Setelah puas mengamati bingkai foto itu, aku memilih untuk menjelajahi rak buku. Namun pikiranku tidak bisa untuk diajak berkompromi, sedari tadi aku memikirkan siapa perempuan di foto tersebut. Dari pose yang mereka lakukan itu terlalu intens, dimana perempuan itu duduk berpangku paha suamiku, sedangkan suamiku menyenderkan kepalanya di dada wanita itu.
Apa itu mantan istrinya? tapi setauku Aiden tidak pernah menikah. Aku melamun sambil terbengong tanpa sadar aku sampai di depan lemari kaca yang berisikan mahar-mahar yang diberikan Aiden. Aku hanya mengambil seperangkat alat sholat.
Aku kembali ke kamarku untuk naruh mukena dan mengambil ponselku di meja rias. Setelah itu aku keluar kamar, dan berkeliling melihat seluas apa rumah ini. Tiba-tiba ada segerombolan orang yang membawa alat bersih-bersih rumah.
Dan mereka menyapaku.
“Selamat siang Non,” sapa mereka kepadaku. Kulontarkan senyuman manisku agar aku tidak terkesan judes.
“Iya selamat siang.”
“Permisi Non mau bersih-bersih dulu,”
“Iya silakan.”
Gerombolan itu mulai berpencar sesuai tugas masing-masing. Banyak juga orangnya, apa mereka juga tinggal disini? sepertinya enggak deh… tapi nggak tau lah, nanti tanya Bik Asih aja.
Hm… aku mulai berkeliling, dan wow emang besar banget. Banyak ruang-ruang nya, ada kolam renang juga, tempat fitness, musholla kecil, ruang baca, tempat basket, taman, dan.. tidak tau, karena banyak ruang yang terkunci. Aku capek berkeliling dan berniat membantu perkerja yang sedang membersihkan rumah, tetapi mereka tidak mengijinkanku. Jadi aku terpaksa ke taman, di sana ada ayunan. Dan aku menaikinya. Tiba-tiba suasana jadi gelap. Ahhh.. mulai lagi. Disini ada penunggunya berarti.
Dan ternyata.
Ba!! Bener ada kuntilanak di depan ku, aku diam aja.
“hihihihihiiiiii!!!!!!!!!” dia mulai mengarahkan tangannya ke leherku, ingin mencekikku.
“Ngapain?" tanyaku santai. Aku sudah terbiasa dengan gangguan seperti ini. Dia menambah keseraman wajahnya, tapi itu tidak mempan untukku.
Kuntilanak terkaget karena aku pelototin dia, dia mundur.
“Nggak takut?” ttanyanya.
“Takut? Aku ? hahaaa… kamu itu yang seharusnya takut.” aku pelototin dia.
“Ehh.. maaf non, saya gak bakal ganggu lagi, tapi ini tempat saya, itu ayunan saya.”
“Ayunanmu? Sekarang ini punyaku?” Aku merampas kekuasaan tempat kuntilanak ini.
“Iya Nyonya,” jawabnya pasrah.
“Pergi sana,” usirku. Mood-ku jadi hancur gegara liat kuntilanak itu, merasa sok jagoan dia disini. Aku melihat pocong, gendruwo, dan ada harimau putih juga, mereka mulai pergi ketika aku liatin mereka. Hmm.. ya ini lah sedikit kelebihanku, hanya terkadang saja aku bisa melihat hal-hal kayak gitu. Setelah kejadian 4 tahun lalu.
Aku bersantai cukup lama, tak terasa hari sudah mulai sore. Aku kembali kamar, siap-siap untuk mandi dan sholat. Setelah itu aku santai di balkon samping kamarku, aku bisa melihat harimau yang sedang bersantai di pinggir kolam. Nih harimau punya siapa sih? Aku jadi penasaran. Tapi masih banyak orang di rumah ini, nanti malam aja deh aku tanyain. Aku mau balik ke kamar. Eh.. ada Aiden, kayaknya baru pulang. Nggak perlu nyapa lah, sesuai kesepakatan. Aku langsung masuk kamar. Rasanya sepi banget, nggak ngapa-ngapain, kangen sama kucing aku. Apa aku boleh melihara kucing ? tapi saat keliling tadi aku tidak melihat satu pun peliharaan di rumah ini. Apa aku coba tanya Aiden aja ya ?
