"Maulah Cama, ya udah yuk!" ajak Fariz langsung menggendong Salma.
"Capa duluan aja ke pantinya, entar Cama menyusul bawain kopi," ucap Salma setelah sampai dapur.
"Aku tunggu saja," ucap Fariz.
"Baiklah." Salma beranjak membuat kopi.
Sejak dulu ia iseng menaruh garam di kopinya pada saat Fariz mengawasi ujian, kini hal tersebut belum terjadi lagi. Dulu, Fariz bilangnya suka kopi asin, entahlah kalau sekarang apa yang akan Fariz katakan.
Mereka masih duduk di taman samping kopi. Salma ingin menunggu suaminya menghabiskan kopi dulu. Satu tegukan Fariz membuat menatap nanar ke istrinya.
"Boleh, tapi kan gak ada boxnya, kasihan kalau kena tendangan kita, gimana?" ucap Salma. "Siapa bilang tidak ada? Capa udah nyiapin kok, sudah ada di kamar sebelah," jawab Fariz. "Waaw, ya udah karena anak-anak juga sudah tidur, kita kembali ke rumah. Capa bisa gak gending bayi?" tanya Salma. "Eh, kalau sambil berjalan Capa belum lancar, hehe …" "Hahaha … ya udah sini Cama gendong." Serasa itu benar-benar anak kandung mereka. Ternyata, dengan bayi pun Fariz begitu peduli. Ia tidak jijik membersihkan kotoran Hunaisa. Ia tahu kalau ia tidak membersihkan, akan membuat Hunaisa tidak nyaman. Salma kagum dengan sikap suaminya. Dia terlihat semakin membuat Salma ingin mencubit gemas suaminya saat mengobrol dengan Hunaisa. Mereka menaruh box itu tetap satu kamar dengan mereka. Hunaisa berwajah cantik, imut dengan kulit putih kemerah-merahan dan mata khas bayi bule. Dan ternyata mengurus bayi juga perlu kesabaran super. Mereka berdua sering terbangun sesaat dari memjamkan mata. Melihat
"Kalau kamu nyaman, Capa ngikut saja, kamu siap?" tanya Fariz. "Insyaallah, lagian Cama kan masih lama masuk kuliah lagi. Jadi banyak waktu untuk bersama Naisa. Namun, seenaknya Hunaisa saja, b8sa di panti bisa di sini juga," jawab Salma. "Oh iya, waktu Capa dapat Naisa dari rumah sakit, identitas ayahnya bagaimana?" tanya Salma. "Itu dia, pihak rumah sakit juga tidak tahu. Karena ibunya Naisa pergi sendirian ke rumah sakit dan tidak memberi alamat apapun tentang keluarganya," jawab Fariz. "Tapi, Naisa punya tanda lahir di betisnya, siapa tahu itu bisa menjadi petunjuk," ucap Salma. "Udah-udah gak usah bahas itu dulu, tuh Naisa jadi sedih," Fariz mengelus pipi merahnya Naisa. *** Senangnya Fariz dan Salma bisa honeymoon ke Turki. Tepatnya mereka mengunjungi Pamukkale. Mereka mengunjungi Pamukkale di hari kedua. Hari pertama masih istirahat dan menghabiskan waktu di hotel. Fariz sudah beberapa kali ke Turki, tapi dengan otak yang berpikir mengurus pekerjaan. Bukan honeymoon sepe
"Mau baju tiga dan warnanya pink, Onty," jawab Asma. "Oke Asma, Onty pasti beliin kok. Tapi sekarang harus," "Tidur, yeee baju pink. Baiklah Onty, Asma mau tidur," jawabnya penuh semangat. "Naisa kenapa? Rindu ya? Sabar Sayang, di rumah sama Oma dulu." "Iya Nais, Daddy senengin Ummah dulu di sini. Biar lebih semangat lagi entar kalau udah pulang," ucap Fariz. Naisa tersenyum dan berceloteh. Membuat mereka juga semakin rindu dengan Naisa juga yang lain. Namun, perlahan Naisa menangis dan seperti ingin bilang kalau dia ingin ikut. Salma mulai menerka-nerka keadaan tersebut. Wajah Naisa khas sekali seperti bayi bule Turki. Salma jadi berpikir apa ia ada kontak batin dengan ayahnya yang siapa tahu orang Turki. "Capa, apa Naisa kontak batin ya ingin ikut kita karena ayahnya di sini?" tanya Salma. "Hahaha …" tawa Fariz. "Kok malah ketawa sih." Salma heran. "Ngawur kamu Sayang, ya Naisa menangis tuh karena ingin bersama kita, kamu kejauhan deh mikirnya," "Eh, ini gak ngawur. Asli,
