"Iya. Dimas kerjanya apa. Aku belum sempat banyak mengobrol kan kemarin." Mario kembali mengulang pertanyaannya. Sebenarnya ini bukan hanya sekedar pertanyaan basa-basi. Mario benar-benar ingin tahu suami Lisa itu orang seperti apa. Dari penampilannya dan sikapnya sih Mario seperti sudah bisa menyimpulkan kalau Dimas itu bukan pria baik-baik. Mungkin memang benar kata pepatah. Jangan menilai orang dari penampilannya. Penampilan Dimas sih bukan seperti penampilan pria kantoran. Tapi lihat saja sikapnya yang kasar dan pemabuk. Mario benar-benar kesal mengingat kejadian malam itu. "Ar--, maksudku Dimas. Ya dia itu bodyguard," ucap Lisa asal saja meyeletuk. "Bodyguard?" Mario tampak agak terkejut. Ia tahu ada banyak sekali profesi orang di dunia ini. Tapi seumur-umur, baru kali ini ia mengenal orang dekatnya berprofesi sebagai body guard. "Y--ya, pengawal. Semacam itu lah. Kerja sama pengusaha. Jadi kalau boss-nya ke luar kota dia ikut terus kemana-mana. Jarang di rumah." Lisa dengan
Sofa warna abu-abu itu bahkan masih terbungkus plastik. Jelas baru kemarin dibeli dan diantar toko furniturenya, belum sempat dibongkar. Mario duduk. Lisa ikut duduk di sampingnya. Ia ikut penasaran mengintip istri kardus yang diletakkan Mario di atas meja itu. "Ini barang-barang Risa di mobil Daniel waktu ia kecelakaan. Polisi yang ngasih ke aku. Daniel bilang dia butuh ponsel Risa. Masih menyala nggak, ya?" Mario mengambil benda pipih berwarna hitam yang tampak retak layarnya itu. "Daniel? Atasan kak Risa? Kenapa dia butuh ponselnya?" Lisa bertanya dengan bingung. Mario pun menjelaskan ulang soal file yang dijelaskan Daniel padanya tadi. Lisa menyimak penjelasan itu sambil mengernyitkan alisnya. "Tapi kayaknya agak nggak masuk akal deh, Mas. Untuk file sepenting itu dan nggak ada salinannya di tempat lain. Katanya kan tadi file-nya sempat dikirim dari ponsel Daniel. Kalau ponsel Daniel mati, bukankah file-nya tetap bisa dilacak lewat email terkirim? Iya, kan? Masak dia lupa al
Lisa diam saja. Sejak tadi ia hanya mengamati ekspresi Mario yang tampak berpikir berat, seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal dan ia berusaha memecahkannya. Struk itu akhirnya ia letakkan di atas meja lagi. Tangannya kini bergerak mengecek isi dompet yang lain, tapi ia tidak menemukan apapun yang mencurigakan. Karena terdorong rasa penasaran, Mario pun mulai menggeledah tas Risa yang lain, juga tas laptopnya. Tempat-tempat kecil yang memungkinkan untuk menyimpan sesuatu atau menyelipkan sesuatu ia cek, tapi tidak ada apapun yang membuatnya curiga lagi selain dua struk aneh itu. Mario pun menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Suara plastik yang bergesekan dengan punggungnya itu membuat suara decit aneh. Tampak matanya menerawang ke depan. "Kamu mikirin apa, Mas?" Lisa bertanya pelan, takut mengganggu pria yang sepertinya sedang berpikir serius itu. Mario hanya menggeleng sambil mencoba untuk tersenyum. Tapi tetap saja mukanya masih kelihatan bingung. "Aku nggak pernah nga
Aryo menaruh ponselnya di meja dengan kesal. Setelah panggilannya tidak diangkat, kini ia mencobanya sekali lagi, namun panggilan itu malah tidak tersambung alias nomor Lisa tidak aktif. Anak itu mungkin sengaja mematikan ponselnya, begitu pikir Aryo. "Nggak bisa dihubungin, Mam. Gimana, ya?" ucap Aryo. Dia sedang berada di sebuah tempat hiburan malam. Perempuan separuh baya yang dipanggil Mami itu berpenampilan full make up, bajunya semi terbuka. Tangannya memegang gelas berisi minuman. Tempat yang kalau malam hari ramai dan penuh lautan manusia yang sedang bersenang-senang dengan musik menggelegar itu kini sepi karena masih siang. "Tapi bener dia mau? Kalau serius mau, kamu kirim lah fotonya ke Mami. Nanti Mami tawarkan langsung ke pak Rizal. Siapa tahu cocok. Namanya siapa tadi?" tanyanya. "Lisa, Mam. Dijamin cantik. Setengah bule. Bapaknya orang Jerman apa Belanda gitu aku lupa. Cuma ya itu tadi kayak yang aku ceritain, Mi. Dia belum lama melahirkan, terus anaknya meninggal.
