Apa setiap bab ku terlalu mahal ukuran segini?
Gavin terusik dari tidur nyenyak ketika mendapat sentuhan lembut tangan Laysa di pipinya. Wanita itu tersenyum begitu manis, cerah wajah cantiknya tampak jelas tersorot sinar matahari pagi dari jendela kamar mereka.“Sudah siang, bangunlah. Aku sudah menyiapkan kopi kesukaanmu,” ujar Laysa di buku kecil yang ditunjukkannya kepada Gavin.“Apa itu tidak bisa ditunda?”“Kopimu nanti dingin.”Gavin sedikit bergerak, menarik lengan wanita itu agar ikut berbaring bersamanya. Laysa juga menurut saja, berada dalam dekapan Gavin membuatnya sangat hangat dan nyaman.“Kopi itu tidak akan sehangat dirimu.” Gavin berbisik di samping telinga Laysa. Membuat wanita itu bergerak tidak nyaman karena merasa geli. “Hari ini kita punya banyak waktu, apa yang sedang kau pikirkan?”Laysa menggelengkan kepala pelan.“Kau tidak ingin pergi keluar rumah?”Wanita itu menggelengkan kepalanya lagi. Gavin pun memutar tubuh Laysa agar menghadap ke arahnya. Tampak seulas senyum di bibirnya yang tipis, membuat Gavin
Gavin pun mendatangi rumah kediaman Anne sore harinya, rumah yang jarang sekali dia kunjungi ini tidak berubah banyak. Masih tetap terlihat mewah dan memiliki fasilitas yang lengkap, semua perabotan tetap berada di tempat yang sama. Termasuk sebuah foto besar keluarga Alexander Stewart yang terpasang di dinding ruang keluarga.Gavin mengikuti langkah seorang asisten rumah tangga Anne, lalu mereka pun sampai di sebuah kamar yang cukup besar. Tempat di mana wanita paruh baya itu mengistirahatkan tubuhnya yang mulai menua.Anne tampak tidak sendiri, ada beberapa orang pelayyan di sekitarnya. Ditambah seorang lagi gadis muda yang mengenakan setelan dress mini berwarna merah menyala. Itu adalah Laura Simpler, ya ... siapa lagi kalau bukan dia. Seharunya Gavin menyadari salah satu trik licik ibunya jika sakit begini. Dia pasti akan mempergunakan momen sebagai wadah pertemuannya dengan Laura.“Akhirnya kamu datang juga, Gav. Momy sudah menunggumu sejak tadi
“Kau ada di mana, Gav? Apa ibumu baik-baik saja?” Sebuah pesan singkat dikirimkan Laysa kepada Gavin di ponselnya, tapi tidak ada balasan dalam beberapa jam. Laysa pun memutuskan mengirim pesan lagi karena dia tidak bisa menggunakan panggilan.“Kapan kau pulang? Ini sudah malam.”“Apa kau akan menginap di rumah ibumu?”“Gavin, tolong balas pesanku. Sekali saja, aku sangat khawatir.”Laysa terus mengirimkan pesan-pesan tersebut kepada Gavin di waktu yang berbeda, tapi tetap saja tidak ada balasan. Pesan darinya hanya berakhir centang dua tanpa ada respons sedikit pun. Itu membuat Laysa cemas sendiri, apa suaminya baik-baik saja? Atau terjadi sesuatu kepada Anne di sana?Pertanyaan tersebut melintas di pikiran Laysa. Dia masih berusaha berpikir positif dan berharap besok Gavin akan pulang. Mengingat raut wajah terakhir suaminya, Laysa berpikir kalau memang ada yang tengah mengganggu pikiran Gavin hari ini. Entah apa itu.
