Sampai di lokasi, kedua mata Laysa seakan rugi untuk berkedip sekalipun. Pemandangan dari tempat wisata yang dikunjunginya ternyata jauh lebih indah dan sangat di luar bayangannya sebagai orang awam.
Terakhir kali dia datang ke tempat ini adalah ketika kedua orang tuanya masih hidup, mereka berdua mengajaknya bermain mengelilingi seluruh tempat ini dan menikmati hari indah itu dengan tanpa beban sedikit pun.Sekarang dia datang kembali ke sini, Laysa merasa ingatan itu semakin kuat.Kedua matanya basah seketika melihat keramaian ini, melihat kincir angin raksasa yang berdiri kokoh dengan segudang permainan lain yang pernah dicobanya dulu. Dia tidak bisa menahan ini, rindu kepada kedua orang tuanya semakin dalam. Ingin kembali ke masa lalu di mana indah hidupnya bersama mereka.California adalah rumahnya, tempat untuknya pulang. California adalah tempat kedua jasad orang tuanya disemayamkan, juga tempat momen mengerikan itu terjadi. TempatMakanan yang dipesannya tiba, Gavin melihat istrinya pun baru datang setelah pergi ke toilet beberapa waktu lalu. Hanya saja, ada yang berbeda dari sisi pandangan Gavin mengenai raut wajah cantik itu. Laysa tidak lagi banyak tersenyum seperti sebelumnya, terlebih ada bekas kemerahan tampak jelas di pipi wanita itu.Gavin sontak terkejut, penasaran apa yang terjadi pada Laysa tanpa sepengetahuannya. “Ada apa dengan wajahmu itu? Apa ada yang mencelakaimu di toilet tadi? Katakan siapa orangnya!” ujar Gavin sekaligus bertanya kepada Laysa.Tanda kemerahan itu sangat mengganggu Gavin, tapi Laysa menggelengkan kepala pelan.“Jangan membohongiku, Lays. Katakan sejujurnya, atau aku yang akan mencari tahu sendiri apa yang terjadi di sana.” Gavin kembali menegaskan pertanyaannya, Laysa baru menuliskan jawaban di buku kecilnya itu.“Tidak ada yang menjahatiku, tadi aku terjatuh di toilet dan terantuk wastafel. Sungguh,” jawab Laysa.“Apa itu benar?” Laysa mengangguk pelan.“Kalau begitu akan ku
“Apa?” Gavin mengernyit. “Ini ... rumahmu?”Laysa mengangguk, memperjelas asal usulnya kepada Gavin. Dia pun kembali mencari sebuah barang di dalam lemari kecil dan menemukan beberapa buah barang penting lainnya di sana.“Terima kasih karena kau bersedia mengantarku ke sini, akhirnya aku bisa mengambil kenangan ini hanya untukku sendiri.”“Apa kau tidak membohongiku dengan ceritamu itu, Lays?”“Untuk apa aku berbohong? Kebohongan tidak akan membuat mereka kembali. Hanya ini kenangan yang kupunya, selama sisa hidupku.” Laysa menjawab, lalu menuliskan lagi rentetan kalimat di bukunya. “Sekarang aku bisa memperbaiki ini, sekali lagi terima kasih, Gav. Kau sudah banyak memberi kebaikan padaku.”Senyum wanita itu sebenarnya membuat Gavin sangat tersentuh. Hanya mengetahui sekilas masa lalu Laysa yang kehilangan kedua orang tuanya secara tragis saja sudah lebih dari cukup menjelaskan, bahwa perjalanan kehidupan istrinya sangat tidak m
Gavin penasaran, sebenarnya orang seperti apa yang bisa mengancam Karisa. Di sisi lain, Gavin sangat yakin jika orang itu pastilah memiliki banyak kuasa. Jika tidak, dia tidak akan bisa seenaknya mengancam seseorang hingga memilih kematian pada akhirnya.Namun, siapa orang itu? Apa dia ada dendam tersendiri kepada Laysa? Atau, dia tidak senang atas pernikahan yang dilakukan Gavin dengan Laysa sekarang?Batin Gavin bertanya-tanya seorang diri. Kalau memang ada yang tertuduh dalam masalah ini, Gavin akan berprasangka kepada gadis bernama Laura atau ibunya sendiri-Anne. Apa benar mereka?“Tidak mungkin, alasan mereka terlalu basi untuk membuat seseorang bunnuh diri,” gumam Gavin. Dia pun akhirnya menyambar ponsel dan menghubungi Derry untuk lebih mengetahui perkembangan kasusnya, sebab liburannya dengan Laysa masih tersisa satu minggu lagi. Dia masih ingin mendengarkan penjelasan dari Derry sebelum mengambil keputusan lebih jauh.“Ya, Tuan?”
