White hanya mendengkur setelah mendengar keluhanku. Perlahan mataku tertutup seiring reaksi obat yang menyergap kesadaranku. ***Pagi sudah tiba, kali ini aku terbangun lebih cepat dari biasanya. Bik Asih dan beberapa orang sedang menghidangkan sarapan pagi."Pagi Non," sapa wanita itu melihat kedatanganku. Kulirik Aiden tengah sibuk dengan gawainya."Pagi." Aku langsung duduk di samping suamiku. Tak ada pembicaraan, dan kami fokus dengan makanan masing-masing. Ketika selesai menengguk jus jeruk. Aku terdiam sejenak, menunggu obrolan yang akan dibahas Aiden bersamaku. "Apa kita bahas sekarang juga?" Tanyanya."Terserah. Bukankah kamu harus kerja?""Ya."Aku hanya mengendikkan bahu. "Kalau begitu kita bahas nanti sore. Aku berangkat dulu." Lelaki itu langsung berlalu begitu saja. Bik Asih dan beberapa pelayan lain berdiri di belakangku tanpa mengucapkan sepatah kata pun."Non."
Melihat keadaan suamiku yang tak biasa membuatku penasaran. Ditambah gaya bicaranya yang meninggi dengan mata merah membuatku merinding. Aku tak tau apa yang baru saja terjadi pada lelaki itu. Tapi melihat penampilannya yang porak poranda menandakan ada yang tidak beres."Apa yang kamu lakukan De?" tanyanya dengan suara purau. "Aku ngapain?" Aku tak mengerti apa yang dimaksud lelaki itu."Jangan pura-pura bodoh. Kamu kan yang mengadu ke mama soal Wendy?!" Aiden benar-benar dikuasai oleh emosinya. Nada bicaranya tidak bisa santai ketika bertanya padaku. Ini sangat berbeda dengan kemarin malam ataupun beberapa hari lalu."Mama yang maksa aku jawab pertanyaannya. Kenapa aku kemarin bisa kambuh lagi.""Terus kamu bilang kalau itu karena Wendy? Iya!?"" Aku cuma jawab kalau habis liat kamu pelukan sama kekasihmu. Aku nggak bilang kalau itu Wendy.""Itu sama aja De! Sialan!? Wanita tidak guna! Gara-gara kamu Wendy dimarahin m
Nama mama mertua terpampang jelas di sana. Aku melirik Aiden yang masih dalam keadaan marah. Begitu pula aku, napasku masih menggebu-gebu karena dimaki oleh suamiku.Kuhela napasku sebentar, ini untuk menetralisir emosi yang membeludak dalam kepala. Aku tidak ingin mama mertua tahu jika kami baru saja bertengkar. Keadaan ruamh tanggaku akan semakin runyam apabila mama mertua tau. Menyembunyikan masalah yang sedang terjadi adalah pilihan terbaikku.Setelah tekanan emosi menurun, segera kugeser ikon telepon ke atas. Kini telepon sudah tesambung antara ke dua belah pihak."Hallo, Assalamualaikum Ma." Aku mencoba membuat nada bicara seramah mungkin menutupi kedongkolan dalam hati yang habis dimaki suamiku."Waalaikumsalam Cantik.""Ada apa Ma?""Mama cuma mau bilang. Kalau Aiden aneh-aneh, langsung laporin ke Mama ya. Masalah tadi pagi, sudah Mama selesaikan. Sekarang kamu bisa tenang Sayang."Tanpa sadar aku nyeng
"Perjanjian?" Aiden mengulang inti dari ajakanku. Aku hanya menganggukkan kepala. Ini adlaah jalan terbaik untuk menjamin keselamatanku selama menjalani pernikahan dengan Aiden. Kupikir rumah tangga ini akan berjalan dengan sangat baik tanpa menyenggol satu sama lain. Siapa sangka hari ini lelaki itu melakukan kekerasan, bahkan menyebabkan luka di pergelangan tanganku."Buat apa De? Kamu sudah mendapatkan rumah ini bahkan uang bulanan yang lebih dari cukup untuk hidupmu." Respon itu membuatku ingin tertawa. Uang bulanan? Ini terdengar seperti bualan di telingaku, bagaimana bisa dia percaya diri mengatakan soal uang bulanan?"Aku tidak bodoh Aiden. Memang rumah ini menjadi milikku. Tapi setelah kita cerai semuanya akan dibagi rata. Itu tidak adil, rumah ini dan uang yang kukumpulkan akan terbagi denganmu.""Ya tuhan. Jadi kamu ingin menguras semua kekayaanku De?""Aku tidak menguras kekayaanmu Aiden. Bahkan uang bulananku saja dari papa mertua bukan kamu!"