Mario menatap tak percaya ke arah adik iparnya itu. "Serius kamu, Lis? Kamu mau? Tapi kamu cuma jadi pengasuh, Lis. Siapa tahu kamu mau balik ke kerjaan kamu yang lama sebelum kamu punya anak." Mario menatap Lisa dengan tatapan senang tapi sekaligus terkejut. Lisa hanya menanggapi dengan tawa pelan bernada miris. Ah, andai Mario tahu pekerjaannya sebelum melahirkan pun lebih buruk dari itu. Lebih berat dan lebih kecil gajinya. Lisa pernah jadi pelayan resto, kerja menjadi buruh harian di tempat laundry, toko kue, dan banyak lainnya. Lisa melahap semua pekerjaan serabutan yang menerima tamatan SMA sepertinya demi menyambung hidup. "Nggak papa, Mas. Toh aku juga kayak mengurus keponakan aku sendiri. Hitung-hitung ngobatin kesepian aku karena kehilangan bayiku. Kalau kamu mau sih, Mas. Tapi aku punya satu permintaan," ucap Lisa. "Permintaan apa itu?" Mariobkini menatapnya dengan makin serius. Lisa baru hendak membuka mulutnya tapi suara hujan bergemuruh tiba-tiba turun dengan deras
"Mmm, Dimas nggak papa kok, Mas. Y--ya, dia pasti malah ikut senang kalau aku bantuin dia kerja. Lagian dia jarang pulang ke rumah juga. Apalagi bosnya mau pindah ke luar kota. Kemungkinan dia akan ikut juga, kan. Aku yakin dia pasti setuju. Kami sedang banyak bertengkar karena banyak masalah. Dia juga stress karena hutang. Waktu bayiku, maksudku bayi kami sakit dan harus dirawat di ruangan khusus, kami berhutang banyak sampai puluhan juta," ucap Lisa. Lisa lalu menarik nafas panjang seolah-olah ia sedih padahal ia jadi tegang dan menunduk karena takut alasannya tidak masuk akal dan Mario curiga. "Oh, soal hutang, kalau kamu mau aku bisa bantu lunasin dulu, Lis. Nanti kamu bisa ci..." "Nggak, Mas! Nggak usah. Biar aku kerja jadi pengasuh Marsa lalu kamu gaji selayaknya saja. Sudah cukup itu, Mas. Pokoknya jangan pikirin aku. Aku nggak mau dibantu sebanyak itu. Hutang kami banyak, Mas. Biarkan jadi urusan kami saja. Aku sudah terlalu banyak merepotkan kak Risa dulu. Sekarang aku n
Mario menangis tanpa suara hingga pundaknya berguncang-guncang hebat. Wajahnya ia tutupi dengan kedua telapak tangannya. Ia menunduk meletakkan kepalanya di antara pahanya. Seumur-umur mengenal Mario, belum pernah Lisa melihat pria itu dalam kondisi yang sedang seterpuruk ini. Lisa bingung. Lisa terkejut. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Apa ia harus menenangkan Mario? Tapi bagaimana caranya? Memeluknya? Mengelus pundaknya? Ah, rasanya masih terlalu canggung dan membingungkan. Apalagi situasi ini bukan situasi biasa. Suara hujan terdengar samar-samar, sesekali disertai gemuruh. Dan ternyata suara kesedihan tangisan Mario yang terpukul itu tidak hanya diiringi hujan saja, tapi ada suara lain yang terdengar. Yaitu suara dari video yang belum Mario matikan. Suara menjijikkan itu terdengar makin jelas. Mario menutup telinganya dengan tangan. Rasanya teramat menjijikkan mendengar suara istrinya dimanjakan lelaki lain. Rasanya makin menjijikan lagi ketika video itu makin jauh terputar k
