"Itu apa?!" bentak Rita keras. Tampilannya yang elegan tak bisa menutup kebringasan wanita itu. Bahkan Aiden yang baru saja mendapat tamparan dari Mamanya tak bisa berkutik. Ia hanya meringis kesakitan. Aku pun gemetar melihat mama mertua yang marah. Tanpa sadar tanganku tremor hebat.
"Maafkan saya Nyonya." Bik Asih langsung bersimpuh di lantai meminta maaf.
"Rita... sudah. Kasihan Dea." Oma menenangkan putrinya dengan lembut.
Mama mertua langsung melihat ke arahku yang sedang menunduk menenangkan tangan yang tengah bergetar hebat. Dengan sigap ia langsung menghampiriku sambil memegang pergelangan tangan yang masih terdapat handsaplast di sana.
"Astaga..." Ia melirik ke arah suamiku. Namun, karena merasakan getaran dari tubuhku ia segera menghembuskan napasnya. "Hah..." ia beberapa kali melakukan hal itu untuk menurunkan emosi yang membabi buta.
"Maaf Sayang. Maafkan Mama sudah berteriak di depanmu," sesal wanita itu mencoba menarik perhatian
Tak hanya Aiden, aku pun terkejut mendengar ucapan Mama mertuaku."T-tapi Ma." Aiden nampak gelisah."Ma. Aku dan suamiku kemarin sudah membuat perjanjian nikah," selaku. Aku tidak ingin memberatkan Aiden dengan perjanjian tambahan."Oh ya?" Mama mertua langsung menoleh ke arahku."Iya Ma.""Isinya tentang apa saja?""Em tentang pembagian harta, pelarangan pernikahan kedua, dilarang KDRT, dan masih banyak lagi."Mama mertua menganggukkan kepalanya beberapa kali."Bagus Sayang. Tapi Mama dan Oma harus membuat perjanjian dengan anak ini juga. Ini terpisah dengan perjanjian kalian berdua," jelasnya tegas. Aku menelan salivaku dengan paksa. Pupil Aiden nampak bergetar mendengar penjalasan Mamanya.Oma menggenggam tanganku lembut. "Iya Sayang. Kalau kita tidak tegas seperti ini, dia akan semena-mena. Ini juga demi kepentingan kami, bukan semata-mata karena kamu. Jadi Dea tidak perlu khawatir atau merasa bersalah pada Aiden."Kepentingan kami? Sebenarnya apa? aku penasaran akan hal itu, tap
"Iya Ma," jawab suamiku lemas. Mertua dan Oma melirikku dengan bibir tersenyum. Binar kesenangan terlihat di mata mereka."Good. Mama pegang ucapanmu. Awas saja kalau diingkari lagi."Wanita itu sangat puas mendengar jawaban putranya."Sayang..." Mama mertua memegang ke dua tanganku dengan lembut. Sentuhan itu terasa menenangkan dan hangat di taktilku."Iya Ma?""Kalau Aiden berlaku kasar padamu, langsung bilang Mama ya Sayang. Biar Mama kasih pelajaran dia, kami tidak mengajarkan anak-anak untuk bersikap kasar, apalagi sampai melukai orang lain. Entah kesambet apa anak itu, sampai-sampai tanganmu di buat terluka seperti ini." Aku mendengar rentetan kalimat itu dalam diam dan membalas tatapan mama mertua dengan serius. "Jadi kalau dia berlaku kasar, langsung ngomong ke Mama. Jangan takut Sayang, ada kami yang menjaga mu,' lanjut Mama mertua penuh keseriusan.Aku tersenyum simpul mendengarnya, rasanya sangat menyenangkan mendapat sekutu terkuat. "Iya Ma."Wanita itu mengelus pucuk kepa
"Puas kamu!?" kesalnya dengan wajah mengerut. Kupamerkan senyuman tipis padanya, "Puas." "Dasar wanita gila! Awas saja kamu!" Aku ingin tertawa sekeras mungkin tapi kuurungkan, lebih baik aku mengejek suamiku sampai puas. "Haha... Mampus kamu! Cepat putus dari model majalah dewasa itu deh! Mama sama Oma lebih sayang aku, mana bisa Wendy menyaingiku!?" ejekku, tak lupa menjulurkan lidah seperti orang koyol. "Kurang ajar!" tangan lelaki itu ingin mencengkeram tubuhku, tapi aku langsung berlari menjauh darinya. "Gak kena!" teriakku sambil menuju kamar. Aiden yang berjalan di belakangku ingin meraih tubuhku, tapi langsung di hadang Bik Asih. Rasanya sangat menyenangkan menyulut emosi lelaki itu, entah kenapa rasanya sangat bahagia seperti memenangkan jackpot! Keesokan paginya kami sarapan dalam diam, kebetulan hari ini aku bisa bangun pagi karena semalam tidur tanpa minum obat. Entah karena aku merasa bahagia telah menghajar Aiden dibantu mama mertua dan oma, tau karena emosiku di
