"Dominic, perkataan kamu sudah keterlaluan. Jika kamu bersikap seperti ini, saya tidak akan merestui hubungan kalian!" perkataan tegas itu datang dari satu-satunya pria paruh baya di ruangan ini. "Yah~" panggilan centil Salsa otomatis keluar ketika mendengar pembelaan ayahnya. Hal ini membuat Dominic, dan Denita spontan memutar mata. Begitu banyak orang-orang tak masuk akal di dunia ini, pikir mereka. "Sebenarnya kami gak peduli sih, Om. Aku datang ke sini untuk memperkenalkan diri hanya agar kalian tahu aja. Masalah restu sih, kami gak butuh sama sekali!" tegas Dominic yang membuat jantung Denita bertalu kian kencang. Ditatapnya dagu Dominic yang tepat berada di atas kepalanya dengan sorot mata yang tak bisa dijelaskan. Pria seperti inilah yang Denita inginkan dalam hidup. Seseorang yang bisa mempertahakan dirinya dengan tegas. "Heh! Jangan berharap rencana kalian akan berjalan dengan mulus!" geram Arkan setelah lama terdiam. Dominic mendengus. "Itu sih bukan kamu yang menentuk
Denita menyangga tangan kirinya pada kaca jendela mobil Rolls-royce milik Dominic yang sedang melaju dengan kecepatan sedang di jalanan ibu kota yang tidak bisa dikatakan ramai, tapi juga tidak cukup lengang itu. "Aku sudah memesan tempat di The Mammoth. Gimana kalau kita candle light dinner di sana?" tanya Dominic menyebut salah satu nama restauran mewah yang sering dia kunjungi. "Aku lapar!" lanjutnya. Denita memutar matanya tanpa sepengetahuan Dominic. "Udah booking tempat tapi ngomongnya baru sekarang. But, oke!" jawab Denita tanpa menoleh ke arah Dominic yang sedang sibuk menyetir. Sudut bibir Dominic bergetar saat mendengar kalimat pertama. Namun, dia tetap mengatupkan rahangnya rapat-rapat. Perangai sekertarisnya ini semakin menjadi-jadi. Dominic kemudian mempercepat laju kendaraannya. Tidak sampai lima belas menit, mereka akhirnya tiba di restauran yang dimaksud. Layaknya gantleman, Dominic kembali bergegas membukakan pintu penumpang yang ada di samping pengemudi untuk De
"Sayang, sudah malam, ayo tidur. Kasihan bayinya!" ajak Angga pada Salsa yang hingga jam satu dini hari ini, menolak untuk tidur. "Aku mau nunggu Denita pulang!" jawab Salsa. Dia terus mencoba menghubungi Denita sambil berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Hatinya tidak tenang, pikiran bahwa Denita menghabiskan malam dengan Dominic tidak bisa dia terima. Sementara itu, Angga memperhatikan gerak-gerik sang istri dengan perasaan yang tak menentu. Obrolan Denita dengan ayah mertua yang tidak sengaja dia dengar, seakan tidak cukup menghantui ketenangan Angga. Sekarang, pria yang tampak menjadi obsesi istrinya itu juga kembali. "Mungkin Denita lagi sibuk. Besok dicoba lagi, ya!" hibur Angga sambil mengelus bahu istrinya. Berharap dengan begitu, mampu membuat sang istri menjadi lebih tenang. "Sibuk dengan Dominic? Justru itu yang tidak aku inginkan!" sentak Salsa dengan mata memerah karena marah. Dia lalu menepis tangan Angga dengan kasar dari bahunya, kemudian berjalan meninggalkan r
Di sebuah Penthouse mewah di tengah kota, Denita menatap layar ponselnya yang terus berdering tanpa ada keinginan untuk menjawab. Dia hanya menonton teleponnya terus berbunyi, lalu mati, dan berbunyi lagi. Begitu seterusnya hingga akhirnya telepon itu menjadi benar-benar hening. "Kenapa tidak kamu angkat?" tanya Dominic sambil sesekali menyesap anggur merahnya. "Dari Salsa!" jawab Denita dengan acuh tak acuh. "Ah~" Dominic berdengung panjang sambil mengangguk pelan sebagai tanda mengerti. Tetapi, dia sama sekali tidak tertarik dengan alasan kenapa Salsa terus menghubungi Denita seperti itu. Adapun Denita yang saat ini sedang berada di kediaman mewah bosnya, sibuk mengedarkan pandangan ke segala arah. Ini memang bukan pertama kalinya Denita menjejakkan kaki di tempat ini. Namun, ini pertama kalinya dia memperhatikan setiap detail yang ada di Penthouse ini. Ruang keluarga tempatnya sekarang berada dirancang dengan desain interior bergaya klasik kontemporer. Gradasi warna yang ada
Keesokan harinya, "Wow! Aku tidak tahu kamu bisa memasak!" sapa Denita sambil berjalan mendekat ke arah meja makan. Dia baru saja kembali dari tempat parkir apartemen setelah mengambil pakaiannya di dalam mobil yang selalu dia bawa. "Hanya makanan sederhana!" jawab Dominic seraya meletakkan piring berisi roti panggang, telur orak-orak, sosis, serta salad di atas meja makan. "Begini saja tampaknya sudah hebat. Aku pikir orang dengan sendok emas seperti kamu tidak akan melakukan pekerjaan kasar ini," tukas Denita dengan jujur. "Hahaha. Begitukah?" "Hm," gumam Denita sambil mengangguk cepat. Matanya berkilat dengan cemerlang. "Nilai tambah seorang Dominic Agustian Sagara semakin meningkat di mataku!" lanjut Denita dengan kekagumam yang tidak bisa dia sembunyikan. "Benarkah. Memang awalnya di mata kamu, nilaiku berapa?" tanya Dominic dengan penasaran. "Satu dari seratus!" jawab Denita polos, tanpa menutup-nutupi. "Cih. Lalu sekarang?" tanya Dominic dengan alis terangkat tinggi.
