"Coba kamu segera ambil keputusan Aina, karena sebagai ibu, aku juga tidak mau membiarkan anakku terlalu lama menunggumu.." kata-kata penutup Bu Nyai Zumroh membuat Aina berpikir. Bahkan hingga kepulangan rombongan ke Kediri, Aina terus memikirkan apa yang Bu Nyai Zumroh katakan padanya. Intinya Aina harus segera mengambil sikap, ia tidak baik berlama-lama di pondok. Mengingat ia sudah lebih dari empat bulan di sana. Perubahan yang ada pada Bu Nyai Zumroh juga membuat hatinya tidak nyaman jika harus berlama-lama di pondok. Memang lebih baik jika Aina segera angkat kaki dan membangun hidup baru di tempat yang lain. "Mbak Aina, kita sudah sampai pondok.." kata salah satu santri padanya. Aina yang lama melamun menjadi tersadar dan beranjak dari mobil yang ia tumpangi. Ketika turun, Gus Zaki sudah menggendong Davian yang tertidur. Ia hanya tersenyum sambil memberikan Davian pada Aina. Tanpa sengaja tangan Aina bersentuhan dengan tangan Gus Zaki. Aina merasakan tangan Gus Zaki yang
Tak ada jawaban dari Aina. Ia hanya diam dan menutup telepon dari Gus Zaki.Paginya Aina masih bertemu Gus Zaki saat akan mengajar Bahasa Inggris di kelas smp. Entah karena modus atau kebetulan, Gus Zaki berada di samping kelas Aina mengajar dalam kurun waktu lumayan lama.Aina hanya pura-pura tidak mengetahui. Ia tetap fokus dengan mengajar.Rupanya Gus Zaki menunggu hingga jam mengajar Aina selesai. Begitu Aina meninggalkan kelas, Gus Zaki langsung mencegat Aina di tengah perjalanan pulang."Aina.." Gus Zaki mengejar dengan setengah berlari."Tunggu aku Aina.."Rupanya Gus Zaki sudah berada pada level nekat. Ia tak lagi malu diperhatikan oleh beberapa santri laki-laki dan perempuan yang berpapasan dengannya.Tentu saja para santri tahu jika Gus Zaki sedang mengejar Aina yang terlihat tergesa-gesa menghindarinya. "Kenapa kamu tidak mendengarkanku? Ayo kita bicara sebentar.." Gus Zaki memegang lengan Aina. Meski Aina mengenakan baju lengan panjang, namun Aina merasa tidak nyaman ket
"Kenapa Ummik tidak mau merestuinya?" Gus Zaki memberanikan diri untuk bertanya. Hatinya menjadi gusar saat tidak mendapatkan restu dari ibundanya sendiri. "Pokoknya Ummik tetap tidak setuju.." Bu Nyai Zumroh tetap kekeuh dengan pendiriannya. "Kalau saya tidak boleh menikahi Aina, lebih baik saya tidak menikah seumur hidup saya Ummik!" jawaban telak dari Gus Zaki tidak kalah dengan Bu Nyai Zumroh. Keduanya sama-sama tidak mau mengalah dan tetap pada prinsip hidupnya masing-masing. Melihat istri dan anaknya tidak ada yang mau mengalah, Kiai Ali menjadi sedih. "Aina, kalau kamu sendiri seumpama dipersunting oleh Gus Zaki apakah kamu bersedia?" Pertanyaan dari Kiai Ali malah seolah-olah menyalakan lampu hijau untuk Gus Zaki. "Abah, pokoknya saya tidak setuju!" Bu Nyai Zumroh tidak terima suaminya bertanya hal itu pada Aina. "Sebentar Bu Nyai Zumroh, saya masih bertanya pada Aina. Ya siapa tahu kan Gus Zaki ini cuma bertepuk sebelah tangan saja?" "Nah, Aina. Apakah kamu setuju at
