"Apa, Pak?“
“Saya … gak suka sama perempuan.“Salma mendelik, matanya terbuka lebar. “B—bapak gay?““Bisa dikatakan begitu. Saya tak suka perempuan apalagi dengan tampilan seperti kamu ini.“ Fariz tersenyum samar seketika membalikkan badannya dan melangkah meninggalkan Salma yang sepertinya shock dengan pernyataan laki-laki itu.“Gay?“ tukasnya lirih sembari berpegangan pada sofa di samping tubuhnya. Seumur hidup ia tak pernah bertemu langsung dengan pelaku gay. Ia hanya membaca kisah-kisah seperti itu di televisi atau tidak pada berita internet di ponsel.Kini, ada seseorang yang mengaku sendiri bahwa dirinya gay? Sungguh gila! Benar-benar gila. Dunia sedang tidak baik-baik saja.Ini tidak bisa dibiarkan. Sebagai pemudi yang menganut ilmu agama, Salma tahu gay itu sangat dilarang. Bagaimana bisa sosok pemimpin seperti itu melakukan hal yang sangat hina.“Wah, gak bener ini!“ ucap Salma sambil menggeleng. Dengan langkah menghentak ia keluar dari ruangan Fariz.Sementara di sisi lain, salah satu karyawan Fariz yang diminta untuk menemani laki-laki itu untuk pergi merasa heran melihat tingkah bosnya yang terus tersenyum tanpa sebab.Biasanya laki-laki itu memasang wajah sangar juga tak bersahabat meskipun itu pada karyawannya. Namun kali ini ada yang berbeda. Apa itu disebabkan oleh gadis yang datang tadi?Kebetulan mobil Fariz dipenuhi banyak berkas. Karyawan Fariz sudah lebih dulu duduk di kursi belakang. Hanya tinggal tempat duduk di samping Fariz yang tersisa untuk Salma."Ini mobil orang kaya perasaan, rapi dikit dong, Pak!" ucap Salma yang melihat dari jendela mobil banyak berkas memenuhi kursi belakang mobil."Bukan urusan kamu! Cepat masuk!" seru Fariz."Sebentar, rapiin dulu ini buat tempat duduk, mau masuk juga duduk dimana? Nggak ada tempat," ucap Salma sambil menata berkas di kursi belakang."Telinga kamu itu dengar nggak sih? Saya nggak punya banyak waktu dengan anak bau kencur seperti kamu, apa tempat duduk di sampingku ini kurang luas?" Fariz geram.Salma kaget karena suara itu tidak lagi terdengar dari kursi mobil untuk menyetir. Namun, tepat di belakangnya yang dekat dengannya. Karena merasa tidak nyaman dengan keadaan itu, ia pun berusaha menjauh ke samping namun dihadang tangan Fariz ke mobil."Iiih, Pak, jangan seperti itu!" teriak Salma dengan berusaha mundur."Makanya nurut! Kaki kamu yang kebentur tadi nggak menghalangi jalan kamu masuk mobil kan? Apa perlu digendong?" tanya Fariz kini dengan pelan.Salma semakin bingung dengan orang itu. Ia ingin lari saja mengantri bus lewat, tapi tentu dilarang dan ditahan Fariz. Bahkan ia juga heran dengan sikapnya yang barusan dia mengakui gay, namun bersikap seperti itu kepadanya."Oke saya masuk, Mbak, boleh pindah ke depan?" tanya Salma kepada karyawan yang dari tadi juga terlihat bingung dengan tingkah Salma dan Fariz."Tidak bisa, di situ khusus karyawan saya, selain karyawan dilarang duduk disitu, apa kamu itu karyawan saya?" ucap Fariz sebelum karyawannya mengatakan sepatah katapun.'Hhhh, kalau aku gak masuk, bisa-bisa sampai sore di sini, hari ini kenapa jadi teraneh selama hidupku, astaghfirullahal'adzim,' batin Salma.Akhirnya Salma mau duduk di samping Fariz. Sebenarnya, alasan Fariz mengantarkan Salma, itu karena ia itu tidak tega melihat Salma sendirian ditambah ia tahu kaki Salma kebentur. Namun, ia tidak mau menunjukkan kepeduliannya itu dengan gamblang."Nggak usah takut, ingat kan saya tadi apa?" ucap Fariz dengan sedikit