Tubuhku gemetar hebat. Panas yang membakar ini tak tertahankan, seakan api mengalir di setiap inci pembuluh darahku. Aiden masih memegangi wajahku, mencoba menenangkanku, tapi itu tidak cukup. Tubuhku terasa seperti sedang dihantam dari segala arah, dan aku tak tahu kenapa ini terjadi."Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Dea?" Aiden bertanya lagi, kali ini suaranya penuh kekhawatiran yang tak pernah kulihat sebelumnya. Matanya yang biasanya tenang kini dipenuhi kecemasan."Aku tidak tahu... Aku tidak tahu..." jawabku dengan napas terengah-engah, keringat masih mengalir deras. Tanganku memegangi leher, berusaha meredam rasa sakit yang semakin intens.“Aku akan membawamu ke rumah sakit,” ujar Aiden tak terlalu jelas karena ada suara bergetar di telingaku membuat kepalaku semakin pusing. Rasanya dunia di sekitarku mulai berputar. “Kanjeng Ratu... Kanjeng Ratu...” Sebuah bisikan lembut muncul di kepala, mengingatkan padaku akan pesan sebelumnya dari sosok besar itu.“Kanjeng Ratu?” gumam
Aku yang hendak pulang dikerumuni beberapa awak medis. Rasanya risi apalagi mereka berkali-kali memuji diriku yang katanya kuat karena bisa sembuh dalam waktu yang singkat. Aiden berpamitan dengan dokter langganannya, ia pun berpesan untuk tak membocorkan insiden keracunanku pada orangtuanya.Sesampainya di rumah, Bik Asih bersama beberapa pelayan sudah stand by di ruang tamu menyambut kedatangan kami. Aiden menuntunku penuh perhatian. Sikapnya sangat berbeda 180 derajat dari biasanya.“Lepaskan. Aku bisa berjalan sendiri,” ujarku sembari lepaskan genggamannya dari lenganku.“Oke. Hati-hati, kalau ada sesuatu langsung panggil aku.” Suamiku pasrah dan membiarkan aku kembali ke kamar sendirian. Dari pantulan kaca dari lift, kulihat dia menghampiri para pelayan yang berbaris rapi di ruang tengah. Bahkan satpam rumah yang baru saja mengamankan area depan, segera bergabung.Aiden berdiri di hadapan mereka, raut wajahnya penuh amarah yang ditahan. Dia menatap satu per satu pelayan dan satpa
Aku terperanjat mendengar teriakan suamiku. Pundaknya terlihat naik turun, tangannya mengepal hingga urat nadinya muncul. Tanpa pikir panjang aku mendekat ke arahnya. "Ada apa?" tanyaku pelan. Aku tak ingin memperkeruh keadaan. Apalagi Aiden sedang dirundung emosi.Lelaki itu mencengkeram tanganku. "Ayo keluar," ucapnya berusaha tenang. Namun, ketika dengan Bik Asih, aura kegelapan seakan pekat di setiap katanya. "Kamu juga, kunci kamar ini. Panggilkan ahli kelistrikan sekarang juga.""Baik, Tuan." Bik Asih langsung menunduk mendengar perintah suamiku.Aku tak bisa banyak bicara karena Aiden berjalan cukup cepat membuat beberapa bagian tubuhku terasanya nyeri. "Akh!" keluhku tak bisa menahan diri lagi. Suamiku sontak berhenti dan memandangku penuh rasa bersalah. "Sorry. Tidak seharusnya aku menyeretmu seperti ini," ujarnya. Tangannya segera merengkuh pinggangku. Ia membopongku dengan langkah kaki tegap dan cepat."Istirahat di sini dulu ya, De. Jangan perintah siapapun, langsung h
"Dua bulan! Kamu harus mendapatkan warisan itu selama dua bulan ini! Aku tidak mau tau, kesabaranku sudah habis, Sayang. Kamu tau kan apa yang bisa aku lakukan pada wanita itu jika kesabaranku habis?""Iya, Sayang. Aku akan mengusahakannya."Terdengar suara sol sepatu menjauh dari ruang kerja suamiku. Aiden yang baru saja bernegoisasi dengan kekasihnya segera menghela napas cukup panjang. Setelah itu aku tak mendengar apapu, dan kembali terlelap.Tanpa sepengetahuanku, ternyata Aiden memandangku yang tertidur pulas di ranjang yang ia siapkan. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Hanya jari telunjuk mengode sekretaris dan salah satu direktur untuk diam saat memasuki ruang kerjanya. Lelaki itu berbicara dengan lirih pada bawahannya. Ia takut menganggu tidurku."Tolak semua orang yang mau menemuiku. Aku ingin istirahat," ujarnya pada Bella. Sekretarisnya hanya mengangguk dan langsung mengundurkan diri. Chef perusahaan yang sengaja Aiden sewa sudah menghidangkan makanan di atas meja.
