"Benarkah ini kamu?" Teddy mematung di ambang pintu. Jantung Teddy berdetak dengan sangat kencang. Tangan kanan Aina meraba dada Teddy sehingga ia bisa merasakan sensasi adrenalin yang berpacu pada suaminya. "Ada apa denganmu Tuan?" tanya Aina dengan penuh kelembutan. Beberapa kali Teddy mengucek matanya. Memastikan semua bukanlah sebuah mimpi atau ilusi. "Apakah aku bermimpi?" Teddy berdecak kagum dengan ciptaan Tuhan yang ia lihat. Aina begitu nampak mempesona dengan balutan gaun brokat transparan yang memperlihatkan lekukan tubuhnya. Meski ia sudah menikah dua kali, Aina masih nampak seperti seorang gadis yang baru pertama kali menikah. "Kemarilah.." Aina menyeret lengan Teddy dengan manja. Teddy masih belum sadar seratus persen. Ia masih mengira-ngira apakah ia sedang berada di alam mimpi atau nyata. "Apa maumu?" tanya Teddy. Dengan spontan Aina menjatuhkan Teddy ke ranjang besar dan membiarkannya terkapar tidak berdaya. Aina mendekati Teddy dan membisikkan sesuatu ke tel
"Bos, apa tidak kasihan mengacuhkan Davian seperti itu?" Johan melirik ke arah Teddy melalui kaca di tengah. "Tidak apa-apa.." "Saya tidak bisa melihat anak kecil menangis tersedu begitu bos, tidak tega!" kat johan menambahi. Teddy hanya tersenyum kecut. Tak ada balasan lagi darinya. Ia malah membuka ponsel dan mencari sesuatu yang ada di dalamnya. Johan terngiang-ngiang tangisan Davian. Isak tangisnya seperti masih terdengar jelas di kedua telinganya. Konsentrasi Johan sedikit terganggu dengan hadirnya bayang-bayang Davian saat mengemudi."Johaan.." Teddy berteriak.Barulah Johan tersadar jika ia hampir saja menyenggol pengemudi sepeda motor yang berhenti di tepi jalanan."Maaf Bos.." kata Johan sambil melirik."Ada apa denganmu? kamu kelihatan lelah. Aku saja yang nyetir!" Teddy sedikit membentak Johan yang kurang konsentrasi saat mengendara."Jangan Bos..tadi cuma sebentar saja agak mengantuk.." kata Johan.Beberapa saat kemudian Johan segera menghentikan laju mobil dan berhen
Aina terengah-engah berlari mendekati ruangan Teddy. Ia masih tak mempercayai kabar yang didengarnya tadi. "Bagaimana bisa begini?" Aina menitikkan air mata. "Aina, aku minta maaf.." Steven menepuk lengan Aina dengan penuh penyesalan. Aina terkejut saat terjadi kontak fisik dengan Steven. Ia hanya diam dan mendekati Teddy yang masih tak sadarkan diri. Kepala Teddy terbentur aspal dan terkena batu yang berada di tepi jalanan aspal. Pendarahan cukup parah membuatnya tak sadarkan diri hingga kini. "Kamu harus bersabar Aina.." Steven duduk di sebelah Aina. Beberapa kali ia berusaha untuk memegang lengan atau tangan Aina. Namun berkali-kali itu pula Aina berusaha menepisnya. Ia merasa situasi makin tidak nyaman. "Bagaimana kata dokter?" tanya Aina pada Steven. "Lukanya hanya bagian luar saja. Sepertinya ia tidak perlu operasi atau yang lainnya.." "Syukurlah.." Aina sedikit lega mendengarnya. Namun begitu ia tetap khawatir dan berusaha untuk mendampingi Teddy saat masih belum sada