senyum."Hah? Siapa yang takut, emang benar Bapak itu gay?" tanya kepo Salma."Hahaha …." Fariz tertawa lepas.Salma menengok ke karyawannya Fariz di belakang. Ia ingin bertanya mengenai hal tersebut. Namun, ternyata karyawannya itu sedang merajut mimpi."Kok ketawa sih, Pak, sejak kapan Pak Fariz ini berhubungan sesama jenis?" tanya Salma."Lama," jawab Fariz. "Yang benar, Pak? Bapak tahu kan itu dilarang?" tanya heran Salma. "Kamu bertanya apa menjawab sih, ribet banget jadi perempuan! Gini nih yang membuat aku nggak suka perempuan, bawel!" Fariz mengencangkan suaranya. "Astagfirullahaladzim, tobat Pak! Bapak ini laki-laki, bukan kodratnya laki-laki suka sama laki-laki, Pak! Allahu Akbar." Salma tak menyangka dengan semua pengakuan itu. Ia pikir, dengan beberapa kali bertanya, Fariz hanya bercanda. Tapi ternyata, jawaban tetap mengarahkan pada gay. Salma mengusap jidatnya dan terus beristighfar dalam hati. "Sudah capek bicaranya?" tanya Fariz. "Bukan capek, tapi sudah nggak tahu lagi harus ngomong apa, seorang CEO perusahaan ternama kok bisa terindikasi gay? Apa Bapak benar-benar tidak membohongi saya?" Salma masih berharap Fariz hanyalah berbohong. Fariz hanya melemparkan senyum samarnya. Ia tetap membiarkan Salma terngiang dalam kebohongan. Mau Salma percaya atau pun tidak, itu sama sekali tidak menjadi masala
"Ya, pastinya Papa sudah tahu." Salma ngambek dengan keadaan yang sangat tidak ia inginkan itu. "Papa tahu kamu gadis yang baik, kuliah kamu saja mau jurusan dakwah, kamu tentu sudah tahu bahwa sebaik-baik manusia itu yang bagaimana, mau kan berdakwah?" tanya papa Rohman dengan senyum manis. "Iya Pa, yang bermanfaat bagi manusia, apa hubungannya perjodohan ini dengan dakwah?" tanya Salma keheranan. "Kamu jawab dulu, Sayang, memang konsep kamu bagaimana?" tanya papa Rohman. "Konsep Salma ya kuliah dululah, Pa, kan Papa tahu sendiri kalau Salma itu nggak ingin nikah muda, Salma ingin selesaiin kuliah dulu, baru tuh Salma mau menikah, mau banget dengan CEO, tapi nanti, dengan catatan bukan sama CEO brengsek yang aku ceritain ke Mama itu," jelas Salma. "Husss! Salma nggak boleh bilang itu CEO brengsek, itu anak sahabatnya Mama dan Papa," ucap Mama Risa. Salma nggak tahu arah pembicaraan orang tuanya itu. Karena memang itu adalah kenyataan yang Salma alami pada hari teraneh yang ia j
"Mau jodohin dengan siapa?" tanya datar Fariz. "Itu anaknya sahabat Mami yang pintar banget, dia gadis pesantren," ucap mami Reva juga menjelaskan tentang kuliah Salma tanpa menyinggung masalah gay. "Gadis pesantren? Dapat dari pabrik mana?" Fariz sangat kaget mendengar yang dijodohkan tersebut seorang santri. "Kok pabrik? Maksud kamu apa?" tanya mami Reva merasa bingung. Kedua orang tuanya tidak melihat wajah marah dari Fariz setelah berkata demikian. Namun mereka juga tidak paham dengan pertanyaan putranya. Kedua orang tuanya saling berpandang dengan kebingungan. "Pabrik ya pabrik, Papa kan pengusaha, pasti sahabatnya juga yang sefrekuensi, Papa sering ke luar kota, ke luar negeri untuk kerja sama dengan pabrik kan?" ucap Fariz. "Aduh, ya nggak semua sefrekuensi dong, dia putri orang kaya, tapi bidang pertanian," ucap papi Vero dengan menepuk jidatnya. "Coba lihat foto gadis itu," ucap Fariz. "Ini fotonya, dia cantik kan? Masih muda sekali," ucap mami Reva menunjukkan foto S