"Barakallah.." semua berteriak bahagia. Padahal mereka semua tidak ada yang mengenali siapa laki-laki yang baru saja menikahi Aina. Bahkan mereka semua hanya tahu siapa namanya saja. "Ayo Aina.." Bu Nyai Zumroh mengajak Aina untuk beranjak berpindah tempat. Setelah sah, biasanya memang kedua mempelai pengantin akan dipertemukan sebagai suami istri untuk pertama kalinya. Langkah Aina tiba-tiba terasa berat. Ia tidak kuasa membendung jutaan air mata yang mengalir di pipinya. Semua mengalir begitu saja. "Bagaimana kabarmu Aina?" Teddy bertanya dengan tatapan yang berbinar. Aina yang masih syok berat hanya diam tanpa berkata-kata apapun. Ia lantas diminta untuk mencium tangan kanan Teddy. Tak disangka meski ini pernikahan keduanya dengan Teddy, masih ada rasa gugup di hati Aina. Ia nampak ragu-ragu untuk mengulurkan tangannya pada suaminya. "Aina.." Teddy mengulurkan senyum pada istrinya. Hati Teddy sedang berbunga-bunga. Betapa tidak, pujaan hatinya kembali menjadi istrinya untu
"Apa yang dia berikan untukmu?" Teddy melirik sebuah kotak yang diberikan oleh Gus Zaki yang kini berada dalam genggaman tangan Aina. "Ini hanya sebuah .." "Apa-apaan ini? Dan kamu menerimanya?" Teddy memperlihatkan kalung emas di depan kedua mata Aina. Aina hanya diam. Ia tidak berani menjawabnya. "Maksudnya kalian masih tetap berhubungan begitu setelah menikah? Iya?" Teddy menodongkan kalung itu pada Aina dari dekat. Gelengan kepala Aina seharusnya sudah cukup untuk menjadi tanda bahwa ia tidak akan melakukan hal itu. Namun Teddy terlanjur tersulut emosi dan akhirnya membanting kalung beserta wadahnya. "Sekarang kamu masih tetap tidak mau melayaniku sebagai istri?" Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Teddy untuk memojokkan Aina agar ia lebih menurut kepadanya. "Maafkan aku.." Aina bersimpuh di kaki Teddy. Senyuman licik mengembang di bibir Teddy. Ia merasa kemenangan sedang berada di pih
"Ayo kita turun.." Teddy membukakan pintu untuk Aina. Kedua mata Aina mulai terbuka. Ya, mereka datang kembali ke Istana Putih! "Sini Davian biar Bik Asih gendong.." Bik Asih dan pembantu lain sudah menyambut kedatangan Aina. "Aina kamu datang lagi!" Hana dan Lilik tersenyum. "Hati-hati Davian.." Bik Asih menggendong Davian dan membawanya masuk ke dalam rumah. Sementara Teddy tidak memperdulikan Aina ataupun Davian. Ia langsung menuju dalam rumah dan menyuruh pembantunya untuk mengurusi anak dan istrinya. Aina hanya bisa memandang Teddy yang berubah menjadi dingin seketika. "Huff.." Aina mendesah pelan. Ia harap Teddy tidak akan mendekatinya lagi saat berada di Istana Putih. "Semoga saja ia sibuk dengan urusannya sendiri.." batin Aina. "Ayo kita masuk Davian.." Bik Asih mengajak Davian masuk ke dalam rumah. Aina mengamati Istana Putih yang sudah lama ia tinggalkan. Semuanya nampak masih sama seperti dahulu, Tak ada yang berubah. Bahkan posisi pot bunga dan jenis tanaman yan
"Apa yang kamu mau?" Aina mengelakkan tangannya dari tangan Teddy."Jangan pergi. Teman-temanku ingin mengenalmu lebih dalam lagi.."Teddy bersikeras menyeret Aina kembali ke pesta yang sudah dipersiapkan sejak sehari sebelum kedatangannya."Lebih baik aku kembali ke kamar.." "Aina, ingat! sekarang kamu adalah istriku. Jangan sampai nama dan citraku buruk karena ulahmu.."Sambil menggerutu Aina mau tidak mau harus mengikuti Teddy kembali ke singgasana pesta lagi."Ah maaf istriku tidak enak badan tadi.." Teddy kembali membawa Aina di tengah sahabat-sahabatnya."Biasalah. Wanita seperti ini memang gampang sekali merajuk..hahaha" "Hei jangan mulai lagi.." seru yang lain mengingatkan."Teddy, kamu sekarang terlihat bahagia.." seorang teman Teddy yang baru datang menepuk pundaknya."Hei Bro!" Teddy memeluk pria tadi dengan erat."Steven kapan kamu datang?" Teddy bertanya sambil menatap wajah Steven.Sudah beberapa bulan Teddy tidak bertemu sahabat karibnya itu."Ini Aina?" tanya Steven