Laysa tampak tidak menyadari keberadaan gadis itu, hingga Gavin menutup ponselnya lebih dulu.“Apa kau bisa tunggu di sini dulu sebentar?” tanya Gavin.“Kamu mau pergi?”“Ya, aku akan ke toilet. Tunggulah sampai aku kembali ke sini.”Laysa hanya mengangguk tanpa ada rasa curiga sama sekali. Gavin pun beranjak dari kursinya, ingin menemui Laura di luar restoran. Dia tidak ingin membuat makan siang Laysa terganggu apalagi sampai harus ada keributan di dalam sana. Laura sendiri sepertinya tidak akan tinggal diam.Sesampainya di luar, Gavin memasuki salah satu mobil berwarna merah mengilat yang ditumpangi oleh Laura. Gadis itu tidak membawanya pergi ke mana pun, hanya menatapnya tajam dengan kedua mata memerah penuh amarah.“Apa kau mengikutiku sampai ke tempat ini?”“Kau sudah tahu jawabannya, Gav. Apa kau masih akan bertanya untuk apa aku datang ke sini, huh?” tanya Laura lebih menekankan.“Aku tid
Gavin mengira Laysa akan pergi sejauh mungkin darinya setelah mendengar pernyataan Laura barusan, tapi ternyata tidak. Walau dalam keadaan marah, wanita itu masih ingin masuk mobil Gavin tanpa diperintah sedikit pun.Gavin pun mengikutinya sampai duduk di kursi samping Laysa. Hari ini sudah rusak oleh sebuah kejadian tidak terduga, raut wajah cantik itu tidak lagi menunjukkan keceriaannya.“Kita kembali ke hotel sekarang,” ujar Gavin kepada sopir pribadinya. Mereka pun meninggalkan restoran tanpa Gavin sempat menyentuh makanannya, tanpa Laysa merasa puas dengan keinginan sederhananya. Sekarang wanita itu hanya terdiam membisu, apa yang ada dalam benaknya adalah sebuah pertanyaan besar bagi Gavin.“Kau marah padaku, Lays?” tanya Gavin karena tidak sabar dengan bungkamnya Laysa.Laysa hanya menggelengkan kepala pelan. Dia tidak melihat wajah Gavin sama sekali dan hanya melihat ke arah luar kaca pintu mobil di sebelahnya.
Hari-hari berlalu, sikap Laysa mulai mengalami perubahan. Dia begitu cepat murung dan mudah menangis bahkan ketika Gavin hanya melakukan kesalahan kecil. Gavin sendiri bingung dengan perubahan yang drastis seperti itu, apa karena pengaruh kehamilan istrinya? Atau, Laysa masih terbawa perasaan atas ucapan Laura tempo hari?Sejak kepulangan mereka dari California, komunikasi di antara mereka berdua bisa dihitung oleh jari setiap harinya. Gavin yang disibukkan oleh pekerjaan, selalu pulang larut malam dan Laysa sudah terlelap bersama mimpinya. Pagi hari pun Laysa hanya melaksanakan tugasnya menyediakan sarapan, sesudah itu kembali masuk kamar tanpa ada perdebatan.Gavin kesal.Kekesalan Gavin berasal dari kerinduannya dengan kemanjaan Laysa. Biasanya wanita itu terus menempel adanya seperti seorang yang tidak memiliki harga diri. Sekarang Laysa terasa sangat jauh walau mereka berpapasan.“Astaga, dia benar-benar menggangguku.” Gavin mengerangg kesal di kursinya. Mengacak kasar rambut, be
Selama kehamilannya, Laysa sengaja menunda-nunda mencari tahu pelaku pembunuhhan kedua orang tuanya. Dia ingin lebih fokus kepada calon bayinya dan Gavin. Mereka saat ini yang terus menjadi alasan Laysa mendapatkan kebahagiaan selama hidup di dunia. Gavin pun tidak menolak seluruh kebaikan yang ditawarkan Laysa padanya. Dia malah merasa menjadi raja di rumah karena istrinya lebih tahu apa yang dibutuhkannya. Bahkan terkadang dia lupa akan kontrak perjanjian buatannya sendiri sebelum menikahi Laysa. Gavin merasa, wanita itu sangat pandai menarik perhatian. Pantas saja Laysa sering menjadi bahan rebutan oleh para lelaki di luar sana saat bekerja sebagai pelayann. Keberuntungan Gavin bertambah sebab sekarang wanita itu tengah mengandung buah hatinya. Ya ... sekarang Gavin mulai meyakini bahwa kehamilan Laysa murni oleh satu orang saja, yaitu dirinya sendiri. Gavin cukup yakin Laysa tidak mudah dirayu oleh seseorang di luar sana. “Kau sudah pulang, aku sudah menyiapkan air hangat. Sege