"Si brengsek teratai putih lembut yang dibesarkan di rumah kaca itu!" raung Denita meluapkan segala amarahnya. Nafasnya menderu dengan cepat. Hidungnya kembang kempis karena gejolak emosi yang lepas begitu saja. "Pffttt!" semburan tawa tertahan dari Widia yang masih berdiri di depan mejanya membuat Denita mendelik. "Kamu kenapa ketawa?""Harusnya kamu emang marah-marah aja dari tadi. Gak usah pura-pura sok tegar!" pungkas Widia. "Udah, bye. Aku mau kembali kerja!" Sambungnya sembari berlalu pergi begitu saja. Bahkan tanpa menunggu respon dari Denita. Sudut bibir Denita berkedut samar mendengar ucapan Widia. Namun, Kata-kata itu sedikit meredakan hatinya dari amarah yang memuncak. Denita lantas menepuk kedua pipinya dengan keras untuk mengembalikan konsentrasinya pada masalah pekerjaan yang baru saja muncul secara tiba-tiba. Untuk itu, dia menarik nafas panjang, menahannya sebentar, kemudian menghembuskannya dengan pelan. "Denita, fokus!" gumam Denita pada dirinya sendiri. Semen
Menahan diri adalah kata yang menggambarkan pribadi seorang Denita Widiatami dengan sangat baik. Tidak peduli bagaimana marahnya dia, Denita memutuskan untuk menahan diri. Dia harus membuat dirinya jelas berbeda dengan Salsa, si teratai putih yang suka meledak-ledak. Sesuai dengan ambisi barunya, Denita berencana menjadikan dirinya sendiri sosok Denita baru yang elegan, dan mendominasi. Tentu saja dia tidak akan menggunakan cara kacangan seperti Salsa. Dia bukan aktris penuh sensasi yang haus akan atensi. Dia lebih memilih kesabaran selangkah demi selangkah. Karena baginya, balas dendam tidak bisa dilakukan dengan tergesa-gesa."Ayo pulang!" ajak Dominic menyadarkan Denita dari berbagai macam pikiran di kepalanya. Denita tidak menjawab pertanyaan Dominic, tapi dia segera beranjak dari kursinya dan mengikuti sang bos menuju lift yang tak jauh."Mau pulang kemana malam ini?" tanya Dominic seraya menekan tombol lift. "Tempatmu!" jawab Denita singkat.Akibat dari luapan hati Salsa har
Denita dibanjiri keringat begitu bakso kuah sambalnya tandas. Wajahnya pun tak ayal memerah seperti kepiting rebus. Bibir penuhnya juga bahkan terlihat semakin tebal karenanya. "Jangan terlalu sering memakan makanan ini. Tidak baik untuk kesehatan!" pesan Dominic meski dia sendiri cukup menikmati makanan penuh micin ini. "Huuu! Haahh!" Denita menghembuskan nafas keras berusaha mengusir rasa pedas yang menggigit lidahnya. Bergelas-gelas air telah dia tandaskan, tapi rasa pedas itu masih bertahan di lidahnya. Pelipisnya bahkan sudah berkedut pusing. Tapi inilah kepuasan yang dia dapatkan. "Kita 'kan rencananya mau nikah nih. Apa yang disukai Ibumu? Bagaimana tipe menantu idamannya?" tanya Denita di sela-sela serutan hidungnya yang meler. "Selama aku membawa wanita sebagai istri ke hadapan beliau, Ibu pasti suka!" jawab Dominic. Alis Denita terangkat tinggi, tapi kemudian segera menyipit dengan kening berkerut banyak. Dia sama sekali tidak percaya! "Asalkan berasal dari latar bela