Hari ini adalah perayaan pernikahan kami yang ke-6 bulan. Rumah besar yang megah dipenuhi oleh tamu undangan, keluarga, dan kolega bisnis Aiden. Selain itu, banyak kolega Papa mertua dan Kakaki par yang hadir dalam acara ini. Pilar-pilar tinggi, lampu kristal yang berkilauan, dan dekorasi mewah menghiasi seluruh ruangan. Suasana ini diciptakan seanggun dan seelegan.By the Way, aku baru tau jika kakak suamiku, Andre melepaskan diri dari hak waris karena menikah dengan Ghiselle. Kedua orang itu dimabuk asmara hingga tak mengidahkan larangan orangtua. Dari informasi itu, aku bisa menilai jika keluarga mertuaku memang tak menyukai Ghiselle dan Wendy. Jadi ya… seperti itulah. Sejujurnya aku salut dengan kakak ipar. Dia bisa survive, meskipun sudah lepas dari andil bantuan keluarga. Andre memiliki perusahan di bidang IT, ia sangat suka menciptakan game yang digandrungi banyak kalangan.Aku berdiri di samping Aiden, dengan keluarga Aiden yang menyayangiku, terutama Oma, Mama Rita, dan Papa
Setelah meninggalkan perayaan pernikahan, aku dan Bik Asih memasuki kamar Aiden. Sedangkan kamar pribadiku di tempati Mama dan Papa Mertua. Sangat nahas karena kami tidak nyaman satu sama lain.“Bik, apa tidak ada pakaian yang lain?” tanyaku pada Bik Asih yang tampak gembira melihatku memakai gaun merah berenda yang sangat terbuka.“Maaf, Non. Tidak ada pakaian lain.” Aku bisa melihat wanita paruh baya itu sedikit terkekeh. Tak berselang lama, lelaki tampan yang minus nyebelin masuk ke dalam kamar dengan ekspresi datar. Bik Asih yang baru selesai menyisir rambutku segera undur diri.“Jangan melihatku,” ujarku datar pada Aiden. Lelaki itu terlihat berusaha menyembunyikan dehamannya. Tanpa berlama-lama, ia memasuki kamar mandi dan terdengar gemericik air dari dalam.Aku memilih merebahkan tubuhku di bawah selimut tebal. Sengaja ku besarkan AC yang ada di ruang ini agar tidak keluar dari balik selimut.Aiden yang selesai membersihkan diri, tanpa banyak bicara, melirik ke arahku dan berj
Aku bisa merasakan suamiku berubah menjadi lebih pendiam. Aku pun paham jika situasi yang dihadapi tidaklah mudah. Ia harus menahan diri agar tidak menemui Wendy, supaya Mama Mertua berhenti menganggu pujaan hatinya. Ditambah tujuannya belum juga terlihat ujungnya. Ini sudah satu bulan lebih aku tidur sekamar dengannya.Tak ada kontak fisik berarti, karena yang dilakukan pria itu hanya berangkat sepagi mungkin dan pulang selarut mungkin.“Apa kamu tidak capek berangkat pagi pulang malam?” tanyaku sedikit terusik melihat penampilannya yang tampak lelah.“Tidak. Hasil yang aku dapat dengan menambah jam kerja sangat efektif menambah laba perusahaan.”Aku menghela napas. “Se-work holic itu kah, kamu?”“Bisa dibilang begitu. Aku tidak bisa menemui kekasihku, jadi aku harap kamu bisa mempercepat belas kasih keluarga untuk segera menurunkan warisan.”“Sebenarnya, warisan apa yang ingin diberikan keluargamu?”Aiden bergumam sejenak, matanya menerawang jauh ke ufuk timur. “Semacam jimat, dan b