Gavin terusik dari tidur nyenyak ketika mendapat sentuhan lembut tangan Laysa di pipinya. Wanita itu tersenyum begitu manis, cerah wajah cantiknya tampak jelas tersorot sinar matahari pagi dari jendela kamar mereka.“Sudah siang, bangunlah. Aku sudah menyiapkan kopi kesukaanmu,” ujar Laysa di buku kecil yang ditunjukkannya kepada Gavin.“Apa itu tidak bisa ditunda?”“Kopimu nanti dingin.”Gavin sedikit bergerak, menarik lengan wanita itu agar ikut berbaring bersamanya. Laysa juga menurut saja, berada dalam dekapan Gavin membuatnya sangat hangat dan nyaman.“Kopi itu tidak akan sehangat dirimu.” Gavin berbisik di samping telinga Laysa. Membuat wanita itu bergerak tidak nyaman karena merasa geli. “Hari ini kita punya banyak waktu, apa yang sedang kau pikirkan?”Laysa menggelengkan kepala pelan.“Kau tidak ingin pergi keluar rumah?”Wanita itu menggelengkan kepalanya lagi. Gavin pun memutar tubuh Laysa agar menghadap ke arahnya. Tampak seulas senyum di bibirnya yang tipis, membuat Gavin
“Maafkan aku karena terus merepotkanmu dalam segala hal. Padahal kau sangat tulus membantuku,” ujar Laysa melalui gerak jemarinya di depan kamera layar ponsel. Dia mencoba berbicara kepada Xavier yang menelepon kembali untuk memastikan apa Laysa sudah matang dengan keputusannya.“Kau tahu tidak ada orang tulus di dunia ini, Lays? Aku melakukannya karena aku menyukaimu, aku berharap bisa menjadi bagian dari hidupmu setelah kita saling mengenal satu sama lain lebih jauh. Tapi faktanya kau memilih kembali bersama Gavin, sudah jelas aku sedang patah hati sekarang,” ujar Xavier.Laysa terdiam, sekilas dia menoleh ke arah Gavin yang sudah terlelap bersama mimpinya. Dia tetap tidak bisa melihat lelaki lain selain Gavin, hanya Gavin yang ada dalam hati dan pikiran seorang Laysa Florensia. Entah kenapa hal itu bisa terjadi, padahal hanya sedikit kebaikan Gavin yang dia ingat. Namun, Xavier? Mungkin saja kebaikannya tidak pernah terhitung, mereka pun bisa saja saling mel
“Aku tidak mati, Lays. Kenapa kau menangis begini?” tanya Gavin lagi seraya mengusap punggung Laysa, lembut. Kalau Laysa bisa berbicara, mungkin dia akan langsung menjawab pertanyaan Gavin. Faktanya, wanita itu membutuhkan waktu untuk menulis pada sebuah buku kecil yang sering dibawanya ke mana-mana.“Teganya kau berkata begitu, dasar boddoh!”Gavin tersenyum kecil melihat umpatan Laysa pada bukunya. “Lihatlah siapa yang mengomel ini, hmh?” Dia merapikan rambut Laysa yang sedikit berantakkan saat berbicara.Laysa ingin memukul dadda Gavin, tetapi terhenti karena mengingat sakit yang lelaki itu alami. Setelah Laysa cukup tenang, Gavin baru menggenggam tangannya agar mereka bisa berbicara lebih nyaman.“Aku pikir kau tidak akan kembali padaku, Lays. Kau selalu mengatakan bahwa kau menderita selama berada di dekatku. Ini seperti sebuah keajaiban untuk orang sepertiku yang telah banyak melakukan kesalahan padamu,” ujar Gavin bernada lembut.
