"Kamu bisa cek semua dokumen dan sertifikat aset dari Pak Sutanto di sini.." Bonar menunjukkan sebuah buku besar yang berisi sertifikat rumah, penginapan, dan semua yang dimiliki oleh papa Aina. Aina dengan perlahan membuka satu demi satu. Dan semua dokumen yang ditunjukkan oleh Bonar adalah asli, bukan palsu! Darimana Bonar mendapatkan semua itu? Benarkah Bonar memang anak kandung dari papa Aina? Lalu apakah Aina memang hanya anak tiri? Semua pertanyaan mengalir di hati Aina. Ia bingung dimana bisa mendapatkan semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengembara di hatinya. "Pak Joni?" Aina memanggil salah seorang pengacara papanya yang ikut terlibat dalam hal ini. "Iya Bu Aina.." Pak Joni mendekati Aina dengan wajah datar. "Tolong jelaskan ke saya, apa maksud semua ini?" Aina makin tidak mengerti dengan apa yang ia baca. Data-data yang tertulis di semua dokumen tertulis jika semua hak kekayaan yang dimiliki oleh p
"Selamat Tuan Baron. Anda adalah penerus Sutanto holding yang baru.." Pak Jono, pengacara papa Aina mengucapkan selamat kepada Baron. "Terima kasih.." Akhirnya mimpi-mimpi yang dipendam oleh Baron selama ini satu demi satu menjadi kenyataan. Ia sudah sangat lama menantikan masa-masa kejayaannya akan datang. "Semua dokumen sudah saya ganti namanya menjadi nama Tuan Baron Sutanto.." Tak henti-hentinya Baron menyunggingkan senyuman kemenangan yang ditandai dengan diteguknya wine kemenangan. "Untuk kemenangan kita, cheerrss!" Baron mengetuk gelasnya dengan gelas-gelas tim kemenangannya. Semua senang, semua tertawa karena ini adalah awal sebuah kemenangan besar. Peperangan yang tidak seimbang, Baron hanya melawan seorang wanita lemah seperti Aina. Tentu bukanlah sebuah hal yang sulit untuk pria berpengalaman luas seperti Baron untuk mengambil alih apa yang selama ini ia inginkan. Sementara di luar, Teddy benar-benar menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri jika apa yang ia lihat a
"Bu Nyai.." Aina sejak subuh tidak tidur lagi, Meski tubuhnya terasa penat dan lelah luar biasa. Ia sengaja menemui Bu Nyai Zumroh dan berbicara empat mata dengannya. "Duduklah.." Bu Nyai Zumroh meminta Aina duduk di sampingnya. Dengan malu-malu Aina masih menjaga jarak dengan mantan gurunya itu. "Apa yang mau kamu ceritakan, ceritakan saja.." Aina tertunduk tanpa mengeluarkan sepatah kata. Yang ia lihat hanyalah Davian yang bermain-main dengan santriwati pondok dengan senyum bahagia.Ia tidak menyangka, meski baru semalam di pondok sedehrana ini, hatinya mulai menemukan kedamaian."Saya..." Aina masih ragu-ragu untuk berkata jujur.Hatinya bimbang dan ragu. Apakah Bu Nyai Zumroh akan mau menerimanya jika ia mengatakan cerita yang sebenarnya."Saya mau berkhidmat di pondok ini Bu Nyai.." kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Aina.Tak diduga Bu Nyai menerima Aina dengan tangan terbuka. Aina yang sedari tadi gugup akan mengatakan keinginannya, tiba-tiba Bu Nyai Zumroh memelu
