Mama Aryo tampak menatap putranya dengan wajah sedih. Ia tahu hidup putranya pasti tidak baik-baik saja selama kabur di luar sana. Tapi mungkin ia masih terlalu terkejut begitu tahu ternyata Aryo separah ini. "Siapa, Yo?" Perempuan tua itu menatap putranya yang sedang mengecek ponsel. Aryo diam saja. Ia hanya menatap mamanya dengan tatapan terkejut. Kemudian ia menoleh lagi ke arah ponselnya. [[ "Test!" ]] Lalu dua menit kemudian saat mungkin Bisma tahu nomor Aryo masih aktif, Bisma langsung mengirim pesan singkat lagi. [[ "Aryo, ini Bisma." ]] Lalu belum sempat kekagetan Aryo hilang, Bisma tiba-tiba saja sudah menelpon. "Ma. Bisma nelpon, Ma." Aryo langsung menatap mamanya lagi. Sungguh sejak pulang ke rumah lagi, pria bertato dan berwajah seram itu tampak seperti menjadi anak mami. "Angkat, Yo. Angkat." Mama Aryo malah yang lebih antusias. Aryo menatap ponselnya dengan ragu. "Tapi aku mau ngomong apa, Ma? Dia pasti nanyain Lisa. Dia pasti nyari Lisa. Dia minta aku jaga
"Lisa? Ngapain kamu di sini?" Mario Guntoro terkejut setengah mati. Sekitar lima meter di depannya, Lisa sedang berdiri dengan sebuah tas besar. Penampilannya sungguh kacau, seperti orang yang tak terurus. Melihat kondisi adik iparnya yang setahun lalu diusir dari rumah itu membuat Mario tak kuasa untuk menahan diri dan menghampiri wanita itu. Wanita yang dipanggil Lisa itu menunduk. Rambutnya kusut, wajah ayu blasteran yang dulu selalu memukau para lelaki itu kini tampak kuyu. Apa dia sakit? Mario membatin dengan penasaran. "Lisa?" Mario mulai makin menatap cemas pada adik istrinya itu. Tak sengaja matanya menangkap baju warna cokelat muda yang dikenakan Lisa itu tampak basah di bagian dadanya. "Bu Lisa? Ini berkasnya. Surat kematian anak Ibu di dalam, ya. Administrasi sudah beres juga, ya." Seorang perawat tampak mengulurkan sebuah dokumen dalam map warna cokelat. Lisa menerima map itu dengan cepat dan buru-buru. Ia mengucapkan terima kasih dengan lirih. Lalu dengan kepala mas
"Apa jangan-jangan Lisa hamil di luar nikah?" Mario segera menggelengkan kepalanya, menyesali fakta bahwa dirinya baru saja menuduh adik iparnya sendiri.Ketika Mario masih disibukkan dengan konflik batinnya, Lisa tiba-tiba sudah berada di depan Mario. "Mas. Mas Mario?" Manik Mario melihat betapa kemeja putih miliknya itu tampak kedodoran di badan Lisa. Tangan wanita itu memegang baju basahnya yang sudah ia lipat dengan canggung. "Eh, Lisa. Maaf ya, saya melamun. Ayo segera masuk mobil, takutnya kamu masuk angin." Mario yang melamun langsung gugup. Ia segera membukakan pintu penumpang di depan dan meminta Lisa masuk. Mario yang sudah menyalakan mesin mobilnya itu tampak menunggu hingga Lisa memasang sabuk pengamannya. Ia kelihatan tidak nyaman ketika benda itu menyilang melintasi tubuh bagian depannya. Bibirnya tampak sedikit meringis seperti menahan sakit. Sebagai pria yang sudah beristri, Mario tahu mungkin Lisa mengalami nyeri karena salah satu kelenjar penting di tubuhnya itu