Tapi kan, aku nggak boleh ganggu dia. Nanti aja deh kalo ketemu. Tapi sekarang pengen banget.. si blackie makannya teratur gak ya setelah aku pindah ke rumah ini. Padahal baru 2 hari disini hehe...
Setelah lepas isya' aku keluar kamar, tiba-tiba rasa lapar menyerang perutku.. aku kalau makan memang tidak teratur, sering banget dimarahin ayah gegara makan tidak teratur. Jadi kangen ayah.
Aku menuju dapur dan sudah tersedia makanan di meja makan, aku makan tidak banyak, karena aku berniat mau makan snack yang ada di kulkas sambil nonton drakor di kamar. Setelah selesai aku menuju kamar. Dan sepertinya ada tamu di ruang tamu, aku tidak melihatnya, udah jadi kebiasaan di rumah orang tuaku dulu sih, nggak pernah nampakin diri pas ada tamu, kecuali kalau disuruh buatin kopi buat tamunya ayah.
Aku masuk kamarku ini, kamarku sangat nyaman, luas banget, dan semua keperluan ada disini. Termasuk skincare dan make up. Mertua ku emang the best banget. Betah banget kalo kayak gini. Habis ini aku mau beli kulkas kecil buat ditaruh di kamar ah.. biar gak bolak balik ke dapur buat ambil snack.. aku menonton drakor hanya satu episode karena updatenya cuma 1 episode. Setelah itu aku matiin ponselku. Dan aku melihat baju-baju di lemari.. dan ya.. bagus bagus semuanya, lucu-lucu juga. Ada dress warna cream polos tapi kalau dipakai kayaknya elegant deh.. aku coba mamakai dress itu.
Oh.. wow ini baju yang dari dulu pengen aku pakai, model singlet tipis dan di atas lutut dikit dressnya, keliatan sexy banget aku. Aku tertawa sendiri, karena ini pertama kali aku makai baju kayak gini, ternyata aku tak segemuk yang dibilang ayah, ini sih masih tertolong gemuknya, emang bagian pipi dan dagu aku yang banyak lemaknya, di badanku tidak terlalu gemuk hanya berisi saja sih. Eh.. kebanyakan muji diri sendiri nih aku, hehe...
Aku liat meja riasku, disana terdapat berbagai macam make up banyak yang masih tersegel, hmm.. ya memang aku belom menggunakannya sama sekali sih. Aku mulai merias wajah aku. Aku senang banget.. ini salah satu impian aku aku bisa bebas memakai dan ber-make up sesuka aku. Sebenarnya make-up adalah salah satu hobi aku di rumah orangtuaku juga banyak banget make-up ku, tapi tak semahal yang ada disini. Merek make-up yang disediakan mama mertua samua brand-brand ternama, aku tidak tau berapa banyak uang yang dikeluarkan mama mertuaku untuk membeli semua make-up ini. Mumpung rumah ini sedang sepi, jadi aku bisa melakukan apapun.. haha..
Setelah selesai bermake-up dan menata rambut aku berdiri di depan kaca yang besar.. wow. Bagus banget. Aku berputar putar, beberapa kali mengambil foto di depan kaca. Aku keluar kamar dan mencari space yang bagus untuk berfoto. Dengan membawa tripod aku mulai mengaturnya, dan saat di tangga aku berpas-pasan lagi dengan Aiden. Dan temannya keliatan kaget ketika melihat aku. Aku hanya melihatnya. Aku merasa risih karena pakaian yang aku pakai sekarang juga tergolong seksi, apalagi tanpa lengan.
“Emm.. Arion ini Dea, Dea ini Arion sahabat aku,” Aiden memperkenalkan temannya padaku.
“Hai... Arion.” Dia menyondorkan tangannya kepadaku.