"Ah, maafkan aku..Aku takut kalau kamu tertabrak dan terjadi sesuatu yang tak diinginkan.." Steven segera menarik tangannya dari tangan Aina."Terima kasih.." Aina kembali menyeberang jalan dengan lebih hati-hati.Berbeda dari tebakan Steven, Aina justru mencari toko buku yang menjual Al Qur'an dan mukena. Ia ingin bisa beribadah dengan persiapan yang baik."Kamu tidak mencari baju?" Steven bertanya pada Aina setelah keluar membeli buku."Nanti saja.." balas Aina."Tidak, kamu harus mencarinya sekarang.." Steven memaksa kembali Aina untuk membeli baju."Baiklah.."Karena sedang tidak mood belanja, Aina hanya memilih baju secara acak, asalkan muat di ukuran tubuhnya dan warnanya tidak mencolok."Sudah cukup?" Steven memastikan Aina tidak kekurangan baju ganti saat di rumah sakit."Sudah..""Sini.." Steven merebut tas belanjaan baju Aina."Kenapa mas, apa ada yang salah?" Aina kebingungan melihat kelakuan Steven."Aku saja yang bayar. Anggap aku adalah saudara Teddy..Jadi aku juga sauda
Sudah hampir dua belas hari Teddy berada di rumah sakit. Dan ketika hari kedua belas, Davian diajak oleh Bik Asih ke rumah sakit menjenguk papanya. "Papaa..." Davian begitu senang bisa bertemu lagi dengan Teddy. Tak diduga ia harus menanggung rindu hampir dua minggu dengan papanya. Meski Teddy sering menolak Davian untuk bermain, tapi Davian tidak membenci Teddy sama sekali. Ia masih terus ingin dekat dengannya selalu. "Kemarilah.." Aina melambaikan tangannya agar Davian berada di dekatnya. "Papa sakit.." kata Aina. "Siapa ini?" Teddy bertanya. Seolah ia memang tidak mengenali lagi anak semata wayangnya. "Ini Davian, anak kita.." Aina menyodorkan tangan kecil Davian kepada tangan kanan Teddy. Teddy masih belum bisa mengingat dengan jelas siapa saja orang-orang yang hidup bersamanya saat ini. Terlebih terlalu banyak nama-nama yang harus ia hafal ketika ia sadar. "Davian, coba kamu cium papa Nak!" Aina menggendong Davian sambil mendekatkan pipi Davian dengan Teddy. "Papa cepat
"Kemana kamu akan membawaku?" Aina yang duduk di belakang sedikit bingung dengan jalan yang dilalui. Ia nampak tak biasa melewati jalanan ini."Tenang. Jangan takut.." Steven menoleh dan menenangkan keadaan."Mama..lapar.." Davian merengek lapar. Sejak pagi ia memang tidak mau memakan sesuatu di rumah."Kalau begitu kita akan cari makan dulu untukmu ya Davian.." Davian menganggukkan kepala, tanda setuju. Akhirnya Steven mengajak mereka berdua ke sebuah restoran masakan Cina yang terkenal."Apakah halal?" bisik Aina pada Steven."Kamu belum pernah kemari?" Steven bertanya balik pada Aina.Saat Aina hanya diam, berarti ia memang belum pernah ke tempat ini. Steven hanya tersenyum dan menunjukkan logo halal yang terbentang besar di atas kepala mereka.Barulah Aina tersenyum dan mau melangkahkan kakinya ke tempat yang ramai itu. "Ayo Davian.." ia mengajak Davian berjalan mencari tempat duduk yang nyaman. Karena terlalu ramai, akhirnya mereka hanya duduk di kursi kecil yang berada di po
Saat tangan Steven mulai memegang kepala Aina, secara spontan tangan Aina segera memegang tangan Steven. Sentuhan tangan Aina membuat Steven seperti terkena aliran listrik yang membuat jiwanya sedikit terkejut. "Maaf Aina, ada serangga.. Ini.." Steven menunjukkan sebuah semut merah yang hinggap di kepala Aina dan berjalan-jalan di atasnya. Aina segera meminta maaf karena sudah berpikir yang tidak-tidak. Ia memang sedikit sensitif dengan pria, apalagi dengan pria asing seperti Steven. "Ah, maaf Mas Steven saya tidak tahu!" Aina merasa sungkan karena sudah menuduh Steven yang bukan-bukan di hatinya. "Aku juga minta maaf padamu karena tidak bilang jika menguping pembicaraanmu dengan pembantu.. Ah iya, Davian berada di kolam renang ditemani pembantuku yang lain.." "Benarkah?" Aina merasa cemas. "Tidak apa-apa, dia menggunakan pelampung. Oh ya, aku mau pamit keluar dulu..Kalau ada apa-apa kamu bisa menghubungiku.."