"Hallo..." ucapku setelah menempelkan telepon Genggam tersebut ke telingaku."Bagaimana kabarmu? Ayah dengar kamu dan Aiden baru saja bertengkar. Apa semuanya baik-baik saja?" "Semua baik-baik saja Ayah. Mama dan Oma menyelesaikan masalah kami." Aku menjawabnya dengan memutar bola mata."Baiklah kalau begitu. Jangan berlagak keras kepala Sayang. ingat, kamu sudah menikah. Terpaksa harus menurunkan ego demi kelangsungan rumah tangga kalian. Jangan sampai Ayah mendengar berita tidak mengenakan mengenai pernikahanmu. Jaga diri baik-baik di sana.""Iya Ayah." Sambungan telepon pun terputus. Ku hela napas panjang karena percakapanku dengan Ayah. Setelah perbincangan singkat itu, tanpa sadar aku tersugesti. Keusilanku mengganggu Aiden pun hilang hingga membuat suamiku penasaran."Apa keagresifanmu sudah menghilang? Aku liat-liat kamu semakin diam dari hari ke hari."Mendengar ucapan itu, aku merasa diejek oleh Aiden. Kulirik dia dengan jengah. Jombang tipis memenuhi rahangnya yang tegas.
Aku duduk di meja makan sendirian, menikmati kopi yang mulai mendingin. Aiden sudah pergi bekerja, tanpa sepatah kata pun. Itu udah jadi kebiasaannya diam, pergi, dan hanya pulang saat hari sudah larut. Aku juga tidak berusaha mengurangi jarak di antara kami. Tidak ada gunanya, karena pada akhirnya dia tetap bersikap dingin.Aku lega dengan ketidakpeduliannya. Aku tidak harus acting jadi istri yang peduli, karena kenyataannya aku juga tidak memiliki perasaan padanya. Hatiku masih untuk Kak Aeros, pria yang selalu aku cintai meskipun takdir memisahkan kita dengan tragis. Mengingat selembut apa dia memperlakukanku, rasanya tak rela melepaskan dia begitu saja. Aku masih bertanya-tanya ap itu memang takdir yang dibuat tuhan? Namun setiap aku berusaha menanyakan ketika dia menemuiku, meskipun hanya jiwanya, tak ada jawaban. Kak Aeros hanya tersenyum simpul dan menghilang.Aku menatap kosong ke luar jendela, memikirkan betapa kosongnya hidupku sekarang. Pernikahan ini membuatku terperangkap
Bujungbuneng akhirnya Ghiselle, istri Andre, Kakak iparku, datang berkunjung ke rumah. Sejak awal, aku sudah merasakan aura tidak nyaman kalau Mama Mertua dan Oma membicarakannya. Nahas sekali, dugaanku tidak melesat.Pagi ini, aku sedang berada di dapur, menyiapkan sarapan untuk diriku sendiri. Aku sangat bosan di treatment layaknya Tuan Putri jompo. Sayangnya ketika beraktivitas layaknya pembantu, Ghiselle tiba. Dia datang dengan gaya berani, menampilkan pesona yang berhasil menarik perhatian orang di sekitarnya. Namun, di dalam hatiku, aku tahu bahwa pesonanya adalah topeng dari sifat manipulatifnya. Apalagi kulirik Titik tampak melebar dengan mata menyala saat mendapati wanita itu masuk rumah.“Selamat pagi, Dea!” sapa Ghiselle dengan suara manis saat dia memasuki dapur. “Bagaimana hidup sebagai istri Aiden? Harusnya menyenangkan, ya?”Aku tersenyum tipis. “Pagi, Ghiselle. Ya, begitulah,” jawabku sambil terus mengaduk adonan pancake di dalam mangkuk.Ghiselle melangkah lebih dekat
