Dara kembali ke dalam kamar dan mengambil ponselnya. Dan kunci motornya ada di lantai atas, bagaimana ia melewati mereka dalam situasi seperti ini.
Dara memberanikan langkah kakinya, ia lebih baik pulang sekarang, dia tidak mungkin mengatakan kepada Ibu Fani bahwa ia masih ingin tetap berada di rumah ini. Ia tidak punya hak untuk hal itu, dirinya bukanlah apa apa selain menyandang gelar bibi dari anak Ardi."Kak Ardi. Tante."Mendengar suara Dara, Ardi spontan menoleh ke arah suara. Ia bisa melihat raut pucat lesu gadis itu, sepertinya sakit perutnya belum hilang. Tapi ada yang membuat Ardi lebih gelisah, Dara pasti mendengar pembicaraannya dengan ibunya. Ia takut, Dara mungkin akan sedih dan berpikiran tidak bertemu Nadira lagi.Dara mendekati keduanya dengan langkah tertatih Ratih, ia kemudian melirik Ardi yang menatap dengan raut wajah khawatir."Aku nggak apa apa kak." Ucap Ratih bohong, tidak ingin pria itu merasa cemas padanya."Aku akan pulang." Ucap Dara menambahkan.Ardi meletakan Nadira yang sudah tidur ke ranjang dorong nya lalu menatap intens Dara, memperhatikan kondisi adik iparnya itu. Bagaimana bisa ia membiarkan pulang Dara dalam kondisi fisik lemah begini."Nggak bisa. Kamu masih sakit, bagaimana jika terjadi apa apa denganmu." Sergah Ardi tidak terima.Dara tidak mengindahkan penolakan Ardi, ia kemudian menoleh kepada Ibu Fina, "Aku akan pergi tante.""Maafkan tante Dara. Tante tidak bermaksud buruk padamu. Tante hanya tidak mau kejadian buruk menimpa kalian.""Nggak apa apa. Dara bisa mengerti perasaan dan maksud tante." Ardi naik pitam mendengar ucapan Dara yang setuju dengan pendapat Ibunya."Kamu nggak bisa pergi. Kamu harus tetap menjaga Nadira dan tetap kamu." Ardi menegaskan keputusannya, tidak mengizinkan Dara pergi dan meninggalkan Nadira."Kak. Aku akan datang kapan kapan untuk menengok Nadira.""Saya tidak akan mengizinkan kamu menengok Nadira, kecuali kamu datang untuk menjaga dan mengasuhnya. Jika kamu masih ingin bertemu Nadira saya mohon kamu tidak merubah niat kamu hanya menakutkan hal yang tidak perlu.""Ardi, kamu sudah menjadi egois." Ibu Fina menyela, tidak habis pikir dengan keegoisan Ardi. Apa dia gila membiarkan seorang gadis yang bukan muhrimnya berada satu atap dengannya. Ia membatin."Ma. Aku melakukan ini untuk Nadira. Mengapa aku harus lebih peduli pendapat orang lain daripada peduli tentang Nadira.""Kamu belum membiarkan orang lain untuk menjaga Nadira, Ardi. Mengapa kamu menolak disaat kamu belum mencobanya" Ibu Fina mencoba memberi pemahaman kepada Ardi. Mencoba Untuk membuatnya mengerti."Nggak. Mama salah. Aku yakin orang lain nggak akan bisa, bahkan aku sendiri juga nggak bisa.""Kenapa kamu seyakin itu?""Karena aku sudah melihatnya Ma. Aku yakin Mira sudah memilih adiknya sendiri untuk menjaga Nadira.""Baiklah. Jika kamu tidak ingin berubah pikiran untuk mengganti pengasuh anak kamu, dan kamu yakin keberadaan Dara karena Mira. Mama akan menyetujui itu, lagipula mama menolak Dara karena situasi di antara kalian berdua, dua orang dewasa berada dalam satu rumah tanpa ikatan apapun."Ibu Fina berhenti sejenak lalu melirik ke arah Dara yang dari tadi mendengarkannya dan Ardi. Ia bisa melihat dan menebak dari ke dua ekspresi wajah itu bahwa mereka mengerti dengan apa yang maksudnya."Maka kalian harus menikah."Seperti di jatuhi bom Ardi dan Dara terperangah. Mata mereka terbuka lebar lebar atas perkataan yang mereka dengar. Mereka tidak percaya Ibu Fina melontarkan hal yang tidak di sangka sangka."Jika kalian tidak mau, Mama akan menemukan pengasuh yang sesuai." Ibu Fina meletakan paper bag yang berisi baju baju bayi di atas meja dan pergi dari sana meninggalkan Dara dan Ardi yang masih terpaku dengan ke kagetan mereka.Hening. Tidak ada yang bersuara, keduanya