Sampai lelaki itu selesai dari kamar mandi, Laysa menghampirinya yang sedang menikmati segelas kopi di sebuah kursi.Gavin hanya meliriknya sebentar, sebelum kembali terfokus pada ponselnya. Sebenarnya, Laysa mulai merasa sikap Gavin cukup dingin, tapi dia berusaha untuk menyingkirkan pemikiran itu.“Apa kau bisa menceritakan padaku, apa yang kau lakukan selam satu bulan ini? Aku sangat mengkhawatirkanmu, Gav. Aku pikir terjadi sesuatu pada ibumu hingga kau tidak pulang.” Laysa memberikan tulisannya kepada Gavin, berharap lelaki itu merespons dengan baik.“Aku sedang tidak ingin menceritakan apa pun. Tapi lihatlah, kau sendiri sampai sebesar ini. Apa saja yang kau lakukan di rumah, huh?” tanya Gavin yang mulai menyimpan ponselnya demi bertanya kepada Laysa.Laysa melihat tubuhnya sendiri, memang berat badannya meningkat akhir-akhir ini. Dia sudah tidak langsing lagi seperti sebelum hamil. Kedua pipinya pun menjadi chubby dengan lipatan lem
Laysa mendatangi kamar pribadinya dengan Gavin, menyusul langkah Laura yang sangat yakin bahwa dia telah memiliki hak penuh untuk bertingkah bebas di rumah ini. Laysa sebenarnya masih ingin tidak mempercayai ini, sebab Gavin pun belum mengatakan apa pun.Sesampainya di lantai 3, Laura tampaknya kesulitan masuk karena pintu kamar Gavin memiliki kode khusus yang tidak diketahuinya.“Akhirnya kau datang. Cepatlah buka pintu ini! Aku ingin bertemu dengan Gavin.” Perintah Laura langsung ketika menyadari kehadiran Laysa di dekatnya.Laysa menggelengkan kepala, dia khawatir dan takut istirahat Gavin terganggu dan lelaki itu akan jauh lebih marah padanya.“Cepat buka pintunya!” perintah Laura lebih keras.Laysa menggelengkan kepala lagi, lalu menggerakkan jemari lentiknya. “Gavin sedang beristirahat. Jangan mengganggunya.”“Jangan membuatku kesal. Apa kau ingin membodohiku dengan bahasa anehmu itu? Cepatlah buka, atau aku aka
Laysa pun hanya bisa menangis tanpa ingin menyusul langkah Gavin. Hatinya benar-benar dibuat patah oleh seseorang yang sangat dicintainya. Walau dia tahu kemungkinan buruk perpisahannya dengan Gavin akan terjadi, tapi dia tidak mengira harus dengan cara ini.Sekarang cintanya sudah berkembang pesat untuk Gavin. Bagaimana bisa dia membuang itu dalam waktu singkat? Laysa merasa sangat ceroboh dan bodooh karena sudah mempercayakan hatinya kepada orang yang sama sekali tidak memiliki hati.Sampai beberapa jam kemudian. Laysa belum kembali ke kamar pribadi Gavin di lantai tiga, tapi dia tahu seluruh barangnya sudah di pindahkan ke kamar lain. Sebuah kamar berukuran sedang di lantai dua, bersebelahan dengan kamar pribadi Xavier.Laysa sudah berada dalam mode lelah luar biasa. Terlalu banyak menangis membuat selera makannya menghilang, melakukan aktivitas apa pun dia tidak ingin. Hanya duduk menyendiri di sebuah kursi taman hingga petang menjadi pilihannya.