Setelah kunjungan Ghiselle kemarin, suasana rumah masih terasa canggung. Kehadiran Ghiselle yang penuh perhitungan tetap membekas di benakku. Ia terus berusaha menjadikan Wendy, adik semata wayangnya, sebagai alternatif yang lebih baik untuk Aiden. Huft… padahal kalau dia tau aku akan bercerai dengan Aiden, dia tidak perlu membuat rencana licik yang gampang terbaca itu. Aku jadi malu sendiri lihatnya.Hari ini Bik Asih yang membuka pintu setelah mendengar bel berbunyi. Wendy melangkah masuk dengan penuh percaya diri. Sejujurnya, aku tidak tahu harus merasa senang atau malah sebal. Wendy memiliki cara yang unik untuk membuat orang merasa tidak nyaman, dan aku sudah tidak asing lagi dengan aura berani yang dia pancarkan. “Dea! Ayo kita bersenang-senang!” serunya dengan nada ceria. “Aku baru beli beberapa snack baru. Pasti kamu mau coba, kan?”Aku tersenyum paksa. “Tentu, Wendy. Apa yang kamu bawa?” Wendy membuka tasnya dan mengeluarkan berbagai snack yang menarik perhatian. “Lihat in
Ghiselle masih terus berusaha merusak posisiku sebagai istri Aiden. Aku sedikit bingung, apa Wendy tidak menceritakan soal Mama Mertua yang menyuruh Aiden untuk menjauhinya. Ditambah semalam, suamiku dengan tegas mengatakan pada Wendy untuk bersabar dan tidak seenaknya sendiri. Aku jadi risih melihat kakak beradik itu. Namun, ada satu hal yang membuatku merasa sedikit tenang di tengah kekacauan ini, Titik, kuntilanak yang menjadi pelindungku.Pada malam setelah kepulangan Wendy, dan acara makan malam di tunda karena Mama dan Papa Mertua harus menghadiri acara penting. Aku kembali merenung di kamar. Namun, sosoknya muncul dengan lembut di sudut ruangan. Dia memakai gaun putih panjang yang berkibar lembut, wajahnya lembut dan menenangkan. Meski dia terlihat menyeramkan bagi orang lain, bagiku, dia makhluk yang baik.“Dea,” Titik memanggil dengan suara yang halus. “Jangan khawatir, aku ada di sini.”Sejak kedatangan Ghiselle dan Wendy ke rumah ini, dia jadi sering muncul. Tanpa banyak bi
Dokter itu tertawa lembut, seolah ingin menenangkan kami. "Dea, hasil tes menunjukkan bahwa kamu hamil. Kamu berada dalam kondisi yang sangat baik, meskipun sempat mengalami mual dan kelelahan. Namun, jangan khawatir. Kondisi ini sangat normal, terutama jika ada perubahan fisik atau emosional."Aku terdiam, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Hamil? Aku hamil? Pikiranku terasa berputar. Tidak ada yang pernah menyebutkan ini sebelumnya, dan tentu saja, aku tidak pernah memikirkan hal ini."Aiden." aku berbisik, suaraku gemetar. "Aku hamil?"Aiden menggenggam tanganku lebih erat. "Iya, Sayang. Kamu hamil. Ini berita yang luar biasa, kamu jangan cemas. Kita akan menghadapinya bersama-sama."Aku terdiam, merasakan campuran perasaan yang sangat dalam. Di satu sisi, ada kebahagiaan yang tak terlukiskan, namun di sisi lain, aku merasa cemas. Bagaimana kami akan menjalani semua ini? Apa arti semua ini untuk kami? Dan yang terpenting, apakah kami siap dengan segala perubah
Dengan langkah yang berat, Aiden menarikku pergi dari pinggir sungai yang seakan berusaha menahan kami. Aku bisa merasakan kekuatan Alam Pusaka yang menahan kami, seolah tempat ini tidak ingin kami pergi begitu saja. Suasana yang tadinya penuh keindahan kini terasa penuh dengan ancaman yang tak terduga. Namun aku percaya pada suamiku, dan aku tahu, ia tidak akan membiarkan aku terluka.Akhirnya, setelah perjuangan panjang, kami tiba di batas Alam Pusaka, tempat yang menjadi pemisah antara dua dunia. Keindahan yang dulu kurasakan kini perlahan memudar, digantikan oleh rasa lega yang datang saat kami kembali ke dunia manusia.Tiba-tiba, aku merasakan tubuhku sedikit lebih baik. Rasa mual yang semula mengguncang perlahan mulai hilang, dan aku bisa merasakan kembali kekuatan dalam tubuhku. Aiden melepaskan pelukannya, meskipun aku bisa merasakan ketegangan yang masih ada di tubuhnya."Kita sudah kembali," katanya dengan suara yang lebih tenang, namun masih terdengar kelelahan. "Tapi aku r