masih membeku. Segudang deretan kalimat terus mengalir dalam pikirannya mereka.Apa Ardi harus menikahi Dara, adik iparnya. Mira bahkan belum lama pergi, bagaimana bisa ia akan menikah lagi. Ia terlalu cepat mendengar kata pernikahan saat ia baru kehilangan istrinya. Lalu apakah ia harus menolak perkataan ibunya. Bagaimana keadaan Nadira jika Dara pergi. Apakah ia yakin bahwa Mira lah yang memilih Dara untuk Nadira. Ardi memohon penjelasan, butuh titik terang apa yang selanjutnya yang ia harus lakukan. Dia butuh jawaban.Dan Dara ia tidak mungkin melakukan hal itu. Bagaimana bisa ia menggantikan posisi kakaknya. Rasanya seperti ia akan mengkhianati kakaknya. Rasanya ia muncul hanya untuk merebut Ardi dan Nadira jika mengiyakan perkataan Ibu Fina. Sangat gila.Setelah berdiam lama, Dara menengok Ardi yang situasinya juga sama dengannya lalu membuka mulutnya, "Aku pulang dulu kak."Ardi membiarkan Dara berlalu dari hadapannya, tidak tau harus berbuat apa. Jika ia harus menahan Dara sekarang, apa yang akan dia jelaskan pada gadis itu. Apa dia akan meminta Dara untuk menikah dengannya sedangkan ia sendiri belum yakin dengan hal itu.Ardi menjatuhkan badannya ke sofa kasar, di rasakan kepalanya seperti akan pecah, sambil memejamkan mata ia lalu memijat pelipisnya menghilangkan rasa sakit yang menyerang kepalanya. Hanya satu yang ditunggunya sekarang. Jawaban atas pertanyaan pertanyaan yang antri dalam otaknya.Di tempat lain, Masih dengan kebimbangan hatinya. Dara melajukan motor matic nya. Pikirannya masih berada pada situasi tadi. Ia lalu membenarkan perkataan Reno. Walaupun niatnya hanya untuk Nadira, tidak seharusnya ia berada di rumah itu. Seharusnya ia tidak membiarkan dirinya berada di rumah kakak iparnya sendiri.Masih dengan pikiran yang penuh dan kondisi tubuh yang sedang lemah. Dara kehilangan fokus saat mengendarai maticnya. Tangannya melemas hingga tidak sadar motornya menyerong ke samping kanan dan membuat pemotor yang sedang melaju dari arah belakang tidak sengaja menabraknya.Dalam sekejap semua menghilang. Semua kosong. Dara tidak merasakan apa apa sebelum menyadari tubuhnya sudah terjatuh ke jalanan. Yang ia lihat sekarang, dirinya sedang terduduk di aspal dengan pergelangan kaki yang tidak biasa ia gerakan. Dara menangis ketika wajah Ayah, Ibu, dan kakaknya tergambar jelas dalam ingatannya. Ia ingin pulang. Ingin kembali ke masa masa itu.***Dara memperhatikan sahabatnya dengan wajah khawatir bercampur kesal sedang melotot kan mata seperti akan menusuk dirinya."Aku nggak apa apa Win, serius.""Apanya yang nggak serius, lihat kaki kamu." Menyaksikan sikap Dara yang biasa saja setelah kakinya cedera membuat Winda tidak habis pikir. Bisa bisanya sahabatnya itu santai saja setelah mengalami kecelakaan."Itu cuma cedera sebentar, palingan satu minggu atau dua minggu ke depan sudah sembuh." Jawab Dara sambil mengamati pergelangan kakinya yang lebam dan tergores"Terus apa kamu nggak akan lagi ke rumah kakak iparmu itu." Setelah melontarkan pertanyaannya itu Winda menemukan raut wajah Dara langsung berubah. Ia yakin ada sesuatu yang terjadi pada sahabatnya itu, apalagi setelah mengetahui kronologi kecelakaan yang di alami Dara hari ini.Mengingat kembali kejadian tadi pagi saat berada di rumah Ardi, Dara menggeleng, "Aku tidak akan lagi ke sana Win.""Kok gitu? Bukannya kamu yang ingin terus kesana. Lalu bagaimana dengan keponakan kamu?"Dara diam, titik pandangnya jatuh ke bawah. Bingung akan berkata apa. Di samping ia harus menjauh dari Ardi dan Nadira, di sisi lain ia merasa sulit meninggalkan bayi itu. Ia merasa tidak terima dengan situasi ini. Bagaimana keadaan Nadira nanti jika tanpa dirinya. Apakah ia akan tahan merindukan bayi yang sudah sangat di sayangnya itu.Namun terlepas dari hal itu, Dara harus menentukan arah keputusannya. Mau tidak mau, dia harus meninggalkan mereka. Meninggalkan Nadira."Kamu nggak apa apa?" Mendapati Dara hanya diam atas pertanyaan yang sudah ia lontarkan, ada resah di hati Winda memikirkan Dara yang mungkin sedang dilanda masalah.Dara tersadar dari lamunannya. Ia lalu mengangkat wajahnya melihat Winda yang terus menyorotkan pandangan kepadanya. "Kalau kamu nggak mau cerita nggak apa apa."Sambil mengusap rambutnya ke belakang, Dara menghela napas berat dan mengalihkan pandangannya keluar jende
