Sepulang dari kantor, Denita membawa dirinya ke The Mammoth seperti instruksi Dominic sebelumnya. Jika tadinya dia merasa sedikit antusias, kini Denita mulai ragu. Dia bertanya-tanya kenapa Dominic tiba-tiba mengajaknya bertemu hari ini? Apakah ada yang ingin pria itu bicarakan dengannya? Apakah karena insiden waktu itu, Dominic memutuskan untuk menghentikan kontrak pernikahan di antara mereka? Denita seketika dilanda risau. Sebelum kakinya melangkah lebih jauh ke dalam restauran itu, Denita mempertimbangkan untuk berbalik pergi. Nanti akan dia pikirkan alasan yang tepat untuk ketidakhadirannya hari ini. Tapi sayang sekali, niatnya untuk kabur harus dihentikan tatkala seorang manager restauran yang mulai akrab dengannya menghentikan langkah Denita. "Permisi, Ibu Denita?" sapa sang manager ketika melihat gelagat Denita yang hendak mengundurkan diri. "Ya?""Pak Dominic sudah menunggu Anda di tempat biasa," tegur manager bernama Danis yang selalu tersenyum sopan pada setiap pelangga
Keesokan harinya, Denita masih menjalani hari seperti biasa. Dia tidak lagi mempedulikan apapun yang ingin dilakukan oleh Salsa. Dia terlalu percaya diri bahwa Salsa tidak lagi memiliki senjata berarti di tangannya. "Hahaha. Segini doang?" Denita terkekeh pelan ketika melihat seonggok kotak kado berisi tikus mati yang diletakkan di atas meja kerjanya. Tentu saja dengan surat ancaman yang juga menyertai. Sambil menggelengkan kepala acuh tak acuh, Denita meraih gagang telepon yang ada di atas mejanya. "Halo," sapa Denita menghubungi salah seorang office boy. "Tolong salah satu office boy dikirim ke lantai teratas. Ada yang harus dilakukan!" perintah Denita. Setelah mendengar persetujuan, Denita langsung saja memutus sambungan telepon. Dengan raut jijik di wajahnya, Denita kembali mengangkat sudut kotak berisi tikus mati itu. 'Jika tidak ingin sesuatu terjadi padamu, tinggalkan Dominic!'Denita mendecakkan lidah dengan ringan. "Cara-cara lama ini. Aku pikir akan ada yang spektakul
Ketika Denita dan Salsa sibuk dengan keegoisan masing-masing, Arkan sendiri terjebak dalam masalah keluarga Hadiwijaya. Ibunya ngotot bercerai dan kini sudah pindah ke kediaman keluarga Danastri. Sementara sang ayah tetap tinggal di rumah tempat mereka dibesarkan. Adapun Arkan, dia memilih jalan tengah dengan cara pindah sendiri ke apartemen yang tak jauh dari perusahaan. Dia tidak pernah menyangka bahwa kehidupan damai keluarga Hadiwijaya benar-benar dihancurkan oleh Denita. Tapi Arkan juga tidak bisa menyalahkan adik kandungnya itu. Berada dalam kondisi sekarang ini membuat Arkan melihat segala hal dari berbagai sudut secara objektif. Dia pun bertanya-tanya, jika dia yang berada di posisi Denita, jalan seperti apa yang akan dia pilih? Jika dia berada di posisi ibunya yang terkhianati, seperti apa rasa sakit yang harus dia tanggung? Sedangkan untuk Salsa, Arkan tidak tahu harus menempatkan wanita itu dalam posisi seperti apa saat ini. Arkan baru kali ini merasakan jiwanya begitu k
Kehidupan Denita tetap berjalan seperti biasa. Meski dia merasa aneh karena tidak mendapat gangguang dari Salsa. Akan tetapi, dia memilih untuk tidak mau ambil peduli. Baginya hanya membuang-buang waktu untuk terus menebak-nebak rencana lanjutan yang akan dilakukan oleh Salsa. "Kamu kenapa jalannya pincang?" tanya Denita ketika melihat Widia yang sedang berjalan ke arahnya. "Abis keserempet mobil semalem!" jawab Widia seraya mengambil tempat duduk di hadapan Denita. Kedua sahabat ini hendak menghabiskan waktu makan siang bersama seperti selayaknya hari-hari biasa. "Tapi kamu baik-baik saja 'kan?" tanya Denita menunjukkan kekhawatiran yang nyata. "Karena aku bisa duduk di depan kamu sekarang itu artinya aku baik-baik saja!" balas Widia setelah memutar matanya diam-diam atas pertanyaan ini. "Syukurlah!" ucap Denita tidak kalah basa-basi. "Kamu tahu nggak siapa yang nyerempet aku?" ujar Widia dengan cara yang misterius. Bahkan matanya menyipit membuat Denita curiga. "Kalau kamu n