"Salma gak bisa dong, wkwkwk … gampang Capa!Tinggal direkam dan translate," ucap Salma. "Bener ya, translate google, awas tanya Capa!" "Oh iya, sorry Capa! Cama lupa kalau Capa bisa, ayo dong kita mendekat!" ajak Salma. Fariz pun mengikuti ajakan istrinya. Ia tidak mau istrinya merajuk di tempat ia berlibur manis itu. Mereka segera mendekati laki-laki tersebut. Ternyata mereka tidak pakai bahasa Turki maupun Inggris. Tapi, pakai bahasa Indonesia. Memang sih, perempuan hamil yang bersama laki-laki itu berwajah Indonesia. "Sayang, kamu adalah istri pertama dan terakhirku, kamu memang sangat membuatku bahagia. Aku hanya Ayah dari anak yang berada dalam rahim kamu, semoga kita terus diberi kebersamaan yang indah." Mereka malah mendengar pernyataan seperti itu. Fariz tersenyum mengejek kepada istrinya karena dugaan istrinya salah. Mereka segera melanjutkan berenda
"Cama jadi rindu sekali dengan Hunaisa," ucap Salma. "Ehmm, rupanya Hunaisa sudah memikat kamu sekali ya, hahaha …" tawa Fariz. "Iya Capa, Cama mimpiin dia, huaaa, jadi kerasa banget kan," rengek Salma. "Capa juga rindu, Sayang. Toh, sebentar lagi kita akan pulang. Sabarlah ya, kita video call dulu, biasanya jam segini dia suka bangun mendengar orang-orang pada sholat malam," ucap Fariz. Salma mengangguk bahagia. Ternyata benar, ia sedang bangun dan dijaga oleh teman Salma yang mengurus panti yang sedang berhalangan, karena yang lain masih sholat malam. Wajah Hunaisa dengan banyak sekali ulasan senyum membuat Fariz dan Salma ingin segera menyentuh pipi gembulnya. Mereka ngobrol sekitar sepuluh menitan. "Eh, harusnya kita sholat malam dulu, Capa! Hunaisa, nanti disambung lagi ya Nak, kalau Hunaisa belum tidur. Ummah sama Daddy mau sholat malam dulu, daaaa Sayang," ucap Salma dari telepon. Mereka meskipun sedang tidak di rumahnya sendiri juga tetap menjalankan ibadah-ibadah yang b
"Ouw itu, itu tuh masuk pelajaran nahwu kalau di pesantren." "Yah, Cama kalau menjelaskan jangan pucuknya doang. Mana Capa bisa paham? Capa belum belajar seperti itu, Cama," gemas Fariz. "Hehe … iya. Mudhof itu yang bersandar, kalau mudhof ilaih yang disandari. Kebetulan, hal tersebut mirip dengan kita yang bicarain sandar menyandar tadi. Mudhof itu pula ada ketentuan supaya bisa menyandar ke mudhof ilaih. Sama dengan kita, Cama itu kalau menyandar ke Capa juga punya ketentuan," jelas Salma. "Emang apa ketentuannya untuk kamu?" "Cama sudah sah menjadi istri Capa, itulah ketentuannya. Kalau belum nikah, gak bisa asal menyandar aja. Sama dengan mudhof, kalau belum memenuhi ketentuan, juga tidak bisa menyandar ke mudhof ilaih. Jikalau ketentuan gak dipenuhi dan tetap saja menyandar, ya salah kaprah jadinya," "Ooo begitu, Capa lumayan menyesal dulu di pesantren cuma lima hari doang. Eh, tapi kan kamu sudah sah, berarti benar kan apa yang Capa bilang? Cama bebas kapan pun bersandar ke
