"Apa, Pak?“
“Saya … gak suka sama perempuan.“Salma mendelik, matanya terbuka lebar. “B—bapak gay?““Bisa dikatakan begitu. Saya tak suka perempuan apalagi dengan tampilan seperti kamu ini.“ Fariz tersenyum samar seketika membalikkan badannya dan melangkah meninggalkan Salma yang sepertinya shock dengan pernyataan laki-laki itu.“Gay?“ tukasnya lirih sembari berpegangan pada sofa di samping tubuhnya. Seumur hidup ia tak pernah bertemu langsung dengan pelaku gay. Ia hanya membaca kisah-kisah seperti itu di televisi atau tidak pada berita internet di ponsel.Kini, ada seseorang yang mengaku sendiri bahwa dirinya gay? Sungguh gila! Benar-benar gila. Dunia sedang tidak baik-baik saja.Ini tidak bisa dibiarkan. Sebagai pemudi yang menganut ilmu agama, Salma tahu gay itu sangat dilarang. Bagaimana bisa sosok pemimpin seperti itu melakukan hal yang sangat hina.“Wah, gak bener ini!“ ucap Salma sambil menggeleng. Dengan langkah menghentak ia keluar dari ruangan Fariz.Sementara di sisi lain, salah satu karyawan Fariz yang diminta untuk menemani laki-laki itu untuk pergi merasa heran melihat tingkah bosnya yang terus tersenyum tanpa sebab.Biasanya laki-laki itu memasang wajah sangar juga tak bersahabat meskipun itu pada karyawannya. Namun kali ini ada yang berbeda. Apa itu disebabkan oleh gadis yang datang tadi?Kebetulan mobil Fariz dipenuhi banyak berkas. Karyawan Fariz sudah lebih dulu duduk di kursi belakang. Hanya tinggal tempat duduk di samping Fariz yang tersisa untuk Salma."Ini mobil orang kaya perasaan, rapi dikit dong, Pak!" ucap Salma yang melihat dari jendela mobil banyak berkas memenuhi kursi belakang mobil."Bukan urusan kamu! Cepat masuk!" seru Fariz."Sebentar, rapiin dulu ini buat tempat duduk, mau masuk juga duduk dimana? Nggak ada tempat," ucap Salma sambil menata berkas di kursi belakang."Telinga kamu itu dengar nggak sih? Saya nggak punya banyak waktu dengan anak bau kencur seperti kamu, apa tempat duduk di sampingku ini kurang luas?" Fariz geram.Salma kaget karena suara itu tidak lagi terdengar dari kursi mobil untuk menyetir. Namun, tepat di belakangnya yang dekat dengannya. Karena merasa tidak nyaman dengan keadaan itu, ia pun berusaha menjauh ke samping namun dihadang tangan Fariz ke mobil."Iiih, Pak, jangan seperti itu!" teriak Salma dengan berusaha mundur."Makanya nurut! Kaki kamu yang kebentur tadi nggak menghalangi jalan kamu masuk mobil kan? Apa perlu digendong?" tanya Fariz kini dengan pelan.Salma semakin bingung dengan orang itu. Ia ingin lari saja mengantri bus lewat, tapi tentu dilarang dan ditahan Fariz. Bahkan ia juga heran dengan sikapnya yang barusan dia mengakui gay, namun bersikap seperti itu kepadanya."Oke saya masuk, Mbak, boleh pindah ke depan?" tanya Salma kepada karyawan yang dari tadi juga terlihat bingung dengan tingkah Salma dan Fariz."Tidak bisa, di situ khusus karyawan saya, selain karyawan dilarang duduk disitu, apa kamu itu karyawan saya?" ucap Fariz sebelum karyawannya mengatakan sepatah katapun.'Hhhh, kalau aku gak masuk, bisa-bisa sampai sore di sini, hari ini kenapa jadi teraneh selama hidupku, astaghfirullahal'adzim,' batin Salma.Akhirnya Salma mau duduk di samping Fariz. Sebenarnya, alasan Fariz mengantarkan Salma, itu karena ia itu tidak tega melihat Salma sendirian ditambah ia tahu kaki Salma kebentur. Namun, ia tidak mau menunjukkan kepeduliannya itu dengan gamblang."Nggak usah takut, ingat kan saya tadi apa?" ucap Fariz dengan sedikit senyum."Hah? Siapa yang takut, emang benar Bapak itu gay?" tanya kepo Salma."Hahaha …." Fariz tertawa lepas.Salma menengok ke karyawannya Fariz di belakang. Ia ingin bertanya mengenai hal tersebut. Namun, ternyata karyawannya itu sedang merajut mimpi."Kok ketawa sih, Pak, sejak kapan Pak Fariz ini berhubungan sesama jenis?" tanya Salma."Lama," jawab Fariz. "Yang benar, Pak? Bapak tahu kan itu dilarang?" tanya heran Salma. "Kamu bertanya apa menjawab sih, ribet