Hari semakin larut, suamiku masih sibuk dengan dokumen di atas meja. Kulirik Dalbo menunggu izinku untuk mendekat. Kuanggukkan kepala memberikan sinyal agar dia mendekat. Aku bisa merasakan jika dia memiliki banyak informasi setelah mengelilingi kantor suamiku."Saya melihat banyak hal terjadi di tempat ini, Raden. Perempuan yang mampir menemui suami Raden Ayu, juga menemui salah satu orang di sini, dan orang itu diajak keluar, seperti akan rapat sesuatu secara rahasia. Seseorang memberikan dokumen rahasia pada salah satu direktur. Terlihat beberapa orang berkumpul dan membicarakan cabang perusahaan yang mengalami profit 3 kali lipat, tetapi sengaja dilaporkan hanya 2 kali lipat agar mereka mendapatkan keuntungan. Terakhir, ada seseorang memasang alat penyadap di mobil Raden Ayu."Kuanggukkan kepala mendengar laporannya. Aku tergelitik mendengar Dalbo mengucapkan profit. Makhluk halus ini sangat pintar! Kuberanjak dari ranjang dan mendekat ke arah suamiku. Kubisikkan pertanyaan denga
"Pelakunya adalah Wendy. Perkataan Asih hampir benar, ada seseorang yang menyelinap ke kamar Raden. Sayangnya, itu bukanlah pria, melainkan pelayan wanita di rumah ini. Dia memiliki postur seperti laki-laki, jadi penyamarannya tidak disadari orang lain." Suara Titik menggelegar di telingaku. Aiden yang ada di kamar menyadari perubahan ekspresiku. "Ada apa?" ia mendekat seraya mengguncang lembut pundakku."Sebentar," cegahku pada Aiden. Kini ku toleh Titik yang ada beralih posisi ke pojok ruangan. Suamiku mengikuti arah pandangku. Titik kembali bicara, "Beberapa pelayan di rumah ini ternyata sudah direkrut Wendy sebelum kedatangan Anda, Raden.""Apa di sini ada pelayan yang direkrut Wendy?" tanyaku pada Aiden. Alis pria itu mengerut. "Apa maksudmu?""Apa pertanyaanku kurang jelas?" Kutatap netra Aiden dengan tegas. Aku tak berniat mengintimidasinya, tetapi emosiku sedang membuncah. Kami saling berpandangan, dan Aiden tampak kebingungan."Aku tak pernah mengurusi para pekerja di rumah
Aku bersama suamiku berjalan beriringan sambil gandengan tangan memasuki rumah mertua. Oma dan kedua mertuaku memandang kami dengan hangat, berbeda dengan Ghiselle. Wanita itu tampak kesal melihat chemistryku dengan Aiden. Andre, kakak iparku yang melirik sejenak seakan cuek dengan kehadiran kami.“Dea, Aiden!” panggil Oma dengan hangat. “Ayo duduk, aku senang melihat kalian datang bersama.”“Iya, Oma,” jawabku sambil tersenyum. Gito mengangguk sambil tersenyum. “Bagus sekali. Kalian tampak bahagia bersama. Itu yang penting.”Namun, terlihat Ghiselle mendengus pelan. Dia menatapku seakan tak tahan melihat kebersamaanku dengan Aiden. Matanya menatapku penuh ketidaksukaan, tetapi dia diam, mungkin karena takut ada Oma dan kedua mertuaku di sana.“Kalian benar-benar terlihat akrab sekarang,” gumam Ghiselle, suaranya datar tapi penuh sindiran. “Aku hampir tidak mengenali Aiden yang biasanya dingin.”Aku memilih tidak bereaksi terlalu berlebihan. "Tentu saja, Ghiselle. Kami suami istri, w