Xavier menghentikan mobilnya setelah cukup jauh dari rumah milik Gavin. Sebuah jalanan sepi di mana hanya ada beberapa orang melintas di sana. Sementara itu di sampingnya, air mata Laysa sudah hampir mengering. Wanita itu telah terlalu banyak menangis selama perjalanan mereka, memikirkan banyak hal dalam kepalanya. “Tenangkan dirimu, Lays.” Xavier mulai berkata, hingga Laysa menoleh dengan kedua mata sembapnya. “Gavin pasti akan semakin marah, kenapa kamu membawaku pergi dari rumah?” “Kau ternyata masih memikirkan itu.” Xavier menghela napas tipis. “Kalau aku tidak membawamu, apa kau bisa membayangkan apa yang akan dilakukannya padamu tadi?” Laysa terdiam, memang benar yang dikatakan Xavier. Gavin tadi sangat marah, entah apa yang akan dilakukannya jika sudah seperti itu. Bahkan awal pernikahan, lelaki bertubuh jangkung tersebut sangat kasar hingga membuat Laysa merinding takut. “Aku hanya tidak bisa melihat wanita terluka di depan mataku. Maaf kalau aku telah lancang mencampuri u
Sampai keesokan harinya.Gavin bangun pagi-pagi sekali saat sebuah kabar didapatnya dari orang suruhan yang tengah mencari keberadaan Laysa. Dari pencarian mereka, lokasi Laysa sekarang berada ternyata di sebuah rumah angkat dengan anak-anak berkebutuhan khusus.Seharusnya Gavin bisa menebak ini, Xavier sangat gemar mendatangi tempat semacam itu.Ini sangat memuakkan bagi Gavin karena lokasi mereka sangat jauh. Butuh berjam-jam perjalanan menggunakan mobil. Namun, hal itu tidak membuat lelaki yang penuh kecemburuan dan obsesi tersebut patah keinginan. Gavin nyatanya tetap menempuh perjalanan jauh demi bisa menemui Laysa.Sampai siang harinya, akhirnya Gavin pun tiba di tempat tujuan. Ada beberapa bangunan rumah singgah di hadapannya yang dipenuhi dengan anak-anak dari berbagai usia.Gavin pun membenarkan jas hitam dan kaca matanya saat keluar dari dalam mobil. Membuat beberapa perawat yang ada di rumah tersebut melihat ke arahny
“Maafkan aku karena terus merepotkanmu dalam segala hal. Padahal kau sangat tulus membantuku,” ujar Laysa melalui gerak jemarinya di depan kamera layar ponsel. Dia mencoba berbicara kepada Xavier yang menelepon kembali untuk memastikan apa Laysa sudah matang dengan keputusannya.“Kau tahu tidak ada orang tulus di dunia ini, Lays? Aku melakukannya karena aku menyukaimu, aku berharap bisa menjadi bagian dari hidupmu setelah kita saling mengenal satu sama lain lebih jauh. Tapi faktanya kau memilih kembali bersama Gavin, sudah jelas aku sedang patah hati sekarang,” ujar Xavier.Laysa terdiam, sekilas dia menoleh ke arah Gavin yang sudah terlelap bersama mimpinya. Dia tetap tidak bisa melihat lelaki lain selain Gavin, hanya Gavin yang ada dalam hati dan pikiran seorang Laysa Florensia. Entah kenapa hal itu bisa terjadi, padahal hanya sedikit kebaikan Gavin yang dia ingat. Namun, Xavier? Mungkin saja kebaikannya tidak pernah terhitung, mereka pun bisa saja saling mel
“Aku tidak mati, Lays. Kenapa kau menangis begini?” tanya Gavin lagi seraya mengusap punggung Laysa, lembut. Kalau Laysa bisa berbicara, mungkin dia akan langsung menjawab pertanyaan Gavin. Faktanya, wanita itu membutuhkan waktu untuk menulis pada sebuah buku kecil yang sering dibawanya ke mana-mana.“Teganya kau berkata begitu, dasar boddoh!”Gavin tersenyum kecil melihat umpatan Laysa pada bukunya. “Lihatlah siapa yang mengomel ini, hmh?” Dia merapikan rambut Laysa yang sedikit berantakkan saat berbicara.Laysa ingin memukul dadda Gavin, tetapi terhenti karena mengingat sakit yang lelaki itu alami. Setelah Laysa cukup tenang, Gavin baru menggenggam tangannya agar mereka bisa berbicara lebih nyaman.“Aku pikir kau tidak akan kembali padaku, Lays. Kau selalu mengatakan bahwa kau menderita selama berada di dekatku. Ini seperti sebuah keajaiban untuk orang sepertiku yang telah banyak melakukan kesalahan padamu,” ujar Gavin bernada lembut.