"Jujur Salma bingung," jawab Salma. "Ngapain bingung? Mau kuliah nggak?" tanya Fariz. "Ya mau dong," jawab Salma."Ya fix aja, apa yang dibingungkan?" tanya Fariz. "Bapak memangnya setuju?" tanya Salma. "Sudah aku bilang, rumus kamusku tidak ada yang seperti ini!" jawab Fariz. "Ya udah pergi sana! Sudah dijawab juga Salma masih bingung, Salma tuh mau promosi, jangan bikin bete dong, entar nggak bisa ramah sama pengunjungnya." Salma kesal sekali dengan bahasannya yang sudah menyebalkan ditambah dibahas dengan orang yang menurutnya super menyebalkan. "Makanya jawab yang benar, posisi menata kamu tuh salah, kalau pengen rame pengunjung ya jangan begitu! Masa tulisannya malah tertutup, begini kan terlihat elegan, rapi, menarik, dan kamu nggak usah mikir kencang tuh perjodohan, otak kamu kan waktunya konsentrasi belajar menjelang ujian, setuju aja biar simpel, entar kita atur siasat karena saya tidak mungkin mencintai kamu," jelas Fariz. "Ya iyalah nggak mungkin cinta, tapi masa kit
"Pasti nyariin kamu," jawab Freya. "Buat?" tanya Salma. "Kangen sama kamu, hahaha …" tawa Freya. "Mulai ya, mulai!" kesal Salma.Ternyata, Fariz membicarakan kompetisi yang akan dilaksanakan di perusahaannya dalam rangka hari ulang tahun perusahaan. Perusahaan Fariz mengadakan kompetisi besar-besaran. Ada berbagai macam kompetisi yang bebas diikuti oleh seluruh pelajar setingkat SMA kelas 12 di seluruh Jakarta. "Selamat siang semuanya, dalam diri manusia itu tertanam bakat, dan skill yang berbeda-beda, kalian jangan pernah pesimis, gali potensi kalian, jangan malu untuk melangkah …" Fariz memberi semangat sekaligus menjelaskan tentang kompetisi itu dengan sangat ramah. Begitu berbeda sikapnya dengan saat pertemuan pertama Salma. Emosi dan marah-marahnya, tidak lagi tampak. Salma bertanya-tanya dalam hatinya. 'Sebenarnya, dia itu ramah seperti ini, apa yang seperti kemarin-kemarin? Muka dua, atau hanya pura-pura?' batin Salma. "Salma Ashana, yang mana?" tanya Fariz. "Iya," jawa
"Siapa Sal? Coba kamu angkat!" ucap mama Risa. Kebetulan ponselnya ada di antara duduknya Salma dan mamanya. Karena perintah mamanya, Salma pun mengangkat telepon tersebut. Salma kaget karena orang yang menelpon langsung menyebutkan namanya. "Halo," ucap Salma dari telepon. "Halo, ini Salma bukan? Benar ini Salma?" "Mmm, iya Tante, saya Salma," jawab Salma. "Ma, ini siapa? Kok tahu nama Salma, mama namainnya Cabe, siapa Ma?" Salma menjauhkan ponselnya dan bertanya ke Mamanya mengenai sosok itu. Ternyata yang menelpon ialah maminya Fariz. Salma terpaksa mengangkat teleponnya lagi. Entah apa yang akan dikatakan oleh maminya Fariz. Salma hanya akan menyimak dan menjawab singkat dalam obrolan itu. "Iya Tante," jawab Salma sembari meraih ponsel mamanya. "Kamu sudah pernah ketemu sama Fariz? Dia bagaimana sikapnya?" tanya mami Reva. "Dia peduli," jawab Salma. "Peduli? Alhamdulillah, lalu bagaimana kalian? Sudah akrab?" tanya mami Reva. "Biasa kok, Tante," jawab Salma. Salma juga
Salma hanya terdiam saja. Ia merasa semakin malu dengan keadaannya di cafe itu. Sampai Fariz yang harus berkata lagi. "Terus mau kamu apa? Di dalam ruangan yang hanya kita berdua, kamu menolak, di dalam tempat rame pun juga, mau kamu seperti apa! Apa ini yang kamu maksud?" Fariz geram namun masih mencoba mengerem semuanya karena di tempat umum. "Nggak ada yang benar, Pak. Semua itu salah dan bukan mau saya," ucap Salma mulai lari dari area cafe. "Sal, tunggu!" ucap Fariz namun diabaikan Salma. Salma telah ditunggu Freya di depan perusahaan. Namun, Salma nampak kesal dan menahan air mata. Fariz masih mengejar Salma sampai depan perusahaan. "Salma, kenapa sih? Kamu berantem sama CEO? Ah, nggak mungkin. Ini udah beres belum tentang lombanya itu? Kok malah mau menangis? Masalah apa?" Freya rempong dengan keadaan sahabatnya. "Salma! Kamu kenapa menangis? Haha …" tawa Fariz. "Bilangin sahabat kamu, suruh berhenti menangisnya, saya mau marah," ucap Fariz. "Hhhh, sok banget sih, udah