Tanpa mempedulikan rasa penasaran alasan mengapa Dara bisa sampai di rumah sakit dan kaki pincang nya. Ardi segera berdiri membantu membawa Dara untuk duduk."Untung ada Ibu disini. Saya harus menyampaikan ini kepada Bapak Ibu berdua, agar mengetahui tindakan apa yang harus Bapak Ibu lakukan untuk si bayi." Ujar Dokter. "Ketika tangisan bayi berlangsung lama dan berlebihan, terdapat fakta bahwa tubuh dan otak mereka dibanjiri oleh hormon stres adrenalin dan kortisol yang tentu hal itu dapat merusak otak bayi.""Sebaiknya bapak memang banyak belajar untuk memahami perasaan anak bapak dan menggunakan insting serta lakukan apa yang menjadi ke inginkan nya.""Dan menangis itu adalah cara bayi berkomunikasi untuk mengutarakan keinginan mereka. Alasannya bermacam-macam mulai dari bayi merasa lapar, badannya ada yang sakit atau karena faktor kesepian dan kerinduan." Penjelasan Dokter tertangkap baik oleh indra pendengar Ardi."Dan setelah di periksa saya tidak menemukan bahwa bayi bapak bada
Esoknya saat jam istirahat kerja, Ardi datang ke kosan Dara. Mendiang istrinya pernah mengatakan tempat dimana Dara ngekos tapi ia sendiri tidak tau ada dimana tepat nya kosan Dara.Ardi pun mulai bertanya kepada penghuni penghuni area yang ngekos dekat kampus itu dan berhasil mendapatkan kosan Dara setelah mendapat petunjuk salah satu mahasiswa di sana."Terima kasih." Ucap Ardi lalu mengikuti arahan yang di maksud mahasiswa tadi. Ardi mendekati salah satu kosan di sana yang ia yakini adalah tempat Dara karena motor matic yang terparkir di depannya. Namun sepertinya Dara sedang tidak sendiri. Dari pintu yang terbuka itu ia bisa melihat ada seseorang laki laki di sana. Ia mendekat dan samar samar ia bisa mendengar apa yang di bicarakan dua orang dalam kosan itu."Apa aku bilang, gini kan jadinya? Mulai sekarang kamu nggak boleh lagi kesana. Aku nggak suka. Kamu tau aku melarang mu bukan karena menemui keponakan mu." Ujar Reno setelah melihat kondisi Dara."Aku akan pergi. Aku akan ber
Ardi mencari Ibu Tia yang ternyata berasa di dapur sedang memasak. "Bu?" Sapa Ardi"Eh iya." Ibu Tia yang sedang menumis sayur nya mendongak ke belakang. Dilihat nya Ardi sedang menuju ke arah nya. "Hehe ibu lagi masak. Soalnya udah siang. Ibu sudah lapar, pasti kalian juga. Tapi seadanya saja. Bahan bahan di kulkas sudah habis." Kekeuh Ibu Tia ketika Ardi sudah berada di samping. "Saya pesan saja." Ucap Ardi. Ibu Tia kembali melanjutkan mengaduk aduk sayur nya, "Secepat nya kamu harus menikah. Bukan hanya untuk anak kamu tapi kamu juga. Biar ada yang masakin kalau udah pulang kerja. Biar ada yang urus. Kasihan kalau kamu kerepotan sendiri."Iya Bu, terima kasih sarannya. Akhirnya Dara mau menikah dengan saya." Sahut Ardi."Baguslah kalau begitu. Alhamdulillah." Ibu Tia mematikan kompornya ketika di rasa sayur nya telah matang. Lalu ia menoleh kepada Ardi yang menjadi majikannya itu."Tapi Ibu jangan pergi dulu ya." Pinta Ardi memohon. "Loh Kenapa? Kan sudah ada Dara." Ibu Tia me