"Benarkah ini kamu?" Teddy mematung di ambang pintu. Jantung Teddy berdetak dengan sangat kencang. Tangan kanan Aina meraba dada Teddy sehingga ia bisa merasakan sensasi adrenalin yang berpacu pada suaminya. "Ada apa denganmu Tuan?" tanya Aina dengan penuh kelembutan. Beberapa kali Teddy mengucek matanya. Memastikan semua bukanlah sebuah mimpi atau ilusi. "Apakah aku bermimpi?" Teddy berdecak kagum dengan ciptaan Tuhan yang ia lihat. Aina begitu nampak mempesona dengan balutan gaun brokat transparan yang memperlihatkan lekukan tubuhnya. Meski ia sudah menikah dua kali, Aina masih nampak seperti seorang gadis yang baru pertama kali menikah. "Kemarilah.." Aina menyeret lengan Teddy dengan manja. Teddy masih belum sadar seratus persen. Ia masih mengira-ngira apakah ia sedang berada di alam mimpi atau nyata. "Apa maumu?" tanya Teddy. Dengan spontan Aina menjatuhkan Teddy ke ranjang besar dan membiarkannya terkapar tidak berdaya. Aina mendekati Teddy dan membisikkan sesuatu ke tel
"Bik Asih, kau??" Teddy memandang wajah pembantu paruh bayanya. Tak diduga Bik Asih memegang senjata api dan menembak ke dada Johan. Sementara Novan sudah terlanjur terkapar tidak bisa terselamatkan. "Kenapa kamu melakukannya? Aku kira kamu....." Teddy terdiam. Bik Asih dengan sebilah pisau melepaskan ikatan tali yang kuat di tangan Teddy dan Aina. Tanpa banyak bicara, Bik Asih membebaskan keduanya. "Mereka berdua pantas mendapatkannya!" Senjata api yang masih terselip di pinggang Bik Asih menjadi saksi, betapa Teddy sangat tidak menyangka jika Bik Asih memiliki kemampuan untuk menembak jarak jauh. "Bik Asih, bagaimana bisa Bibik melakukannya?" Aina masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat baru saja. "Ayo kita pergi dulu.." Dengan tertatih-tatih Aina berjalan keluar dari gudang belakang. Jarak gudang dengan rumah memang cukup jauh. Beberapa kali Aina jatuh tak berdaya. Tangan Teddy dengan sigap
"Johan?? Apa yang kamu lakukan malam-malam begini?" Teddy menutupi tubuh Aina dengan tubuhnya yang lebih kekar. Tanpa mengeluarkan jawaban, Johan terus berjalan mendekati ke arah ranjang Teddy. Ia memperhatikan Teddy dan keluarga kecilnya berkumpul menjadi satu di satu ranjang. Senyum sinis Johan seolah memperlihatkan wajah Johan yang lain pada sang majikan. Dengan jelas Teddy bisa melihat Johan membawa sebuah senjata api yang ia genggam erat di tangan kanannya. Seolah Johan malam ini adalah jelmaan monster yang menyeramkan. "Apa maumu?" Teddy bertanya lagi. Masih belum mengeluarkan suara, Johan tetap berjalan perlahan mendekati Teddy yang sudah duduk bersiap mengapit senjata api di balik selimutnya. "Apa yang mau kamu lakukan pada kami Johan?" Kini Aina berganti unjuk suara untuk membuka mulut Johan yang masih terdiam tanpa jawaban. "Kamu mabuk??" Aina berteriak lagi. Braaakk,,, Segerombolan pria berbaju hitam tiba-tiba masuk ke dalam kamar Teddy melalui balkoni. Lengkap d
