukan, tetapi semua orang tergelak karea dia. Saat gemuruh tawa mulai mereda, Oma bertanya padaku dengan lembut."Dea," panggilnya lembut penuh kasih."Iya, Oma?""Apa kamu nyaman bersama Aiden?" Aku terdiam sesaat. Pertanyaan tersebut terasa tak membebankan dibandingkan sebelumnya. "Nyaman, Oma.""Syukurla
"Gausah pegang-pegang istriku. Pegang istrimu sendiri sana!" nyolot Aiden. "Yaelah. Jabat tangan doang," balas Andre. Sayangnya aku cukup terkejut saat orang lain memanggil namaku. "Hai, Dea. Sudah lama tidak bertemu." Kali ini suaranya terdengar lembut. Itu adalah Ghiselle. Perempuan yang sebelumnya memusuhi dengan terang-terangan. Namun, hari ini aku merasakan frekuensi yang cukup nyaman daripada pertemuan terakhir kami."Iya. Ghiselle." Baru saja menjawab, "Iya Dea. Ak-" ucapan wanita itu terputus karena Mama Rita memanggil kami untuk segera bergabung ke ruang makan."Ayo, De," ajak Aiden kembali membawaku berjalan tanpa tongkat. Langkah kakinya yang lebar sudah ia kontrol mengikuti langkah kakiku. Aku bisa merasakan perubahannya yang sebelumnya kikuk menjadi sangat santai hari ini. Sepertinya ia sudah sangat cocok menjadi relawan untuk orang tuna netra sepertiku. Dia bahkan bisa mengingat detail kecil keperluan sehari-hari. Banyak hal yang ia rubah agar menjadi tempat inklusi ba