Tidak terasa Aina sudah tiga bulan pindah ke sebuah pondok pesantren di Kediri. Ia seakan larut dari hingar bingar metropolitan yang selama ini digelutinya. Pun dengan Davian, ia sudah bisa menyesuaikan hidup selayaknya anak-anak lain yang jauh dari perkotaan. Meski begitu ia merasa bahagia karena memiliki teman banyak untuk bermain-main setiap harinya. Aina lebih banyak menghabiskan hari-harinya untuk mengajar muridnya setingkat SMP dan mengabdikan dirinya di pondok. Sesekali ia menemani Bu Nyai Zumroh bepergian. Terkadang Davian pun ikut diajak berkeliling hingga ke pelosok. Tak jarang orang yang mengira Davian adalah cucu dari pendiri pondok. Karena kedekatan yang terlihat begitu jelas. "Davian, mama mau ikut Bu Nyai Zumroh untuk ceramah.. Davian di rumah saja ya sama Mbak=mbak di sini.." Tidak seperti biasanya Davian terlihat rewel dan tetap ingin ikut Aina. Biasanya ia hanya akan mengangguk dan minta dibelikan oleh-oleh. "Tidak apa-apa Aina, kamu ajak saja Davian. Nanti kan
"Dia mencariku.." Teddy muncul dari balik kerumunan orang-orang yang berhenti. "Kamu.." Aina terkejut setengah tidak percaya. Melihat mobil Teddy yang miring di tepi jalan tol, ia menganggap Teddy pasti tidak mungkin akan selamat. Beberapa kali Aina mengucek kedua matanya. Hingga ia benar-benar yakin jika sosok yang dilihatnya adalah benar-benar Teddy. "Siapa kamu?" Gus Zaki segera berpindah posisi di depan Aina. Aina yang masih duduk di aspal hanya bisa memandang wajah orang yang dicemaskannya itu dalam diam. Dari ujung rambut hingga ujung kaki ia mengamati Teddy. Benarkah ini adalah Teddy yang asli? Hati Aina mulai merasa puas setelah mengetahui jika sosok ini adalah Teddy sungguhan. Bukan ilusi atau imajinasinya belaka. "Tanyakan pada Aina, siapa aku!" Balas Teddy sambil tersenyum sinis. "Aina siapa?" Gus Zaki berbalik arah menatap wajah Aina yang sedikit memucat. "Dia bukan siapa-siapa.." Jawaban Ain
Teddy membuka secarik kertas yang ditinggalkan wanita paruh baya itu. Berhati-hati ia mencerna setiap kata yang ditulis olehnya. Elman, ini nomor telepon mama: 081 113 11x xx Telepon mama ya Nak! Sebuah pesan singkat yang ditulis oleh wanita yang baru ia jumpai setelah sekian lama. Memorinya kembali menyeruak. Ia mengingat-ingat lagi, siapa wanita yang sangat tidak asing untuk ingatanya. Ya, benarkah ia adalah wanita yang berpisah darinya beberapa puluh tahun yang lalu? Teddy menggali lagi memorinya tentang ibunya. Yang berpuluh tahun lalu tak meninggalkan jejak di hatinya. Hal terakhir yang ia ingat adalah papanya membawanya pergi dan ia menangis melambaikan tangan pada wanita yang ia cintai itu. Tetapi bagaimana bisa ibunya berada di sebuah pondok pesantren? Bukankah yang ia ingat, ibunya adalah seorang pelayan toko biasa? Saat ia dibawa kabur oleh ibunya, ia hanya hidup sangat sederhana. "Mama.." Teddy tersadar jika suara yang dimiliki oleh wanita itu memang suara milik ibu
"Coba kamu segera ambil keputusan Aina, karena sebagai ibu, aku juga tidak mau membiarkan anakku terlalu lama menunggumu.." kata-kata penutup Bu Nyai Zumroh membuat Aina berpikir. Bahkan hingga kepulangan rombongan ke Kediri, Aina terus memikirkan apa yang Bu Nyai Zumroh katakan padanya. Intinya Aina harus segera mengambil sikap, ia tidak baik berlama-lama di pondok. Mengingat ia sudah lebih dari empat bulan di sana. Perubahan yang ada pada Bu Nyai Zumroh juga membuat hatinya tidak nyaman jika harus berlama-lama di pondok. Memang lebih baik jika Aina segera angkat kaki dan membangun hidup baru di tempat yang lain. "Mbak Aina, kita sudah sampai pondok.." kata salah satu santri padanya. Aina yang lama melamun menjadi tersadar dan beranjak dari mobil yang ia tumpangi. Ketika turun, Gus Zaki sudah menggendong Davian yang tertidur. Ia hanya tersenyum sambil memberikan Davian pada Aina. Tanpa sengaja tangan Aina bersentuhan dengan tangan Gus Zaki. Aina merasakan tangan Gus Zaki yang