"Lisa, kakak Kamu sakit. Sudah hampir seminggu koma. Dia sekarat." Mendengar kabar itu, Lisa benar-benar terkejut. Maniknya kini mulai buram karena dipenuhi dengan air mata. "Mbak Risa kenapa, Mas?" Pipi wanita berambut panjang itu kini mulai basah, air mata yang sebelumnya tertahan di matanya tak bisa terbendung lagi. Lisa sadar jika hubungan antara dirinya dengan sang kakak kandung memang tidak baik, bahkan Lisa pernah menaruh dendam kepada Risa sejak dirinya diusir pergi dari rumah. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa Risa masih memiliki hubungan darah dengannya, tak mungkin Lisa tak merasakan sedikitpun kesedihan ketika mengetahui kabar ini. Mario menghela napas panjang sebelum akhirnya menceritakan apa yang terjadi kepada istrinya. "Kecelakan, Lis. Sekitar seminggu yang lalu. Risa ke luar kota bersama atasannya untuk urusan kerja. Saat itu, cuaca sangat buruk, hujan turun dengan lebat, bahkan terjadi badai. Aku sudah bilang agar dia menginap saja dulu di hotel, tapi dia tetap ne
"Daniel, kalau kamu sampai nekat ngasih tahu Mario, hidupku akan hancur. Gila ya kamu!" Malam itu hujan lebat di jalanan bebas hambatan. Cahaya lampu dan jalanan jadi terlihat samar. "Hei, tapi Marsa itu anakku. Lihat mukanya. Mirip denganku, kan? Kita juga sudah tes DNA diam-diam waktu kamu hamil. Belum cukup? Kita jujur saja. Mario mungkin marah, tapi bisa apa dia? Kamu tinggal minta cerai lalu kita menikah dan hidup bahagia bertiga. Gampang, kan?" Daniel tampak bersikeras."Gampang apanya, hah? Kamu sudah janji akan mengerti posisiku dan tidak akan mengganggu rumah tanggaku. Jangan macam-macam kamu! Mario tetap suamiku. Kamu nggak tahu betapa bahagianya dia dengan kelahiran Marsa! Pokoknya aku nggak mau!" Risa tak mau kalah. "Nggak! Nanti aku tetap mau ungkap rahasia ini ke dia!" Mario tetap teguh.Hingga akhirnya perdebatan itu membuat mereka lupa diri. Jalanan menggila dan hilanglah fokus Daniel dalam menyetir. Tahu-tahu beberapa meter di depannya sudah ada papan peringatan soa
"Jika Lisa punya ASI yang melimpah, dan Marsa membutuhkan donor ASI, apakah mungkin jika Lisa membantunya menjadi ibu susu untuk Marsa?" Mario terus memikirkan hal itu ketika Lisa masih sibuk berurusan dengan suster di Rumah Sakit. Jika memang Lisa menjadi ibu susu untuk anaknya, Mario tidak perlu bersusah payah untuk bergantung kepada Daniel demi mencarikan donor ASI untuk Marsa. Suasana canggung meliputi Risa dan Mario. Mario tampak menelan ludahnya dengan susah payah. Ia lalu berdiri dari duduknya. "Kamu sudah selesai, Lisa? Kalau sudah, ayo kita ke mobil." Mario berkata dengan terbata. Lisa hanya mengangguk lalu berjalan perlahan hingga langkah mereka sejajar. Mario tampak melirik beberapa kali ke arah adik iparnya itu. Pria itu sudah mengambil keputusan, setidaknya dia harus membicarakan hal ini kepada si adik ipar. Namun, ia bingung bagaimana membuka obrolan ini. Ia tahu Lisa adalah wanita baik hati. Mengingat Marsa adalah keponakan dari Lisa, apakah mungkin jika Lisa menol
"Apakah kamu ingin membantuku mendonorkanASI untuk anakku?" Permintaan Mario membuat manik mata Lisamembesar. Saat ini, memang dia memiliki ASI yang melimpah. Namun, dia merasatakut pandangan orang lain terhadapnya. Jika dia membantu Mario, apa yang akanorang-orang sekitarnya katakan? "Kenapa-- kenapa harus aku, Mas?"tanya Lisa sembari menatap Mario nanar. "Saya tak sengaja mendengar pembicaraanmudengan suster di rumah sakit, oleh karena itu saya tahu kamu punya apa yangdibutuhkan Marsa." Dada Mario kini berdegup kencang. Dia tahu,Lisa pasti merasa segan karena hubungan kompleks ketiganya. Seandainyamenemukan donor ASI untuk sang anak itu mudah, dia jelas tidak akan memintabantuan dari adik iparnya sendiri. "Mas, bukannya aku ingin menolakmu. Tapi,bagaimana dengan Kak Risa? Aku takut kalau ke depannya--" "Lisa, kumohon, bantulah aku. Berdasarkananalisa dokter, sulit bagi Risa untuk bangun kembali dalam beberapa waktu dekatmengingat kondisinya saat ini." potong Mar