“Biarkan saja, aku tidak pernah peduli. Mereka malah menguntungkan buatku, karena dengan begini, Laysa akan tahu kalau aku semakin dekat dengan Gavin.”Laura mendekat ke arah Gavin, lalu menyentuh wajah pucat lelaki yang kerap menolak keberadaannya itu. Dia langsung berangkat dari rumah saat mendengar Gavin masuk rumah sakit. “Biarkan momy yang mengurus wanita itu, Laura. Kau fokus saja kepada Gavin. Dulu dia pernah menyukaimu, sekarang pun dia akan menyukaimu lagi jika kau terus berada di dekatnya,” ujar Anne.Laura hanya mengangguk pelan.“Jangan menyentuh wajahku, karena aku tidak mengizinkannya.”Laura dan Anne menoleh bersamaan saat suara pelan Gavin mencuat. Lelaki itu bahkan sudah membuka kedua mata seraya menyingkirkan tangan Laura dari wajahnya.“Kau sudah bangun, Gav. Sejak tadi momy ada di sini dan mengkhawatirkanmu, kau hampir saja membuat momy mati dengan keadaanmu sekarang,” ujar Anne. Dia tersenyum saa
“Kau berpikir begitu?”“Karena kau adalah seorang yang sama licik sepertiku, aku bisa melihatnya kalau kau ikut campur atas tersebarnya berita ini.” Gavin mencengkeram kerah kemeja Xavier, tetapi saudaranya itu tampak tidak terpengaruh.“Kalaupun itu tanggapanmu, terserah. Yang jelas kau tidak akan pernah berhak menentukan hidup Laysa lagi, kau akan hancur karena keserakahanmu, Gav. Sayang sekali kau telah menyia-nyiakan berlian demi batu kerikil.”Xavier berkata, sesudah itu menyingkirkan cengkeraman Gavin dengan tenaga sedikit kuat. Setelahnya, dia pun menggenggam tangan Laysa terang-terangan di hadapan Gavin agar dia bisa melanjutkan rencana seperti pada awalnya, yaitu membawa Laysa pergi dari rumah tersebut dan meninggalkan seluruh pemberian Gavin.Debar jantung Laysa semakin kencang, melihat Gavin juga memegang lengannya agar Xavier tidak bisa membawanya dari sana. Dia sangat takut dua bersaudara itu akan berkelahi karenanya lagi.
Setelah hampir satu jam aktivitas siang mereka. Napas Laysa masih sedikit terengah karena Gavin sudah mendapat apa yang diinginkannya. Bahkan lelaki itu belum mau menjaga jarak dari Laysa dan memilih merapatkan tubuh mereka selama mungkin di atas tempat tidur. “Kau masih sama seperti saat kita sering melakukannya. Aku berharap ada bayi kecil yang tumbuh dari rahimmu secepatnya setelah ini,” puji Gavin seraya mengeccup bahu polos Laysa dengan lembut. Laysa menggeliat kecil menyingkirkan bibbir Gavin darinya. Dia kesal karena lelaki ini terus saja semena-mena terhadap orang lain. Padahal Laysa berencana ingin mengakhiri ini, lalu bagaimana jika dia hamil lagi? Musnah sudah kesempatannya menghindari Gavin. “Jangan menghindariku, Laysa.” Gavin sedikit bergerak untuk mengarahkan tubuh Laysa padanya. Dia pun berada tepat di atas tubuh wanita itu agar lebih mudah baginya mendapat jawaban dari Laysa. “Aku sudah tahu penyebab kita kehilangan anak,