Selama di Alam Pusaka. Aku bisa melihat keindahan yang tidak bisa kulihat selama di dunia manusia. Meskipun aku tidak bisa melihat Aiden secara jelas, setidaknya aku bisa melihatnya dalam bentuk bayangan. "Aku senang sekali melihatmu berlari dan menari seperti ini, Sayang. Ada perasaan sedih juga karena biasanya aku yang membantumu melakukan aktivitas sehari-hari. Di sini, kamu bisa melakukannya sendiri," ucap suamiku lembut, suaranya mengalir seperti aliran sungai yang jernih di depan kami, menenangkan sekaligus menghangatkan.Kami duduk di pinggir sungai yang indah, airnya yang jernih mengalir begitu tenang. Suasana ini begitu damai, dan aku merasa seolah dunia ini hanya milik kami berdua. Di sini, aku tidak merasa terbebani oleh keterbatasan penglihatanku. Alam Pusaka, dengan segala keajaibannya, memberiku kebebasan yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Aku bisa merasakan udara yang lebih segar, aroma bunga yang jarang ditemukan di dunia manusia, dan setiap detik terasa begitu b
Pagi itu, di ruang tamu yang hangat, suasana terasa berbeda. Aiden, suamiku duduk di depan keluarga besarnya, seakan hendak mengungkapkan sesuatu yang penting. Aku berada di sampingnya dengan tenang, meski tampak sedikit cemas. Keluarga sudah berkumpul, mendengar dengan penuh perhatian."Aiden, kamu tampaknya tidak seperti biasanya," kata Oma menyelidik situasi. "Ada apa? Kamu biasanya lebih ceria kalau bicara soal perusahaan."Aiden menarik napas dalam-dalam. "Aku dan Dea akan pergi berbulan madu," ucapnya dengan nada yang mantap, tetapi ada keraguan yang samar terbersit. Semalam kami sudah mengobrol, dan ia sempat mengungkapkan keresahan. Takut kalau tempat itu akan menstimulus traumaku. Namun, aku meyakinkannya. karena di sana aku bisa melihat pemandangan banyak hal karena diselimuti alam gaib. "Ke mana?" tanya Mama Rita, tertarik. "Ada tujuan spesial, Nak?""Alam Pusaka," jawab suamiku, membuat suasana hening seketika. Dea menundukkan kepala, berusaha menahan perasaan yang datang
Malam itu, suasana ruang makan sudah penuh kehangatan. Aroma makanan khas keluarga memenuhi udara, membuat perutku yang tadinya gelisah kini mulai terasa lapar. Semua orang sudah duduk di tempatnya masing-masing, berbincang dengan riang. Aku dan Aiden datang terakhir, menambahkan kursi di sisi meja untuk kami berdua. Mama Rita langsung tersenyum hangat melihat kami. “Akhirnya kalian datang. Kami sudah hampir mulai, loh.” Aiden membantu menarik kursiku dengan lembut, memastikan aku duduk dengan nyaman sebelum ia duduk di sebelahku. “Maaf, kami agak terlambat,” katanya dengan nada santai. “Dea tadi masih butuh waktu untuk bersiap.” Andre yang duduk di ujung meja, bercanda sambil tertawa kecil. “Ah, Aiden. Kamu makin romantis saja.” Semua orang di meja tertawa, kecuali aku yang hanya bisa tersenyum gugup. Rasanya sulit menyesuaikan diri dengan perhatian sebanyak ini. Namun, Aiden, yang sejak tadi menggenggam tanganku di bawah meja, memberiku rasa percaya diri. Setelah semua mak