Oma segera menjawab pertanyaan Aiden, "Ada. Kita bahas setelah para sesepuh lain datang. Bersabarlah, Cucuku Aiden. Sebentar lagi mereka akan sampai."Aiden dan Andre saling bertatapan. Kakak suamiku tampak kebingungan dengan sesuatu yang dipertanyakan adiknya. Ghiselle yang perhatiannya dialihkan oleh mertuaku, dibuat kalap dan langsung mengundurkan diri. "Maaf, Oma, Pa, dan Suamiku," ujarnya tiba-tiba. "Saya harus kembali ke butik karena ada launching produk baru."Rita mengulas senyum sangat puas melihat menantunya keteteran. "Iya, Sayang. Aku sudah menyerahkan butik dari lama, kan? Tolong jaga baik-baik, ya?""Pasti, Ma. Hampir saja Ghiselle lupa." Wanita itu melihat ponselnya, kemudian menunjukkannya pada kami. "Ghiselle benar-benar minta maaf karena tidak bisa di sini lebih lama lagi. Sayang, kamu bisa melihat kan? Asistenku spam telepon begini?" Kakak iparku tampak berat melepaskan kepergian istrinya. Ghiselle bahkan sampai mendekat dan berbisik, "Sayang, ini satu-satunya jala
Dokter itu tertawa lembut, seolah ingin menenangkan kami. "Dea, hasil tes menunjukkan bahwa kamu hamil. Kamu berada dalam kondisi yang sangat baik, meskipun sempat mengalami mual dan kelelahan. Namun, jangan khawatir. Kondisi ini sangat normal, terutama jika ada perubahan fisik atau emosional."Aku terdiam, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Hamil? Aku hamil? Pikiranku terasa berputar. Tidak ada yang pernah menyebutkan ini sebelumnya, dan tentu saja, aku tidak pernah memikirkan hal ini."Aiden." aku berbisik, suaraku gemetar. "Aku hamil?"Aiden menggenggam tanganku lebih erat. "Iya, Sayang. Kamu hamil. Ini berita yang luar biasa, kamu jangan cemas. Kita akan menghadapinya bersama-sama."Aku terdiam, merasakan campuran perasaan yang sangat dalam. Di satu sisi, ada kebahagiaan yang tak terlukiskan, namun di sisi lain, aku merasa cemas. Bagaimana kami akan menjalani semua ini? Apa arti semua ini untuk kami? Dan yang terpenting, apakah kami siap dengan segala perubah
Dengan langkah yang berat, Aiden menarikku pergi dari pinggir sungai yang seakan berusaha menahan kami. Aku bisa merasakan kekuatan Alam Pusaka yang menahan kami, seolah tempat ini tidak ingin kami pergi begitu saja. Suasana yang tadinya penuh keindahan kini terasa penuh dengan ancaman yang tak terduga. Namun aku percaya pada suamiku, dan aku tahu, ia tidak akan membiarkan aku terluka.Akhirnya, setelah perjuangan panjang, kami tiba di batas Alam Pusaka, tempat yang menjadi pemisah antara dua dunia. Keindahan yang dulu kurasakan kini perlahan memudar, digantikan oleh rasa lega yang datang saat kami kembali ke dunia manusia.Tiba-tiba, aku merasakan tubuhku sedikit lebih baik. Rasa mual yang semula mengguncang perlahan mulai hilang, dan aku bisa merasakan kembali kekuatan dalam tubuhku. Aiden melepaskan pelukannya, meskipun aku bisa merasakan ketegangan yang masih ada di tubuhnya."Kita sudah kembali," katanya dengan suara yang lebih tenang, namun masih terdengar kelelahan. "Tapi aku r
Selama di Alam Pusaka. Aku bisa melihat keindahan yang tidak bisa kulihat selama di dunia manusia. Meskipun aku tidak bisa melihat Aiden secara jelas, setidaknya aku bisa melihatnya dalam bentuk bayangan. "Aku senang sekali melihatmu berlari dan menari seperti ini, Sayang. Ada perasaan sedih juga karena biasanya aku yang membantumu melakukan aktivitas sehari-hari. Di sini, kamu bisa melakukannya sendiri," ucap suamiku lembut, suaranya mengalir seperti aliran sungai yang jernih di depan