Melihat keadaan tanganku membuat lelaki itu terbungkam. Bukti ini sudah cukup untuk jadikan alasan Aiden telah melakukan kekerasan terhadapku, ditambah ada Bik Asih dan Rara yang sedari tadi menguping pembicaraanku dengannya."Bagaimana?" tanyaku sekali lagi pada suamiku. Butuh seperkian detik sebelum ia menjawab, pada akhirnya ia hanya bisa pasrah."Baiklah. Ayo buat perjanjian nikah.""Oke. Kita lakukan besok. Sementara absenlah dari pekerjaanmu sampai perjanjian nikah ita selesai.""Ya."Setelah mendapatkan jawaban itu, aku segera masuk ke dalam kamar. Perdebatan tadi membuat tenagaku terkuras habis. Titik yang memantauku dari kejauhan pun mengikutiku ke kamar. Tak ada pertanyaan darinya, dia diam seribu bahasa. Biasanya dia akan mengomel, tapi kali ini tidak dan terlihat tenang. Namun, ketika aku dicengkram suamiku ia sempat marah dan ingin menyelematkanku.Sayangnya, Aiden adalah salah satu manusia yang sulit dikendalikan oleh makhluk h
"Jadi," aku menjawabnya dengan cepat. "Kita berangkat jam 8. Kamu bersiaplah," ucap lelaki itu beranjak pergi. Namun, ketika sudah berjalan beberapa langkah Aiden tiba-tiba berbalik. Lalu... "Bik, tolong obati luka Dea." Mendengar perintah itu aku terkejut. Lelaki bengis semalam kenapa jadi perhatian seperti ini? Ya tuhan... tanpa sadar dadaku berdetak cepat ketika mendengar ucapan lelaki itu. Segera ku tepuk wajahku beberapa kali. Khayalan untuk dicintai Aiden menyeruak paksa ke dalam otakku dan tanpa sadar membuatku tersenyum. "Astaghfirullahaladzim!" aku mencoba menyadarkan diriku dari kesenangan fatamorgana. "Non ... Apa ada yang sakit?" Bik Asih yang baru saja meninggalkanku langsung menghampiri ketika mendengar istighfarku. "Eh tidak kok Bik. Hanya tanganku saja yang sedikit perih karena ada beberapa goresan." Segera kutunjjukkan pergelangan tanganku pada Bik Asih. Wanita itu langsung menutup mulutnya seakan
Tubuhku semakin gemetar saat mobil terparkir di depan kantor notaris. Pertanyaan tentang anak membuatku linglung. Namun, untuk menggapai tujuan aku memaksa diriku masuk ke dalam.Ketika notaris memberikan contoh perjanjian pra nikah dari klien sebelumnya, semua sangat cocok dengan keinginanku."Bagaimana De?" tanya Aiden setelah membaca semua point point yang tertera di dalam dokumen tersebut." Sesuai sama yang aku inginkan. Kita bikin permisi seperti ini." Kutaruh lembaran perjanjian nikah tersebut ke atas meja. Aku sudah sangat puas membaca point-point yang tertea di sana."Kita hapus bagian ini." Aiden menunjuk salah satu point. Mataku melebar."Kita tulis, pernikahan ke dua bisa terjadi jika pernikahan pertama mengizinkannya," ucapnya.Mendengar usulannya sontak membuatku badmood. Dia benar-benar egois jika masalah wanita. Apa sebegitu cintanya dia dengan Wendy sampai menelantarkan aku seperti ini?"Tidak.