“Dea.” Aku hanya tersenyum dan tidak membalas jabatan tangannya, karena aku tidak terbiasa buat menyentuh orang baru.
Aku langsung turun dan menuju ruang baca, dan aku masih bisa merasakan mereka berdua masih memperhatikan aku, bodoamat lah. Jalani hidup masing-masing okey..
Tempat ini cocok banget buat foto dengan ootd aku yang kayak gini hehe.. aku mengambil beberapa foto, sedikit kesulitan. Apa aku sewa fotografer saja ya.. tapi ini terlalu malam. Kapan-kapan aja deh.
Tak terasa ini sudah jam 21.30, aku mulai menuju ke kolam untuk menghampiri harimau putih, dia terbangun. Dan aku menoleh ke kuntilanak yang sedang berada di ayunan.
“Selamat malam Nyonya.” Mereka serentak menyapaku, aku Cuma mengangkat alisku. Aku menunjuk harimau, dan menyuruhnya dia ke sampingku. Dan aku duduk di kursi santai.
“hmm… harimau putih. aku panggil kamu jadi white ya ?”
“iya.”
“siapa pemilikmu?”
“sesepuhnya Tuan Aiden.”
“Penjaga Aiden?”
“Iya Nyonya.”
“Sejak kapan disini?”
“Sejak rumah ini dibangun.”
“Hm.. sudah lama ?”
“10 tahun”
“Sejak kapan jaga Aiden?”
“Sejak Tuan bayi.”
“Sesepuhnya Aiden itu buyut atau eyangnya?”
“buyut.”
“Ohh...” aku mengelus kepala harimau itu. Dia nurut jadi kangen kucing aku.
Setelah itu aku diam dan mulai tiduran sambil melihat bintang dilangit. Dan tak terasa aku ketiduran. Tiba-tiba Hp ku berdering. Dengan sedikit rasa pusing aku liat siapa yang menelponku ternyata viola, salah satu sahabat aku. Ketika panggilan video berakhir. Aku lihat sekarang sudah pukul 22.30, aku langsung masuk ke dalam rumah, sebelum masuk aku sempat liatin Aiden sedang bermain ponselnya di balkon. Sepertinya temannya sudah pulang.
Aku menuju kamarku dan aku liat dia sudah tidak ada di balkon, sudah masuk kamarnya pasti. Aku ingat mau meminta ijin dia membawa kucingku kesini, aku memberanikan diri untuk mengetuk pintunya. Rada ragu, tapi yasudahlah cuma bertanya boleh apa tidak aja. Aku mengetuk pintu kamarnya.
Tok tok tok..
“Aiden.” agak lama dia keluar.
“Apa?”
“Aku mau bawa kucingku ke rumah sini boleh? “
“Gaboleh”
“Kenapa?”
“Aku gak suka ada binatang di rumahku. Bikin kotor aja.”
“Tapi aku bosen kalo gaada kucing, gaada teman.”
“Aku bilang gaboleh ya gaboleh.”
Aku sedih banget denger nya. Aku langsung menuju kamarku. Aku banting pintu kamarku. Dan langsung kekamar mandi cuci muka dan ganti baju. Setelah itu aku tiduran sambil liat tik tok kucing yang lucu-lucu. Aku kangen banget sama kucingku. Gak kerasa aku nangis saking kangennya. Dan ketiduran lagi.