“Biarkan saja, aku tidak pernah peduli. Mereka malah menguntungkan buatku, karena dengan begini, Laysa akan tahu kalau aku semakin dekat dengan Gavin.”Laura mendekat ke arah Gavin, lalu menyentuh wajah pucat lelaki yang kerap menolak keberadaannya itu. Dia langsung berangkat dari rumah saat mendengar Gavin masuk rumah sakit. “Biarkan momy yang mengurus wanita itu, Laura. Kau fokus saja kepada Gavin. Dulu dia pernah menyukaimu, sekarang pun dia akan menyukaimu lagi jika kau terus berada di dekatnya,” ujar Anne.Laura hanya mengangguk pelan.“Jangan menyentuh wajahku, karena aku tidak mengizinkannya.”Laura dan Anne menoleh bersamaan saat suara pelan Gavin mencuat. Lelaki itu bahkan sudah membuka kedua mata seraya menyingkirkan tangan Laura dari wajahnya.“Kau sudah bangun, Gav. Sejak tadi momy ada di sini dan mengkhawatirkanmu, kau hampir saja membuat momy mati dengan keadaanmu sekarang,” ujar Anne. Dia tersenyum saa
“Kau berpikir begitu?”“Karena kau adalah seorang yang sama licik sepertiku, aku bisa melihatnya kalau kau ikut campur atas tersebarnya berita ini.” Gavin mencengkeram kerah kemeja Xavier, tetapi saudaranya itu tampak tidak terpengaruh.“Kalaupun itu tanggapanmu, terserah. Yang jelas kau tidak akan pernah berhak menentukan hidup Laysa lagi, kau akan hancur karena keserakahanmu, Gav. Sayang sekali kau telah menyia-nyiakan berlian demi batu kerikil.”Xavier berkata, sesudah itu menyingkirkan cengkeraman Gavin dengan tenaga sedikit kuat. Setelahnya, dia pun menggenggam tangan Laysa terang-terangan di hadapan Gavin agar dia bisa melanjutkan rencana seperti pada awalnya, yaitu membawa Laysa pergi dari rumah tersebut dan meninggalkan seluruh pemberian Gavin.Debar jantung Laysa semakin kencang, melihat Gavin juga memegang lengannya agar Xavier tidak bisa membawanya dari sana. Dia sangat takut dua bersaudara itu akan berkelahi karenanya lagi.
Setelah hampir satu jam aktivitas siang mereka. Napas Laysa masih sedikit terengah karena Gavin sudah mendapat apa yang diinginkannya. Bahkan lelaki itu belum mau menjaga jarak dari Laysa dan memilih merapatkan tubuh mereka selama mungkin di atas tempat tidur. “Kau masih sama seperti saat kita sering melakukannya. Aku berharap ada bayi kecil yang tumbuh dari rahimmu secepatnya setelah ini,” puji Gavin seraya mengeccup bahu polos Laysa dengan lembut. Laysa menggeliat kecil menyingkirkan bibbir Gavin darinya. Dia kesal karena lelaki ini terus saja semena-mena terhadap orang lain. Padahal Laysa berencana ingin mengakhiri ini, lalu bagaimana jika dia hamil lagi? Musnah sudah kesempatannya menghindari Gavin. “Jangan menghindariku, Laysa.” Gavin sedikit bergerak untuk mengarahkan tubuh Laysa padanya. Dia pun berada tepat di atas tubuh wanita itu agar lebih mudah baginya mendapat jawaban dari Laysa. “Aku sudah tahu penyebab kita kehilangan anak,
Laysa duduk termenung seraya memperhatikan berita di sebuah acara televisi. Di sana, dia dapat melihat para wartawan sedang mendatangi rumah Gavin dan mencari informasi yang ingin mereka dapatkan. Namun, sepertinya usaha mereka hanya sia-sia saja karena Gavin tidak muncul sama sekali.Orang-orang di rumah Gavin menutup akses, bahkan pihak rumah sakit yang menangani Laysa hanya bicara seperlunya saja. Gavin tampak tertutup dan tidak ingin kehidupan pribadinya menjadi konsumsi publik kali ini.“Aku harus cepat pergi dari rumah ini, aku tidak akan pernah bisa melupakannya jika seperti ini terus.” Laysa bergumam dalam hati. Rumah yang ditempatinya sekarang masih milik Gavin, itu artinya mereka masih bisa bertemu suatu hari nanti, atau secepatnya. Walau beberapa minggu ini Gavin tidak memunculkan batang hidungnya di hadapan Laysa, kemungkinan itu masih bisa terjadi. Laysa tidak ingin perasaannya berubah lagi, rasa cinta yang hanya tinggal sedikit ini tid