Setelah pembicaraan semalam, pagi hari aku mendapat telepon dari Mama Mertua untuk berkunjung di rumahnya. Aiden yang terlanjur berangkat kerja dipaksa izin, karena ada hal penting yang ingin mereka sampaikan di kumpulan keluarga inti. Entah apa yang akan dibicarakan dalam pertemuan ini, aku tidak bisa merabanya. Semoga saja informasi yang baik, sehingga tidak akan merugikanku sebagai pendatang dalam keluarga ini.Aku berangkat terpisah dengan suamiku. Mama Mertua sengaja menyiapkan supir tersendiri untukku. Keluarga Aiden sangat perhatian dan pengertian. Ini adalah satu-satunya yang membuat aku merasa nyaman. Semoga saja menjadi salah satunya, dan ada hal lain yang lebih membuatku aman.“Sayang, Mama sengaja ngasih taunya mendadak. Maaf ya, jadi kesannya Mama sembunyikan kamu dari keluarga. Ada Sesuatu penting yang memang harus Mama dan Oma jaga.”Aku semakin penasaran dengan apa yang akan disampaikan mertuaku. Apalagi, keberadaanku dirahasiakan dari keluarga lain. Saat memasuki ruma
Dari arah ruang makan, bisa kudengar suara Mama Rita yang menggelegar. “Dea, Aiden, Mama tau kalian pengantin baru dan ingin menghabis banyak waktu bersama. Tapi sekarang berkompromilah dengan kami, Sayang. Ayo, ke sini dan nikmati makanan yang Mama siapkan,” teriaknya membuat aku dan Aiden tertohok.“Ups. Sepertinya kita terlalu lama bersama,” ujarku segera menemui keluarga suamiku. Ekspresi Aiden masih datar, tetapi saat duduk di meja makan ia sedikit memaksakan senyum agar suasana semakin melunak dan hangat.Oma duduk di ujung meja, seperti biasa, dengan sikap tenangnya yang penuh wibawa. Di sebelahnya, Mama Rita tampak sibuk mengarahkan pelayan untuk menambahkan makanan di piring anggota keluarga. Suara gemerincing peralatan makan yang sesekali terdengar terasa menenangkan.Setelah beberapa saat makan dalam keheningan, Oma membuka percakapan dengan senyum lembut di wajahnya. “Dea, sayang, bagaimana kehidupanmu bersama Aiden akhir-akhir ini? Kalian terlihat lebih tenang belakangan
Setelah makan siang selesai. Aku dan Aiden pamit pulang. Sedari tadi, Mama Rita dan Oma menyindir kita untuk lebih banyak menghabiskan waktu bersama.“Aiden, kurangi lembur di kantor. Mama dengar, kamu sering lembur sampai membuat pegawai dan sekretarismu mengeluh.”“Ma, aku lembur juga demi perusahaan kita. Mama bisa lihat laporan bulanan beberapa perusahaanku, kan? Progress kita meningkat pesat, Papa saja senang melihat hasil kerjaku,” jawab Aiden yang diselipin kesombongan diri akan keberhasilannya memperbesar perusahaan.“Iya, Mama tau itu, Nak. Tapi work balance itu perlu, apalagi ada Dea di rumah. Masa kamu tinggalin terus.” Mama mertuaku semakin gencar memprotes putra bungsunya.“Ma, kita sudah menghabiskan waktu yang cukup. Apalagi kita tidur bersama, di kamar yang sama.”“Itu kan baru-baru ini! Bisa dihitung, kamu ini keras kepala banget.” Emosi Mama Rita tersulut mendengar jawaban Aiden.“Iya, iya. Habis ini aku mau cuti beberapa hari, dan menghabiskan waktu bersama istriku.