"Apa yang belum aku bawa? Malah bengong! Apa Pak CEO?" tanya Salma. "Hmm." Fariz sangat sungkan untuk mengatakan. "Apa? Hmm doang Salma nggak paham," ucap Salma dengan risih karena pandangan Fariz yang berbeda ke arahnya. "Maafin aku ya," ucap Fariz. "Hahaha … aku? Terus Pak CEO minta maaf?" tawa Salma. Ternyata, Fariz merasakan getaran hati untuk Salma mulai detik itu. Ia ingin lebih santai saja dalam berbicara dengan Salma. Awalnya ia sangat tidak mau minta maaf ke Salma. Tapi, sejenak ia meresapi dan mengingat kalimat dari Salma. Memang cara dia itu belum benar dan candanya kelewatan. Fariz memberanikan diri untuk minta maaf meskipun Fariz tahu, pasti itu akan diketawain oleh Salma. "Sudah aku duga, kita ngomongnya aku kamu aja, aku serius minta maaf tentang sikap aku tadi yang tidak pantas dengan yang bukan mahram dan canda parah itu," ucap Fariz menahan malu. "Jadi yang belum aku bawa, kata maaf itu?" tanya Salma. "Yes," jawab Fariz. "Hahaha … baiklah, Salma juga minta
"Mmm … terima kasih banyak, Mi. Ada kok, kalau Cioy udah beberapa hari, kita akan ngonten bareng. Dibuat jadwal khusus podcast wanita tangguh bareng Nuura," jawab Salma. "Masyaallah, bagus. Mami ke belakang dulu," ujar Reva. Tidak ada yang harus minder karena pernah berbuat salah. Orang yang pernah khilaf, tetap memiliki hak untuk menjadi orang baik. Berhenti men-judge orang karena kekhilafan di masa lalu adalah hal yang Salma kokohkan untuk menguatkan Nuura. *** "Apa yang kamu tahu tentang cinta?" tanya Salma. Fariz menatap lekat kedua mata istrinya. "Cinta itu luas. Sebuah rasa yang bertahta tanpa aba-aba, mendaki dan menggali untuk terus mencari arti meskipun bercak dan pikulan luka menghampiri." "Apa yang kamu tahu tentang mencintai?" tanya Salma. Tidak ada keraguan untuk Fariz memberi jawaban. Cinta memang luas dan yang ditanyakan Salma itu masih umum, bukan hanya khusus cinta Fariz kepada Salma. Mereka bercerita di tengah Cimes Mika yang sibuk mengajak bermain dan bercanda
"Daddy ingin dipeluk Kakak Cimes," ucap Fariz. "Gak mau! Cimes mau minum kembar juga gak diberi," sahut Cimes Mika. "Kakak kok dendam?" Salma membelai rambut putrinya. "Maaf, tapi Kak Cim nggak suka dilarang terus, pertanyaan Cimes gak dijawab sama Ummah," keluh Cimes Mika. "Masyaallah, anak pinter! Eaaa … kena deh ke pelukan Daddy!" Fariz mengangkat Mika begitu saja mumpung tangannya tidak berpegangan tangan dengan baju ummah-nya. Dari tadi Fariz ingin menggendong putrinya secara tiba-tiba dan langsung dibawa keluar. Namun, tangannya masih mencengkram baju Salma. Fariz sudah wanti-wanti dengan teriakan juga sebenarnya, tapi sekarang akan nekat ia lakukan dengan langsung membawanya keluar dari kamar. "Daddy, huaaa!" teriak Cimes Mika yang sudah di pintu karena Fariz cepat untuk lari keluar. "Hehe, sudah di pelukan Daddy sekarang. Kamu nggak rindu apa, Nak? Dari semalem nggak mau dipeluk Daddy, maunya sama oma dan eyang terus!" Fariz terus mendekap dan membelai putrinya. Cimes M
