Hari ini adalah bulan ke enam pernikahanku. Namun sungguh kurang ajar suamiku berani membawa perempuan gatal ini ke rumahku. Dengan tidak malunya perempuan itu berani bermesraan dengan suami di depanku dan teman-teman suamiku. Ketulusan hati aku menjalin pernikahan ini ternyata dibalas dengan penghinaan yang tiada hentinya. Hati aku sakit sekali.Berkali-kali aku mendengarnya memanggil suamiku dengan panggilan "Sayang". Telingaku terasa jijik mendengar suara itu keluar dari wanita keji yang tidak tau malu itu. Aku sangat bodoamat dengan tingkah laku mereka berdua, tapi semakin lama semakin agresif wanita itu berusaha menjelek-jelekkan aku dan berusaha memisahkan aku dengan suamiku. Berbagai cara sudah dia lakukan, hingga berbagai cara licik dia gunakan untuk membunuhku. Kesabaranku benar-benar sudah habis melihat tingkah konyol wanita itu. Aku juga suah capek mendapat berbagai ancaman mematikan darinya.Cplassss...!!! "Aaww!!! Panas panas!!" teriak pelakor. Kusiram dia dengan kopi pa
Pagi hari, aku tidak suka dengan pagi hari, itu artinya aku harus bangun dari mimpiku. Aku kaget waktu bangun tidur, ini bukan kamarku. Aku shock banget lupa kalo aku udah pindah. Ya ampun.. aku langsung keluar kamar, dan menuju kamar mandi. Waktu keluar dari kamar mandi.“Habis ngapain lu?” tanya Aiden yang sedang menikmati kopi hitamnnya.“Mandi lah.”“Ngapain mandi disini, di kamar lu kan ada kamar mandinya bego.”"Ehh.. masak sih," batinku.Aku diam aja dan langsung ke kamar. Dan ternyata benar, ada kamar mandinya. Wow ada bath up, closet duduk,trus washtafel juga, bagus juga kamar mandi ini. Nanti siang mau berendam lah.. semua keperluan sudah ada, wahhh.. seneng banget deh, aku gak pernah liat perlengkapan kamar mandi sebanyak ini.."wait, ini kloset duduk, aku terbiasa jongkok. Aduh.. harus beradaptasi nih."Bik Asih sudah di kamarku dengan membawa baju-bajuku dari kamar suamiku. Oh ya nama suamiku adalah Aiden William Abhivandya, panggilannya Aiden. Aku tidak terlalu mengenal d
Setelah puas mengamati bingkai foto itu, aku memilih untuk menjelajahi rak buku. Namun pikiranku tidak bisa untuk diajak berkompromi, sedari tadi aku memikirkan siapa perempuan di foto tersebut. Dari pose yang mereka lakukan itu terlalu intens, dimana perempuan itu duduk berpangku paha suamiku, sedangkan suamiku menyenderkan kepalanya di dada wanita itu. Apa itu mantan istrinya? tapi setauku Aiden tidak pernah menikah. Aku melamun sambil terbengong tanpa sadar aku sampai di depan lemari kaca yang berisikan mahar-mahar yang diberikan Aiden. Aku hanya mengambil seperangkat alat sholat.Aku kembali ke kamarku untuk naruh mukena dan mengambil ponselku di meja rias. Setelah itu aku keluar kamar, dan berkeliling melihat seluas apa rumah ini. Tiba-tiba ada segerombolan orang yang membawa alat bersih-bersih rumah.Dan mereka menyapaku.“Selamat siang Non,” sapa mereka kepadaku. Kulontarkan senyuman manisku agar aku tidak terkesan judes.“Iya selamat siang.”“Permisi Non mau bersih-bersih dulu