Lisa menyibak anak rambutnya yang turun menutupi muka itu ke belakang telinganya. Ia merasakan dahinya berkeringat sedikit padahal di luar sana masih gerimis, artinya cuaca cukup dingin. Situasi canggung, mengejutkan, sekaligus membingungkan ini membuatnya panas dingin. "Cek aja, Lis. Kamu buka. Kamu bacain yang penting atau yang menurut kamu pantas untuk aku dengar. Aku akan dengerin dari sini," ucap Mario yang kini merebahkan punggungnya di sandaran sofa seperti orang kelelahan. Matanya menatap kosong ke arah langit-langit rumahnya. Keadaannya begitu menyedihkan. Lisa menatap ke arah ponsel kakaknya dan ke arah Mario secara bergantian. Sanggupkah ia? Tangannya lalu bergerak membuka lagi kunci ponsel itu. Jelas, pertama kali yang ia lihat adalah video terlarang Daniel dan Risa yang ia pause tadi. Lisa lalu keluar dari menu galeri. Mario menyuruhnya membuka chat, maka ke sanalah ia menuju. Padahal sebenarnya ia bisa membuka galeri itu lagi dan mencari foto lain atau video lain ya
Mama Aryo tampak menatap putranya dengan wajah sedih. Ia tahu hidup putranya pasti tidak baik-baik saja selama kabur di luar sana. Tapi mungkin ia masih terlalu terkejut begitu tahu ternyata Aryo separah ini. "Siapa, Yo?" Perempuan tua itu menatap putranya yang sedang mengecek ponsel. Aryo diam saja. Ia hanya menatap mamanya dengan tatapan terkejut. Kemudian ia menoleh lagi ke arah ponselnya. [[ "Test!" ]] Lalu dua menit kemudian saat mungkin Bisma tahu nomor Aryo masih aktif, Bisma langsung mengirim pesan singkat lagi. [[ "Aryo, ini Bisma." ]] Lalu belum sempat kekagetan Aryo hilang, Bisma tiba-tiba saja sudah menelpon. "Ma. Bisma nelpon, Ma." Aryo langsung menatap mamanya lagi. Sungguh sejak pulang ke rumah lagi, pria bertato dan berwajah seram itu tampak seperti menjadi anak mami. "Angkat, Yo. Angkat." Mama Aryo malah yang lebih antusias. Aryo menatap ponselnya dengan ragu. "Tapi aku mau ngomong apa, Ma? Dia pasti nanyain Lisa. Dia pasti nyari Lisa. Dia minta aku jaga
Aryo menatap sosok itu. Sahabat semasa sekolah, teman sesama pelariannya saat diusir dari rumah, sekaligus orang yang ingin ia maki-maki saat ia kabur menghilang. "Iya, kan? Itu Bisma bukan, sih? Ternyata dia jago nyanyi juga. Eh, dia lolos loh. Berarti di tayangan minggu dia ada lagi." Mama Aryo berkata dengan antusias. Ya, sejak lumpuh karena stroke, satu-satunya hiburan mamanya adalah menyaksikkan acara televisi. Dan Aryo selalu mendampinginya karena semua orang di rumah ini sibuk bekerja. Aryo tahan kupingnya. Ia tak peduli disindir pengangguran numpang tidur dan makan. Ia pulang karena mamanya. Itu saja. "Yo? Aryo? Kamu kenapa? Kok kayak ketakutan gitu?" Mama Aryo menoleh. Dengan tangannya yang sedikit tremor dan sulit digerakkan, perempuan tua itu berusaha menepuk pundak putranya. Aryo menoleh dan berusaha bersikap biasa saja. Padahal dalam hati ia sangat syok. "Nggak papa kok, Ma." Aryo menjawab singkat. "Aryo, bukannya kamu pernah cerita ya. Waktu kamu kabur dari rumah
Mbak Asti sampai mematikan setrikanya. Ia berjalan menghampiri nyonya rumahnya yang tampak syok menatap layar televisi. "Bu Lisa?" Mbak Asti mengguncang pelan tangan Lisa. Lisa terhenyak. Ia lalu menoleh dan tersadar. Milena yang ia abaikan di gendongannya ia peluk. "I--iya, Mbak. Aku, a--aku ke luar dulu, ya. Mau ambil minum buat Milena." Lisa beralasan lalu ia kabur pergi. Mbak Asti tampak bingung. Ia menyalakan kembali setrikanya sambil melihat ke layar televisi. "Perasaan nggak