Jantung Lisa berdebar tak karuan saat Mario membimbingnya memasuki ruangan khusus yang merupakan ruang rawat Marsa, bayi malang itu. Sementara itu ponselnya yang meraung-raung minta diangkat tertinggal di mobil. '3 panggilan tak terjawab dari Aryo.' Mario tampak menyadari kegugupan adik iparnya itu. Dilihatnya tangan Lisa tampak gemetar dan gelisah. Sebagai seorang lelaki yang sangat memahami perasaan perempuan, Mario juga tak ingin dianggap kejam. Membawa ibu yang baru kehilangan bayinya untuk menyusui bayi lain adalah hal yang tak mudah. Lisa menghentikan langkahnya. Ia menatap Mario dengan ragu. Di lorong yang dingin dan ber-AC itu, dahinya justru berkeringat. "Sekali lagi saya bukannya tidak berempati pada kematian bayi kamu. Saya juga lancang karena nggak izin suami kamu. Tapi ..." "Aku yakin, Mas. Aku mau jadi donor. Ayo masuk." Lisa langsung memotong ucapan Mario begitu pria itu menyebut-nyebut soal suami. Mario menarik nafas lega. Ia mengangguk lalu mendorong pintu den
Mama Aryo tampak menatap putranya dengan wajah sedih. Ia tahu hidup putranya pasti tidak baik-baik saja selama kabur di luar sana. Tapi mungkin ia masih terlalu terkejut begitu tahu ternyata Aryo separah ini. "Siapa, Yo?" Perempuan tua itu menatap putranya yang sedang mengecek ponsel. Aryo diam saja. Ia hanya menatap mamanya dengan tatapan terkejut. Kemudian ia menoleh lagi ke arah ponselnya. [[ "Test!" ]] Lalu dua menit kemudian saat mungkin Bisma tahu nomor Aryo masih aktif, Bisma langsung mengirim pesan singkat lagi. [[ "Aryo, ini Bisma." ]] Lalu belum sempat kekagetan Aryo hilang, Bisma tiba-tiba saja sudah menelpon. "Ma. Bisma nelpon, Ma." Aryo langsung menatap mamanya lagi. Sungguh sejak pulang ke rumah lagi, pria bertato dan berwajah seram itu tampak seperti menjadi anak mami. "Angkat, Yo. Angkat." Mama Aryo malah yang lebih antusias. Aryo menatap ponselnya dengan ragu. "Tapi aku mau ngomong apa, Ma? Dia pasti nanyain Lisa. Dia pasti nyari Lisa. Dia minta aku jaga
Aryo menatap sosok itu. Sahabat semasa sekolah, teman sesama pelariannya saat diusir dari rumah, sekaligus orang yang ingin ia maki-maki saat ia kabur menghilang. "Iya, kan? Itu Bisma bukan, sih? Ternyata dia jago nyanyi juga. Eh, dia lolos loh. Berarti di tayangan minggu dia ada lagi." Mama Aryo berkata dengan antusias. Ya, sejak lumpuh karena stroke, satu-satunya hiburan mamanya adalah menyaksikkan acara televisi. Dan Aryo selalu mendampinginya karena semua orang di rumah ini sibuk bekerja. Aryo tahan kupingnya. Ia tak peduli disindir pengangguran numpang tidur dan makan. Ia pulang karena mamanya. Itu saja. "Yo? Aryo? Kamu kenapa? Kok kayak ketakutan gitu?" Mama Aryo menoleh. Dengan tangannya yang sedikit tremor dan sulit digerakkan, perempuan tua itu berusaha menepuk pundak putranya. Aryo menoleh dan berusaha bersikap biasa saja. Padahal dalam hati ia sangat syok. "Nggak papa kok, Ma." Aryo menjawab singkat. "Aryo, bukannya kamu pernah cerita ya. Waktu kamu kabur dari rumah