Pagi pun tiba. Setelah mandi dan makan, aku tiduran di sofa tengah. Orang pengangguran ya gini. Sambil sesekali melihat ponsel. Wallpaper ponselku adalah fotoku dangan kucingku. Arghhhh!!!.. dasar Aiden pelit. Mulai benci aku sama dia.Aku duduk dan liat kolam renang, kayaknya enak nih renang. Lagi gerah gini liat air jadi pengen nyemplung aja kan. Cocok banget cuacanya, tidak hujan tapi tidak terlalu puanas banget juga. Aku ke kamar dan mencari baju renang, ternyata adanya bikini.Hm.. mertuaku ini sedikit kurang pengertian. Masak adanya bikini. Kalo kayak gini gak bisa selfie. Ahh sudahlah.. pake aja.Aku memakai bikini itu dan tak lupa juga memakai handuk kimoni yang ada di kamar mandi biar nggak malu kalo tiba-tiba ada Bik Asih atau Pak Tono suami Bik Asih. Sebelum ke kolam, aku chat Bik Asih.Dea : Bik habis ini aku mau renang, tolong siapapun jangan boleh masuk ya. Tolong siapin snack sama jus jeruk ya Bik. Thanks.Bik Asih : siap non.Aku tersenyum dan aku memakai sunblok dan s
Aku bisa melihat aiden di dalam mobil sambil mengacak-acak rambutnya, dikira bakal keliatan menly sexy imut kayak Cha Uen Woo gitu? Yang ada kayak orang bego. Sekarang fiks aku benci banget sama dia.Aku memakai helm, dan bersiap menaiki sepedah motor. Tiba-tiba aiden pegang tangan ku.“Masuk ke mobil gak?”“Gak mau.”“Masuk!”“Lepasin tanganku!”“Masuk dulu baru aku lepasin.”“Gak mau!”“Kamu ini susah banget ya dibilangin!”“Pergi kamu! Sok-sok an merintah anak orang. Emang aku babu kamu!?”“Heh!? ”“Apa!? Kamu kira aku takut sama kamu?”“Dee.. please lah gak usah kayak gini, lu kayak anak kecil aja. Sadar diri dong udah gede gini.”“Yang ada tuh kamu, sadar diri dong.”“Ayo.. kita naik mobil aja ya...” dia ngomongnya berusaha dilembut-lembutin.“Kagak”“De..”“Kagak.”“Dea.”“Bacot, lepasin. Aku telpon Oma nih sambil nangis-nangis, trus bilang ‘oma aku habis dibentak aiden gak boleh kerumah oma’ biar warisan oma gak jatuh ketangan kamu! Biar mampus kamu!” ejek aku ke Aiden. Aiden ta
Aku cukup lama di rumah Oma. Ketika jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Aku dan Aiden berpamitan untuk pulang. Oma memberikan oseng-oseng pare dan kotak hitam. Aku tidak tau isi dari kotak hitam itu."Ini buat kamu ya Cantik. Dijaga baik-baik ya."Aku mengangukkan kepala. Setelah itu mencium tangan Oma, begitupun Aiden. Kamu pun pergi meninggalkan rumah oma.Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke dalam kamar.Lalu aku bermain game sampek isya, setelah sholat aku mandi dan turun ke bawah. Kulihat Aiden sedang telfonan. Aku langsung ke washtafel buat cuci tangan. Ternyata semua makanan sudah disiapkan. Aku duduk didepan aiden. Aiden mematikan telponnya.“Udah?” tanyaku.“Udah.”“Yaudah yuk makan.. jangan lupa berdoa,” kataku sambil mengambil nasi.“Ambilin aku juga dong,” kata Aiden.“Ogah,” jawabku ketus.“Kan kamu yang ajak aku makan. ”“Ya trus? Kalo males ambil sendiri yaudah sana pergi ngapain disini.”Aiden Cuma pasang muka masam. Lalu kita makan dengan diam, setelah selesai