Pagi pun tiba. Setelah mandi dan makan, aku tiduran di sofa tengah. Orang pengangguran ya gini. Sambil sesekali melihat ponsel. Wallpaper ponselku adalah fotoku dangan kucingku. Arghhhh!!!.. dasar Aiden pelit. Mulai benci aku sama dia.Aku duduk dan liat kolam renang, kayaknya enak nih renang. Lagi gerah gini liat air jadi pengen nyemplung aja kan. Cocok banget cuacanya, tidak hujan tapi tidak terlalu puanas banget juga. Aku ke kamar dan mencari baju renang, ternyata adanya bikini.Hm.. mertuaku ini sedikit kurang pengertian. Masak adanya bikini. Kalo kayak gini gak bisa selfie. Ahh sudahlah.. pake aja.Aku memakai bikini itu dan tak lupa juga memakai handuk kimoni yang ada di kamar mandi biar nggak malu kalo tiba-tiba ada Bik Asih atau Pak Tono suami Bik Asih. Sebelum ke kolam, aku chat Bik Asih.Dea : Bik habis ini aku mau renang, tolong siapapun jangan boleh masuk ya. Tolong siapin snack sama jus jeruk ya Bik. Thanks.Bik Asih : siap non.Aku tersenyum dan aku memakai sunblok dan s
Aku bisa melihat aiden di dalam mobil sambil mengacak-acak rambutnya, dikira bakal keliatan menly sexy imut kayak Cha Uen Woo gitu? Yang ada kayak orang bego. Sekarang fiks aku benci banget sama dia.Aku memakai helm, dan bersiap menaiki sepedah motor. Tiba-tiba aiden pegang tangan ku.“Masuk ke mobil gak?”“Gak mau.”“Masuk!”“Lepasin tanganku!”“Masuk dulu baru aku lepasin.”“Gak mau!”“Kamu ini susah banget ya dibilangin!”“Pergi kamu! Sok-sok an merintah anak orang. Emang aku babu kamu!?”“Heh!? ”“Apa!? Kamu kira aku takut sama kamu?”“Dee.. please lah gak usah kayak gini, lu kayak anak kecil aja. Sadar diri dong udah gede gini.”“Yang ada tuh kamu, sadar diri dong.”“Ayo.. kita naik mobil aja ya...” dia ngomongnya berusaha dilembut-lembutin.“Kagak”“De..”“Kagak.”“Dea.”“Bacot, lepasin. Aku telpon Oma nih sambil nangis-nangis, trus bilang ‘oma aku habis dibentak aiden gak boleh kerumah oma’ biar warisan oma gak jatuh ketangan kamu! Biar mampus kamu!” ejek aku ke Aiden. Aiden ta
Aku cukup lama di rumah Oma. Ketika jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Aku dan Aiden berpamitan untuk pulang. Oma memberikan oseng-oseng pare dan kotak hitam. Aku tidak tau isi dari kotak hitam itu."Ini buat kamu ya Cantik. Dijaga baik-baik ya."Aku mengangukkan kepala. Setelah itu mencium tangan Oma, begitupun Aiden. Kamu pun pergi meninggalkan rumah oma.Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke dalam kamar.Lalu aku bermain game sampek isya, setelah sholat aku mandi dan turun ke bawah. Kulihat Aiden sedang telfonan. Aku langsung ke washtafel buat cuci tangan. Ternyata semua makanan sudah disiapkan. Aku duduk didepan aiden. Aiden mematikan telponnya.“Udah?” tanyaku.“Udah.”“Yaudah yuk makan.. jangan lupa berdoa,” kataku sambil mengambil nasi.“Ambilin aku juga dong,” kata Aiden.“Ogah,” jawabku ketus.“Kan kamu yang ajak aku makan. ”“Ya trus? Kalo males ambil sendiri yaudah sana pergi ngapain disini.”Aiden Cuma pasang muka masam. Lalu kita makan dengan diam, setelah selesai
"Aahhh.. sudah ada 50 yang liat. Assalamualaikum semuanya, selamat malam. Udah lama aku gak on i* ya. Kali ini aku mau make up, karena aku punya baju yang sedikit glamour seperti ini aku ingin make up nya juga sedikit glamour juga. Aku akan menunjukkan meja rias aku, karena aku sudah pindah rumah, jadi ini bakal berbeda.” Aku menunjukkan meja riasku. Dan aku sempat baca beberapa komentar. Rasa antusiasku eningkat dengan pesat ketika pengunjung room liveku semakin banyak.‘Ahh.. kangen kakak, udah lama banget gak liat kakak’ komentar baby_joo2‘Gimana kak udah sehat?’ komentar 2nu.mber‘Aduhhh kakak tambah cantik aja komentar koo.voice‘My princess..’ komentar loli.ant‘Wahh.. Dea udah lama gak ketemu, gimana kabarnya?’ini komentar dari temanku.‘Queen Deaaaa backkkkk,’ komentar m.rsyu56‘Lama gak muncul kemana aja kak.. sedih banget aku nungguin kakak,’ komentar ko.kmo‘Good night cantik,’ akunnya arion21. Apa ini Arion?Dan banyak lagi. Aku balikkan lagi kameranya ke arah wajahku.“