"Tumben kamu datang kemari?" Steven mempersilahkan Teddy duduk."Ya, begitulah.." kata Teddy. Kedua mata Teddy menerawang ke seluruh penjuru. Seolah ia sedang mencari sesuatu yang tersembunyi."Kamu mencari seseorang?" Steven memancing Teddy yang terlihat mencari-cari."Tidak..aku tidak mencari siapa-siapa.." Teddy kembali duduk dengan santai."Lalu apa keperluanmu malam-malam kemari.." Steven menyilangkan satu kakinya di atas kaki yang lain."Tak ada. Aku tiba-tiba ingin ke rumahmu.." Raut wajah Teddy terlihat sedikit cemas dan bingung. Ia terlihat tidak bisa duduk dengan jenak. "Stev.. Apakah.." baru mulai berbicara, terdengar suara tangis dari arah tangga."Mamaaaa...Dav ngantukkk....." Davian merengek minta masuk ke dalam kamar untuk melanjutkan tidur."Siapa itu?" Teddy mendongakkan kepalanya ke atas. Melihat siapa yang sedang menangis."Itu? Itu yang kamu cari?" tanya Steven sambil tersenyum."Kamu mencari Aina dan anaknya?" imbuh Steven lagi."Tidak.. Aku hanya.." lidah Teddy
"Bik Asih, kau??" Teddy memandang wajah pembantu paruh bayanya. Tak diduga Bik Asih memegang senjata api dan menembak ke dada Johan. Sementara Novan sudah terlanjur terkapar tidak bisa terselamatkan. "Kenapa kamu melakukannya? Aku kira kamu....." Teddy terdiam. Bik Asih dengan sebilah pisau melepaskan ikatan tali yang kuat di tangan Teddy dan Aina. Tanpa banyak bicara, Bik Asih membebaskan keduanya. "Mereka berdua pantas mendapatkannya!" Senjata api yang masih terselip di pinggang Bik Asih menjadi saksi, betapa Teddy sangat tidak menyangka jika Bik Asih memiliki kemampuan untuk menembak jarak jauh. "Bik Asih, bagaimana bisa Bibik melakukannya?" Aina masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat baru saja. "Ayo kita pergi dulu.." Dengan tertatih-tatih Aina berjalan keluar dari gudang belakang. Jarak gudang dengan rumah memang cukup jauh. Beberapa kali Aina jatuh tak berdaya. Tangan Teddy dengan sigap
"Johan?? Apa yang kamu lakukan malam-malam begini?" Teddy menutupi tubuh Aina dengan tubuhnya yang lebih kekar. Tanpa mengeluarkan jawaban, Johan terus berjalan mendekati ke arah ranjang Teddy. Ia memperhatikan Teddy dan keluarga kecilnya berkumpul menjadi satu di satu ranjang. Senyum sinis Johan seolah memperlihatkan wajah Johan yang lain pada sang majikan. Dengan jelas Teddy bisa melihat Johan membawa sebuah senjata api yang ia genggam erat di tangan kanannya. Seolah Johan malam ini adalah jelmaan monster yang menyeramkan. "Apa maumu?" Teddy bertanya lagi. Masih belum mengeluarkan suara, Johan tetap berjalan perlahan mendekati Teddy yang sudah duduk bersiap mengapit senjata api di balik selimutnya. "Apa yang mau kamu lakukan pada kami Johan?" Kini Aina berganti unjuk suara untuk membuka mulut Johan yang masih terdiam tanpa jawaban. "Kamu mabuk??" Aina berteriak lagi. Braaakk,,, Segerombolan pria berbaju hitam tiba-tiba masuk ke dalam kamar Teddy melalui balkoni. Lengkap d