Setelah melalui proses persidangan panjang, pada akhirnya kebenaran berpihak pada kemenangan. Teddy dinyatakan bebas oleh hakim ketua. Tangis Teddy pecah, Ia bersujud syukur atas bebasnya tuduhan yang berat yang ditujukan padanya. Pada hari yang mendebarkan itu, Aina sengaja tidak diperbolehkan masuk oleh Pak Gunawan. Ia tidak ingin putrinya mengalami syok atau kaget jika sewaktu-waktu keputusan majelis hakim tidak berpihak kepadanya. Seketika setelah diumumkan, Pak Gunawan berlari dengan tertatih-tatih mendekati Teddy yang sudah berurai dengan penuh air mata. "Selamat Teddy.." Pak Gunawan memberikan sebuah pelukan yang erat untuk keponakannya yang bebas dari penjara. "Terima kasih Om.." Teddy menangis, ia memeluk erat Pak Gunawan.Ia sungguh tidak menyangka bisa keluar dari kasus gelap yang sebenarnya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya."Papaa..." Davian yang menunggu di parkiran berlari ke arah Teddy.Sambil terisak tangis, Teddy memeluk anak sulungnya yang su
"Benarkah?" Aina terkejut saat mengetahui kasus sebenarnya yang menimpa Teddy. Jika saja ia tahu-menahu tentang kasus itu sejak awal, tentu masalah itu tidak akan berlarut-larut seperti ini. "Iya, dan hingga saat ini kami buntu!" Pak Gunawan mendesah. Nafas panjangnya membuat wajahnya berubah dalam kesedihan. "Lalu?" Aina memegang pundak Pak Gunawan yang lesu. Kedua mata Pak Gunawan hanya bisa memandang sesuatu yang jauh. Tak ada sama sekali titik terang dari kasus Teddy. Dan jika dibiarkan, Teddy bisa saja dihukum seumur hidup di dalam penjara. Pak Gunawan menyeka kedua matanya yang menitikkan air mata. Ia tak kuasa menahan kesedihan. Tentu ia juga memikirkan bagaimana nasib anak perempuan dan cucu-cucunya. "Papa.. Aina akan bicara sesuatu pada papa.." tatapan kedua mata Aina menggambarkan keseriusan dalam setiap perkataannya. "Ada apa Aina?" Hati Pak Gunawan tiba-tiba berdesir. Apakah ada sesuatu yang sangat penting sekali? "Pa, tapi papa harus berjanji pada Aina. Jangan ka
Hidup Aina memang sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak ujian yang menimpanya dalam waktu yang hampir bersamaan. Belum selesai kasus Teddy yang sedang dijebloskan ke penjara, dengan tiba-tiba Novan yang sebelumnya masuk sel tahanan malah tiba-tiba keluar begitu saja. Ada yang tidak jelas. Siapa sebenarnya dalang dari semua ini? Apakah hanya Steven? Atau ada yang lain? Aina pening memikirkan semua yang telah terjadi dalam hidupnya. Ia hanya memandang langit-langit kamarnya yang kini nampak terang benderang. Di samping Aina, Devian, bayi kecil yang baru berusia belum genap satu bulan, tertidur lelap. Aina memandang bayi kecil yang sangat mirip dengan kakaknya, Davian. Siapa yang mengira jika pernikahan kali keduanya dengan Teddy akan dikaruniai lagi momongan yang sangat mirip dengan anak pertama mereka? "Kamu begitu mirip dengan kakakmu Nak!" Aina memandangi wajah Devian yang memerah. "Mamaaa..." Davian tiba-tiba masuk dengan berlari. Segera Aina mengingatkan agar Davian berj
"Bagaimana bisa kalian tidak menemukan barang bukti sama sekali??" Teddy emosi melihat hasil kerja anak buahnya yang berhenti di tempat. "Bukankah aku ada di Istana Putih saat hari pembunuhan itu?" Teddy mendobrak meja. Ia lupa jika ia adalah seorang tahanan saat ini. "Bos. kita sudah melapor pada pihak yang berwajib. Tapi tetap saja..." Johan mengeluh. Kali ini kasus yang dihadapi oleh Teddy bukanlah kasus biasa, melainkan kasus berat. Ia bisa saja dihukum seumur hidup atau hukuman berat lainnya. Terlebih lagi, pada kasus ini semua bukti malah mengarah kepada Teddy. Ya, Teddy menjadi tersangka satu-satunya. "Kami akan coba lagi bos. Masalahnya adalah pada saat itu bos juga keluar kan? Jadi tidak banyak yang tahu jika bos juga berada di luar rumah menjelang siang hari.." "Tapi, pada jam pembunuhan, aku masih berada pada kemacetan jalan. Tidak mungkin aku keluar dari mobil dan menghilang ke lokasi kejadian.." Semua kemungkinan yang dipikirkan oleh Teddy dan anak buahnya sudah d