Melihat Dara mengangguk Ardi pun mulai mengulurkan tangan dan menyentuh punggung gadis itu. Saat itu juga perasaan Dara campur aduk. Malu, berdebar, dan canggung pun beradu menjadikan dia hanya bisa menutup mata rapat rapat.Ardi mengambil aba aba dan mengangkat Dara lalu cepat menerobos hujan. Di bawah deras nya hujan itu tidak mungkin lah mereka tidak basah. Ardi memasukan Dara ke dalam mobil dengan cepat. Lalu memutari mobil ke pintu sebelah.Ardi segera keluar dari area kosan dan mengendara hati hati di bawah serangan hujan yang tidak kunjung reda. Dara melirik Arya yang sudah basah kuyup akibat bolak balik mengangkat barang dan diri nya.Hingga sampailah Dara dan Ardi di depan rumah. Ardi membukakan pintu mobil untuk Dara tapi tidak berani menyentuh nya lagi."Nanti barang barang mu aku keluarkan selesai gantian. Dan kita harus melihat Nadira dulu.""Iya kak." Jawab Dara.Ardi dan Dara menghampiri Ibu Tia yang sedang mengendong Nadira. Dia pun menoleh ketika melihat mereka. Sedan
Malam itu pasangan suami istri ini tidak banyak berinteraksi. Dara bahkan menjauhkan diri dari Ardi. Rasanya ia belum siap harus berada dalam satu ruang bersama pria itu.Dara membuka pintu kamar bayi pelan, membuat Ibu Tia yang sudah hampir tertidur di sana langsung membuka mata ketika mendengar decitan pintu."Ada apa? Kok Nak Dara kesini?" tanya Ibu Tia heran. Dara melangkah masuk dan duduk di tepi tempat tidur, "Saya tidur di sini ya Bu. Aku jaga Nadira.""Loh. Kamu kan pengantin baru. Masa baru nikah udah pisah ranjang." tanya Ibu Tia lagi sambil menatap Dara. Dara menggigit bibir nya sebelum menyahut ucapan Ibu Tia "Ibu kan tau alasan aku sama kak Ardi nikah." Ibu Tia tidak ingin ikut campur dengan urusan hubungan Ardi dan Dara sekarang, apalagi pernikahan mereka yang tidak di dasari karena ingin memiliki satu sama lain, ia tidak bisa memberi nasehat selain membiarkan mereka menjalani sendiri.Sebelum beranjak Ibu Tia mengusap lengan atas Dara, "Ya sudah, kalau begitu Ibu ke k
Dara memilih untuk tidak mengangkat telepon dari Reno, ia akan menemui dan menjelaskan secara langsung pada pria itu. Lagi pula sebentar lagi ia akan mulai di sibukkan dengan Yudisium dan Wisuda. Reno dan dirinya tetap masih akan bertemu di kampus.Dara terdiam sebentar, mengingat kenangan kenangan manis dan indah dirinya dengan Reno. Setelah mengabaikan perasaannya sendiri pada Reno kini ia merasa telah menjadi perempuan jahat karena mencampakkan Reno tanpa sepengetahuan nya."Dari siapa?" tanya Ardi menghampiri Dara. "Dari Winda kak. Dia menginfokan aku tentang kampus, takut aku kelupaan katanya. Sebentar lagi kan akan Yudisium. Jadi aku mungkin akan mulai sibuk." Dara menggenggam ponsel nya. Ia takut, tapi ia juga tidak bisa menyimpan masalah ini berlarut larut dari Reno.Ardi menyadari raut wajah Dara yang berbeda. Tanpa Ardi bertanya, ia tahu sekali apa yang sedang di pikirkan Dara saat ini. "Kapan kamu akan ke kampus. Saya akan mengantar mu. Nanti saya minta Ibu Tia untuk masih
Hari ini Dara sudah siap siap dengan penampilan seperti biasa ia pergi ke kampus. Ia mengambil skripsi yang sudah di rampungnya dan memasukannya ke dalam tas.Setelah pamit pada Ibu Tia dan melihat Nadira, Dara keluar dari rumah. Sedangkan Ardi sudah pergi sejak tadi pagi. Gadis itu pun mengendarai sepeda motornya menuju kampus.Dara mengedarkan pandangan sambil sekali kali menggigit bibir nya. Tangan nya pun di mainkannya dengan gelisah. Sosok Reno yang di carinya pagi ini belum muncul juga.Ia pun mengeluarkan ponsel. Namun lagi lagi ia bingung. Apakah harus menghubungi pria itu atau tidak. Ia pikir dirinya lebih baik datang ke kosan Reno sendiri.Baru saja akan melangkah, Ia bisa melihat Reno dari kejauhan sedang berjalan mengarah kepadanya. Dari raut wajah nya, Dara bisa tahu bahwa Reno sedang menahan amarah."Ak... " ucapan Dara terpotong ketika Reno menarik lengan dan membawa nya menjauh dari keramaian. Reno berhenti menggigit bibir bawahnya. Dari wajahnya pria itu benar benar s