Aku bisa merasakan kecurigaan Aiden semakin nyata dari tatapan tajamnya yang tak berhenti mengarah kepadaku. Suasana di kamar kami menjadi tegang. Perubahan nada suaranya begitu jelas, dan sekarang, matanya menatapku seolah aku telah melakukan sesuatu yang salah. Dia berdiri di sana, menunggu penjelasanku, sementara aku sendiri merasa terpojok dengan tuduhannya.“Apa yang kamu lakukan di sana? Kenapa kamu bisa muncul begitu saja di pertemuan keluarga?” ulang Aiden dengan nada yang lebih tajam, tatapannya penuh kecurigaan.Aku menahan napas sejenak, berusaha menenangkan diri. Tatapan suamiku sangat mengintimidasi. Jantungku berdebar, tetapi aku tahu bahwa aku harus tetap tenang dalam menghadapi pertanyaannya. “Aiden,” kataku dengan suara yang sengaja kubuat lembut, “Mama yang mengundangku ke pertemuan itu. Aku tidak tahu kalau kedatanganku akan membuatmu merasa begini.”Dia mendengkus pelan, matanya masih menatapku tajam. “Tapi kenapa Mama tiba-tiba memintamu datang? Mama jarang bertind
“Tugas apa?” tanyaku pelan, takut ada orang lain tahu aku ngomong sendiri. Sosok bertubuh besar, bertaring seperti vampir, dengan gada di pundaknya semakin menundukkan kepala. “Kanjeng Ratu belum memberikan mandat tugas Randen. Beliau hanya ingin menyampaikan agar Anda bersiap.”Ku hela napasku kasar. Banyak teka-teki menghampiriku, lama-lama kepalaku seakan meledak. “Oke.”Sosok itu langsung pergi setelah menyampaikan pesan dari Kanjeng Ratu. Aku sendiri belum pernah ketemu dengan Kanjeng Ratu, tapi dia selalu mengirim berbagai kabar yang sebenarnya tidak aku ketahui. Ketika beranjak dewasa, satu persatu kelebihan leluhurku muncul padaku, jadi terpaksa aku melakukan apapun yang menjadi kewajibanku karena dibekali kekuatan lebih dari manusia biasa. Makan malam pun tiba, Aiden sudah duduk di tempatnya seperti biasa, begitu pula aku. Bik Asih dan beberapa pelayan menyajikan masakan cheff sedemikian rupa agar terlihat apik. “Dea. Besok lusa teman-temanku akan berkunjung ke sini,” uja
"Di mana ayahku?" tanyaku pada orang yang mendadak mengajakku pulang."Sudah pulang. Pak Wijaya minta aku menjemputmu." Suara bariton itu memekik telingaku yang enggan mendengarnya. Segera kurogoh ponselku di dalam saku. Tongkat yang ebelumnya kugenggam, kini berganti terhimpit lengan. Ponsel yang sudah dimodif sedemikian rupa untuk tuna netra sepertiku, sangat membantu disabilitas sepertiku di dunia yang di kelilingi teknologi canggih ini. Setiap kali kusentuh bagian layar akan keluar suara yang menunjukkan aplikasi dan nama kontak. Karena nomor ayah ada di urutan pertama jadi memudahkanku mengaksesnya. Tak butuh waktu lama, teleponku langsung mendapat jawaban."Hallo, Nak. Ayah yang menyuruh Aiden menjemputmu. Kamu pulanglah dengannya."Belum sempat aku berkata apapun, sambungan telepon pun terputus. Hanya helaan napas yang bisa kulakukan. Aiden menggandeng tanganku menuju mobilnya. Selama di perjalanan dia berusaha menjalin komunikasi denganku, tetapi aku enggan menyahutinya."Ba
Aku terdiam mendengar permintaan Aiden, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Satu kesempatan?" gumamku, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan hati yang bergejolak. “Dea.” Suaranya semakin mendekat, dan aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya saat dia duduk lebih dekat. Tangannya menyentuh lembut jemariku yang masih menggenggam tongkat. Sentuhannya membawa campuran perasaan yang sulit dijelaskan. Entah kenapa ada kemarahan, kesedihan, dan kerinduan yang tak kuinginkan.“Maafkan aku, Dea,” lanjutnya, nadanya penuh penyesalan. Aku menggeleng pelan, meskipun aku tahu dia tak bisa melihat gerakanku. “Pergi dari sini. Aku tidak mau bertemu denganmu lagi.” Kata-kataku menghantam udara seperti bilah tajam. Aku merasakan genggamannya mengendur sejenak, seolah-olah kata-kataku telah memukulnya tepat di tempat yang paling lemah. Aku langsung berdiri, tangan mantan suamiku sempat menahanku. Namun, kukibaskan sek