"Besok aja, hahaha," ucap Salma. "Adik sebentar lagi lahir, nggak sampai besok, Nak. Udahan dulu ya sama Ummah-nya!" Fariz melihat istrinya menahan sakit sedari tadi, tapi berusaha membuat Mika bahagia. "Nggak mau! Cimes kangen minuman kembar ini!" seru Cimes Mika. "Nak … Ummah lagi sakit. Mau nggak doain Ummah di masjid, beli minumnya es krim dua aja biar jadi kembar," ungkap Salma yang merasakan perutnya semakin sakit. "Ummah sakit? Cimes kangen ini dari kemarin nggak dikasih, tapi Cimes mau do'ain Ummah, Ummah sembuh! Huaaaaaaaa!" Cimes Mika memeluk Salma lalu menangis sambil berjalan turun dari brankar Salma. "Hahaha … biarin dulu coba, Ma! Cimes kok lucu ya kesannya. Nangis aja tetep imut banget," ucap Fariz dengan tawa kecilnya. Sedih, disuruh pergi saat waktu rindu-rindunya, tapi lebih sedih kalau melihat perempuan hebatnya merasakan kesakitan. Cara jalannya Cimes Mika juga membuat mereka tetap gemas. Apalagi kalau melihat raut wajahnya, Salma yang sedang kesakitan pun iku
"Hehe, belum nih. Abinya belum setuju," jawab Freya. "Sama aja, Aa Wildan belum tega katanya," sahut Clarissa. "Kalau kata Mas Rifki mah, udah. Dua anak cukup," jawab Royya. "Tau ah, Mas William juga gitu!" rajuk Reca. "Cama! Kamu buat mereka resah, deh!' Fariz merangkul istrinya. Mereka terus bercanda dan juga berencana juga. Sangat hangat, bisa berkumpul gabungan seperti itu. Ada dari pihak keluarga, saudara, dan juga para santri. *** "Cap, Cimes nggak ikut?" tanya Salma. Rasa sakit saat kontraksi, kini Salma rasakan. Beruntungnya, saat itu ia hanya mimpi. Kalau tidak, entahlah bagaimana dia bisa kuat melawan rasa sakit tanpa usapan langsung dari suaminya. Di mana biasanya selalu siap memberi ketenangan dan kekuatan atas lara yang sedang menimpanya. Namun, di saat suasana menahan rasa sakit untuk kelahiran putri keduanya, perhatian untuk putri pertama tidak lupa ia berikan. "Masih nangis," jawab Fariz. "Kok nggak Capa ajak?" Salma menarik tangan suaminya. "Entar aja kalau
"Capa, Capa gak pergi, kan? Nuura, baik-baik saja?" Salma terlihat sangat resah saat bangun tidur. "Sayang, kamu kenapa, sih? Semalem Capa di sini terus peluk kamu sama Cioy. Kok jadi aneh?" tanya Fariz. "Ehmm, Alhamdulillah, hanya mimpi berarti." Salma menghembuskan napas panjangnya. "Hahaha …" Fariz tertawa sembari mencubit hidung istrinya. Pagi itu mereka pergi belanja ke toko mainan. sudah banyak request dari anak panti sangat juga putrinya sendiri. Cimes Mika tidak lupa untuk minta dikepang rambutnya, dia ingin seperti Hunaisa meskipun rambutnya masih belum sebanyak rambut Hunaisa. "Mau dikepang," ucapnya. "Nggak mau diikat dua aja, Nak?" Salma memberi penawaran. "Maunya kayak Kak Nais," jawab Cimes Mika. "Iya, dikepang ya dikepang. Boleh cium dulu, nggak?" Salma mendekatkan pipinya. "Ummah bau, gak mau!" Cimes Mika malah menjauh. "Bau apa? Ummah udah mandi, udah pakai bedak, wangi ...." ujar Salma. "Mmmm, bauuuu .... tapi boong, hihihi," ucap Cimes Mika dengan tawa. F
"Ehmmm, terserah Cama aja," jawab Fariz. "Mami ingin sama papi apa sama Cimes?" tanya Salma membuat mereka terkekeh. "Hahaha, Mami ngikut pilihan kamu aja, Sal! Kalau kalian mau salah Cimes, ya Mami sama Papi," jelas Reva. "Ya udah, Mi. Mami sama Papi aja, bikin adiknya Fariz!" goda Fariz. "Iiih! Dasar ya kamu, Riz!" Reva keluar kamar dengan lumayan salah tingkah. Fariz dan Salma masih ngobrol pelan di kamar putrinya. Anak kecil yang masih linguistik seperti itu, serasa ingin selalu di dekapan mereka berdua setiap saat. Seperti Salma tadi, ditiduri begitu putrinya merupakan sentuhan luar biasa yang sangat memberinya kebahagiaan. Fariz itu kalau melihat putrinya, sudah pasti ingat Salma, begitu pula sebaliknya. "Capa pengen cubit, Cam!" Fariz menahan jarinya di pipi mulus putrinya. "Ihh, jangan! Capa tuh kalau lihat putri cantik ini, selalu saha keinget dengan Capa," ungkap Salma. "Nggak cuma Cama. Capa pun begitu, Sayang!" Fariz menatap istrinya dengan tersenyum. Salma mengus