Kedatangan Mbok Kencana di tengah malam masih menyisakan getaran di hatiku. Hari ini aku akan pergi keluar dengan Aiden, tapi ga tau kenapa mata aku tidak bisa dibuka. Aku bermimpi, aku tau bahwa ini hanya mimpi atau biasanya disebut lucid dream. Kalau lucid dream kita bisa mengatur mimpi semau kita, tapi dibanding mengatur aku seakan berada di dalam permainan mimpi, aku memang sering seperti ini, tapi hal ini sangat tidak mengenakkan, dimana aku harus menyelamatkan diri aku dari berbagai kejahatan yang ada di permainan ini. Ketika aku tidak berhasil selamat atau aku harus mati di dalam mimpi ini, maka artinya aku harus mengulanginya dari awal. Sebenernya ada jalan pintasnya yaitu bangun tidur, aku sudah mencobanya berkali-kali tapi aku tidak bisa, meskipun aku sudah bangun sebentar aku akan tertidur lagi. Mau tidak mau aku harus menyelesaikan permainan ini atau aku harus bernego dengan pengatur mimpi ini, aku tidak tau siapa yang mengatur tapi aku bisa bernego, biasanya aku harus men
Aku terdiam mendengar permintaan Aiden, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Satu kesempatan?" gumamku, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan hati yang bergejolak. “Dea.” Suaranya semakin mendekat, dan aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya saat dia duduk lebih dekat. Tangannya menyentuh lembut jemariku yang masih menggenggam tongkat. Sentuhannya membawa campuran perasaan yang sulit dijelaskan. Entah kenapa ada kemarahan, kesedihan, dan kerinduan yang tak kuinginkan.“Maafkan aku, Dea,” lanjutnya, nadanya penuh penyesalan. Aku menggeleng pelan, meskipun aku tahu dia tak bisa melihat gerakanku. “Pergi dari sini. Aku tidak mau bertemu denganmu lagi.” Kata-kataku menghantam udara seperti bilah tajam. Aku merasakan genggamannya mengendur sejenak, seolah-olah kata-kataku telah memukulnya tepat di tempat yang paling lemah. Aku langsung berdiri, tangan mantan suamiku sempat menahanku. Namun, kukibaskan sek
Aku merenung sejenak menerka siapa yang berniat menemuiku. Terdengar Ayah membukakan pintu selebar mungkin. "Ayo, Nak."Kulontarkan tongkatku untuk menuntun langkah kakiku. Semenjak tidak bisa melihat, kupaksakan diriku untuk tetap mandiri. Setelah sekian bulan berlalu, akhirnya Mama dan Ayah membiarkan apapun yang kulakukan. Pada awalnya, mereka akan memaksa untuk menuntunku. Syukurnya lambat laun, Ayah dan Mama hanya membiarkanku berjalan sendiri, tetapi aku tau jika mereka mengawasiku dari kejauhan untuk memastikan tidak terjadi masalah serius.Suara ketukan sandal dan tongkat menggema ke penjuru ruangan. Aku masih menerka-nerka siapa yang datang ke rumah, tapi sampai sekarang aku tidak mendengar suara orang lain di ruangan ini. Bahkan ketika aku sudah duduk cukup lama. Hanya genggangaman Ayah yang semakin mengendur dan perlahan menjauh."Ayah," panggilku pelan karena ku dengar beliau berpindah tempat. Perlahan aku bisa merasakan seseorang bernapas di sampingku. Kutolehkan sedikit