Tak ada jawaban dari Aina. Ia hanya diam dan menutup telepon dari Gus Zaki.Paginya Aina masih bertemu Gus Zaki saat akan mengajar Bahasa Inggris di kelas smp. Entah karena modus atau kebetulan, Gus Zaki berada di samping kelas Aina mengajar dalam kurun waktu lumayan lama.Aina hanya pura-pura tidak mengetahui. Ia tetap fokus dengan mengajar.Rupanya Gus Zaki menunggu hingga jam mengajar Aina selesai. Begitu Aina meninggalkan kelas, Gus Zaki langsung mencegat Aina di tengah perjalanan pulang."Aina.." Gus Zaki mengejar dengan setengah berlari."Tunggu aku Aina.."Rupanya Gus Zaki sudah berada pada level nekat. Ia tak lagi malu diperhatikan oleh beberapa santri laki-laki dan perempuan yang berpapasan dengannya.Tentu saja para santri tahu jika Gus Zaki sedang mengejar Aina yang terlihat tergesa-gesa menghindarinya. "Kenapa kamu tidak mendengarkanku? Ayo kita bicara sebentar.." Gus Zaki memegang lengan Aina. Meski Aina mengenakan baju lengan panjang, namun Aina merasa tidak nyaman ket
"Bik Asih, kau??" Teddy memandang wajah pembantu paruh bayanya. Tak diduga Bik Asih memegang senjata api dan menembak ke dada Johan. Sementara Novan sudah terlanjur terkapar tidak bisa terselamatkan. "Kenapa kamu melakukannya? Aku kira kamu....." Teddy terdiam. Bik Asih dengan sebilah pisau melepaskan ikatan tali yang kuat di tangan Teddy dan Aina. Tanpa banyak bicara, Bik Asih membebaskan keduanya. "Mereka berdua pantas mendapatkannya!" Senjata api yang masih terselip di pinggang Bik Asih menjadi saksi, betapa Teddy sangat tidak menyangka jika Bik Asih memiliki kemampuan untuk menembak jarak jauh. "Bik Asih, bagaimana bisa Bibik melakukannya?" Aina masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat baru saja. "Ayo kita pergi dulu.." Dengan tertatih-tatih Aina berjalan keluar dari gudang belakang. Jarak gudang dengan rumah memang cukup jauh. Beberapa kali Aina jatuh tak berdaya. Tangan Teddy dengan sigap
"Johan?? Apa yang kamu lakukan malam-malam begini?" Teddy menutupi tubuh Aina dengan tubuhnya yang lebih kekar. Tanpa mengeluarkan jawaban, Johan terus berjalan mendekati ke arah ranjang Teddy. Ia memperhatikan Teddy dan keluarga kecilnya berkumpul menjadi satu di satu ranjang. Senyum sinis Johan seolah memperlihatkan wajah Johan yang lain pada sang majikan. Dengan jelas Teddy bisa melihat Johan membawa sebuah senjata api yang ia genggam erat di tangan kanannya. Seolah Johan malam ini adalah jelmaan monster yang menyeramkan. "Apa maumu?" Teddy bertanya lagi. Masih belum mengeluarkan suara, Johan tetap berjalan perlahan mendekati Teddy yang sudah duduk bersiap mengapit senjata api di balik selimutnya. "Apa yang mau kamu lakukan pada kami Johan?" Kini Aina berganti unjuk suara untuk membuka mulut Johan yang masih terdiam tanpa jawaban. "Kamu mabuk??" Aina berteriak lagi. Braaakk,,, Segerombolan pria berbaju hitam tiba-tiba masuk ke dalam kamar Teddy melalui balkoni. Lengkap d