ada yang aneh di TV. Kenapa bu Lisa lihatin TV sampai sebegitunya?" Mbak Asti menggumam bingung. Oh, andai Mbak Asti tahu. Lisa menangis karena kekasih yang dulu kabur dari tanggung jawabnya itu muncul lagi di televisi sebagai peserta audisi pencarian bakat dan memperkenalkan diri sebagai pria lajang. Lisa mengusap air matanya yang menetes. Milena si bayi polos menatapnya dengan mata beningnya itu. Tangan mungilnya meraba pipi Lisa yang penuh air mata. Lisa menatap Milena dengan senyuman tapi matany
Layar televisi di depan Lisa masih menyala. Sementara layar televisi yang menayangkan program yang sama di depan Bisma dimatikan dengan kasar. Sang mentor melempar remote control ke sofa. Bisma duduk duduk di kursi kayu dengan kikuk. Mentornya tampak mondar-mandir dan kelihatan seperti sedang berpikir keras. "Lihat barusan? Waktu kamu audisi, cukup oke. Tapi sekarang beda. Kamu akan tampil di panggung besar. Tidak bisa kita pakaikan kamu jaket jeans lusuh ini lagi." Si mentor berkepala botak itu menjelaskan dengan berapi-api. Bisma diam saja. Ia punya mimpi jadi penyanyi, albumnya meledak, lagu-lagunya menjadi hits. Tapi baru masuk industri televisi untuk ajang pencarian bakat penyanyi begini saja mentalnya drop. "Kamu kurang, Bisma. Kurang apa ya. Kurang menjual. Tampang oke, suara oke, tapi gaya kamu kurang bad boy. Target pasar kamu cewek-cewek. Kamu nurut ajalah sama saya. Potong rambut, ubah semua. Saya akan bangun persona baru kamu. Gaya bicara kamu ini juga... Arghhh! Kur
Pagi itu Lisa bangun dengan hati yang lebih ceria. Ia mandi cepat-cepat dan membangunkan Milena. Rasanya melakukan aktivitas apapun di pagi ini, selalu ada Mario yang mengisi setiap jengkal pikirannya. Ya, sejak malam tadi Mario jadi punya posisi penting di hatinya selain Milena. Seperti ada kesepakatan tak tertulis. "Oke, mulai sekarang kita saling membuka diri dan membebaskan hati kita, kemana pun hendak berlabuh. Pelan-pelan." Begitulah kira-kira. Lisa menatap penuh cinta pada Milena yang terbangun dengan bibir manyunnya. Sungguh sangat lucu. "Papa katanya mau ke kantor pagi ini, Sayang. Ayo kita sapa," ucap Lisa sambil menggendong Milena keluar dari kamar. Dan benar saja, ketika ia membuka pintu Mario sudah berada di anak tangga terbawah. Pria berpakaian rapi itu menatapnya sambil tersenyum. "Selamat pagi kesayangan Papa," sapa Mario yang membuat hati Lisa sedikit tersipu. Kesayangan Papa? Siapa yang ia maksud? Ya tentu Milena, lah. Tapi entah kenapa Lisa merasa kata-kata
Lisa membisu. Sungguh pertanyaan yang sulit. "Sorry. Pertanyaan ini mungkin membuatmu bingung. Pernikahan ini awalnya untuk pengukuhan status Milena sebagai anak kandungmu. Tapi kurasa, akhir-akhir ini..." Mario tak bisa melanjutkan kata-katanya. Lisa masih diam saja, tapi hatinya berdebar. Ia sedang menunggu. Mario ingin bilang apa? Kalau perasaannya tumbuh untuknya? Sejujurnya, Lisa juga merasakan hal yang sama. "Lis, aku tahu kamu tak nyaman soal ini. Tapi aku merasakan perasaan yang lain untukmu. Sedikit demi sedikit. Rasanya berbeda. Aku ingin kamu di sisiku bukan sebagai ibu susu Milena saja, tapi aku ingin kamu jadi istriku yang sesungguhnya." Kata-kata itu keluar dari mulut Mario dengan susah payah. Lisa menatap mata bening yang tulus itu. Mario langsung gugup ditatap seperti itu. Ia tertunduk. Ingin rasanya ia ungkapan perasaannya bertahun-tahun yang lalu. Soal Lisa yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Soal surat yang salah alamat. Lalu ketika Risa lah