"Mmm, mending makan dulu aja ya Kak. Reca lupa itu tadi," ucap Reca. Salma pun mengangguk, meski sebenarnya ia curiga karena sikap Reca seperti menyembunyikan. Dan ternyata itu benar. Reca sudah keceplosan bilang tentang undangan itu, dan ia tidak ingin melanjutkan. Fariz pun merasakan apa yang dirasakan Salma. Fariz mengingat-ingat tanggal hari itu. Akhirnya dia ingat, undangan siapa yang diberikan tersebut. "Huk … uhuk …" Fariz keselek saat teringat tanggal itu. "Capa, pelan-pelan dong." Salma menuangkan air minum untuk Fariz. *** Usai makan, Fariz ikut ke kamar Reca untuk melihat undangan. Salma juga tahu trik mereka. Ia pun menaruh ponselnya di depan kamar Reca. Suara mereka lumayan terdengar, karena hanya di depan pintu Reca menaruh undangannya. Tapi sayangnya, mami Reva malah lewat depan kamar dan mengira ponsel Salma ketinggalan. Ia membawa ponsel tersebut ke Salma. 'Yah, rekamannya cuma sampai kata cewek, berarti itu undangan dari cewek. Ini kelanjutannya apa, y
Salma mengabaikan apa yang ditanyakan suaminya. Tapi, saat ia hampir sampai kemarnya Reca, sebuah kata nada yang Sakla tidak harapkan kini meluncur membuat langkahnya terhenti."Berhenti! Stop mengurus urusan orang lain!" bentak Fariz tak bisa mengendalikan emosinya.Bentakan Fariz terdengar oleh papi dan maminya. Salma segera berbalik arah, dan bersiap untuk ke rumah orang tuanya. Bukan karena ia purik, tapi itu sudah kesepakatan dalam pernikahan mereka.Jika sebuah bentakan Fariz ucapkan, mereka mendapat konsekuensi untuk tidak bertemu selama satu minggu. Reca yang mendengar kejadian itu pun keluar dari kamar."Pernyataanmu sungguh mengecewakan. Konsekuensi berlaku." Salma menangis lebih dari tadi sambil memasukkan beberapa lembar neju ke dalam tasnya dan pergi ke rumah orang tuanya."Cama, tunggu Cama, maafkan Capa. Capa tidak sengaja, jangan perg
"Mmm … terima kasih banyak, Mi. Ada kok, kalau Cioy udah beberapa hari, kita akan ngonten bareng. Dibuat jadwal khusus podcast wanita tangguh bareng Nuura," jawab Salma. "Masyaallah, bagus. Mami ke belakang dulu," ujar Reva. Tidak ada yang harus minder karena pernah berbuat salah. Orang yang pernah khilaf, tetap memiliki hak untuk menjadi orang baik. Berhenti men-judge orang karena kekhilafan di masa lalu adalah hal yang Salma kokohkan untuk menguatkan Nuura. *** "Apa yang kamu tahu tentang cinta?" tanya Salma. Fariz menatap lekat kedua mata istrinya. "Cinta itu luas. Sebuah rasa yang bertahta tanpa aba-aba, mendaki dan menggali untuk terus mencari arti meskipun bercak dan pikulan luka menghampiri." "Apa yang kamu tahu tentang mencintai?" tanya Salma. Tidak ada keraguan untuk Fariz memberi jawaban. Cinta memang luas dan yang ditanyakan Salma itu masih umum, bukan hanya khusus cinta Fariz kepada Salma. Mereka bercerita di tengah Cimes Mika yang sibuk mengajak bermain dan bercanda
"Daddy ingin dipeluk Kakak Cimes," ucap Fariz. "Gak mau! Cimes mau minum kembar juga gak diberi," sahut Cimes Mika. "Kakak kok dendam?" Salma membelai rambut putrinya. "Maaf, tapi Kak Cim nggak suka dilarang terus, pertanyaan Cimes gak dijawab sama Ummah," keluh Cimes Mika. "Masyaallah, anak pinter! Eaaa … kena deh ke pelukan Daddy!" Fariz mengangkat Mika begitu saja mumpung tangannya tidak berpegangan tangan dengan baju ummah-nya. Dari tadi Fariz ingin menggendong putrinya secara tiba-tiba dan langsung dibawa keluar. Namun, tangannya masih mencengkram baju Salma. Fariz sudah wanti-wanti dengan teriakan juga sebenarnya, tapi sekarang akan nekat ia lakukan dengan langsung membawanya keluar dari kamar. "Daddy, huaaa!" teriak Cimes Mika yang sudah di pintu karena Fariz cepat untuk lari keluar. "Hehe, sudah di pelukan Daddy sekarang. Kamu nggak rindu apa, Nak? Dari semalem nggak mau dipeluk Daddy, maunya sama oma dan eyang terus!" Fariz terus mendekap dan membelai putrinya. Cimes M