kami, menenangkan sekaligus menghangatkan.Kami duduk di pinggir sungai yang indah, airnya yang jernih mengalir begitu tenang. Suasana ini begitu damai, dan aku merasa seolah dunia ini hanya milik kami berdua. Di sini, aku tidak merasa terbebani oleh keterbatasan penglihatanku. Alam Pusaka, dengan segala keajaibannya, memberiku kebebasan yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Aku bisa merasakan udara yang lebih segar, aroma bunga yang jarang ditemukan di dunia manusia, dan setiap detik terasa begitu b
Pagi itu, di ruang tamu yang hangat, suasana terasa berbeda. Aiden, suamiku duduk di depan keluarga besarnya, seakan hendak mengungkapkan sesuatu yang penting. Aku berada di sampingnya dengan tenang, meski tampak sedikit cemas. Keluarga sudah berkumpul, mendengar dengan penuh perhatian."Aiden, kamu tampaknya tidak seperti biasanya," kata Oma menyelidik situasi. "Ada apa? Kamu biasanya lebih ceria kalau bicara soal perusahaan."Aiden menarik napas dalam-dalam. "Aku dan Dea akan pergi berbulan madu," ucapnya dengan nada yang mantap, tetapi ada keraguan yang samar terbersit. Semalam kami sudah mengobrol, dan ia sempat mengungkapkan keresahan. Takut kalau tempat itu akan menstimulus traumaku. Namun, aku meyakinkannya. karena di sana aku bisa melihat pemandangan banyak hal karena diselimuti alam gaib. "Ke mana?" tanya Mama Rita, tertarik. "Ada tujuan spesial, Nak?""Alam Pusaka," jawab suamiku, membuat suasana hening seketika. Dea menundukkan kepala, berusaha menahan perasaan yang datang
Malam itu, suasana ruang makan sudah penuh kehangatan. Aroma makanan khas keluarga memenuhi udara, membuat perutku yang tadinya gelisah kini mulai terasa lapar. Semua orang sudah duduk di tempatnya masing-masing, berbincang dengan riang. Aku dan Aiden datang terakhir, menambahkan kursi di sisi meja untuk kami berdua. Mama Rita langsung tersenyum hangat melihat kami. “Akhirnya kalian datang. Kami sudah hampir mulai, loh.” Aiden membantu menarik kursiku dengan lembut, memastikan aku duduk dengan nyaman sebelum ia duduk di sebelahku. “Maaf, kami agak terlambat,” katanya dengan nada santai. “Dea tadi masih butuh waktu untuk bersiap.” Andre yang duduk di ujung meja, bercanda sambil tertawa kecil. “Ah, Aiden. Kamu makin romantis saja.” Semua orang di meja tertawa, kecuali aku yang hanya bisa tersenyum gugup. Rasanya sulit menyesuaikan diri dengan perhatian sebanyak ini. Namun, Aiden, yang sejak tadi menggenggam tanganku di bawah meja, memberiku rasa percaya diri. Setelah semua mak
Aku terdiam sejenak, merasakan pipiku mulai memanas mendengar ajakan Aiden. Suaranya begitu lembut dan menggoda, tetapi ada sesuatu di dalamnya yang membuat jantungku berdebar lebih cepat.“Aiden,” panggilku pelan, berusaha menyembunyikan rasa gugupku. “Kamu tahu aku tidak terlalu suka dengan ide itu. Lagipula, aku belum terbiasa dengan semua ini.”Aiden tertawa kecil, lalu duduk di sampingku. “Sayang, aku tidak memaksamu. Aku hanya ingin membuatmu nyaman. Setelah semua yang kita lalui, aku merasa kita pantas menikmati momen yang tenang bersama.”Aku merasakan tangannya menggenggam jemariku dengan lembut, seakan memberikan kehangatan yang menenangkan. “Kita tidak harus buru-buru, Dea. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini, sepenuhnya untukmu.”Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk merespons. “Kamu terlalu manis, Aiden. Kamu bisa gendong aku?”Aiden terdiam sejenak, lalu aku mendengar tawanya yang lembut dan penuh kehangatan. “Tentu saja, Sayang