Setelah melalui proses persidangan panjang, pada akhirnya kebenaran berpihak pada kemenangan. Teddy dinyatakan bebas oleh hakim ketua. Tangis Teddy pecah, Ia bersujud syukur atas bebasnya tuduhan yang berat yang ditujukan padanya. Pada hari yang mendebarkan itu, Aina sengaja tidak diperbolehkan masuk oleh Pak Gunawan. Ia tidak ingin putrinya mengalami syok atau kaget jika sewaktu-waktu keputusan majelis hakim tidak berpihak kepadanya. Seketika setelah diumumkan, Pak Gunawan berlari dengan tertatih-tatih mendekati Teddy yang sudah berurai dengan penuh air mata. "Selamat Teddy.." Pak Gunawan memberikan sebuah pelukan yang erat untuk keponakannya yang bebas dari penjara. "Terima kasih Om.." Teddy menangis, ia memeluk erat Pak Gunawan.Ia sungguh tidak menyangka bisa keluar dari kasus gelap yang sebenarnya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya."Papaa..." Davian yang menunggu di parkiran berlari ke arah Teddy.Sambil terisak tangis, Teddy memeluk anak sulungnya yang su
"Benarkah?" Aina terkejut saat mengetahui kasus sebenarnya yang menimpa Teddy. Jika saja ia tahu-menahu tentang kasus itu sejak awal, tentu masalah itu tidak akan berlarut-larut seperti ini. "Iya, dan hingga saat ini kami buntu!" Pak Gunawan mendesah. Nafas panjangnya membuat wajahnya berubah dalam kesedihan. "Lalu?" Aina memegang pundak Pak Gunawan yang lesu. Kedua mata Pak Gunawan hanya bisa memandang sesuatu yang jauh. Tak ada sama sekali titik terang dari kasus Teddy. Dan jika dibiarkan, Teddy bisa saja dihukum seumur hidup di dalam penjara. Pak Gunawan menyeka kedua matanya yang menitikkan air mata. Ia tak kuasa menahan kesedihan. Tentu ia juga memikirkan bagaimana nasib anak perempuan dan cucu-cucunya. "Papa.. Aina akan bicara sesuatu pada papa.." tatapan kedua mata Aina menggambarkan keseriusan dalam setiap perkataannya. "Ada apa Aina?" Hati Pak Gunawan tiba-tiba berdesir. Apakah ada sesuatu yang sangat penting sekali? "Pa, tapi papa harus berjanji pada Aina. Jangan ka
Hidup Aina memang sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak ujian yang menimpanya dalam waktu yang hampir bersamaan. Belum selesai kasus Teddy yang sedang dijebloskan ke penjara, dengan tiba-tiba Novan yang sebelumnya masuk sel tahanan malah tiba-tiba keluar begitu saja. Ada yang tidak jelas. Siapa sebenarnya dalang dari semua ini? Apakah hanya Steven? Atau ada yang lain? Aina pening memikirkan semua yang telah terjadi dalam hidupnya. Ia hanya memandang langit-langit kamarnya yang kini nampak terang benderang. Di samping Aina, Devian, bayi kecil yang baru berusia belum genap satu bulan, tertidur lelap. Aina memandang bayi kecil yang sangat mirip dengan kakaknya, Davian. Siapa yang mengira jika pernikahan kali keduanya dengan Teddy akan dikaruniai lagi momongan yang sangat mirip dengan anak pertama mereka? "Kamu begitu mirip dengan kakakmu Nak!" Aina memandangi wajah Devian yang memerah. "Mamaaa..." Davian tiba-tiba masuk dengan berlari. Segera Aina mengingatkan agar Davian berj
"Bagaimana bisa kalian tidak menemukan barang bukti sama sekali??" Teddy emosi melihat hasil kerja anak buahnya yang berhenti di tempat. "Bukankah aku ada di Istana Putih saat hari pembunuhan itu?" Teddy mendobrak meja. Ia lupa jika ia adalah seorang tahanan saat ini. "Bos. kita sudah melapor pada pihak yang berwajib. Tapi tetap saja..." Johan mengeluh. Kali ini kasus yang dihadapi oleh Teddy bukanlah kasus biasa, melainkan kasus berat. Ia bisa saja dihukum seumur hidup atau hukuman berat lainnya. Terlebih lagi, pada kasus ini semua bukti malah mengarah kepada Teddy. Ya, Teddy menjadi tersangka satu-satunya. "Kami akan coba lagi bos. Masalahnya adalah pada saat itu bos juga keluar kan? Jadi tidak banyak yang tahu jika bos juga berada di luar rumah menjelang siang hari.." "Tapi, pada jam pembunuhan, aku masih berada pada kemacetan jalan. Tidak mungkin aku keluar dari mobil dan menghilang ke lokasi kejadian.." Semua kemungkinan yang dipikirkan oleh Teddy dan anak buahnya sudah d