Setelah melalui proses persidangan panjang, pada akhirnya kebenaran berpihak pada kemenangan. Teddy dinyatakan bebas oleh hakim ketua. Tangis Teddy pecah, Ia bersujud syukur atas bebasnya tuduhan yang berat yang ditujukan padanya. Pada hari yang mendebarkan itu, Aina sengaja tidak diperbolehkan masuk oleh Pak Gunawan. Ia tidak ingin putrinya mengalami syok atau kaget jika sewaktu-waktu keputusan majelis hakim tidak berpihak kepadanya. Seketika setelah diumumkan, Pak Gunawan berlari dengan tertatih-tatih mendekati Teddy yang sudah berurai dengan penuh air mata. "Selamat Teddy.." Pak Gunawan memberikan sebuah pelukan yang erat untuk keponakannya yang bebas dari penjara. "Terima kasih Om.." Teddy menangis, ia memeluk erat Pak Gunawan.Ia sungguh tidak menyangka bisa keluar dari kasus gelap yang sebenarnya sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya."Papaa..." Davian yang menunggu di parkiran berlari ke arah Teddy.Sambil terisak tangis, Teddy memeluk anak sulungnya yang su
"Benarkah?" Aina terkejut saat mengetahui kasus sebenarnya yang menimpa Teddy. Jika saja ia tahu-menahu tentang kasus itu sejak awal, tentu masalah itu tidak akan berlarut-larut seperti ini. "Iya, dan hingga saat ini kami buntu!" Pak Gunawan mendesah. Nafas panjangnya membuat wajahnya berubah dalam kesedihan. "Lalu?" Aina memegang pundak Pak Gunawan yang lesu. Kedua mata Pak Gunawan hanya bisa memandang sesuatu yang jauh. Tak ada sama sekali titik terang dari kasus Teddy. Dan jika dibiarkan, Teddy bisa saja dihukum seumur hidup di dalam penjara. Pak Gunawan menyeka kedua matanya yang menitikkan air mata. Ia tak kuasa menahan kesedihan. Tentu ia juga memikirkan bagaimana nasib anak perempuan dan cucu-cucunya. "Papa.. Aina akan bicara sesuatu pada papa.." tatapan kedua mata Aina menggambarkan keseriusan dalam setiap perkataannya. "Ada apa Aina?" Hati Pak Gunawan tiba-tiba berdesir. Apakah ada sesuatu yang sangat penting sekali? "Pa, tapi papa harus berjanji pada Aina. Jangan ka
Hidup Aina memang sedang tidak baik-baik saja. Ada banyak ujian yang menimpanya dalam waktu yang hampir bersamaan. Belum selesai kasus Teddy yang sedang dijebloskan ke penjara, dengan tiba-tiba Novan yang sebelumnya masuk sel tahanan malah tiba-tiba keluar begitu saja. Ada yang tidak jelas. Siapa sebenarnya dalang dari semua ini? Apakah hanya Steven? Atau ada yang lain? Aina pening memikirkan semua yang telah terjadi dalam hidupnya. Ia hanya memandang langit-langit kamarnya yang kini nampak terang benderang. Di samping Aina, Devian, bayi kecil yang baru berusia belum genap satu bulan, tertidur lelap. Aina memandang bayi kecil yang sangat mirip dengan kakaknya, Davian. Siapa yang mengira jika pernikahan kali keduanya dengan Teddy akan dikaruniai lagi momongan yang sangat mirip dengan anak pertama mereka? "Kamu begitu mirip dengan kakakmu Nak!" Aina memandangi wajah Devian yang memerah. "Mamaaa..." Davian tiba-tiba masuk dengan berlari. Segera Aina mengingatkan agar Davian berj
"Bagaimana bisa kalian tidak menemukan barang bukti sama sekali??" Teddy emosi melihat hasil kerja anak buahnya yang berhenti di tempat. "Bukankah aku ada di Istana Putih saat hari pembunuhan itu?" Teddy mendobrak meja. Ia lupa jika ia adalah seorang tahanan saat ini. "Bos. kita sudah melapor pada pihak yang berwajib. Tapi tetap saja..." Johan mengeluh. Kali ini kasus yang dihadapi oleh Teddy bukanlah kasus biasa, melainkan kasus berat. Ia bisa saja dihukum seumur hidup atau hukuman berat lainnya. Terlebih lagi, pada kasus ini semua bukti malah mengarah kepada Teddy. Ya, Teddy menjadi tersangka satu-satunya. "Kami akan coba lagi bos. Masalahnya adalah pada saat itu bos juga keluar kan? Jadi tidak banyak yang tahu jika bos juga berada di luar rumah menjelang siang hari.." "Tapi, pada jam pembunuhan, aku masih berada pada kemacetan jalan. Tidak mungkin aku keluar dari mobil dan menghilang ke lokasi kejadian.." Semua kemungkinan yang dipikirkan oleh Teddy dan anak buahnya sudah d