Bagaimana dia bisa chat mesra dengan wanita itu, padahal baru saja menandatangani perjanjian nikah bersamaku barusan?!Sanubariku teriris melihat keasyikan dalam pesan-pesan itu. Segera ku ambil ponselku dan menvideo aktivitas Aiden. Ketika timer menunjjukan 1 menit lebih, Aiden baru menyadari jika aku sedang menangkap gerak-geriknya."Ngapain kamu?" sulutnya dengan kerutan di kening."Main hp." dengan gaya tolol aku meresponnya. "Terus kenapa posisi hp mu seperti itu?""Terserah aku dong." Tanpa sadar nada bicaraku meninggi karena merasa dicurigai oleh lelaki itu. Ia segera mendekatkan kepalanya ke layar ponselku, mencari tahu apa yang sedang kulihat. Segera ku masukkan saku benda pipih itu. Aku tak ingin menambah masalah dengan lelaki itu."Apa sih?" tanyanya."Enggak. Sudah sampai. Aku duluan!" segera kutinggal suamiku yang dikeluti rasa penasaran. Namun, ia tak kunjung menyusulku, justru mobil melaju meninggalkan pekarangan rumah. Entah pergi ke mana dia, tapi badanku terasa let
Aku terdiam mendengar permintaan Aiden, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Satu kesempatan?" gumamku, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan hati yang bergejolak. “Dea.” Suaranya semakin mendekat, dan aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya saat dia duduk lebih dekat. Tangannya menyentuh lembut jemariku yang masih menggenggam tongkat. Sentuhannya membawa campuran perasaan yang sulit dijelaskan. Entah kenapa ada kemarahan, kesedihan, dan kerinduan yang tak kuinginkan.“Maafkan aku, Dea,” lanjutnya, nadanya penuh penyesalan. Aku menggeleng pelan, meskipun aku tahu dia tak bisa melihat gerakanku. “Pergi dari sini. Aku tidak mau bertemu denganmu lagi.” Kata-kataku menghantam udara seperti bilah tajam. Aku merasakan genggamannya mengendur sejenak, seolah-olah kata-kataku telah memukulnya tepat di tempat yang paling lemah. Aku langsung berdiri, tangan mantan suamiku sempat menahanku. Namun, kukibaskan sek
Aku merenung sejenak menerka siapa yang berniat menemuiku. Terdengar Ayah membukakan pintu selebar mungkin. "Ayo, Nak."Kulontarkan tongkatku untuk menuntun langkah kakiku. Semenjak tidak bisa melihat, kupaksakan diriku untuk tetap mandiri. Setelah sekian bulan berlalu, akhirnya Mama dan Ayah membiarkan apapun yang kulakukan. Pada awalnya, mereka akan memaksa untuk menuntunku. Syukurnya lambat laun, Ayah dan Mama hanya membiarkanku berjalan sendiri, tetapi aku tau jika mereka mengawasiku dari kejauhan untuk memastikan tidak terjadi masalah serius.Suara ketukan sandal dan tongkat menggema ke penjuru ruangan. Aku masih menerka-nerka siapa yang datang ke rumah, tapi sampai sekarang aku tidak mendengar suara orang lain di ruangan ini. Bahkan ketika aku sudah duduk cukup lama. Hanya genggangaman Ayah yang semakin mengendur dan perlahan menjauh."Ayah," panggilku pelan karena ku dengar beliau berpindah tempat. Perlahan aku bisa merasakan seseorang bernapas di sampingku. Kutolehkan sedikit