Widia yang dilanda panik berjalan mondar-mandir di tempat parkir restauran. Beberapa orang yang mendengar teriakannya minta tolongnya sudah berkumpul dan mulai bertanya-tanya. "Siapa yang diculik, Mbak?" tanya salah seorang pria yang tampak seperti tukang parkir. "Teman saya, Pak!" jawab Widia seraya sibuk dengan ponselnya. Dengan tangan gemetar, dia menggulir layar ponselnya dengan cepat untuk mencari nama Dominic. "Halo, Pak Dominic!" panggil Widia tanpa menyembunyikan nada panik dan khawatir dalam suaranya. "Ada apa?" jawab Dominic dari seberang telepon. Alis Dominic saling terjalin erat ketika mengetahui orang yang menghubunginya adalah Widia. Dia merasa hubungannya dengan sahabat Denita ini tidak terlalu dekat untuk wanita itu bisa menghubunginya tiba-tiba seperti ini. Namun, dia juga tidak cukup acuh tak acuh untuk mengabaikannya. "Pak, Denita diculik!" beritahu Widia dengan nada keras yang semakin terdengar panik. Belum lagi suaranya bergetar yang menandakan bahwa dia se
"Arggghh!"Denita mengerang pelan disebabkan oleh rasa pusing yang mendera kepalanya. Dengan sedikit pemaksaan, dia perlahan membuka kelopak matanya yang tertutup rapat. Dan hal pertama yang ditangkap oleh sepasang netranya adalah sebuah tembok dengan berbagai macam tulisan grafiti yang tak elok dibaca. Kondisi asing yang ada di sekitarnya ini membuat kening Denita berkerut samar. "Aku dimana?" gumamnya pelan. Denita lantas berusaha mengedarkan pandangannya ke segala penjuru arah. Namun, pergerakannya terbatas dikarenakan pergelangan tangannya yang terikat di belakang kursi. "Apa-apaan ini? Jangan bilang aku sedang diculik?" Denita bertanya-tanya sendiri. Ingatan akan dua orang pria yang tiba-tiba menghampirinya kemudian membuat Denita mendesah pelan. Tidak sulit baginya untuk menebak bahwa hal-hal seperti ini akan terjadi padanya pasti karena ulah Salsa yang penuh kebencian. Denita menggigit bibir bawahnya dengan keras sembari berusaha untuk membebaskan diri dari bebatan erat d
"Salsa!"Denita menggeram ketika melihat kemunculan Salsa di dalam ruangan itu. Seperti yang sudah dia duga sebelumnya, bahwa wanita ini pasti memiliki andil untuk segala hal buruk yang menimpanya. "Senang melihatku?" tanya Salsa seraya melangkah menghampiri Denita. "Aku sudah tahu kalau ini pasti ulahmu!" Denita mendengus sengit. Perasaan takut ketika diawasi oleh dua pria sebelumnya kini berubah menjadi rasa marah karena kehadiran Salsa. "Senang kamu mengetahuinya," timpal Salsa kemudian. Dengan gaya congkak khasnya, Salsa menjepit dagu Denita dengan kelima jari lentiknya. Setelah itu, dimiringkannya wajah Denita ke kiri dan ke kanan dengan kasar. "Hm, aku tidak menyukai wajah ini," gumam Salsa. "Lepaskan!" seru Denita memberontak agar tangan Salsa terlepas dari dagunya. Akan tetapi, Salsa justru semakin mengencangkan cengkeraman tangannya pada rahang Denita. "Apakah wajah seperti ini yang disukai oleh Dominic?" Salsa bertanya-tanya entah pada siapa. "Lepaskan!" seru Denita
Peristiwa penculikan yang menimpa Denita langsung tersebar hingga ke telinga ibu Herlina. Wanita paruh baya yang masih belum sepenuhnya bisa berdamai dengan masalah yang sedang menimpanya, dibuat syok karena kabar ini. Dirinya yang kini tampak 10 tahun lebih tua dari usia yang seharusnya bergegas menemui Dominic yang telah kembali ke kantornya. Bersama Arkan, wanita paruh baya itu langsung merangsek masuk ke dalam ruangan Dominic. "Katany Denita diculik? Siapa yang melakukannya? Kenapa ini bisa terjadi?" Ibu Herlina memberondong Dominic dengan banyak pertanyaan sekaligus. "Ibu tenang. Ayo duduk dulu," ujar Dominic seraya merangkul ibu Herlina menuju sofa yang ada di tengah ruangan. Tanpa berniat menyembunyikan apapun, Dominic menceritakan apa yang terjadi pada Denita. "Jangan khawatir, aku sudah menyelidiki masalah ini. Aku pasti akan menyelamatkan Denita!" pungkas Dominic berjanji. Tentu saja, ucapan Dominic ini tidak bisa membuat ibu Herlina tenang sekaligus. Dia justru menunj