"Aahhh.. sudah ada 50 yang liat. Assalamualaikum semuanya, selamat malam. Udah lama aku gak on i* ya. Kali ini aku mau make up, karena aku punya baju yang sedikit glamour seperti ini aku ingin make up nya juga sedikit glamour juga. Aku akan menunjukkan meja rias aku, karena aku sudah pindah rumah, jadi ini bakal berbeda.” Aku menunjukkan meja riasku. Dan aku sempat baca beberapa komentar. Rasa antusiasku eningkat dengan pesat ketika pengunjung room liveku semakin banyak.‘Ahh.. kangen kakak, udah lama banget gak liat kakak’ komentar baby_joo2‘Gimana kak udah sehat?’ komentar 2nu.mber‘Aduhhh kakak tambah cantik aja komentar koo.voice‘My princess..’ komentar loli.ant‘Wahh.. Dea udah lama gak ketemu, gimana kabarnya?’ini komentar dari temanku.‘Queen Deaaaa backkkkk,’ komentar m.rsyu56‘Lama gak muncul kemana aja kak.. sedih banget aku nungguin kakak,’ komentar ko.kmo‘Good night cantik,’ akunnya arion21. Apa ini Arion?Dan banyak lagi. Aku balikkan lagi kameranya ke arah wajahku.“
Kedatangan Mbok Kencana di tengah malam masih menyisakan getaran di hatiku. Hari ini aku akan pergi keluar dengan Aiden, tapi ga tau kenapa mata aku tidak bisa dibuka. Aku bermimpi, aku tau bahwa ini hanya mimpi atau biasanya disebut lucid dream. Kalau lucid dream kita bisa mengatur mimpi semau kita, tapi dibanding mengatur aku seakan berada di dalam permainan mimpi, aku memang sering seperti ini, tapi hal ini sangat tidak mengenakkan, dimana aku harus menyelamatkan diri aku dari berbagai kejahatan yang ada di permainan ini. Ketika aku tidak berhasil selamat atau aku harus mati di dalam mimpi ini, maka artinya aku harus mengulanginya dari awal. Sebenernya ada jalan pintasnya yaitu bangun tidur, aku sudah mencobanya berkali-kali tapi aku tidak bisa, meskipun aku sudah bangun sebentar aku akan tertidur lagi. Mau tidak mau aku harus menyelesaikan permainan ini atau aku harus bernego dengan pengatur mimpi ini, aku tidak tau siapa yang mengatur tapi aku bisa bernego, biasanya aku harus men
Ketika masuk ruangan itu, Aiden menyuruhku duduk di sofa, badanku masih lemas banget pengen tidur rasanya. Perempuan itu menghampiri Aiden, ternyata itu sekretaris Aiden namanya Liana. Tiba-tiba ada notif chat, aku membukanya, ternyata dari mama mertua, yang bilang kalau mau kerumah.Aiden menghampiriku. dan mengatakan.“Ayo ikut aku,” ucap Aiden.“Kemana?”“Ayo ikut aja,” ucapnya dan langsung menggandengku. Badanku masih lemas banget. Apalagi laper ini seakan membunuhku. Kita kembali naik lift, badanku rasanya melayang waktu masuk lift. Ternyata lift nya turun, lalu lift terbuka Aiden menyeretku ke satu ruangan tapi dia tidak masuk, aku hanya di belakangnya. Aku berusaha menormalkan tubuh ku yang rasanya sangat tidak nyaman ini.“Oiii!!!!! Pengantin baruuu!” teriak seseorang dari dalam, sepertinya bukan satu orang saja.“Lu sekarang sering bolos ya bro?” suara seseorang dari dalam“Mentang-mentang punya istri anjirr.. ” ucap seseorang yang berbeda lagi.“Ngapa lu gak masuk?” tanya ses
Kehebohan geng Aiden membuatku sedikit terhibur. Namun siapa sangka tiba-tiba Aiden bersikap cemburu ketika salah satu temannya ingin duduk di sampingku.Setelah kenyang dengan makanan yang telah dihidangkan mereka. Aiden lekas mengajak aku keluar untuk membeli kucing yang sedari kemarin aku inginkan."Mau kemana Bro?" celetuk Raefal yang dari tadi menilik pergerakan aku dan Aiden."Anterin bini gua dulu," jawab Aiden seraya memasukkan ponsel ke dalam sakunya."Inces mau pergi?" tanya Devano. Aku hanya menganggukkan kepala."Yahh..." keluh Devano yang melihat responku."Udah Ayo," ucap Aiden lalu menggeretku dengan memegang bahuku. Aku yang merasa risih dengan tangan Aiden langsung berkelit agar segera terlepas dari cengkramannya.Selama perjalanan menuju parkiran tempat mobil aiden terparkir, setiap orang yang tanpa sengaja bertemu dengan kami menyapa Aiden dan memberikan tatapan penasaran kepadaku. Aku hanya bisa menghela nafas.&nbs