Aku merenung sejenak menerka siapa yang berniat menemuiku. Terdengar Ayah membukakan pintu selebar mungkin. "Ayo, Nak."Kulontarkan tongkatku untuk menuntun langkah kakiku. Semenjak tidak bisa melihat, kupaksakan diriku untuk tetap mandiri. Setelah sekian bulan berlalu, akhirnya Mama dan Ayah membiarkan apapun yang kulakukan. Pada awalnya, mereka akan memaksa untuk menuntunku. Syukurnya lambat laun, Ayah dan Mama hanya membiarkanku berjalan sendiri, tetapi aku tau jika mereka mengawasiku dari kejauhan untuk memastikan tidak terjadi masalah serius.Suara ketukan sandal dan tongkat menggema ke penjuru ruangan. Aku masih menerka-nerka siapa yang datang ke rumah, tapi sampai sekarang aku tidak mendengar suara orang lain di ruangan ini. Bahkan ketika aku sudah duduk cukup lama. Hanya genggangaman Ayah yang semakin mengendur dan perlahan menjauh."Ayah," panggilku pelan karena ku dengar beliau berpindah tempat. Perlahan aku bisa merasakan seseorang bernapas di sampingku. Kutolehkan sedikit
"Dia sedang sibuk mengurus perusahaannya. Ternyata sahabat dia sendiri yang menggelapkan uang di cabang perusahaannya, penipuan investor dan banyak lagi. Banyak orang yang terlibat dalam kejahatan itu. Dan sekarang keluarga Gito sedang kalap menyelamatkan semua usaha mereka dan warisan," jelas Ayah yang membuatku sedikit lega. Kata-kata Ayah menggema dalam pikiranku, menyisakan kekosongan yang sulit dijelaskan. Namun, entah kenapa, ada sedikit kelegaan yang mengalir di dadaku. Setidaknya Aiden sedang sibuk dengan dunianya sendiri, mungkin itu alasan mengapa dia tak mencariku atau mencoba menghubungiku."Apa itu Elvaro?" tanyaku yang teringat dengan tingkah aneh pria itu. Nama itu muncul begitu saja di benakku, seperti serpihan teka-teki yang terlupakan. Ditambah Dalbo dan Titik sempat melaporkan beberapa kecurigaan mereka saat aku ada di kantor suamiku. Ah... salah, tapi mantan suami.Ayah mendengkus, seakan jengah dengan informasi yang ia simpan. "Iya. Dia juga bekerja sama dengan We
"Kita pulang sekarang, Nak. Ini demi kebaikanmu," ujar Ayah sembari mendorong kursi roda yang kududuki. Ibu mengikuti langkah ayah dengan tergesa-gesa. "Aku sudah memberitahu dokter. Dia mau berkerjasama dengan kita, Mas.""Syukurlah kalau begitu, Bu. Kita haru segera pulang. Cuma di rumah kita, tempat yang aman untuk keselamatan Dea."Suasana di rumah sakit terasa tegang, bahkan langkah kaki Ayah yang biasanya tenang kini terdengar berat dan terburu-buru. Aku duduk diam di kursi roda, membiarkan Ayah mendorongku tanpa perlawanan. “Ibu, kenapa kita harus buru-buru pulang?” tanyaku berusaha mencari penjelasan.“Nak, kita hanya ingin kamu istirahat di rumah. Rumah akan lebih nyaman untuk pemulihanmu.” Suara ibu terengah karena harus berpacu dengan langkah kaki ayah yang cepat.“Tapi, Bu,” aku mencoba membantah, tetapi Ayah memotong dengan nada tegas.“Dea, dengarkan Ayah. Sekarang yang penting adalah keselamatanmu. Kita tidak punya banyak waktu untuk penjelasan. Nanti, kalau sudah di r