Aku terdiam sejenak, merasakan pipiku mulai memanas mendengar ajakan Aiden. Suaranya begitu lembut dan menggoda, tetapi ada sesuatu di dalamnya yang membuat jantungku berdebar lebih cepat.“Aiden,” panggilku pelan, berusaha menyembunyikan rasa gugupku. “Kamu tahu aku tidak terlalu suka dengan ide itu. Lagipula, aku belum terbiasa dengan semua ini.”Aiden tertawa kecil, lalu duduk di sampingku. “Sayang, aku tidak memaksamu. Aku hanya ingin membuatmu nyaman. Setelah semua yang kita lalui, aku merasa kita pantas menikmati momen yang tenang bersama.”Aku merasakan tangannya menggenggam jemariku dengan lembut, seakan memberikan kehangatan yang menenangkan. “Kita tidak harus buru-buru, Dea. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini, sepenuhnya untukmu.”Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk merespons. “Kamu terlalu manis, Aiden. Kamu bisa gendong aku?”Aiden terdiam sejenak, lalu aku mendengar tawanya yang lembut dan penuh kehangatan. “Tentu saja, Sayang
"Titik!" pekikku tak sadar. Makhluk halus yang hendak pergi itu langsung berbalik ke arahku."Raden Ayu!" kagetnya. Dia kemudian berteriak. "Woy! Dalbo! Raden Ayu bisa melihatku!"Dalam hitungan sekejap sosok yang panggil pun datang. "Benar Raden bisa melihat kami?""Benar, Dalbo. Bagaimana kabar kalian.""Kami semua baik, Raden Ayu," jawab Dalbo. "Yang dikatakan Kanjeng Ratu benar-benar terjadi," ujar Titik. Aku bisa melihat bagaimana ekspresinya. Namun tiba-tiba seseorang keluar dari kamar mandi."Aiden?""Iya, Sayang?" ia mendekat ke arahku. "Kenapa masih memanggilku dengan nama? Panggil Sayang dong." Kemudian hendak menciumku, tetapi segera kutahan."Apa kamu tidak malu dilihat mereka?" cegahku karena Dalbo dan Titik terperangah melihat kami."Mereka?""Titik dan Dalbo. Mereka sedang di sini kan? Bahkan mereka terkejut melihat kamu mau menciumku."Aiden bergeming. "Kamu bisa melihat mereka? Bukannya Ayah bilang kalau kamu bahkan tidak bisa melihat apapun termasuk dunia gaib?""Se
Aku menenggak salivaku dengan paksa. Saling mencintai? Waktu seakan berhenti saat tebakan tersebut terlontar padaku. Sedangkan Aiden tampak enteng menjawab pertanyaan tersebut."Aku memang cinta sama De, Oma. Tapi belum tentu dengan Dea." Pria itu melepaskan keluhan hatinya yang kukira tak akan dibahas lagi.Ruangan mendadak hening setelah pengakuan Aiden. Nahasnya aku pun gugup, "A-aku..." Kalimat itu menggantung, rasa bingung menderai kepalaku."Kalau begitu, kamu harus berjuang lebih cerdas lagi Aiden," sahut Oma. "Begitu ya, Oma?""Iya dong, Aiden. Zaman sekarang kerja keras doang kan nggak cukup," kekeh Oma."Siap, Oma!" ucap Aiden yang langsung berdiri. Entah apa yang dia lakukan, tetapi semua orang tergelak karea dia. Saat gemuruh tawa mulai mereda, Oma bertanya padaku dengan lembut."Dea," panggilnya lembut penuh kasih."Iya, Oma?""Apa kamu nyaman bersama Aiden?" Aku terdiam sesaat. Pertanyaan tersebut terasa tak membebankan dibandingkan sebelumnya. "Nyaman, Oma.""Syukurla
"Gausah pegang-pegang istriku. Pegang istrimu sendiri sana!" nyolot Aiden. "Yaelah. Jabat tangan doang," balas Andre. Sayangnya aku cukup terkejut saat orang lain memanggil namaku. "Hai, Dea. Sudah lama tidak bertemu." Kali ini suaranya terdengar lembut. Itu adalah Ghiselle. Perempuan yang sebelumnya memusuhi dengan terang-terangan. Namun, hari ini aku merasakan frekuensi yang cukup nyaman daripada pertemuan terakhir kami."Iya. Ghiselle." Baru saja menjawab, "Iya Dea. Ak-" ucapan wanita itu terputus karena Mama Rita memanggil kami untuk segera bergabung ke ruang makan."Ayo, De," ajak Aiden kembali membawaku berjalan tanpa tongkat. Langkah kakinya yang lebar sudah ia kontrol mengikuti langkah kakiku. Aku bisa merasakan perubahannya yang sebelumnya kikuk menjadi sangat santai hari ini. Sepertinya ia sudah sangat cocok menjadi relawan untuk orang tuna netra sepertiku. Dia bahkan bisa mengingat detail kecil keperluan sehari-hari. Banyak hal yang ia rubah agar menjadi tempat inklusi ba