"Besok aja, hahaha," ucap Salma. "Adik sebentar lagi lahir, nggak sampai besok, Nak. Udahan dulu ya sama Ummah-nya!" Fariz melihat istrinya menahan sakit sedari tadi, tapi berusaha membuat Mika bahagia. "Nggak mau! Cimes kangen minuman kembar ini!" seru Cimes Mika. "Nak … Ummah lagi sakit. Mau nggak doain Ummah di masjid, beli minumnya es krim dua aja biar jadi kembar," ungkap Salma yang merasakan perutnya semakin sakit. "Ummah sakit? Cimes kangen ini dari kemarin nggak dikasih, tapi Cimes mau do'ain Ummah, Ummah sembuh! Huaaaaaaaa!" Cimes Mika memeluk Salma lalu menangis sambil berjalan turun dari brankar Salma. "Hahaha … biarin dulu coba, Ma! Cimes kok lucu ya kesannya. Nangis aja tetep imut banget," ucap Fariz dengan tawa kecilnya. Sedih, disuruh pergi saat waktu rindu-rindunya, tapi lebih sedih kalau melihat perempuan hebatnya merasakan kesakitan. Cara jalannya Cimes Mika juga membuat mereka tetap gemas. Apalagi kalau melihat raut wajahnya, Salma yang sedang kesakitan pun iku
"Hehe, belum nih. Abinya belum setuju," jawab Freya. "Sama aja, Aa Wildan belum tega katanya," sahut Clarissa. "Kalau kata Mas Rifki mah, udah. Dua anak cukup," jawab Royya. "Tau ah, Mas William juga gitu!" rajuk Reca. "Cama! Kamu buat mereka resah, deh!' Fariz merangkul istrinya. Mereka terus bercanda dan juga berencana juga. Sangat hangat, bisa berkumpul gabungan seperti itu. Ada dari pihak keluarga, saudara, dan juga para santri. *** "Cap, Cimes nggak ikut?" tanya Salma. Rasa sakit saat kontraksi, kini Salma rasakan. Beruntungnya, saat itu ia hanya mimpi. Kalau tidak, entahlah bagaimana dia bisa kuat melawan rasa sakit tanpa usapan langsung dari suaminya. Di mana biasanya selalu siap memberi ketenangan dan kekuatan atas lara yang sedang menimpanya. Namun, di saat suasana menahan rasa sakit untuk kelahiran putri keduanya, perhatian untuk putri pertama tidak lupa ia berikan. "Masih nangis," jawab Fariz. "Kok nggak Capa ajak?" Salma menarik tangan suaminya. "Entar aja kalau
"Capa, Capa gak pergi, kan? Nuura, baik-baik saja?" Salma terlihat sangat resah saat bangun tidur. "Sayang, kamu kenapa, sih? Semalem Capa di sini terus peluk kamu sama Cioy. Kok jadi aneh?" tanya Fariz. "Ehmm, Alhamdulillah, hanya mimpi berarti." Salma menghembuskan napas panjangnya. "Hahaha …" Fariz tertawa sembari mencubit hidung istrinya. Pagi itu mereka pergi belanja ke toko mainan. sudah banyak request dari anak panti sangat juga putrinya sendiri. Cimes Mika tidak lupa untuk minta dikepang rambutnya, dia ingin seperti Hunaisa meskipun rambutnya masih belum sebanyak rambut Hunaisa. "Mau dikepang," ucapnya. "Nggak mau diikat dua aja, Nak?" Salma memberi penawaran. "Maunya kayak Kak Nais," jawab Cimes Mika. "Iya, dikepang ya dikepang. Boleh cium dulu, nggak?" Salma mendekatkan pipinya. "Ummah bau, gak mau!" Cimes Mika malah menjauh. "Bau apa? Ummah udah mandi, udah pakai bedak, wangi ...." ujar Salma. "Mmmm, bauuuu .... tapi boong, hihihi," ucap Cimes Mika dengan tawa. F
"Ehmmm, terserah Cama aja," jawab Fariz. "Mami ingin sama papi apa sama Cimes?" tanya Salma membuat mereka terkekeh. "Hahaha, Mami ngikut pilihan kamu aja, Sal! Kalau kalian mau salah Cimes, ya Mami sama Papi," jelas Reva. "Ya udah, Mi. Mami sama Papi aja, bikin adiknya Fariz!" goda Fariz. "Iiih! Dasar ya kamu, Riz!" Reva keluar kamar dengan lumayan salah tingkah. Fariz dan Salma masih ngobrol pelan di kamar putrinya. Anak kecil yang masih linguistik seperti itu, serasa ingin selalu di dekapan mereka berdua setiap saat. Seperti Salma tadi, ditiduri begitu putrinya merupakan sentuhan luar biasa yang sangat memberinya kebahagiaan. Fariz itu kalau melihat putrinya, sudah pasti ingat Salma, begitu pula sebaliknya. "Capa pengen cubit, Cam!" Fariz menahan jarinya di pipi mulus putrinya. "Ihh, jangan! Capa tuh kalau lihat putri cantik ini, selalu saha keinget dengan Capa," ungkap Salma. "Nggak cuma Cama. Capa pun begitu, Sayang!" Fariz menatap istrinya dengan tersenyum. Salma mengus