Beberapa minggu setelahnya.“Di luar banyak sekali media massa, Tuan. Mereka sepertinya masih penasaran tentang kabar Nona Laysa saat ini, apa Tuan mau menemui mereka?” tanya Derry kepada Gavin yang tengah duduk di kursi depan meja kerjanya.Sebenarnya, Derry sangat ragu menemui Gavin sekarang. Sebab tuannya itu tidak sedang bekerja meskipun dia berada dalam ruang khusus tempat biasa Gavin menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Gavin yang sekarang, tengah menghadapi kesulitan mengendalikan emosi dan perasaannya sendiri.Gavin sudah tidak memedulikan pakaiannya yang tidak ganti sejak semalam, beberapa botol minuman beralkohol tergolek di meja hingga lantai, bahkan yang terparah ... Gavin mengabaikan pekerjaannya sehari semenjak Lays meninggalkan rumah.Derry yang bertanggung jawab atas semua kekacauan itu. Sampai hari ini, media massa datang dan membuat berbagai macam pendapat hingga berita tentang pernikahan Gavin dan Laysa, itu seperti bo
Sampai pagi tiba, Laysa akhirnya hanya berbaring di tempat tidur setelah haus di tenggorokannya hilang seketika saat mengingat ciumman Laura kepada Gavin. Kalau kemarin-kemarin dia hanya mendapat kabar mereka berdua berada dalam satu kamar dan bisa melakukan apa saja sesukanya, sekarang pemandangan mengerikan itu terlihat nyata di depan mata.Hati Laysa rasanya semakin hancur, rasa sakit yang ditimbulkan oleh cintanya sendiri benar jauh lebih besar ketika melihat Gavin bersentuhan dengan wanita lain selain dirinya. Walau lelaki itu sangat kasar, arogan dan egois, cinta yang dimiliki Laysa masih ada, mungkin tinggal setengahnya, atau bisa semakin pudar jika hatinya terus-menerus dilukai seperti ini.“Aku mencintaimu, Laysa!”Mendadak teriakan Xavier terngiang di telinga Laysa, berikut wajah lelaki yang sangat menyerupai Gavin itu.“Tidak, tidak ada lelaki baik di dunia ini kecuali ayahku. Mereka semua sama, aku tidak boleh terjebak lagi.” L
“Sedang apa dia? Kenapa dia tidak menjawab panggilanku?” gumam Gavin.Berkali-kali dia memencet tombol panggil di ponselnya menghubungi Laysa, tetapi wanita itu tidak kunjung menjawab. Padahal Gavin sudah mencoba meneleponnya sebanyak 20 kali untuk hari ini.“Dia benar-benar membenciku, apa yang harus kulakukan?” Gavin mulai berpikir bagaimana cara menarik perhatian Laysa kembali. Dia sangat merindukan kemanjaan Laysa, juga merindukan momen ketika dirinya sulit menjauhkan Laysa darinya. Dulu sebelum pernikahan Gavin dengan Laura, Laysa sudah seperti prangko yang melekat pada kertas.Namun, saat Gavin berpikir itu. Ponselnya mendapat notifikasi pesan masuk.“Ada apa?”Pesan dari Laysa membuat Gavin terkejut, lalu membalas pesan tersebut dengan cepat dalam sebuah panggilan video.“Kenapa kau tidak mengangkat panggilanku seharian ini?!” tanya Gavin langsung bernada tinggi. Untung saja sekarang dia sedang ada