Mario lalu turun dari panggung. Entah kenapa semua undangan bertepuk tangan dengan meriah. Sebagian dari mereka mungkin merasa tersindir karena ucapan Mario begitu menohok. Dan sebagian lainnya merasa puas karena menganggap Mario keren. Ia dengan berani mengakui pernikahan keduanya dan membela istrinya yang terus digunjingkan dengan tuduhan yang tidak-tidak. Harus diakui, Mario sangat gentelmen. Daniel menarik nafas panjang. Ia tak menyangka Mario akan seberani ini mengungkap rumah tanggannya. Ya mungkin memang benar ia lelah digosipkan. Tapi soal anaknya dengan Risa yang diadopsi dan sekarang ia merawat anak tirinya dari Lisa cukup mengejutkan juga. Mendengar fakta itu diungkapkan ke publik membuat Daniel makin yakin. Mario tidak bohong. Harapannya untuk memeluk putrinya lagi pupus sudah. Dulu ia pikir ia tetap bisa menyayangi anak itu dari jauh. Melihatnya di rumah Mario. Oh, ternyata tidak. Lamunan Daniel dan kesedihannya langsung hilang ketika Meyrika menyentuh pundaknya. Da
Mario mengucapkan sepatah dua patah kata di atas panggung. Lisa tampak menatapnya dengan bangga di belakangnya. Ia berdiri di samping Pak Gunadi. Mario tahu hal ini akan segera terjadi. Pak Gunadi sudah mengisyaratkan kalau suatu hari nanti ia akan menyerahkan tanggung jawab perusahaan sepenuhnya padanya. Tapi Mario tidak menduga Pak Gunadi akan mengumumkannya secara resmi malam ini. Oh, begitu cepat. Ia pikir akan setahun atau dua tahun lagi. Mungkin lelaki tua itu sudah lelah dan ingin beristirahat saja, mengingat kondisi kesehatannya menurun sangat jauh dari tahun ke tahun. "Istriku meninggal karena kanker. Hal itu membuatku sadar, kalau berapapun harta yang kita punya tidak akan bisa membeli nyawa. Tapi untuk memperpanjang dan membeli sedikit waktu, masih bisa. Aku tahu kamu tidak obsesif untuk soal harta, Mario. Kita dibesarkan oleh keluarga angkat. Kita sama-sama anak yang terbuang. Kamu juga mulai dari nol. Kamu tahu cara menghargai proses. Jangan kecewakan saja. Kamu suda
Setelah Daniel bilang "iya" pada ajakan menginap di tempatnya, wanita bergaun putih itu tak henti-hentinya tersenyum. Daniel bisa merasakan energi Meyrika yang makin bertambah. Apalagi ketika menggandeng dan memperkenalkannya pada teman-temannya di pesta. "Mey, soal menginap, apa kau yakin?" Daniel berbisik saat tubuh mereka merapat saat menikmati musik. Mey menatapnya dengan bingung. "Ya, aku yakin. Kenapa? Tenanglah, aku tinggal sendiri. Aku sudah 35, Daniel. Orang tuaku tak akan ikut campur. Mereka di luar negeri." Daniel tampak makin bingung. Sejujurnya ia panik sekarang. Ketika bilang iya tadi, ia hanya spontan saja. Mengiyakan ajakan menginap tentu sudah jelas arah dan tujuannya kemana. Mereka sudah sama-sama dewasa. Toh dulu kurang liar apa kehidupan percintaan Daniel dengan Risa yang sudah bersuami. "Mey, sejak kecelakaan dan kondisiku begini, aku tak pernah lagi..." "Sttt!" Mey meletakkan telunjuknya di bibir Daniel lalu ia tersenyum. Daniel membeku. Ia tahu Mey seriu