Fariz segera mengambil album di dalam lacinya. Waktu memang sudah malam, tapi dia tidak mau membuat anaknya kecewa. Baim minta album foto dia dan juga kebersamaan di panti untuk dibawa ke pesantrennya besok pagi. Mintanya sudah dari kemarin, tapi Fariz memang benar-benar lupa. "Capa mau ke rumah Nuura dulu," ucap Fariz. "Kenapa? Kan belum dijawab, udah ke sana aja!" kesal Salma. "Hehe, iya-iya. Ini, Baim minta foto albumnya waktu di panti. Besok udah berangkat, mintanya tuh udah dari kemarin, cuma … Capa aja yang pelupa." Fariz melemparkan senyum untuk istrinya. "Ya udah, hati-hati!" Salma mencium punggung tangan suaminya. "Siap," jawab Fariz. "Jangan bikin gara-gara lagi, ya. Pusing! Jangan sok kenal dengan Nuura!" Salma masih memegang tangan suaminya. Peringatan, Salma tidak ingin kejadian-kejadian yang menurutnya sangat mengerikan itu terulang kembali. Sudah cukup dengan rasa-rasanya di waktu kemarin itu, sekarang ia ingin momen kehamilannya benar-benar terjaga dengan baik du
"Cama mual lagi!" rintih Salma. "Kamu pucat sekali, Sayang! Kita pulang, yuk!" ajak Fariz. "Jangan!" Salma menangkis uluran tangan suaminya. "Bandel kamu nggak tahu tempat banget, sih!" Fariz kembali meraih tangan istrinya. "Loh, Salma kenapa?" Reva datang dan langsung menyentuh menantunya. Reva melihat putranya menahan emosi. Melihat pula menantunya kesakitan. Namun, ia yakin itu bukan perkara Fariz menyakiti Salma. Raut wajah putranya terlihat kalau ia sedang khawatir. "Cama mual lagi, perutnya sakit, tapi gak mau pulang, kesal Fariz, Mi!" Fariz melepaskan sentuhan ke tangan Salma. "Riz, Salma itu tidak mau karena nggak tega sama krucil-krucil. Kamu yang peka dong dengan istrimu! Istrimu hamil karena ulah kamu, loh. Ya yang sabar ngadepinnya!" Reva mengusap perut menantunya. Bukan perkara sakitnya yang membuat Salma meneteskan air mata. Seorang ibu yang hadir dan tulus merawat ia yang bukan dari darah daging sendiri itulah yang membuat Salma semakin berderai air mata. Memilik
Miss Na: 'Iya, sampai sekarang belum ada yang menjemput. Ponsel keluarganya tidak bisa dihubungi. Bisakah Ibu Salma yang ke sini?' Salma: "Iya-iya, bisa kok." Sekolahnya Hunaisa memang sedang pulang pagi. Namun, Hunaisa belum juga dijemput. Orang tuanya tidak bisa dihubungi. Gurunya mencoba menghubungi Salma untuk menjemput Hunaisa. "Kenapa Hunaisa?" tanya Fariz. "Kita ke sekolahnya sekarang! Orang tuanya gak bisa dihubungi." Salma mencari tasnya dengan raut wajah khawatir. "Tenang dong! Kenapa panik begitu? Nais sakit, jatuh, kena pelanggaran, disakiti atau apa?" tanya Fariz penasaran. "Capa! Kenapa malah nebak yang miring? Menyuruh tenang, tapi dilanjutkan dengan dugaan miring, ngeselin!" kesal Salma. Fariz minta maaf dan sedikit terkekeh juga. Karena dia tahu, kalau anak-anak seusia Hunaisa pada pulang pagi. Hanya saja, dia belum tahu kalau Hunaisa belum dijemput. Fariz hanya lewat begitu saja di depan sekolahnya Hunaisa dan langsung pulang. "Sayang, maaf! Kita jemput seka