"Tenang Aina..Semua akan baik-baik saja..." Bara berusaha menenangkan Aina agar tidak panik. "Mengapa ia harus dipindahkan?" tanya Aina penasaran. Davian yang tidak mengerti apa-apa hanya mendengar nama papanya beberapa kali disebut-sebut oleh Aina dan juga Bara. "Papa??" tanya Davian. "Iya, Papamu akan segera menjenguk kemari.." Bara berbohong demi menyelamatkan Davian. "Kamu kangen papa Teddy?" "Iya om.. Papa mana?" Davian jadi teringat dengan papanya dan terus menanyakan dimana keberadaan papanya itu. "Nanti ya, papa masih ada urusan di luar kota.." Bara mengepuk-ngepuk punggung Davian dan menggendongnya. "Om Bara tinggal dulu ya? Nanti akan ada banyak orang yang menemani Davian dan mama di luar. Oke?" Bara berusaha membuat Davian untuk tidak mencari Teddy lagi. Makin sering nama Teddy disebut Aina, maka Aina akan makin bersedih hati karena mengingat keberadaan Teddy. Tok..tok..tok.. "Permisi, selamat sore.." seorang perawat masuk ke dalam kamar Aina. "Sore suster.." Ai
"Johan.." Aina memanggil Johan yang duduk di sofa. "Hmm.." tatapan Johan mengarah kepada Aina yang kelihatan cemas sejak kedatangannya. "Bagaimana Tuan Teddy?" Dari nada bicaranya, Aina terlihat begitu ketakutan dengan apa yang akan menimpa Teddy. Sejujurnya Aina memang sangat ingin sekali menjenguk suaminya. Ya, Aina sudah tahu jika suaminya memang menjadi tahanan untuk saat ini. "Sebenarnya ada apa? Kenapa Teddy sampai ditahan di kantor polisi?" Johan hanya mengernyitkan dahi. Seolah ia memang diperintahkan untuk diam. Agar Aina tidak ikut campur urusan suaminya. "Apakah Teddy melakukan kesalahan? Atau ia melakukan kejahatan yang tak bisa dimaafkan?" Pikiran Aina mengembara. Ia mencari jejak kenapa suaminya bisa-bisanya ditahan oleh polisi. Memang hal ini bukan kali pertama Aina mengetahui suaminya menjadi tahanan. Setelah Aina melahirkan Davianpun Teddy pernah tersangkut kasus sehingga harus ditahan selama beberapa bulan. "Sebaiknya kamu sembuh dulu Aina, baru kemudian k
"Terima kasih Steven atas bunganya..." Pak Gunawan langsung mengambil rangkaian bunga itu dari tangan Steven. "Bagaimana kabarmu? Mengapa kamu lama tidak menjenguk Aina?" Mendapat banyak pertanyaan dari Pak Gunawan, Steven hanya tersenyum. Ia kemudian duduk di sofa bersebelahan dengan Bara. "Tidak Om. Beberapa hari ini saya sibuk dengan bisnis di Medan, Jadi saya harus bolak-balik Jakarta Medan hampir setiap hari..." kata Steven. "Aina, ngomong-ngomong bagaimana kabarmu? Aku begitu senang mendengar kamu sudah sadar..." Senyum Steven layak mendapatkan bintang lima. Begitu merekah dan menggoda. "Baik.." jawab Aina singkat. Sejujurnya ia tidak begitu nyaman dengan kehadiran Steven di saat seperti ini. Ia lebih memilih untuk bersama suaminya sendiri daripada dengan lelaki asing seperti dirinya. Karena Stevan terus-menerus mamandang Aina dengan pandangan yang aneh. Meski Bara dan Pak Gunawan juga merasakan hal yang sama.