"Dia sedang sibuk mengurus perusahaannya. Ternyata sahabat dia sendiri yang menggelapkan uang di cabang perusahaannya, penipuan investor dan banyak lagi. Banyak orang yang terlibat dalam kejahatan itu. Dan sekarang keluarga Gito sedang kalap menyelamatkan semua usaha mereka dan warisan," jelas Ayah yang membuatku sedikit lega. Kata-kata Ayah menggema dalam pikiranku, menyisakan kekosongan yang sulit dijelaskan. Namun, entah kenapa, ada sedikit kelegaan yang mengalir di dadaku. Setidaknya Aiden sedang sibuk dengan dunianya sendiri, mungkin itu alasan mengapa dia tak mencariku atau mencoba menghubungiku."Apa itu Elvaro?" tanyaku yang teringat dengan tingkah aneh pria itu. Nama itu muncul begitu saja di benakku, seperti serpihan teka-teki yang terlupakan. Ditambah Dalbo dan Titik sempat melaporkan beberapa kecurigaan mereka saat aku ada di kantor suamiku. Ah... salah, tapi mantan suami.Ayah mendengkus, seakan jengah dengan informasi yang ia simpan. "Iya. Dia juga bekerja sama dengan We
"Kita pulang sekarang, Nak. Ini demi kebaikanmu," ujar Ayah sembari mendorong kursi roda yang kududuki. Ibu mengikuti langkah ayah dengan tergesa-gesa. "Aku sudah memberitahu dokter. Dia mau berkerjasama dengan kita, Mas.""Syukurlah kalau begitu, Bu. Kita haru segera pulang. Cuma di rumah kita, tempat yang aman untuk keselamatan Dea."Suasana di rumah sakit terasa tegang, bahkan langkah kaki Ayah yang biasanya tenang kini terdengar berat dan terburu-buru. Aku duduk diam di kursi roda, membiarkan Ayah mendorongku tanpa perlawanan. “Ibu, kenapa kita harus buru-buru pulang?” tanyaku berusaha mencari penjelasan.“Nak, kita hanya ingin kamu istirahat di rumah. Rumah akan lebih nyaman untuk pemulihanmu.” Suara ibu terengah karena harus berpacu dengan langkah kaki ayah yang cepat.“Tapi, Bu,” aku mencoba membantah, tetapi Ayah memotong dengan nada tegas.“Dea, dengarkan Ayah. Sekarang yang penting adalah keselamatanmu. Kita tidak punya banyak waktu untuk penjelasan. Nanti, kalau sudah di r
Entah sudah berapa lama aku terkapar dalam kegelapan. Samar-samar aku mendengar isakan tangis perempuan meranyap di indera pendengaranku."Kenapa nasib putri kita seperti ini, Mas?" itu suara ibuku.Ayah menghela napasnya panjang. "Aku juga tidak tahu, Bu. Padahal kamu tahu sendiri bagaimana aku menjaga putri kita." "Kenapa putri kita digariskan takdir yang sangat tragis begini. Kenapa tidak aku saja, Ya Allah! Kenapa putriku harus semenderita ini! Apa salah dia!" Ibu terdengar meraung di sana."Bu, tenang. Kita sedang berada di rumah sakit.""Tenang bagaimana, Yah?! Dea sudah koma selama dua bulan! Kamu minta aku tenang! Putri kita sedang berada di antara hidup dan mati!" Hah? Dua bulan? Selama itukah aku terkapar di sini. Aku masih tidak bisa melihat apapun. Bahkan aku untuk menggerakkan tubuh saja sulit. Suaraku terasa hilang begitu saja. Akhirnya aku hanya bisa mengerang pelan untuk memberitahu orang tuaku kalau aku sudah siuman.Butuh banyak tenaga untukku memberikan sinyal pad
Setelah dibawa ke kamar pemulihan, aku berbaring di atas ranjang. Wajahku yang masih tertutup perban, tapi aku merasakan sedikit kehangatan dari jendela kamar yang diterangi sinar matahari. Rasanya aneh, aku tidak tahu apakah itu pagi atau siang. Bagiku dunia seperti tempat yang jauh dan tak terjangkau.Ayah duduk di kursi sebelah tempat tidur. Beliau menggenggam tanganku erat. "Kamu sangat kuat, Nak. Operasi ini adalah langkah besar. Dokter bilang kemungkinan kamu akan sembuh total." Suaranya penuh optimisme, tetapi ada hati-hati di balik kalimatnya.Aku tersenyum kecil, meskipun dalam hati ada rasa gelisah yang sulit dihilangkan. "Ayah," panggilku pelan, mencoba mencari celah untuk bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia."Ya, Sayang?"Aku terdiam sejenak, lalu menarik napas panjang. "Bagaimana kabar di sana? Tentang kasus itu." Rasanya sangat berat mengatakan keingintahuanku. Namun, aku harus mencobanya, "Sony, Hendro, dan semua kejahatan mereka. Apa semuanya suda