Entah sudah berapa lama aku terkapar dalam kegelapan. Samar-samar aku mendengar isakan tangis perempuan meranyap di indera pendengaranku."Kenapa nasib putri kita seperti ini, Mas?" itu suara ibuku.Ayah menghela napasnya panjang. "Aku juga tidak tahu, Bu. Padahal kamu tahu sendiri bagaimana aku menjaga putri kita." "Kenapa putri kita digariskan takdir yang sangat tragis begini. Kenapa tidak aku saja, Ya Allah! Kenapa putriku harus semenderita ini! Apa salah dia!" Ibu terdengar meraung di sana."Bu, tenang. Kita sedang berada di rumah sakit.""Tenang bagaimana, Yah?! Dea sudah koma selama dua bulan! Kamu minta aku tenang! Putri kita sedang berada di antara hidup dan mati!" Hah? Dua bulan? Selama itukah aku terkapar di sini. Aku masih tidak bisa melihat apapun. Bahkan aku untuk menggerakkan tubuh saja sulit. Suaraku terasa hilang begitu saja. Akhirnya aku hanya bisa mengerang pelan untuk memberitahu orang tuaku kalau aku sudah siuman.Butuh banyak tenaga untukku memberikan sinyal pad
Setelah dibawa ke kamar pemulihan, aku berbaring di atas ranjang. Wajahku yang masih tertutup perban, tapi aku merasakan sedikit kehangatan dari jendela kamar yang diterangi sinar matahari. Rasanya aneh, aku tidak tahu apakah itu pagi atau siang. Bagiku dunia seperti tempat yang jauh dan tak terjangkau.Ayah duduk di kursi sebelah tempat tidur. Beliau menggenggam tanganku erat. "Kamu sangat kuat, Nak. Operasi ini adalah langkah besar. Dokter bilang kemungkinan kamu akan sembuh total." Suaranya penuh optimisme, tetapi ada hati-hati di balik kalimatnya.Aku tersenyum kecil, meskipun dalam hati ada rasa gelisah yang sulit dihilangkan. "Ayah," panggilku pelan, mencoba mencari celah untuk bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia."Ya, Sayang?"Aku terdiam sejenak, lalu menarik napas panjang. "Bagaimana kabar di sana? Tentang kasus itu." Rasanya sangat berat mengatakan keingintahuanku. Namun, aku harus mencobanya, "Sony, Hendro, dan semua kejahatan mereka. Apa semuanya suda
Ruangan operasi dipenuhi oleh suasana yang hening, hanya suara monitor detak jantung yang berdentang lembut. Lampu-lampu terang menyinari meja operasi, membuat setiap sudutnya terlihat steril dan berkilau. Aku berbaring dengan tubuh tertutup kain bedah, hanya menyisakan area wajahku yang terlihat. Meski tak bisa melihat apa-apa, aku merasakan udara dingin dari ventilasi ruangan menyentuh kulitku. “Baik, kita mulai sekarang,” suara dokter terdengar tegas tapi tenang. Beliau mencoba memberikan rasa aman di tengah kegelisahanku. “Mrs.Dea, Anda tidak akan merasakan sakit, tapi kami akan tetap memberikan anastesi lokal untuk kenyamanan.” Aku mengangguk pelan, meskipun jantungku berdegup kencang. Tubuhku terasa kaku di bawah tekanan emosional. Rasanya seperti berada di antara harapan besar dan ketakutan yang sulit diprediksi. “Tarik napas perlahan, Nona Dea,” seorang perawat berkata lembut di telingaku, membantu menenangkan. Aku mencoba mengikuti instruksinya, menarik napas dalam-dalam, l
Aku menatap Ayah dengan raut penuh pertanyaan, tapi aku tahu dia tak akan memberiku jawaban lebih dari itu. "Istirahatlah, Sayang. Kita akan bicara lagi besok pagi," katanya dengan nada yang lebih lembut, sebelum melangkah keluar dari kamar.Kata-katanya terasa menggantung, menyisakan banyak pertanyaan yang berputar di kepalaku. Perkembangan baru? Apa itu berarti ada harapan untuk penglihatanku? Tapi bagaimana dengan kasus ini? Apakah benar aku harus pergi sekarang, meninggalkan semua ini di tengah jalan?Aku menghela napas panjang, berusaha meyakinkan diri bahwa semua ini adalah keputusan terbaik. Namun, tidur tetap menjadi hal yang mustahil malam itu. Suara di ruang tamu hotel, samar-samar terdengar dari balik pintu, menunjukkan diskusi serius antara Ayah dan seseorang. Aku berusaha menutup telinga, tetapi rasa ingin tahu tetap mengalahkan.***Keesokan harinya, suasana sarapan terasa canggung. Ayah dan Ibu tampak saling membisu, sementara Nio, yang biasanya penuh semangat, memilih