Setelah memberikan pertanyaan sekaligus perintah yang tidak jelas, Aiden kini sudah berada di kamarku. Bertepatan pada pukul 21:00 WIB.Aku kebingungan ketika melihat wajah Aiden yang sama-sama bingung. Pada akhirnya aku membuka mulutku dan menyuarakan pertanyaan kepadanya."Ada apa?""Ahh Nggak papa," jawab Aiden dengan kikuk."Aku mau tidur, kalau nggak ngapa-ngapain cepet keluar," usirku."Emm... De, akuu..." ucap Aiden dengan sedikit bergumam."Kenapa?" tanyaku penasaran melihat tingkah Aiden yang tidak jelas."Emm... Nggak," jawab Aiden dan langsung keluar dari kamarku. Aku hanya bisa mengerutkan kedua alisku ketika melihat tingkat Aiden yang semakin tidak jelas.Aku tidak tau dengan maskud Aiden bertingkah seperti itu. Akhirnya kuputuskan untuk tidur, karena seharian ini aku sudah capek bermain dengan kedua kucingku.***Keesokan harinya saat sarapan dengan Aiden di ruang makan. Terlihat dia yang sibuk denga
Aku terdiam mendengar permintaan Aiden, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Satu kesempatan?" gumamku, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan hati yang bergejolak. “Dea.” Suaranya semakin mendekat, dan aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya saat dia duduk lebih dekat. Tangannya menyentuh lembut jemariku yang masih menggenggam tongkat. Sentuhannya membawa campuran perasaan yang sulit dijelaskan. Entah kenapa ada kemarahan, kesedihan, dan kerinduan yang tak kuinginkan.“Maafkan aku, Dea,” lanjutnya, nadanya penuh penyesalan. Aku menggeleng pelan, meskipun aku tahu dia tak bisa melihat gerakanku. “Pergi dari sini. Aku tidak mau bertemu denganmu lagi.” Kata-kataku menghantam udara seperti bilah tajam. Aku merasakan genggamannya mengendur sejenak, seolah-olah kata-kataku telah memukulnya tepat di tempat yang paling lemah. Aku langsung berdiri, tangan mantan suamiku sempat menahanku. Namun, kukibaskan sek
Aku merenung sejenak menerka siapa yang berniat menemuiku. Terdengar Ayah membukakan pintu selebar mungkin. "Ayo, Nak."Kulontarkan tongkatku untuk menuntun langkah kakiku. Semenjak tidak bisa melihat, kupaksakan diriku untuk tetap mandiri. Setelah sekian bulan berlalu, akhirnya Mama dan Ayah membiarkan apapun yang kulakukan. Pada awalnya, mereka akan memaksa untuk menuntunku. Syukurnya lambat laun, Ayah dan Mama hanya membiarkanku berjalan sendiri, tetapi aku tau jika mereka mengawasiku dari kejauhan untuk memastikan tidak terjadi masalah serius.Suara ketukan sandal dan tongkat menggema ke penjuru ruangan. Aku masih menerka-nerka siapa yang datang ke rumah, tapi sampai sekarang aku tidak mendengar suara orang lain di ruangan ini. Bahkan ketika aku sudah duduk cukup lama. Hanya genggangaman Ayah yang semakin mengendur dan perlahan menjauh."Ayah," panggilku pelan karena ku dengar beliau berpindah tempat. Perlahan aku bisa merasakan seseorang bernapas di sampingku. Kutolehkan sedikit