Ruangan operasi dipenuhi oleh suasana yang hening, hanya suara monitor detak jantung yang berdentang lembut. Lampu-lampu terang menyinari meja operasi, membuat setiap sudutnya terlihat steril dan berkilau. Aku berbaring dengan tubuh tertutup kain bedah, hanya menyisakan area wajahku yang terlihat. Meski tak bisa melihat apa-apa, aku merasakan udara dingin dari ventilasi ruangan menyentuh kulitku. “Baik, kita mulai sekarang,” suara dokter terdengar tegas tapi tenang. Beliau mencoba memberikan rasa aman di tengah kegelisahanku. “Mrs.Dea, Anda tidak akan merasakan sakit, tapi kami akan tetap memberikan anastesi lokal untuk kenyamanan.” Aku mengangguk pelan, meskipun jantungku berdegup kencang. Tubuhku terasa kaku di bawah tekanan emosional. Rasanya seperti berada di antara harapan besar dan ketakutan yang sulit diprediksi. “Tarik napas perlahan, Nona Dea,” seorang perawat berkata lembut di telingaku, membantu menenangkan. Aku mencoba mengikuti instruksinya, menarik napas dalam-dalam, l
Aku menatap Ayah dengan raut penuh pertanyaan, tapi aku tahu dia tak akan memberiku jawaban lebih dari itu. "Istirahatlah, Sayang. Kita akan bicara lagi besok pagi," katanya dengan nada yang lebih lembut, sebelum melangkah keluar dari kamar.Kata-katanya terasa menggantung, menyisakan banyak pertanyaan yang berputar di kepalaku. Perkembangan baru? Apa itu berarti ada harapan untuk penglihatanku? Tapi bagaimana dengan kasus ini? Apakah benar aku harus pergi sekarang, meninggalkan semua ini di tengah jalan?Aku menghela napas panjang, berusaha meyakinkan diri bahwa semua ini adalah keputusan terbaik. Namun, tidur tetap menjadi hal yang mustahil malam itu. Suara di ruang tamu hotel, samar-samar terdengar dari balik pintu, menunjukkan diskusi serius antara Ayah dan seseorang. Aku berusaha menutup telinga, tetapi rasa ingin tahu tetap mengalahkan.***Keesokan harinya, suasana sarapan terasa canggung. Ayah dan Ibu tampak saling membisu, sementara Nio, yang biasanya penuh semangat, memilih
Setiap orang di ruangan seperti menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Pengacara Sony berdiri dengan percaya diri, menyodorkan dokumen tambahan yang membuat hakim terlihat serius saat membacanya. Bisikan-bisikan kecil dari para penonton sidang mulai memenuhi ruangan.“Yang Mulia,” kata pengacara itu, suaranya tegas namun penuh intrik, “Dokumen ini menunjukkan bahwa Sony dan Hendro hanyalah pion dalam permainan ini. Ada individu yang lebih besar, lebih berkuasa, yang berada di balik kegiatan ini. Orang itu telah mengarahkan semua operasi ilegal yang melibatkan perdagangan hewan langka, hingga ancaman pada saksi utama, Saudari Dea.”Aku merasa tangan Ayah menggenggam erat bahuku, seolah ingin memastikan aku tetap tenang. Namun, pikiranku berputar, mencoba mencerna pernyataan itu. Individu yang lebih besar? Siapa lagi?Hakim mengetukkan palunya pelan, meminta ketenangan di ruang sidang. "Apakah Anda memiliki bukti kuat untuk mendukung klaim ini?" tanyanya dengan suara