banget jadi perempuan! Gini nih yang membuat aku nggak suka perempuan, bawel!" Fariz mengencangkan suaranya. "Astagfirullahaladzim, tobat Pak! Bapak ini laki-laki, bukan kodratnya laki-laki suka sama laki-laki, Pak! Allahu Akbar." Salma tak menyangka dengan semua pengakuan itu. Ia pikir, dengan beberapa kali bertanya, Fariz hanya bercanda. Tapi ternyata, jawaban tetap mengarahkan pada gay. Salma mengusap jidatnya dan terus beristighfar dalam hati. "Sudah capek bicaranya?" tanya Fariz. "Bukan capek, tapi sudah nggak tahu lagi harus ngomong apa, seorang CEO perusahaan ternama kok bisa terindikasi gay? Apa Bapak benar-benar tidak membohongi saya?" Salma masih berharap Fariz hanyalah berbohong. Fariz hanya melemparkan senyum samarnya. Ia tetap membiarkan Salma terngiang dalam kebohongan. Mau Salma percaya atau pun tidak, itu sama sekali tidak menjadi masala
"Ya, pastinya Papa sudah tahu." Salma ngambek dengan keadaan yang sangat tidak ia inginkan itu. "Papa tahu kamu gadis yang baik, kuliah kamu saja mau jurusan dakwah, kamu tentu sudah tahu bahwa sebaik-baik manusia itu yang bagaimana, mau kan berdakwah?" tanya papa Rohman dengan senyum manis. "Iya Pa, yang bermanfaat bagi manusia, apa hubungannya perjodohan ini dengan dakwah?" tanya Salma keheranan. "Kamu jawab dulu, Sayang, memang konsep kamu bagaimana?" tanya papa Rohman. "Konsep Salma ya kuliah dululah, Pa, kan Papa tahu sendiri kalau Salma itu nggak ingin nikah muda, Salma ingin selesaiin kuliah dulu, baru tuh Salma mau menikah, mau banget dengan CEO, tapi nanti, dengan catatan bukan sama CEO brengsek yang aku ceritain ke Mama itu," jelas Salma. "Husss! Salma nggak boleh bilang itu CEO brengsek, itu anak sahabatnya Mama dan Papa," ucap Mama Risa. Salma nggak tahu arah pembicaraan orang tuanya itu. Karena memang itu adalah kenyataan yang Salma alami pada hari teraneh yang ia j
"Mau jodohin dengan siapa?" tanya datar Fariz. "Itu anaknya sahabat Mami yang pintar banget, dia gadis pesantren," ucap mami Reva juga menjelaskan tentang kuliah Salma tanpa menyinggung masalah gay. "Gadis pesantren? Dapat dari pabrik mana?" Fariz sangat kaget mendengar yang dijodohkan tersebut seorang santri. "Kok pabrik? Maksud kamu apa?" tanya mami Reva merasa bingung. Kedua orang tuanya tidak melihat wajah marah dari Fariz setelah berkata demikian. Namun mereka juga tidak paham dengan pertanyaan putranya. Kedua orang tuanya saling berpandang dengan kebingungan. "Pabrik ya pabrik, Papa kan pengusaha, pasti sahabatnya juga yang sefrekuensi, Papa sering ke luar kota, ke luar negeri untuk kerja sama dengan pabrik kan?" ucap Fariz. "Aduh, ya nggak semua sefrekuensi dong, dia putri orang kaya, tapi bidang pertanian," ucap papi Vero dengan menepuk jidatnya. "Coba lihat foto gadis itu," ucap Fariz. "Ini fotonya, dia cantik kan? Masih muda sekali," ucap mami Reva menunjukkan foto S
"Jujur Salma bingung," jawab Salma. "Ngapain bingung? Mau kuliah nggak?" tanya Fariz. "Ya mau dong," jawab Salma."Ya fix aja, apa yang dibingungkan?" tanya Fariz. "Bapak memangnya setuju?" tanya Salma. "Sudah aku bilang, rumus kamusku tidak ada yang seperti ini!" jawab Fariz. "Ya udah pergi sana! Sudah dijawab juga Salma masih bingung, Salma tuh mau promosi, jangan bikin bete dong, entar nggak bisa ramah sama pengunjungnya." Salma kesal sekali dengan bahasannya yang sudah menyebalkan ditambah dibahas dengan orang yang menurutnya super menyebalkan. "Makanya jawab yang benar, posisi menata kamu tuh salah, kalau pengen rame pengunjung ya jangan begitu! Masa tulisannya malah tertutup, begini kan terlihat elegan, rapi, menarik, dan kamu nggak usah mikir kencang tuh perjodohan, otak kamu kan waktunya konsentrasi belajar menjelang ujian, setuju aja biar simpel, entar kita atur siasat karena saya tidak mungkin mencintai kamu," jelas Fariz. "Ya iyalah nggak mungkin cinta, tapi masa kit