Mbak Asti sampai mematikan setrikanya. Ia berjalan menghampiri nyonya rumahnya yang tampak syok menatap layar televisi. "Bu Lisa?" Mbak Asti mengguncang pelan tangan Lisa. Lisa terhenyak. Ia lalu menoleh dan tersadar. Milena yang ia abaikan di gendongannya ia peluk. "I--iya, Mbak. Aku, a--aku ke luar dulu, ya. Mau ambil minum buat Milena." Lisa beralasan lalu ia kabur pergi. Mbak Asti tampak bingung. Ia menyalakan kembali setrikanya sambil melihat ke layar televisi. "Perasaan nggak ada yang aneh di TV. Kenapa bu Lisa lihatin TV sampai sebegitunya?" Mbak Asti menggumam bingung. Oh, andai Mbak Asti tahu. Lisa menangis karena kekasih yang dulu kabur dari tanggung jawabnya itu muncul lagi di televisi sebagai peserta audisi pencarian bakat dan memperkenalkan diri sebagai pria lajang. Lisa mengusap air matanya yang menetes. Milena si bayi polos menatapnya dengan mata beningnya itu. Tangan mungilnya meraba pipi Lisa yang penuh air mata. Lisa menatap Milena dengan senyuman tapi matany
Layar televisi di depan Lisa masih menyala. Sementara layar televisi yang menayangkan program yang sama di depan Bisma dimatikan dengan kasar. Sang mentor melempar remote control ke sofa. Bisma duduk duduk di kursi kayu dengan kikuk. Mentornya tampak mondar-mandir dan kelihatan seperti sedang berpikir keras. "Lihat barusan? Waktu kamu audisi, cukup oke. Tapi sekarang beda. Kamu akan tampil di panggung besar. Tidak bisa kita pakaikan kamu jaket jeans lusuh ini lagi." Si mentor berkepala botak itu menjelaskan dengan berapi-api. Bisma diam saja. Ia punya mimpi jadi penyanyi, albumnya meledak, lagu-lagunya menjadi hits. Tapi baru masuk industri televisi untuk ajang pencarian bakat penyanyi begini saja mentalnya drop. "Kamu kurang, Bisma. Kurang apa ya. Kurang menjual. Tampang oke, suara oke, tapi gaya kamu kurang bad boy. Target pasar kamu cewek-cewek. Kamu nurut ajalah sama saya. Potong rambut, ubah semua. Saya akan bangun persona baru kamu. Gaya bicara kamu ini juga... Arghhh! Kur
Pagi itu Lisa bangun dengan hati yang lebih ceria. Ia mandi cepat-cepat dan membangunkan Milena. Rasanya melakukan aktivitas apapun di pagi ini, selalu ada Mario yang mengisi setiap jengkal pikirannya. Ya, sejak malam tadi Mario jadi punya posisi penting di hatinya selain Milena. Seperti ada kesepakatan tak tertulis. "Oke, mulai sekarang kita saling membuka diri dan membebaskan hati kita, kemana pun hendak berlabuh. Pelan-pelan." Begitulah kira-kira. Lisa menatap penuh cinta pada Milena yang terbangun dengan bibir manyunnya. Sungguh sangat lucu. "Papa katanya mau ke kantor pagi ini, Sayang. Ayo kita sapa," ucap Lisa sambil menggendong Milena keluar dari kamar. Dan benar saja, ketika ia membuka pintu Mario sudah berada di anak tangga terbawah. Pria berpakaian rapi itu menatapnya sambil tersenyum. "Selamat pagi kesayangan Papa," sapa Mario yang membuat hati Lisa sedikit tersipu. Kesayangan Papa? Siapa yang ia maksud? Ya tentu Milena, lah. Tapi entah kenapa Lisa merasa kata-kata
Lisa membisu. Sungguh pertanyaan yang sulit. "Sorry. Pertanyaan ini mungkin membuatmu bingung. Pernikahan ini awalnya untuk pengukuhan status Milena sebagai anak kandungmu. Tapi kurasa, akhir-akhir ini..." Mario tak bisa melanjutkan kata-katanya. Lisa masih diam saja, tapi hatinya berdebar. Ia sedang menunggu. Mario ingin bilang apa? Kalau perasaannya tumbuh untuknya? Sejujurnya, Lisa juga merasakan hal yang sama. "Lis, aku tahu kamu tak nyaman soal ini. Tapi aku merasakan perasaan yang lain untukmu. Sedikit demi sedikit. Rasanya berbeda. Aku ingin kamu di sisiku bukan sebagai ibu susu Milena saja, tapi aku ingin kamu jadi istriku yang sesungguhnya." Kata-kata itu keluar dari mulut Mario dengan susah payah. Lisa menatap mata bening yang tulus itu. Mario langsung gugup ditatap seperti itu. Ia tertunduk. Ingin rasanya ia ungkapan perasaannya bertahun-tahun yang lalu. Soal Lisa yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Soal surat yang salah alamat. Lalu ketika Risa lah