Laysa duduk termenung seraya memperhatikan berita di sebuah acara televisi. Di sana, dia dapat melihat para wartawan sedang mendatangi rumah Gavin dan mencari informasi yang ingin mereka dapatkan. Namun, sepertinya usaha mereka hanya sia-sia saja karena Gavin tidak muncul sama sekali.Orang-orang di rumah Gavin menutup akses, bahkan pihak rumah sakit yang menangani Laysa hanya bicara seperlunya saja. Gavin tampak tertutup dan tidak ingin kehidupan pribadinya menjadi konsumsi publik kali ini.“Aku harus cepat pergi dari rumah ini, aku tidak akan pernah bisa melupakannya jika seperti ini terus.” Laysa bergumam dalam hati. Rumah yang ditempatinya sekarang masih milik Gavin, itu artinya mereka masih bisa bertemu suatu hari nanti, atau secepatnya. Walau beberapa minggu ini Gavin tidak memunculkan batang hidungnya di hadapan Laysa, kemungkinan itu masih bisa terjadi. Laysa tidak ingin perasaannya berubah lagi, rasa cinta yang hanya tinggal sedikit ini tid
Beberapa minggu setelahnya.“Di luar banyak sekali media massa, Tuan. Mereka sepertinya masih penasaran tentang kabar Nona Laysa saat ini, apa Tuan mau menemui mereka?” tanya Derry kepada Gavin yang tengah duduk di kursi depan meja kerjanya.Sebenarnya, Derry sangat ragu menemui Gavin sekarang. Sebab tuannya itu tidak sedang bekerja meskipun dia berada dalam ruang khusus tempat biasa Gavin menyibukkan diri dengan pekerjaannya. Gavin yang sekarang, tengah menghadapi kesulitan mengendalikan emosi dan perasaannya sendiri.Gavin sudah tidak memedulikan pakaiannya yang tidak ganti sejak semalam, beberapa botol minuman beralkohol tergolek di meja hingga lantai, bahkan yang terparah ... Gavin mengabaikan pekerjaannya sehari semenjak Lays meninggalkan rumah.Derry yang bertanggung jawab atas semua kekacauan itu. Sampai hari ini, media massa datang dan membuat berbagai macam pendapat hingga berita tentang pernikahan Gavin dan Laysa, itu seperti bo
Sampai pagi tiba, Laysa akhirnya hanya berbaring di tempat tidur setelah haus di tenggorokannya hilang seketika saat mengingat ciumman Laura kepada Gavin. Kalau kemarin-kemarin dia hanya mendapat kabar mereka berdua berada dalam satu kamar dan bisa melakukan apa saja sesukanya, sekarang pemandangan mengerikan itu terlihat nyata di depan mata.Hati Laysa rasanya semakin hancur, rasa sakit yang ditimbulkan oleh cintanya sendiri benar jauh lebih besar ketika melihat Gavin bersentuhan dengan wanita lain selain dirinya. Walau lelaki itu sangat kasar, arogan dan egois, cinta yang dimiliki Laysa masih ada, mungkin tinggal setengahnya, atau bisa semakin pudar jika hatinya terus-menerus dilukai seperti ini.“Aku mencintaimu, Laysa!”Mendadak teriakan Xavier terngiang di telinga Laysa, berikut wajah lelaki yang sangat menyerupai Gavin itu.“Tidak, tidak ada lelaki baik di dunia ini kecuali ayahku. Mereka semua sama, aku tidak boleh terjebak lagi.” L
“Sedang apa dia? Kenapa dia tidak menjawab panggilanku?” gumam Gavin.Berkali-kali dia memencet tombol panggil di ponselnya menghubungi Laysa, tetapi wanita itu tidak kunjung menjawab. Padahal Gavin sudah mencoba meneleponnya sebanyak 20 kali untuk hari ini.“Dia benar-benar membenciku, apa yang harus kulakukan?” Gavin mulai berpikir bagaimana cara menarik perhatian Laysa kembali. Dia sangat merindukan kemanjaan Laysa, juga merindukan momen ketika dirinya sulit menjauhkan Laysa darinya. Dulu sebelum pernikahan Gavin dengan Laura, Laysa sudah seperti prangko yang melekat pada kertas.Namun, saat Gavin berpikir itu. Ponselnya mendapat notifikasi pesan masuk.“Ada apa?”Pesan dari Laysa membuat Gavin terkejut, lalu membalas pesan tersebut dengan cepat dalam sebuah panggilan video.“Kenapa kau tidak mengangkat panggilanku seharian ini?!” tanya Gavin langsung bernada tinggi. Untung saja sekarang dia sedang ada