"Tenang Aina..Semua akan baik-baik saja..." Bara berusaha menenangkan Aina agar tidak panik. "Mengapa ia harus dipindahkan?" tanya Aina penasaran. Davian yang tidak mengerti apa-apa hanya mendengar nama papanya beberapa kali disebut-sebut oleh Aina dan juga Bara. "Papa??" tanya Davian. "Iya, Papamu akan segera menjenguk kemari.." Bara berbohong demi menyelamatkan Davian. "Kamu kangen papa Teddy?" "Iya om.. Papa mana?" Davian jadi teringat dengan papanya dan terus menanyakan dimana keberadaan papanya itu. "Nanti ya, papa masih ada urusan di luar kota.." Bara mengepuk-ngepuk punggung Davian dan menggendongnya. "Om Bara tinggal dulu ya? Nanti akan ada banyak orang yang menemani Davian dan mama di luar. Oke?" Bara berusaha membuat Davian untuk tidak mencari Teddy lagi. Makin sering nama Teddy disebut Aina, maka Aina akan makin bersedih hati karena mengingat keberadaan Teddy. Tok..tok..tok.. "Permisi, selamat sore.." seorang perawat masuk ke dalam kamar Aina. "Sore suster.." Ai
"Johan.." Aina memanggil Johan yang duduk di sofa. "Hmm.." tatapan Johan mengarah kepada Aina yang kelihatan cemas sejak kedatangannya. "Bagaimana Tuan Teddy?" Dari nada bicaranya, Aina terlihat begitu ketakutan dengan apa yang akan menimpa Teddy. Sejujurnya Aina memang sangat ingin sekali menjenguk suaminya. Ya, Aina sudah tahu jika suaminya memang menjadi tahanan untuk saat ini. "Sebenarnya ada apa? Kenapa Teddy sampai ditahan di kantor polisi?" Johan hanya mengernyitkan dahi. Seolah ia memang diperintahkan untuk diam. Agar Aina tidak ikut campur urusan suaminya. "Apakah Teddy melakukan kesalahan? Atau ia melakukan kejahatan yang tak bisa dimaafkan?" Pikiran Aina mengembara. Ia mencari jejak kenapa suaminya bisa-bisanya ditahan oleh polisi. Memang hal ini bukan kali pertama Aina mengetahui suaminya menjadi tahanan. Setelah Aina melahirkan Davianpun Teddy pernah tersangkut kasus sehingga harus ditahan selama beberapa bulan. "Sebaiknya kamu sembuh dulu Aina, baru kemudian k
"Terima kasih Steven atas bunganya..." Pak Gunawan langsung mengambil rangkaian bunga itu dari tangan Steven. "Bagaimana kabarmu? Mengapa kamu lama tidak menjenguk Aina?" Mendapat banyak pertanyaan dari Pak Gunawan, Steven hanya tersenyum. Ia kemudian duduk di sofa bersebelahan dengan Bara. "Tidak Om. Beberapa hari ini saya sibuk dengan bisnis di Medan, Jadi saya harus bolak-balik Jakarta Medan hampir setiap hari..." kata Steven. "Aina, ngomong-ngomong bagaimana kabarmu? Aku begitu senang mendengar kamu sudah sadar..." Senyum Steven layak mendapatkan bintang lima. Begitu merekah dan menggoda. "Baik.." jawab Aina singkat. Sejujurnya ia tidak begitu nyaman dengan kehadiran Steven di saat seperti ini. Ia lebih memilih untuk bersama suaminya sendiri daripada dengan lelaki asing seperti dirinya. Karena Stevan terus-menerus mamandang Aina dengan pandangan yang aneh. Meski Bara dan Pak Gunawan juga merasakan hal yang sama.