Mario lalu turun dari panggung. Entah kenapa semua undangan bertepuk tangan dengan meriah. Sebagian dari mereka mungkin merasa tersindir karena ucapan Mario begitu menohok. Dan sebagian lainnya merasa puas karena menganggap Mario keren. Ia dengan berani mengakui pernikahan keduanya dan membela istrinya yang terus digunjingkan dengan tuduhan yang tidak-tidak. Harus diakui, Mario sangat gentelmen. Daniel menarik nafas panjang. Ia tak menyangka Mario akan seberani ini mengungkap rumah tanggannya. Ya mungkin memang benar ia lelah digosipkan. Tapi soal anaknya dengan Risa yang diadopsi dan sekarang ia merawat anak tirinya dari Lisa cukup mengejutkan juga. Mendengar fakta itu diungkapkan ke publik membuat Daniel makin yakin. Mario tidak bohong. Harapannya untuk memeluk putrinya lagi pupus sudah. Dulu ia pikir ia tetap bisa menyayangi anak itu dari jauh. Melihatnya di rumah Mario. Oh, ternyata tidak. Lamunan Daniel dan kesedihannya langsung hilang ketika Meyrika menyentuh pundaknya. Da
Mario mengucapkan sepatah dua patah kata di atas panggung. Lisa tampak menatapnya dengan bangga di belakangnya. Ia berdiri di samping Pak Gunadi. Mario tahu hal ini akan segera terjadi. Pak Gunadi sudah mengisyaratkan kalau suatu hari nanti ia akan menyerahkan tanggung jawab perusahaan sepenuhnya padanya. Tapi Mario tidak menduga Pak Gunadi akan mengumumkannya secara resmi malam ini. Oh, begitu cepat. Ia pikir akan setahun atau dua tahun lagi. Mungkin lelaki tua itu sudah lelah dan ingin beristirahat saja, mengingat kondisi kesehatannya menurun sangat jauh dari tahun ke tahun. "Istriku meninggal karena kanker. Hal itu membuatku sadar, kalau berapapun harta yang kita punya tidak akan bisa membeli nyawa. Tapi untuk memperpanjang dan membeli sedikit waktu, masih bisa. Aku tahu kamu tidak obsesif untuk soal harta, Mario. Kita dibesarkan oleh keluarga angkat. Kita sama-sama anak yang terbuang. Kamu juga mulai dari nol. Kamu tahu cara menghargai proses. Jangan kecewakan saja. Kamu suda
Setelah Daniel bilang "iya" pada ajakan menginap di tempatnya, wanita bergaun putih itu tak henti-hentinya tersenyum. Daniel bisa merasakan energi Meyrika yang makin bertambah. Apalagi ketika menggandeng dan memperkenalkannya pada teman-temannya di pesta. "Mey, soal menginap, apa kau yakin?" Daniel berbisik saat tubuh mereka merapat saat menikmati musik. Mey menatapnya dengan bingung. "Ya, aku yakin. Kenapa? Tenanglah, aku tinggal sendiri. Aku sudah 35, Daniel. Orang tuaku tak akan ikut campur. Mereka di luar negeri." Daniel tampak makin bingung. Sejujurnya ia panik sekarang. Ketika bilang iya tadi, ia hanya spontan saja. Mengiyakan ajakan menginap tentu sudah jelas arah dan tujuannya kemana. Mereka sudah sama-sama dewasa. Toh dulu kurang liar apa kehidupan percintaan Daniel dengan Risa yang sudah bersuami. "Mey, sejak kecelakaan dan kondisiku begini, aku tak pernah lagi..." "Sttt!" Mey meletakkan telunjuknya di bibir Daniel lalu ia tersenyum. Daniel membeku. Ia tahu Mey seriu