"Dia sedang sibuk mengurus perusahaannya. Ternyata sahabat dia sendiri yang menggelapkan uang di cabang perusahaannya, penipuan investor dan banyak lagi. Banyak orang yang terlibat dalam kejahatan itu. Dan sekarang keluarga Gito sedang kalap menyelamatkan semua usaha mereka dan warisan," jelas Ayah yang membuatku sedikit lega. Kata-kata Ayah menggema dalam pikiranku, menyisakan kekosongan yang sulit dijelaskan. Namun, entah kenapa, ada sedikit kelegaan yang mengalir di dadaku. Setidaknya Aiden sedang sibuk dengan dunianya sendiri, mungkin itu alasan mengapa dia tak mencariku atau mencoba menghubungiku."Apa itu Elvaro?" tanyaku yang teringat dengan tingkah aneh pria itu. Nama itu muncul begitu saja di benakku, seperti serpihan teka-teki yang terlupakan. Ditambah Dalbo dan Titik sempat melaporkan beberapa kecurigaan mereka saat aku ada di kantor suamiku. Ah... salah, tapi mantan suami.Ayah mendengkus, seakan jengah dengan informasi yang ia simpan. "Iya. Dia juga bekerja sama dengan We
"Kita pulang sekarang, Nak. Ini demi kebaikanmu," ujar Ayah sembari mendorong kursi roda yang kududuki. Ibu mengikuti langkah ayah dengan tergesa-gesa. "Aku sudah memberitahu dokter. Dia mau berkerjasama dengan kita, Mas.""Syukurlah kalau begitu, Bu. Kita haru segera pulang. Cuma di rumah kita, tempat yang aman untuk keselamatan Dea."Suasana di rumah sakit terasa tegang, bahkan langkah kaki Ayah yang biasanya tenang kini terdengar berat dan terburu-buru. Aku duduk diam di kursi roda, membiarkan Ayah mendorongku tanpa perlawanan. “Ibu, kenapa kita harus buru-buru pulang?” tanyaku berusaha mencari penjelasan.“Nak, kita hanya ingin kamu istirahat di rumah. Rumah akan lebih nyaman untuk pemulihanmu.” Suara ibu terengah karena harus berpacu dengan langkah kaki ayah yang cepat.“Tapi, Bu,” aku mencoba membantah, tetapi Ayah memotong dengan nada tegas.“Dea, dengarkan Ayah. Sekarang yang penting adalah keselamatanmu. Kita tidak punya banyak waktu untuk penjelasan. Nanti, kalau sudah di r
Entah sudah berapa lama aku terkapar dalam kegelapan. Samar-samar aku mendengar isakan tangis perempuan meranyap di indera pendengaranku."Kenapa nasib putri kita seperti ini, Mas?" itu suara ibuku.Ayah menghela napasnya panjang. "Aku juga tidak tahu, Bu. Padahal kamu tahu sendiri bagaimana aku menjaga putri kita." "Kenapa putri kita digariskan takdir yang sangat tragis begini. Kenapa tidak aku saja, Ya Allah! Kenapa putriku harus semenderita ini! Apa salah dia!" Ibu terdengar meraung di sana."Bu, tenang. Kita sedang berada di rumah sakit.""Tenang bagaimana, Yah?! Dea sudah koma selama dua bulan! Kamu minta aku tenang! Putri kita sedang berada di antara hidup dan mati!" Hah? Dua bulan? Selama itukah aku terkapar di sini. Aku masih tidak bisa melihat apapun. Bahkan aku untuk menggerakkan tubuh saja sulit. Suaraku terasa hilang begitu saja. Akhirnya aku hanya bisa mengerang pelan untuk memberitahu orang tuaku kalau aku sudah siuman.Butuh banyak tenaga untukku memberikan sinyal pad
Setelah dibawa ke kamar pemulihan, aku berbaring di atas ranjang. Wajahku yang masih tertutup perban, tapi aku merasakan sedikit kehangatan dari jendela kamar yang diterangi sinar matahari. Rasanya aneh, aku tidak tahu apakah itu pagi atau siang. Bagiku dunia seperti tempat yang jauh dan tak terjangkau.Ayah duduk di kursi sebelah tempat tidur. Beliau menggenggam tanganku erat. "Kamu sangat kuat, Nak. Operasi ini adalah langkah besar. Dokter bilang kemungkinan kamu akan sembuh total." Suaranya penuh optimisme, tetapi ada hati-hati di balik kalimatnya.Aku tersenyum kecil, meskipun dalam hati ada rasa gelisah yang sulit dihilangkan. "Ayah," panggilku pelan, mencoba mencari celah untuk bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia."Ya, Sayang?"Aku terdiam sejenak, lalu menarik napas panjang. "Bagaimana kabar di sana? Tentang kasus itu." Rasanya sangat berat mengatakan keingintahuanku. Namun, aku harus mencobanya, "Sony, Hendro, dan semua kejahatan mereka. Apa semuanya suda