"Dia sedang sibuk mengurus perusahaannya. Ternyata sahabat dia sendiri yang menggelapkan uang di cabang perusahaannya, penipuan investor dan banyak lagi. Banyak orang yang terlibat dalam kejahatan itu. Dan sekarang keluarga Gito sedang kalap menyelamatkan semua usaha mereka dan warisan," jelas Ayah yang membuatku sedikit lega. Kata-kata Ayah menggema dalam pikiranku, menyisakan kekosongan yang sulit dijelaskan. Namun, entah kenapa, ada sedikit kelegaan yang mengalir di dadaku. Setidaknya Aiden sedang sibuk dengan dunianya sendiri, mungkin itu alasan mengapa dia tak mencariku atau mencoba menghubungiku."Apa itu Elvaro?" tanyaku yang teringat dengan tingkah aneh pria itu. Nama itu muncul begitu saja di benakku, seperti serpihan teka-teki yang terlupakan. Ditambah Dalbo dan Titik sempat melaporkan beberapa kecurigaan mereka saat aku ada di kantor suamiku. Ah... salah, tapi mantan suami.Ayah mendengkus, seakan jengah dengan informasi yang ia simpan. "Iya. Dia juga bekerja sama dengan We
"Kita pulang sekarang, Nak. Ini demi kebaikanmu," ujar Ayah sembari mendorong kursi roda yang kududuki. Ibu mengikuti langkah ayah dengan tergesa-gesa. "Aku sudah memberitahu dokter. Dia mau berkerjasama dengan kita, Mas.""Syukurlah kalau begitu, Bu. Kita haru segera pulang. Cuma di rumah kita, tempat yang aman untuk keselamatan Dea."Suasana di rumah sakit terasa tegang, bahkan langkah kaki Ayah yang biasanya tenang kini terdengar berat dan terburu-buru. Aku duduk diam di kursi roda, membiarkan Ayah mendorongku tanpa perlawanan. “Ibu, kenapa kita harus buru-buru pulang?” tanyaku berusaha mencari penjelasan.“Nak, kita hanya ingin kamu istirahat di rumah. Rumah akan lebih nyaman untuk pemulihanmu.” Suara ibu terengah karena harus berpacu dengan langkah kaki ayah yang cepat.“Tapi, Bu,” aku mencoba membantah, tetapi Ayah memotong dengan nada tegas.“Dea, dengarkan Ayah. Sekarang yang penting adalah keselamatanmu. Kita tidak punya banyak waktu untuk penjelasan. Nanti, kalau sudah di r
Entah sudah berapa lama aku terkapar dalam kegelapan. Samar-samar aku mendengar isakan tangis perempuan meranyap di indera pendengaranku."Kenapa nasib putri kita seperti ini, Mas?" itu suara ibuku.Ayah menghela napasnya panjang. "Aku juga tidak tahu, Bu. Padahal kamu tahu sendiri bagaimana aku menjaga putri kita." "Kenapa putri kita digariskan takdir yang sangat tragis begini. Kenapa tidak aku saja, Ya Allah! Kenapa putriku harus semenderita ini! Apa salah dia!" Ibu terdengar meraung di sana."Bu, tenang. Kita sedang berada di rumah sakit.""Tenang bagaimana, Yah?! Dea sudah koma selama dua bulan! Kamu minta aku tenang! Putri kita sedang berada di antara hidup dan mati!" Hah? Dua bulan? Selama itukah aku terkapar di sini. Aku masih tidak bisa melihat apapun. Bahkan aku untuk menggerakkan tubuh saja sulit. Suaraku terasa hilang begitu saja. Akhirnya aku hanya bisa mengerang pelan untuk memberitahu orang tuaku kalau aku sudah siuman.Butuh banyak tenaga untukku memberikan sinyal pad
Setelah dibawa ke kamar pemulihan, aku berbaring di atas ranjang. Wajahku yang masih tertutup perban, tapi aku merasakan sedikit kehangatan dari jendela kamar yang diterangi sinar matahari. Rasanya aneh, aku tidak tahu apakah itu pagi atau siang. Bagiku dunia seperti tempat yang jauh dan tak terjangkau.Ayah duduk di kursi sebelah tempat tidur. Beliau menggenggam tanganku erat. "Kamu sangat kuat, Nak. Operasi ini adalah langkah besar. Dokter bilang kemungkinan kamu akan sembuh total." Suaranya penuh optimisme, tetapi ada hati-hati di balik kalimatnya.Aku tersenyum kecil, meskipun dalam hati ada rasa gelisah yang sulit dihilangkan. "Ayah," panggilku pelan, mencoba mencari celah untuk bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia."Ya, Sayang?"Aku terdiam sejenak, lalu menarik napas panjang. "Bagaimana kabar di sana? Tentang kasus itu." Rasanya sangat berat mengatakan keingintahuanku. Namun, aku harus mencobanya, "Sony, Hendro, dan semua kejahatan mereka. Apa semuanya suda