"Tenang Aina..Semua akan baik-baik saja..." Bara berusaha menenangkan Aina agar tidak panik. "Mengapa ia harus dipindahkan?" tanya Aina penasaran. Davian yang tidak mengerti apa-apa hanya mendengar nama papanya beberapa kali disebut-sebut oleh Aina dan juga Bara. "Papa??" tanya Davian. "Iya, Papamu akan segera menjenguk kemari.." Bara berbohong demi menyelamatkan Davian. "Kamu kangen papa Teddy?" "Iya om.. Papa mana?" Davian jadi teringat dengan papanya dan terus menanyakan dimana keberadaan papanya itu. "Nanti ya, papa masih ada urusan di luar kota.." Bara mengepuk-ngepuk punggung Davian dan menggendongnya. "Om Bara tinggal dulu ya? Nanti akan ada banyak orang yang menemani Davian dan mama di luar. Oke?" Bara berusaha membuat Davian untuk tidak mencari Teddy lagi. Makin sering nama Teddy disebut Aina, maka Aina akan makin bersedih hati karena mengingat keberadaan Teddy. Tok..tok..tok.. "Permisi, selamat sore.." seorang perawat masuk ke dalam kamar Aina. "Sore suster.." Ai
"Johan.." Aina memanggil Johan yang duduk di sofa. "Hmm.." tatapan Johan mengarah kepada Aina yang kelihatan cemas sejak kedatangannya. "Bagaimana Tuan Teddy?" Dari nada bicaranya, Aina terlihat begitu ketakutan dengan apa yang akan menimpa Teddy. Sejujurnya Aina memang sangat ingin sekali menjenguk suaminya. Ya, Aina sudah tahu jika suaminya memang menjadi tahanan untuk saat ini. "Sebenarnya ada apa? Kenapa Teddy sampai ditahan di kantor polisi?" Johan hanya mengernyitkan dahi. Seolah ia memang diperintahkan untuk diam. Agar Aina tidak ikut campur urusan suaminya. "Apakah Teddy melakukan kesalahan? Atau ia melakukan kejahatan yang tak bisa dimaafkan?" Pikiran Aina mengembara. Ia mencari jejak kenapa suaminya bisa-bisanya ditahan oleh polisi. Memang hal ini bukan kali pertama Aina mengetahui suaminya menjadi tahanan. Setelah Aina melahirkan Davianpun Teddy pernah tersangkut kasus sehingga harus ditahan selama beberapa bulan. "Sebaiknya kamu sembuh dulu Aina, baru kemudian k
"Terima kasih Steven atas bunganya..." Pak Gunawan langsung mengambil rangkaian bunga itu dari tangan Steven. "Bagaimana kabarmu? Mengapa kamu lama tidak menjenguk Aina?" Mendapat banyak pertanyaan dari Pak Gunawan, Steven hanya tersenyum. Ia kemudian duduk di sofa bersebelahan dengan Bara. "Tidak Om. Beberapa hari ini saya sibuk dengan bisnis di Medan, Jadi saya harus bolak-balik Jakarta Medan hampir setiap hari..." kata Steven. "Aina, ngomong-ngomong bagaimana kabarmu? Aku begitu senang mendengar kamu sudah sadar..." Senyum Steven layak mendapatkan bintang lima. Begitu merekah dan menggoda. "Baik.." jawab Aina singkat. Sejujurnya ia tidak begitu nyaman dengan kehadiran Steven di saat seperti ini. Ia lebih memilih untuk bersama suaminya sendiri daripada dengan lelaki asing seperti dirinya. Karena Stevan terus-menerus mamandang Aina dengan pandangan yang aneh. Meski Bara dan Pak Gunawan juga merasakan hal yang sama.