Ruangan operasi dipenuhi oleh suasana yang hening, hanya suara monitor detak jantung yang berdentang lembut. Lampu-lampu terang menyinari meja operasi, membuat setiap sudutnya terlihat steril dan berkilau. Aku berbaring dengan tubuh tertutup kain bedah, hanya menyisakan area wajahku yang terlihat. Meski tak bisa melihat apa-apa, aku merasakan udara dingin dari ventilasi ruangan menyentuh kulitku. “Baik, kita mulai sekarang,” suara dokter terdengar tegas tapi tenang. Beliau mencoba memberikan rasa aman di tengah kegelisahanku. “Mrs.Dea, Anda tidak akan merasakan sakit, tapi kami akan tetap memberikan anastesi lokal untuk kenyamanan.” Aku mengangguk pelan, meskipun jantungku berdegup kencang. Tubuhku terasa kaku di bawah tekanan emosional. Rasanya seperti berada di antara harapan besar dan ketakutan yang sulit diprediksi. “Tarik napas perlahan, Nona Dea,” seorang perawat berkata lembut di telingaku, membantu menenangkan. Aku mencoba mengikuti instruksinya, menarik napas dalam-dalam, l
Aku menatap Ayah dengan raut penuh pertanyaan, tapi aku tahu dia tak akan memberiku jawaban lebih dari itu. "Istirahatlah, Sayang. Kita akan bicara lagi besok pagi," katanya dengan nada yang lebih lembut, sebelum melangkah keluar dari kamar.Kata-katanya terasa menggantung, menyisakan banyak pertanyaan yang berputar di kepalaku. Perkembangan baru? Apa itu berarti ada harapan untuk penglihatanku? Tapi bagaimana dengan kasus ini? Apakah benar aku harus pergi sekarang, meninggalkan semua ini di tengah jalan?Aku menghela napas panjang, berusaha meyakinkan diri bahwa semua ini adalah keputusan terbaik. Namun, tidur tetap menjadi hal yang mustahil malam itu. Suara di ruang tamu hotel, samar-samar terdengar dari balik pintu, menunjukkan diskusi serius antara Ayah dan seseorang. Aku berusaha menutup telinga, tetapi rasa ingin tahu tetap mengalahkan.***Keesokan harinya, suasana sarapan terasa canggung. Ayah dan Ibu tampak saling membisu, sementara Nio, yang biasanya penuh semangat, memilih
Setiap orang di ruangan seperti menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Pengacara Sony berdiri dengan percaya diri, menyodorkan dokumen tambahan yang membuat hakim terlihat serius saat membacanya. Bisikan-bisikan kecil dari para penonton sidang mulai memenuhi ruangan.“Yang Mulia,” kata pengacara itu, suaranya tegas namun penuh intrik, “Dokumen ini menunjukkan bahwa Sony dan Hendro hanyalah pion dalam permainan ini. Ada individu yang lebih besar, lebih berkuasa, yang berada di balik kegiatan ini. Orang itu telah mengarahkan semua operasi ilegal yang melibatkan perdagangan hewan langka, hingga ancaman pada saksi utama, Saudari Dea.”Aku merasa tangan Ayah menggenggam erat bahuku, seolah ingin memastikan aku tetap tenang. Namun, pikiranku berputar, mencoba mencerna pernyataan itu. Individu yang lebih besar? Siapa lagi?Hakim mengetukkan palunya pelan, meminta ketenangan di ruang sidang. "Apakah Anda memiliki bukti kuat untuk mendukung klaim ini?" tanyanya dengan suara