"Titik!" pekikku tak sadar. Makhluk halus yang hendak pergi itu langsung berbalik ke arahku."Raden Ayu!" kagetnya. Dia kemudian berteriak. "Woy! Dalbo! Raden Ayu bisa melihatku!"Dalam hitungan sekejap sosok yang panggil pun datang. "Benar Raden bisa melihat kami?""Benar, Dalbo. Bagaimana kabar kalian.""Kami semua baik, Raden Ayu," jawab Dalbo. "Yang dikatakan Kanjeng Ratu benar-benar terjadi," ujar Titik. Aku bisa melihat bagaimana ekspresinya. Namun tiba-tiba seseorang keluar dari kamar mandi."Aiden?""Iya, Sayang?" ia mendekat ke arahku. "Kenapa masih memanggilku dengan nama? Panggil Sayang dong." Kemudian hendak menciumku, tetapi segera kutahan."Apa kamu tidak malu dilihat mereka?" cegahku karena Dalbo dan Titik terperangah melihat kami."Mereka?""Titik dan Dalbo. Mereka sedang di sini kan? Bahkan mereka terkejut melihat kamu mau menciumku."Aiden bergeming. "Kamu bisa melihat mereka? Bukannya Ayah bilang kalau kamu bahkan tidak bisa melihat apapun termasuk dunia gaib?""Se
Aku menenggak salivaku dengan paksa. Saling mencintai? Waktu seakan berhenti saat tebakan tersebut terlontar padaku. Sedangkan Aiden tampak enteng menjawab pertanyaan tersebut."Aku memang cinta sama De, Oma. Tapi belum tentu dengan Dea." Pria itu melepaskan keluhan hatinya yang kukira tak akan dibahas lagi.Ruangan mendadak hening setelah pengakuan Aiden. Nahasnya aku pun gugup, "A-aku..." Kalimat itu menggantung, rasa bingung menderai kepalaku."Kalau begitu, kamu harus berjuang lebih cerdas lagi Aiden," sahut Oma. "Begitu ya, Oma?""Iya dong, Aiden. Zaman sekarang kerja keras doang kan nggak cukup," kekeh Oma."Siap, Oma!" ucap Aiden yang langsung berdiri. Entah apa yang dia lakukan, tetapi semua orang tergelak karea dia. Saat gemuruh tawa mulai mereda, Oma bertanya padaku dengan lembut."Dea," panggilnya lembut penuh kasih."Iya, Oma?""Apa kamu nyaman bersama Aiden?" Aku terdiam sesaat. Pertanyaan tersebut terasa tak membebankan dibandingkan sebelumnya. "Nyaman, Oma.""Syukurla
"Gausah pegang-pegang istriku. Pegang istrimu sendiri sana!" nyolot Aiden. "Yaelah. Jabat tangan doang," balas Andre. Sayangnya aku cukup terkejut saat orang lain memanggil namaku. "Hai, Dea. Sudah lama tidak bertemu." Kali ini suaranya terdengar lembut. Itu adalah Ghiselle. Perempuan yang sebelumnya memusuhi dengan terang-terangan. Namun, hari ini aku merasakan frekuensi yang cukup nyaman daripada pertemuan terakhir kami."Iya. Ghiselle." Baru saja menjawab, "Iya Dea. Ak-" ucapan wanita itu terputus karena Mama Rita memanggil kami untuk segera bergabung ke ruang makan."Ayo, De," ajak Aiden kembali membawaku berjalan tanpa tongkat. Langkah kakinya yang lebar sudah ia kontrol mengikuti langkah kakiku. Aku bisa merasakan perubahannya yang sebelumnya kikuk menjadi sangat santai hari ini. Sepertinya ia sudah sangat cocok menjadi relawan untuk orang tuna netra sepertiku. Dia bahkan bisa mengingat detail kecil keperluan sehari-hari. Banyak hal yang ia rubah agar menjadi tempat inklusi ba