"Pasti nyariin kamu," jawab Freya. "Buat?" tanya Salma. "Kangen sama kamu, hahaha …" tawa Freya. "Mulai ya, mulai!" kesal Salma.Ternyata, Fariz membicarakan kompetisi yang akan dilaksanakan di perusahaannya dalam rangka hari ulang tahun perusahaan. Perusahaan Fariz mengadakan kompetisi besar-besaran. Ada berbagai macam kompetisi yang bebas diikuti oleh seluruh pelajar setingkat SMA kelas 12 di seluruh Jakarta. "Selamat siang semuanya, dalam diri manusia itu tertanam bakat, dan skill yang berbeda-beda, kalian jangan pernah pesimis, gali potensi kalian, jangan malu untuk melangkah …" Fariz memberi semangat sekaligus menjelaskan tentang kompetisi itu dengan sangat ramah. Begitu berbeda sikapnya dengan saat pertemuan pertama Salma. Emosi dan marah-marahnya, tidak lagi tampak. Salma bertanya-tanya dalam hatinya. 'Sebenarnya, dia itu ramah seperti ini, apa yang seperti kemarin-kemarin? Muka dua, atau hanya pura-pura?' batin Salma. "Salma Ashana, yang mana?" tanya Fariz. "Iya," jawa
"Siapa Sal? Coba kamu angkat!" ucap mama Risa. Kebetulan ponselnya ada di antara duduknya Salma dan mamanya. Karena perintah mamanya, Salma pun mengangkat telepon tersebut. Salma kaget karena orang yang menelpon langsung menyebutkan namanya. "Halo," ucap Salma dari telepon. "Halo, ini Salma bukan? Benar ini Salma?" "Mmm, iya Tante, saya Salma," jawab Salma. "Ma, ini siapa? Kok tahu nama Salma, mama namainnya Cabe, siapa Ma?" Salma menjauhkan ponselnya dan bertanya ke Mamanya mengenai sosok itu. Ternyata yang menelpon ialah maminya Fariz. Salma terpaksa mengangkat teleponnya lagi. Entah apa yang akan dikatakan oleh maminya Fariz. Salma hanya akan menyimak dan menjawab singkat dalam obrolan itu. "Iya Tante," jawab Salma sembari meraih ponsel mamanya. "Kamu sudah pernah ketemu sama Fariz? Dia bagaimana sikapnya?" tanya mami Reva. "Dia peduli," jawab Salma. "Peduli? Alhamdulillah, lalu bagaimana kalian? Sudah akrab?" tanya mami Reva. "Biasa kok, Tante," jawab Salma. Salma juga
Salma hanya terdiam saja. Ia merasa semakin malu dengan keadaannya di cafe itu. Sampai Fariz yang harus berkata lagi. "Terus mau kamu apa? Di dalam ruangan yang hanya kita berdua, kamu menolak, di dalam tempat rame pun juga, mau kamu seperti apa! Apa ini yang kamu maksud?" Fariz geram namun masih mencoba mengerem semuanya karena di tempat umum. "Nggak ada yang benar, Pak. Semua itu salah dan bukan mau saya," ucap Salma mulai lari dari area cafe. "Sal, tunggu!" ucap Fariz namun diabaikan Salma. Salma telah ditunggu Freya di depan perusahaan. Namun, Salma nampak kesal dan menahan air mata. Fariz masih mengejar Salma sampai depan perusahaan. "Salma, kenapa sih? Kamu berantem sama CEO? Ah, nggak mungkin. Ini udah beres belum tentang lombanya itu? Kok malah mau menangis? Masalah apa?" Freya rempong dengan keadaan sahabatnya. "Salma! Kamu kenapa menangis? Haha …" tawa Fariz. "Bilangin sahabat kamu, suruh berhenti menangisnya, saya mau marah," ucap Fariz. "Hhhh, sok banget sih, udah
"Apa yang belum aku bawa? Malah bengong! Apa Pak CEO?" tanya Salma. "Hmm." Fariz sangat sungkan untuk mengatakan. "Apa? Hmm doang Salma nggak paham," ucap Salma dengan risih karena pandangan Fariz yang berbeda ke arahnya. "Maafin aku ya," ucap Fariz. "Hahaha … aku? Terus Pak CEO minta maaf?" tawa Salma. Ternyata, Fariz merasakan getaran hati untuk Salma mulai detik itu. Ia ingin lebih santai saja dalam berbicara dengan Salma. Awalnya ia sangat tidak mau minta maaf ke Salma. Tapi, sejenak ia meresapi dan mengingat kalimat dari Salma. Memang cara dia itu belum benar dan candanya kelewatan. Fariz memberanikan diri untuk minta maaf meskipun Fariz tahu, pasti itu akan diketawain oleh Salma. "Sudah aku duga, kita ngomongnya aku kamu aja, aku serius minta maaf tentang sikap aku tadi yang tidak pantas dengan yang bukan mahram dan canda parah itu," ucap Fariz menahan malu. "Jadi yang belum aku bawa, kata maaf itu?" tanya Salma. "Yes," jawab Fariz. "Hahaha … baiklah, Salma juga minta