Ruangan operasi dipenuhi oleh suasana yang hening, hanya suara monitor detak jantung yang berdentang lembut. Lampu-lampu terang menyinari meja operasi, membuat setiap sudutnya terlihat steril dan berkilau. Aku berbaring dengan tubuh tertutup kain bedah, hanya menyisakan area wajahku yang terlihat. Meski tak bisa melihat apa-apa, aku merasakan udara dingin dari ventilasi ruangan menyentuh kulitku. “Baik, kita mulai sekarang,” suara dokter terdengar tegas tapi tenang. Beliau mencoba memberikan rasa aman di tengah kegelisahanku. “Mrs.Dea, Anda tidak akan merasakan sakit, tapi kami akan tetap memberikan anastesi lokal untuk kenyamanan.” Aku mengangguk pelan, meskipun jantungku berdegup kencang. Tubuhku terasa kaku di bawah tekanan emosional. Rasanya seperti berada di antara harapan besar dan ketakutan yang sulit diprediksi. “Tarik napas perlahan, Nona Dea,” seorang perawat berkata lembut di telingaku, membantu menenangkan. Aku mencoba mengikuti instruksinya, menarik napas dalam-dalam, l
Aku menatap Ayah dengan raut penuh pertanyaan, tapi aku tahu dia tak akan memberiku jawaban lebih dari itu. "Istirahatlah, Sayang. Kita akan bicara lagi besok pagi," katanya dengan nada yang lebih lembut, sebelum melangkah keluar dari kamar.Kata-katanya terasa menggantung, menyisakan banyak pertanyaan yang berputar di kepalaku. Perkembangan baru? Apa itu berarti ada harapan untuk penglihatanku? Tapi bagaimana dengan kasus ini? Apakah benar aku harus pergi sekarang, meninggalkan semua ini di tengah jalan?Aku menghela napas panjang, berusaha meyakinkan diri bahwa semua ini adalah keputusan terbaik. Namun, tidur tetap menjadi hal yang mustahil malam itu. Suara di ruang tamu hotel, samar-samar terdengar dari balik pintu, menunjukkan diskusi serius antara Ayah dan seseorang. Aku berusaha menutup telinga, tetapi rasa ingin tahu tetap mengalahkan.***Keesokan harinya, suasana sarapan terasa canggung. Ayah dan Ibu tampak saling membisu, sementara Nio, yang biasanya penuh semangat, memilih
Setiap orang di ruangan seperti menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Pengacara Sony berdiri dengan percaya diri, menyodorkan dokumen tambahan yang membuat hakim terlihat serius saat membacanya. Bisikan-bisikan kecil dari para penonton sidang mulai memenuhi ruangan.“Yang Mulia,” kata pengacara itu, suaranya tegas namun penuh intrik, “Dokumen ini menunjukkan bahwa Sony dan Hendro hanyalah pion dalam permainan ini. Ada individu yang lebih besar, lebih berkuasa, yang berada di balik kegiatan ini. Orang itu telah mengarahkan semua operasi ilegal yang melibatkan perdagangan hewan langka, hingga ancaman pada saksi utama, Saudari Dea.”Aku merasa tangan Ayah menggenggam erat bahuku, seolah ingin memastikan aku tetap tenang. Namun, pikiranku berputar, mencoba mencerna pernyataan itu. Individu yang lebih besar? Siapa lagi?Hakim mengetukkan palunya pelan, meminta ketenangan di ruang sidang. "Apakah Anda memiliki bukti kuat untuk mendukung klaim ini?" tanyanya dengan suara