Fariz segera mengambil album di dalam lacinya. Waktu memang sudah malam, tapi dia tidak mau membuat anaknya kecewa. Baim minta album foto dia dan juga kebersamaan di panti untuk dibawa ke pesantrennya besok pagi. Mintanya sudah dari kemarin, tapi Fariz memang benar-benar lupa. "Capa mau ke rumah Nuura dulu," ucap Fariz. "Kenapa? Kan belum dijawab, udah ke sana aja!" kesal Salma. "Hehe, iya-iya. Ini, Baim minta foto albumnya waktu di panti. Besok udah berangkat, mintanya tuh udah dari kemarin, cuma … Capa aja yang pelupa." Fariz melemparkan senyum untuk istrinya. "Ya udah, hati-hati!" Salma mencium punggung tangan suaminya. "Siap," jawab Fariz. "Jangan bikin gara-gara lagi, ya. Pusing! Jangan sok kenal dengan Nuura!" Salma masih memegang tangan suaminya. Peringatan, Salma tidak ingin kejadian-kejadian yang menurutnya sangat mengerikan itu terulang kembali. Sudah cukup dengan rasa-rasanya di waktu kemarin itu, sekarang ia ingin momen kehamilannya benar-benar terjaga dengan baik du
"Cama mual lagi!" rintih Salma. "Kamu pucat sekali, Sayang! Kita pulang, yuk!" ajak Fariz. "Jangan!" Salma menangkis uluran tangan suaminya. "Bandel kamu nggak tahu tempat banget, sih!" Fariz kembali meraih tangan istrinya. "Loh, Salma kenapa?" Reva datang dan langsung menyentuh menantunya. Reva melihat putranya menahan emosi. Melihat pula menantunya kesakitan. Namun, ia yakin itu bukan perkara Fariz menyakiti Salma. Raut wajah putranya terlihat kalau ia sedang khawatir. "Cama mual lagi, perutnya sakit, tapi gak mau pulang, kesal Fariz, Mi!" Fariz melepaskan sentuhan ke tangan Salma. "Riz, Salma itu tidak mau karena nggak tega sama krucil-krucil. Kamu yang peka dong dengan istrimu! Istrimu hamil karena ulah kamu, loh. Ya yang sabar ngadepinnya!" Reva mengusap perut menantunya. Bukan perkara sakitnya yang membuat Salma meneteskan air mata. Seorang ibu yang hadir dan tulus merawat ia yang bukan dari darah daging sendiri itulah yang membuat Salma semakin berderai air mata. Memilik
Miss Na: 'Iya, sampai sekarang belum ada yang menjemput. Ponsel keluarganya tidak bisa dihubungi. Bisakah Ibu Salma yang ke sini?' Salma: "Iya-iya, bisa kok." Sekolahnya Hunaisa memang sedang pulang pagi. Namun, Hunaisa belum juga dijemput. Orang tuanya tidak bisa dihubungi. Gurunya mencoba menghubungi Salma untuk menjemput Hunaisa. "Kenapa Hunaisa?" tanya Fariz. "Kita ke sekolahnya sekarang! Orang tuanya gak bisa dihubungi." Salma mencari tasnya dengan raut wajah khawatir. "Tenang dong! Kenapa panik begitu? Nais sakit, jatuh, kena pelanggaran, disakiti atau apa?" tanya Fariz penasaran. "Capa! Kenapa malah nebak yang miring? Menyuruh tenang, tapi dilanjutkan dengan dugaan miring, ngeselin!" kesal Salma. Fariz minta maaf dan sedikit terkekeh juga. Karena dia tahu, kalau anak-anak seusia Hunaisa pada pulang pagi. Hanya saja, dia belum tahu kalau Hunaisa belum dijemput. Fariz hanya lewat begitu saja di depan sekolahnya Hunaisa dan langsung pulang. "Sayang, maaf! Kita jemput seka